Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Charles Piper, CFE, CRT, seorang konsultan sekaligus investigator swasta di West Tennessee, menulis bahwa meskipun pemberi pelayanan kesehatan umumnya memiliki sifat jujur dan pekerja keras untuk memberi layanan terbaik kepada pasien, namun adakalanya, beberapa tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan melakukan kecurangan untuk mendapat untung dari perusahaan asuransi. Umumnya, kecurangan dalam dunia kesehatan sama saja dengan kejahatan pada industri lain. Pelakunya memiliki kesempatan dan maksud tertentu untuk mendapat keuntungan secara tidak adil.

Paling tidak terdapat sepuluh skema fraud dalam asuransi kesehatan. Sepuluh item tersebut antara lain: mengklaim pelayanan yang tidak pernah diberikan; mengklaim layanan yang tidak dapat ditanggung asuransi, sebagai layanan yang ditanggung asuransi; memalsukan waktu layanan; memalsukan lokasi layanan; memalsukan pemberi layanan; mengklaim tagihan yang seharusnya dibayar pasien; pelaporan diagnosis dan prosedur yang salah; pelayanan yang berlebihan; korupsi (sogokan); dan peresepan obat yang tidak perlu.

Pertama, mengklaim pelayanan yang tidak pernah diberikan. Dalam investigasi yang dilakukan oleh Piper, skema fraud seperti ini adalah yang paling sering dilakukan di daerah Tennessee. Skema fraud seperti ini berarti pelaku mengajukan klaim kepada lembaga jaminan kesehatan swasta maupun pemerintah atas tindakan yang tidak pernah dilakukan. Bahkan dalam rekam medis pasien juga tidak ada dokumentasi yang mendukung. Kedua, mengklaim layanan yang tidak dapat ditanggung asuransi, sebagai layanan yang ditanggung asuransi. Dalam investigasinya, Piper menemukan sebuah klinik alergi yang memberikan perawatan uji coba yang tidak termasuk dalam perawatan yang ditanggung asuransi. Namun, klinik tersebut kemudian mengisi form dengan detail perawatan lain yang ditanggung asuransi kesehatan. Selain itu, dalam rekan medis pasien-pasien yang dirawat di klinik tersebut, ditemukan bahwa umumnya pasien-pasien mendapat perawatan selama lima hari dalam seminggu (Senin sampai Jumat). Namun, ketika Piper melakukan wawancara pada pasien-pasien tersebut di rumah mereka masing-masing, pasien-pasien tersebut mengaku bahwa mereka hanya diberi injeksi sebanyak dua kali dalam seminggu. Ketiga, memalsukan waktu layanan. Pemberi layanan kesehatan mungkin akan mendapatkan lebih banyak pemasukan dengan melaporkan layanan untuk pasien yang sama yang diberikan dalam dua hari layanan. Masing-masing hari kunjungan pasien, dilaporkan dalam tagihan klaim yang berbeda. Seringkali pelaku mengisi form tagihan klaim dengan pelayanan yang benar-benar diberikan namun dengan tanggal pelaksanaan yang berbeda (tidak sesuai kenyataan).

