Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

IHQN/MANADO. Dalam mengukur cakupan efektif pelayanan kesehatan di Puskesmas dimana terdapat 4 esensi Jaminan Kesehatan Semesta yang terdiri dari penguatan sistem kesehatan, menjamin pelayanan yang terjangkau, meningkatkan akses terhadap pelayanan yang bermutu dan Membangun Kapasitas. "Apalah artinya kita berbondong – bondong membawa masyarakat ke puskesmas ataupun ke Rumah Sakit tapi kita tidak bisa memberikan pelayanan yang bermutu?" kata Prof. dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD.

Cakupan Efektif adalah sebagian dari manfaat kesehatan potensial, yang lebih kepada sistem kesehatan yang sesungguhnya diterima dalam pelayanan sesuai dengan kapasitas. Definisi mutu mempertimbangkan beberapa aspek dimensi mutu yang perlu diperhatikan, diantaranya safety/keamanan, patient focus(Pelayanan yang berfokus pada pasien), Technical kompetence (Kompetens teknis yang di miliki oleh pemberi layanan kesehatan).

Dalam pengukuran cakupan efektif perlu dipahami perbedaan antara konsep "layanan cakupan" dan "layanan cakupan yang efektif" contohnya seberapa banyak individu yang mengakses puskesmas untuk pelayanan hipertensi. Sedangkan dalam cakupan efektif perlu diketahui berapa individu yang membutuhkan pelayanan hipertensi menurut usia dan jumlah pasien hipertensi dengan tekanan darah yang terkontrol.

Dalam mengukur cakupan efektif diperlukan tiga pertimbangan utama yaitu kebutuhan dan prioritas kesehatan secara umum, strategi pengumpulan data kebutuhan, pemanfaatan dan mutu, dan sumber daya yang tersedia.

Beberapa rekomendasi dalam upaya untuk melakukan pengukuran cakupan agar lebih efektif yaitu : 1. Identifikasi kebutuhan dan prioritas. Dimana data-data nasional penguat yang menjadi kebutuhan prioritas masalah kesehatan di Sulawesi Utara dan evaluasi biaya akan intervensi/penanganan yang dilakukan. 2. strategi pengukuran, dan 3. membangun kapasitas.

Dalam buku panduan WHO terdapat indikator monitoring Universal Health Coverege yang secara garis besar terbagi atas promosi-pencegahan dan pengobatan. Ada beberapa indikator yang sudah cukup lama kita lihat tetapi ada juga beberapa indikator yang baru seperti prevalensi indikator tidak merokok selama satu bulan terakhir pada orang dewasa untuk umur lebih dari 15 tahun dimana data ini mungkin dihasilkan dari survey khusus, juga kemoterapi pencegahan NTDs (penyakit tropis yang masih terabaikan). Di sisi pengobatan TBC dan juga tantangan terdapat pada hipertensi dan diabetes apakah kita bisa mengukur sebarapa banyak yang terkontrol? dan yang terakhir adalah cakupan operasi katarak yang dimasukkan dalam salah satu ukuran monitoring Universal Health Coverege.

Menyetir apa yang disampaikan WHO tentang jaminan kesehatan semesta bahwa sebuah intervensi Kesehatan Masyarakat yang sangat signifikan dan sebagai upaya terhadap hal-hal baru sangat perlu di dukung dengan kegiatan-kegiatan penelitian terkait dengan penelitian kesehatan global yang melonjak. "Investasi jangka panjang di lembaga penelitian yang menghasilkan bukti/hasil merupakan penentuan pembuatan kebijakan-kebijakan yang lebih sesuai dengan permasalahan yang ada di daerah kita masing-masing" ini adalah kutipan yang disampaikan Prof. dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD mengakhiri materi yang ia bawakan.

Reporter: Maria. A. X. Egam

 

Memasuki hari kedua dalam Forum Mutu IHQN pada tanggal 22 September 2016 masih ada bebrapa materi yang sangat menarik untuk diikuti baik pada sesi diskusi panel maupun sesi Keynote speaker. Pada sesi pagi hari ini ada tiga pembicara dalam satu panel diskusi. Pembicara pertama adalah dr. Jemmy Lampus, Mkes. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Tema yang disampaikan adalah Kebijakan Pemenuhan Mutu Pelayanan Kesehatan.