Keempat, memalsukan lokasi layanan. Beberapa perusahan asuransi umumnya tidak akan mengganti klaim untuk perawatan yang dilakukan sendiri oleh pasien. Contohnya adalah perawatan self-injection pada pasien alergi. Kembali ke kasus di klinik alergi, Piper menemukan bahwa pasien-pasien alergi tersebut mengunjungi klinik hanya satu kali sebulan. Sisanya, petugas klinik akan membawakan mereka banyak syringe berisi alergen dan meminta pasien untuk menyuntikkan sendiri alergen tersebut. Dalam investigasinya, Piper menemukan bahwa klaim yang diajukan oleh klinik alergi tersebut menyebutkan bahwa injeksi alergen dilakukan di klinik alergi, agar perawatan dapat dibayar oleh perusahaan asuransi. Selain itu, Piper juga menemukan seorang dokter yang berpraktek di Amerika yang mengajukan klaim untuk perawatan pasien yang dilakukan di kliniknya, padahal saat itu ia sedang berlibur di luar negeri. Kelima, memalsukan pemberi layanan kesehatan. Dalam investigasinya, Piper menemukan beberapa dokter mengklaim berbagai perawatan yang telah dilakukan olehnya. Kenyataannya, seorang terapis lah yang melakukan perawatan tersebut. Bukan dia, sebenarnya perusahaan asuransi akan tetap membayar perawatan yang dilakukan oleh terapis ini namun memang dengan bayaran yang lebih kecil. Kadang-kadang terapis ini memiliki kemampuan yang kurang memadai namun direkrut karena merupakan kolega dari pemilik klinik. Keenam, mengklaim tagihan yang seharusnya dibayar pasien. Beberapa dokter ditemukan mengajukan tagihan untuk layanan yang seharusnya dibayar sendiri oleh pasien (out of pocket). Kadang terjadi juga dalam klaim yang diajukan mereka mencantumkan layanan palsu tambahan untuk menambah keuntungan. Mereka beralasan bahwa mereka tidak mengambil untung dari perbuatan ini. Hanya berniat untuk membantu pasien yang tidak mampu membayar perawatan. Perbuatan semacam ini dapat merugikan perusahaan asuransi, karena mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak seharusnya.

Ketujuh, pelaporan diagnosis dan prosedur yang salah. Diagnosis yang kurang tepat berhubungan dengan prosedur yang tidak tepat pula. Sebagai contoh, bila ada pasien usia lanjut yang dilaporkan jatuh dari tempat tidur, provider yang tidak jujur akan dengan sengaja akan memberikan diagnosis yang salah bahwa pasien tersebut mengalami trauma kepala. Dengan diagnosis itu, pasien tersebut akan disarankan untuk menjalani pemeriksaan CT scan atau pemeriksaan darah. Beberapa diagnosis juga akan membutuhkan masa rawat inap yang panjang dan berdampak pada bengkaknya biaya perawatan. Kedelapan, pelayanan yang berlebihan. Skema fraud semacam ini berupa tagihan klaim untuk layanan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Kesembilan, korupsi (sogokan). Provider sebenarnya tahu bahwa mereka tidak diperkenankan membayar atau menerima bayaran dari rujukan. Provider dapat terjerumus dalam tindakan korupsi bila membayar atau menerima bayaran dari rujukan untuk layanan yang sebenarnya tidak diperlukan seperti ronsen, MRI, atau obat-obatan. Bentuk sogokan ini kadang-kadang tersamar seperti liburan mewah, diskon untuk fasilitas tertentu, hadiah-hadiah, atau berupa cek yang diselipkan di bawah meja. Kesepuluh, peresepan obat yang tidak perlu. Penyalahgunaan peresepan obat kadang kala didefinisikan sebagai peresepan obat yang disengaja oleh dokter walaupun sebenarnya tidak perlu. Penghilang nyeri adalah obat yang paling sering diresepkan padahal tidak dibutuhkan.

Profesi kesehatan adalah profesi yang dipenuhi oleh kejujuran, etika, dedikasi dan komitmen individu. Namun kadang kala ada juga oknum yang mengkhianati profesi ini. Dengan mengetahui skema fraud ini praktisi kesehatan diharapkan dapat belajar untuk memerangi momok ini, serta berupaya menurunkan pembengkakan biaya perawatan.

Diterjemahkan oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Belum genap 1 bulan BPJS Kesehatan diberlakukan di Indonesia, berita-berita buruk dan keluhan tentang pelaksanaan BPJS sudah marak bermunculan. Dirangkum dari situs Liputan6.com, anggapan-anggapan buruk maupun keluhan atas pelaksanaan BPJS Kesehatan ini datang dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat yang mengeluhkan beberapa layanan yang ternyata tidak ditanggung BPJS; organisasi profesi yang masih mempertanyakan besaran kapitasi; hingga pernyataan mantan menteri kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadhilah Supari, Sp. JP(K), yang mengatakan bahwa sistem penarikan iuran BPJS yang tidak sesuai konstitusi.