Dalam presentasi beliau memaparkan mengenai tantangan pembangunan bidang kesehatan setelah selesainya MDGs masih perlu dukungan dari tenaga kesehatan. Status ekonomi dan perbaikan status gizi menjadi perhatian khusus di Sulawesi Utara. Tahun 2016 dari MDGs beganti menjadi SDGs, yang menjadi fokus di Sulawei Utara adalah target 3 yaitu Kesehatan Yang Baik. Program kesehatan yang dilakukan terkait dengan target 3 yaitu penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi (HIV/AIDS, TB dan Malaria) serta pencegahan dan penanganan Penyakit Tidak Menular. Program yang direncanakan dan dilaksanakan di Dinas Keshatan Sulawesi Utara harus sejalan dengan program Indonesia Sehat.

Strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan regionalisasi rujukan yang terstruktur merupakan target yang dibuat oleh dr. Jemmy untuk meningkatkan angka kesehatan di Sulawei Utara. Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan primer juga menjadi penting karena program promotif dan preventif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di puskesmas bisa membantu dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian. Puskesmas yang berada di Sulawesi Utara diharuskan sudah terakreditasi. Dengan puskesmas yang sudah terakreditasi diharapkan pelayanan di UKP dan UKM menjadi lebih baik lagi.

Kesimpulan yang dipaprkan oleh dr. Jemmy yaitu pada peran Puskesmas sebagai pelayananan kesehatan primer yang melaksanakan program promotif dan preventif secara bekualitas. Koordinasi harus juga dilakukan lintas sektor antara Puskesmas dan Bappeda Provinsi/Kabupaten/Kota. Angka keehatan akan naik dengan pelayanan yang berkualitas.

Reporter : Elisa Sulistyaningrum, MPH

 

IHQN – Manado, Dr. dr. Khalid Saleh, Sp.PD-KKV, FINASIM, MARS. Membahas mengenai elektronik katalog (e-Katalog) obat dan alat kesehatan (alkes) yang adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga dari obat dari berbagai penyedia barang/ jasa. e-Katalog merupakan terobosan untuk mempermudah pengadaan obat dan alat kesehatan di RS dalam era JKN. Tidak dapat dipungkiri obat dan alat kesehatan merupakn komponen penting dalam pelayanan kesehatan di RS. Tidak tersedianya obat dan alat kesehatan di RS menjadi hambatan dalam pelayanan kesehatan RS. Pengadaan obat dan alat kesehatan yang berbelit juga turut menghambat proses pelayanan di RS.

Melalui e-Katalog pengadaan obat dan alkes yang selama ini terdapat celah untuk terjadi penyimpangan dapat diminimalisir. Karena harga dan kualitas barang yang terdaftar dalam e-Katalog telah tercantum dengan jelas, sehingga tidak terjadi pembengkakan biaya karena siapapun dapat menjadi pengawas. Pihak pemerintah juga dapat dengan bebas memilih produk yang dibutuhkan sesuai dengan anggaran yang tersedia.

Namun, dalam pelaksanaan terdapat kendala yaitu pemeanan obat secara elektronik masih bermasalah sehingga harus memesan manual melalui perusahaan farmasi, masih ada obat yang dibutuhkan namun tidak terdaftar dalam e-Katalog, stok obat yangdibutuhkan terkadang tidak cukup (kehabisan stok), akses dalam pengiriman membutuhkan waktu yang lama, dan alat kesehatan masih kurang dalam e-katalog.

Untuk menghadapi kendala-kendala yang terjadi perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dalam penyelesaian atau untuk peningkatan sistem ini . Dalam evaluasi yang telah dilakukan ternyata terjadi peningkatan produk yang terdaftar dalam e-katalog serta semakin banyak rumah sakit yang menggunakan sistem ini.