Untuk merebut hati pihak-pihak yang merespon negatif terhadap BPJS, pemerintah punya tugas besar. Pemerintah harus dapat membuktikan bahwa program baru ini dapat memberi nilai "plus" dibanding program sebelumnya. Pemerintah harus menjamin mutu layanan kesehatan yang diberikan kepada peserta BPJS. Selain itu, agar layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien dapat lebih bermutu, pemerintah juga punya tugas untuk "memuaskan" provider.

Penelitian yang dilakukan oleh Dalinjong, dkk. (2012)1, menunjukkan bahwa secara umum, peserta maupun bukan peserta jaminan kesehatan merasa puas dengan layanan yang diberikan provider. Namun, adanya peningkatan utilisasi failitas kesehatan oleh peserta jaminan kesehatan menyebabkan tingginya beban kerja provider. Ini berdampak kepada perilaku provider terhadap peserta jaminan kesehatan. Akibatnya, beberapa peserta jaminan kesehatan harus mengalami waktu tunggu yang panjang, kekerasa verbal, tidak diperiksa secara fisik dan diskriminasi dibandingkan pasien kaya ataupun pasien yang bukan peserta jaminan kesehatan. Selain itu, akibat adanya skema jaminan kesehatan nasional ini, pembayaran klaim menjadi tertunda. Ini memberikan pengaruh terhadap operasional fasilitas kesehatan dan juga mempengaruhi perilaku provider. Akibatnya, provider lebih memilih untuk melayani pasien yang dapat membayar tunai segera pasca perawatan. Hasil penelitian Dalinjong, dkk. ini menjadi bukti bahwa baik pasien maupun provider harus sama-sama dipuaskan.

Untuk menjaga mutu layanan kesehatan dalam era BPJS Kesehatan, pemerintah dapat belajar dari beberapa negara di dunia yang sudah lebih dulu mengimpelementasikan skema asuransi kesehatan nasional. Salah satunya adalah Thailand. Untuk menjamin mutu layanan kesehatan dalam skema jaminan kesehatan nasional, Thailand melakukan hal-hal berikut ini2: pendaftaran fasilitas-fasilitas kesehatan; mempromosikan akreditasi rumah sakit; memperkuat sistem finansial; melakukan survei kepuasan; memperkuat sistem audit; dan melakukan manajemen komplain.

Fasilitas-fasilitas kesehatan yang mendaftar menjadi mitra untuk melayani pasien dengan jaminan kesehatan di Thailand harus memenuhi aspek registrasi dan perizinan. Misalnya, rumah sakit (RS) harus mematuhi undang-undang rumah sakit seperti memiliki surat izin atau memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan. Personel yang bekerja di rumah sakit juga harus memiliki izin dan mematuhi standar yang ditetapkan. Pada tahun 2011, sudah terdapat 44 RS swasta dan 167 klinik swasta yang terdaftar bermitra dengan National Health Security Office (NHSO).

Fasilitas-fasilitas kesehatan yang mendaftarkan diri untuk bermitra dengan NHSO akan dinilai kesiapannya untuk memberi pelayanan. Kriteria penilaian mencakup infrastruktur, tenaga kerja, peralatan, obat-obatan, sistem manajemen dan kondisi kelengkapan fasilitas kesehatan. Kemudian, NHSO akan memverifikasi keberlanjutan kontrak dan pemantauan rutin. Semua tahapan ini berlaku bagi semua jenis fasilitas kesehatan mulai dari layanan primer hingga rumah sakit. Baik fasilitas kesehatan milik pemerintah maupun swasta.

Pada tahun 2007, NHSO juga memperkenalkan program "Pay for Quality Performance". Tujuan program ini adalah untuk memberi insentif finansial untuk memotivasi berbagai pihak untuk melakukan peningkatan mutu berkelanjutan. Ada tiga metode yang dilakukan dalam program ini yaitu NHSO membuat indikator penilaian mutu dan kinerja, melakukan penilaian terhadap RS dan membayar RS sesuai dengan nilai yang didapat. Key indicator untuk penilaian kinerja secara umum disusun oleh NHSO pusat. Untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal masng-masing daerah, kantor NHSO cabang akan memilih indikator yang akan dijadikan prioritas di daerahnya sehingga terbentuk indikator regional. Indikator regional ini digunakan untuk menilai kinerja rumah-rumah sakit di regional tersebut. Masing-masing kantor cabang regional ini juga menentukan anggaran untuk sebagai insentif untuk RS berkinerja baik di daerah tersebut. Semakin tinggi nilai yang didapat sebuah RS, makin tinggi pula insentif yang akan didapat. Insentif ini memiliki plafon 20 THB per populasi UHC.

Untuk memantapkan kualitas layanan di RS, NHSO menggalakkan akreditasi RS. Status akreditasi RS (terkareditasi, terakreditasi tingkat 2 dan terakreditasi tingkat 1) merupakan indikator dalam program "Pay for Quality Performance". Status terakreditasi artinya RS sudah memenuhi seluruh standar (standar RS dan profesi) dan menjalankan budaya mutu. Terakreditasi tingkat dua artinya RS sudah memiliki jaminan mutu dan quality improvement berkelanjutan yang fokus kepada proses. Terakreditasi tingkat satu artinya RS memiliki peninjauan mutu untuk mencegah resiko. Dari data NHSO, diketahui bahwa pada tahun 2007, sebanyak 42,9% RS mendapat akreditasi tingkat 1 sedangkan 31,3% RS mendapat status akreditasi dan 20% RS mendapat akreditasi tingkat 2. Pada tahun 2011, komposisi ini berubah. Jumlah RS yang mendapat status terakreditasi menempati posisi tertinggi (63,6%) diikuti RS dengan status akreditasi tingkat 2 (29,9%) dan status akreditasi tingkat 1 (6%).

Untuk mengetahui tingkat kepuasan anggota UHC, NHSO melakukan survei kepuasan. Survei ini dilakukan kepada pasien dan provider. Dari data yang dikumpulkan sejak tahun 2003 sampai 2013, diketahui bahwa kepuasan pasien dan provider mengalami peningkatan selama pelaksanaan UHC ini. Kepuasan pasien berada meningkat dari 83,01 % di tahun 2003 menjadi 95,49% di tahun 2013, sedangkan kepuasan provider meningkat dari 45,6% di tahun 2003 menjadi 67,60% di tahun 2013. Lebih lanjut, dalam survei tersebut pasien menilai bahwa kualitas perawatan dokter lebih meningkat saat adanya program UHC ini. Survei ini dilakukan secara independen oleh ABAC Poll Research Center, Assumption University.

NHSO juga melakukan audit di RS. Pada biro Audit di NHSO, auditornya merupakan auditor independen yang bekerja sama dengan NHSO. Auditor ini bersertifikat dan kualitas auditor ini juga diaudit tiap tahun. Audit yang dilakukan terhadap RS meliputi audit tagihan, audit kelengkapan dan kualitas rekam medik serta audit terhadap kualitas layanan. Audit tagihan meliputi audit coding (ringkasan pasien keluar dan coding yang akurat) dan billing audit. Audit terhadap kualitas layanan meliputi diagnosis dan perawatan yang mengacu pada standar atau pedoman serta sember-sumber utilisasi.