Ada beberapa solusi yang telah disediakan yaitu pengusulan rencana kebutuhan obat (RKO) yang harus lebih jelas, harus adanya kebijakan dari direktur tentang alur pengadaan apabila obat/alkes kosong dari penyedia, dan yang tak kalah penting adalah penulisan/ ejaan nama obat dalam e-katalog harus diseragamkan agar tidak terjadi kekeliruan.

Pada saat diskusi berlangsung terdapat pertanyaan menarik, obat yang dibutuhkan segera tapi stok kosong di produsen, dan hanya tersedia obat pengganti dengan harga yang 4x lebih mahal. Apa yang harus dilakukan dalm menghadapi masalah ini?. Tanggapan Dr. dr. Khalid Saleh, Sp.PD-KKV, FINASIM, MARS adalah untuk menghadapi hal ini haruslah pihak rumah sakit mementingkan pasien, dengan membeli obat demi keselamatan pasien. Cara lain yang dapat dilakukan adalah menjalin mitra dengan rumah sakit lain dan melakukan peminjaman obat, jika nantinya stok telah tersedia diganti dalam bentuk obat yang sama.

Reporter: Sheila Gabriela Tamawiwy

IHQN-Manado, Dalam seminar yang dibawakan oleh dr. Jemmy Lampus, MKes sebagai Kepala Dinas Provinsi Sulawesi Utara ini, beberapa hal yang disampaikan adalah tahapan serta penjelasan tentang imunisasi, strategi program imunisasi, tempat penyimpanan vaksin (coldchain), bagaimana pelayanan imunisasi yang aman sampai pada ketentuan masa pakai vaksin yang tepat. Imunisasi adalah salah satu upaya preventif yang dilakukan dan membutuhkan manajer yang handal untuk penyelenggaraan imunisasi, dalam imunisasi dikenal dengan istilah vaksin. Vaksin di Indonesia berasal dari biofarma yang berlokasi di Bandung kemudian disalurkan atau didistribusi di provinsi, kabupaten sampai ke puskesmas-puskesmas. Manajemen pelayanan vaksinisasi ini sebenarnya meliputi penggunaan alat suntik yang aman, mencegah tusukan jarum yang dan infeksi yang dapat menimbulkan luka sampai pada penanganan limbah dari sisa imunisasi ini sendiri. Setelah dilakukan vaksinasi, hal yang penting kita harus perhatikan adalah limbahnya sendiri. Ada beberapa cara pemusnahan limbah sisa imunisasi yang digunakan guna tak adanya pencemaran lingkungan, sehingga meminimalisir penyakit yang diakibatkan oleh limbah imunisasi tersebut.

Dalam sesi tanya jawab dibuka untuk dua orang penanya dengan pertanyaan pertama yaitu apakah distribusi atau penyaluran vaksin dapat sampai ke Rumah Sakit swasta atau dokter swasta mengingat banyak peserta BPJS yang mendaftarkan diri ke Rumah Sakit atau dokter swasta? Serta bagaimana mekanisme penanganan kekosongan vaksin rabies?, pertanyaan ini langsung dijawab oleh pembicara bahwa yang pertama penyaluran atau distribusi vaksin ke klinik atau dokter swasta dapat melalui puskesmas umum selain penyaluran langsung, vaksin apabila sangat diperlukan dapat mengambil ke puskesmas atau klinik umum lain dengan membuat berita acara dan jawaban atas pertanyaan selanjutnya adalah tentang vaksin rabies terbatas terjadi dikarenakan salah satunya pemberian vaksin pada indikasi yang salah, untuk itu diperlukan program sosialisasi pada puskesmas atau dokter-dokter untuk pemberian vaksin rabies sesuai indikasi yang tepat. selanjutnya, pertanyaan kedua dari seorang bapak yaitu berkaitan dengan struktur di Dinas Kesehatan Provinsi, bagaimana koordinasi terhadap dan antara dua kepala bidang berbeda yang menangani vaksinasi di puskesmas/Rumah sakit? Pertanyaan ini juga langsung dijawab oleh pembicara yakni pentingnya membangun komunikasi baik antar masing-masing bidang maupun dari rumah sakit ke bagian dinkes provinsi sehingga mencegah adanya kesalahpahaman dan implementasinya dapat berjalan dengan baik.

Reporter : Christania Paruntu