Pelayanan UHC di Thailand belum sempurna. Masih banyak kekurangan yang menimbulkan keluhan dari para pasien. Keluhan-keluhan pasien dapat disampaikan ke Standard and Quality Control Board NHSO di call center 1330. Keluhan yang masuk akan ditindaklanjuti oleh Investigation Committee. Investigasi akan meliputi pasien dan provider. Bila pasien mendapatkan layanan yang tidak masuk akal, mendapat tagihan biaya perawatan melebihi standar atau ditarik bayaran padahal tidak seharusnya membayar maka komite investigasi akan melakukan tindakan mulai dari pemberian saran, pemberian ganti rugi hingga pengembalian biaya sepenuhnya. Bila fasilitas kesehatan tidak dapat memenuhi standar layanan, maka komite investigasi akan melakukan tindakan mulai dari memberikan saran, memberlakukan denda administrasi dan melakukan pelaporan kepada lembaga berwenang.

Di Taiwan3, untuk menjaga mutu layanan kesehatan dalam era jaminan kesehatan nasional, dilakukan berbagai program pemantauan mutu menggunakan teknologi informasi dan pembayaran insentif. Bentuk inovasi teknologi informasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas jaminan kesehatan nasional di Taiwan adalah IC-Card. Kartu yang berukuran sebesar kartu kredit ini dapat menyimpan informasi lengkap pemegangnya. Kartu ini berfungsi sebagai alat komunikasi antara National Health Insurance (NHI) dan provider serta dapat digunakan juga untuk mentransfer rekam medik antar provider (sesuai persetujuan pasien). Sharing informasi klinis ini tentunya dapat membantu menurunkan duplikasi layanan kesehatan dan mencegah pasien-pasien Taiwan melakukan "doctor shopping". Terkait pembayaran insentif, Taiwan menggunakan pendekatan pembayaran berbasis keluaran klinik yang disebut fee-for outcomes (FFO). Sebagai contoh, dokter yang dapat menunjukkan peningkatan keluaran klinis, seperti mengurangi penggunaan trigliserid pada pasien diabetes, akan diganjar dengan honor yang lebih tinggi pada tahun depan.

Besaran kapitas untuk provider memang menjadi isu yang cukup sensitif dalam pelaksanaan BPJS saat ini di Indonesia. Hal yang sama juga muncul di Burkina Faso. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robyn, dkk.4, diketahui bahwa pemberian kapitasi yang rendah, dapat menurunkan motivasi provider untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada peserta jaminan kesehatan. Untuk menghindari hal serupa terjadi, Indonesia dapat juga mengadopsi usulan-usulan Robyn, dkk. yaitu dengan memperbaiki metode pembayaran kepada provider. Pertama, Robyn mengusulkan untuk meningkatkan besaran kapitasi. Besaran kapitasi ini harus menjamin provider menerima sumber daya yang cukup untuk memberi pelayanan komprehensif kepada peserta jaminan kesehatan. Kedua, memperkenalkan metode pemberian insentif langsung kepada provider berdasarkan kuantitas atau kualitas layanan kepada peserta jaminan kesehatan. Ketiga, memperkenalkan metode pemberian bonus kepada fasilitas kesehatan yang dikaitkan dengan keluaran layanan di area cakupan fasilitas kesehatan tersebut.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Sumber:

  1. Dalinjong PA and Laar AS, The national health insurance scheme: perceptions and experiences of health care providers and clients in two districts of Ghana, Health Economics Review 2012, 2:13.
  2. Health service and Quality Assurance oleh Ms. Kanjana Sirigomon yang dipresentasikan dalam workshop CAP UHC Bangkok, 25 – 29 November 2013
  3. Tsung-Mei Cheng, Taiwan's New National Health Insurance Program: Genesis And Experience So Far, Health Affairs, 22, no.3 (2003):61-76
  4. Robyn et al.; Does enrollment status in community-based insurance lead to poorer quality of care? Evidence from Burkina Faso; International Journal for Equity in Health; 2013; 12:31

Prof. Laksono Trisnantoro mencatat bahwa di berbagai belahan dunia telah dibentuk berbagai lembaga  khusus untuk mencegah dan memberantas fraud dalam bidang pelayanan kesehatan.

Lembaga ditingkat jaringan internasional untuk mencegah dan memerangi fraud di sektor kesehatan antara lain adalah Global Health Care Anti-Fraud Network (GHCAN). Misi jaringan ini untuk meningkatkan kemitraan dan komunikasi berbagai lembaga internasional untuk mengurangi dan memberantas fraud di seluruh dunia.

Global Health Care Anti-Fraud Network (GHCAN) memiliki misi yang bertujuan untuk: 1) Meningkatkan kesadaran internasional tentang isu fraud di bidang pelayanan kesehatan. 2) Mengumpulkan dan membagi informasi tentang tren, isu, fakta-fakta dan angka-angka terkait dengan problem fraud. 3) Bekerja bersama untuk meningkatkan standar internasional dalam pencegahan, deteksi, investigasi, dan penuntutan. 4) Mengembangkan program pelatihan besama untuk menyiapkan sumber daya kesehatan yang ahli anti fraud.

Amerika Serikat yang merupakan negara dengan pelayanan kesehatan bertumpu pada sistem asuransi kesehatan pemerintah (Medicare dan Medicaid) dan asuransi kesehatan swasta. Pemerintah mendirikan the National Health Care Anti-Fraud Association (NHCAA) sejak tahun 1985 dan diprakasai oleh beberapa lembaga asuransi kesehatan swasta, pemerintah federal, dan pemerintah negara bagian.

NHCAA merupakan satu-satunya lembaga di Amerika Serikat yang mengkhususkan diri untuk bertempur melawan fraud dalam bidang kesehatan. Misi dari NHCAA adalah untuk melindungi dan melayani masyarakat umum dengan meningkatkan kewaspadaan dan peningkatan kemampuan untuk deteksi, investigasi, penuntutan dan pencegahan fraud pelayanan kesehatan.

Sedangkan Inggris merupakan negara yang pelayanan kesehatannya berdasarkan sistem kesehatan yang bukan asuransi kesehatan. Seluruh penduduk Inggris, kaya dan miskin, mendapat lindungan dari National Health Service (NHS). Di Inggris terdapat lembaga anti fraud yang disebut sebagai the Health Insurance Counter Fraud Group UK (HICFG)

HICFG merupakan lembaga yang digagas oleh industri kesehatan untuk mencegah, dan mendeteksi fraud di dalam pelayanan kesehatan dan industri asuransi kesehatan. Mengapa ada industri asuransi kesehatan? Walaupun Inggris menggunakan sistem NHS ternyata masih banyak masyarakat yang tidak cocok dengan NHS dan bersedia membayar untuk asuransi kesehatan swasta serta memperoleh pelayanan dari sistem ini. Oleh karena itu, keanggotaan HICFG tediri atas berbagai perusahaan asuransi kesehatan dan didukung oleh the Association of British Insurers. Hal menarik ternyata sudah ada partisipasi dari City of London Police dan NHS Counter Fraud.

Pendirian HICFG didedikasikan untuk: 1) Mengembangkan pendekatan berbasis intelijen yang professional untuk meminimalisasi fraud dalam industri asuransi kesehatan swasta; 2) Meningkatkan kemampuan professional di industri asuransi kesehatan untuk mencegah fraud; 3) Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fraud di pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan.

Bagaimana dengan Indonesia?

 

 

Isu Universal Health Coverage (UHC) sebagai bentuk pemenuhan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negara menjadi salah satu topik yang banyak dibahas saat ini. Di Indonesia, Jaminan Kesehatan Nasional ini diimplementasikan dan diselenggarakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai dilaksanakan per 1 Januari 2014.

UHC dilaksanakan oleh banyak negara di belahan dunia dengan berbagai rentang waktu implementasi yang bervariasi. Di negara dengan penghasilan rendah dan menengah, dinamika yang harus dihadapi untuk mengimplementasikan UHC antara lain transisi epidemiologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan biaya kesehatan, dan pengurangan bantuan kesehatan internasional yang disebabkan karena penentuan ulang prioritas.

Respon dari beberapa negara terhadap tantangan ini berpusat pada aspek tenaga kesehatan. Kesesuaian antara kebutuhan layanan kesehatan penduduk dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten, termotivasi sesuai tujuan, terlatih merupakan dasar untuk mempercepat pencapaian UHC.

Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) menjadi salah satu aspek penting pada proses implementasi UHC. Campbell et al. menyampaikan bahwa sebagian dari keberhasilan negara-negara terletak pada fokus kebijakan terhadap tenaga kesehatan untuk memperluas cakupan populasi dan manfaat kesehatan.

  • Brazil
    Sejak ditetapkannya konstitusi pada 1988, Brazil berupaya secara progresif untuk mencapai UHC dengan mendirikan Sistema Único de Saúde (SUS) yaitu sistem pelayanan kesehatan terpadu berbasis pada penyediaan layanan masyarakat dan peningkatan akses untuk populasi yang 'kurang' terlayani.
    Beberapa program yang dilaksanakan Brazil untuk mencapai UHC, antara lain:
    • Pada tahun 1987 (sebelum SUS didirikan), Capacitação em Desenvolvimento de Re¬cursos Humanos diluncurkan untuk membangun kapasitas dalam pelatihan dan pengelolaan SDMK.
    • Pembentukan Programa de Qualificação e Estruturação da Gestão do Trabalho e da Educação no SUS (Proge¬-SUS), sebuah program untuk memperkuat SDMK dan secara umum adalah pengelolaan pelayanan kesehatan.
    • Tahun 2003 membentuk Programa de Incentivo a Mudanças Curriculares nos Cursos de Medicina (PROMED).
    • Tahun 2009 pembentukan Pro¬grama de Educação pelo Trabalho para a Saúde (PET-Saúde), sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan dan kualitas layanan untuk menjembatani kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan SDMK di bidang perawatan primer.

Pelaksanaan kebijakan dan program-program tersebut dalam kurun waktu 1990-2009 telah berhasil meningkatkan jumlah petugas kesehatan untuk perawat sebesar 500% dan dokter sebesar 66%. Antara tahun 2002 dan 2012 jumlah tim kesehatan keluarga menjadi dua kali lipat, dari 15.000 menjadi 30.000. Selain itu pada tahun 2013 akses ke unit kesehatan dasar mencapai 57% dari populasi. Selama periode yang sama angka kematian neonatal menurun dari 26,8 menjadi 9,7 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita 58 menjadi 15,6 per 1.000 kelahiran hidup.

  • Ghana
    Selama periode 1990-2009, pasokan tenaga kesehatan di Ghana meningkat pesat; bidan meningkat sebesar 185%, perawat meningkat 260%, dan dokter meningkat sebesar 1300%. Hal ini terjadi sejak adanya amandemen konstitusi di Ghana pada tahun 1992 untuk menjamin hak atas kesehatan, meningkatkan komitmen politik dan keuangan yang mendorong pasokan tenaga kesehatan, serta beberapa kebijakan yang diberlakukan pada tahun-tahun berikutnya.
    Pencapaian kesetaraan dalam akses dan penggunaan layanan menjadi tantangan penting. Sebagian besar pengeluaran belanja kesehatan nasional yakni sekitar 85% digunakan untuk gaji tenaga kerja kesehatan dan insentif, langkah-langkah yang diambil pada kurun 1990-2009 telah mengurangi gesekan tenaga kerja, meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga pelatihan kesehatan dan meningkatkan jumlah dan distribusi tenaga kesehatan.

  • Meksiko
    Kebijakan dan program yang dijalankan di Meksiko menghasilkan peningkatan tenaga kesehatan yang besar. Hal ini dimulai dengan reformasi sektor kesehatan pada 1995 (kurun waktu 1995-2000) dengan didirikannya lembaga pendidikan untuk pelatihan sumber daya manusia dan meningkatkan jumlah tenaga kesehatan nasional.
    Program perluasan cakupan dimulai tahun 1996 dengan penanganan akses bagi ribuan tenaga kesehatan untuk melayani daerah yang belum terlayani, remunerasi bagi staf diawal program mendapat bantuan dari American Development Bank, namun pada fase selanjutnya dialokasikan dari program.
    Berbagai program juga dicanangkan untuk mencapai UHC, diantaranya pada tahun 2003, dibentuk Sistema de Protección Social en Salud (Sistem Perlindungan Sosial dan Kesehatan) dan Seguro Popular de Salud (Asuransi Kesehatan Popular) dengan hasil yang menggembirakan di semua domain yakni availability, accessbility, acceptibility, dan quality.
    Jumlah perawat dan dokter meningkat selama kurun waktu 1990-2009 dan pada periode yang sama, angka kematian bayi dan kematian balita mengalami penurunan lebih dari setengahnya: 32,6-14,6 per 1.000 kelahiran hidup dan 41-17,8 per 1.000 kelahiran hidup, namun angka kematian ibu berfluktuasi selama periode tersebut tetapi secara keseluruhan berkurang lebih dari 50%.

  • Thailand
    Di Thailand berbagai kebijakan dan program terkait SDMK selama kurun waktu 1990-2009 menjadi tonggak yang memiliki pengaruh nyata pada kesuksesan Thailand. Berbagai kebijakan yang terpengaruh oleh keputusan penting yang dibuat pada tahun 1970-an antara lain; kebijakan tentang penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin, pelayanan kesehatan dasar di tingkat distrik yang dapat dilaksanakan karena adanya kebijakan tenaga kesehatan yang komperehensif di tahun 1995, serta berbagai revisi kebijakan pada tahun 1997 dan 2005.
    Beberapa kebijakan yang diadopsi pada tahun 1994-2009, menekankan pada refleksi dan perbaikan berkelanjutan, peningkatan kualitas: pengembangan dan penguatan konsil profesi, regulasi terhadap kurikulum yang standar dan kualitas lembaga pelatihan, lisensi dan re-lisensi petugas.
    Pada 1991-2009 peningkatan secara menyeluruh untuk perawat (210%) dan dokter (186%) melampaui pertumbuhan penduduk (13%), dan dimensi aksesibilitas lebih meningkat.

Pengalaman di empat negara (Brazil, Ghana, Meksiko, dan Thailand) dalam upaya pencapaian UHC dilakukan melalui penerapan kebijakan dan program yang beragam. Campbell et al., menginformasikan bahwa pengambilan keputusan pada aspek SDMK telah mendukung UHC seperti :

  • Keberhasilan dalam pemberian prioritas yang memadai untuk SDMK tergantung pada kepemimpinan politik dan komitmen multisektoral, perundangan dan regulasi, melalui instrumen pemerintahan yang masuk akal dan konsisten
  • Strategi dan tindakan di setiap dimensi availability (misal: persediaan, produksi), accessbility (misal: spasial, temporal, dimensi keuangan), acceptability (misalnya: gender, sosial budaya), dan quality (misalnya: kompetensi, regulasi) dari SDMK telah membawa perbaikan dalam kualitas pelayanan dan jangkauan yang efektif dan ini telah memberikan hasil pelayanan kesehatan yang lebih baik
  • Keberhasilan yang dicapai oleh empat negara (Brazil, Ghana, Meksiko, Thailand) menggambarkan pencapaian yang dapat direalisasikan melalui kemitraan, baik dari dalam maupun luar sektor kesehatan: lembaga publik dan swasta, pendidikan, tenaga kerja dan keuangan; pemerintah dan mitra pengembangan, pemerintah federal, negara bagian dan distrik; kesehatan pekerja dan konsumen; asosiasi profesional dan tenaga kesehatan

Sumber:

  1. Campbell, James et al. (2013). Human Resources for Health and Universal Health Coverage: Fostering Equity and Effective Coverage. Bull World Health Organ 2013;91:853–863
  2. Pusat Komunikasi Publik. (2012). Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.

Oleh : Lucia Evi Indriarini, SE (Peneliti Divisi Mutu PKMK FK UGM)