Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Dalam acara lintas ilmu dan lintas disiplin, Prof. Dr. dr. Herkuntanto, Sp.F, SH, LL.M (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) menekankan bahwa istilah malpraktek adalah istilah sosiologi bukan istilah hukum. Kekeliruan utama, tidak ada satu pasal pun di dunia ini yang mengatur perbuatan malpraktek. Dan banyak orang mengganggap bahwa informed consent merupakan perjanjian. Hal tersebut SALAH. Informed consent bukanlah dokumen melainkan perikatan yang searah." Ujar Dokter Spesialis Forensik yang mencintai hukum pidana.

Di dalam tindakan medis apabila terjadi kejadian yang tidak dikehendaki maka kita mengenal adanya risiko dan kelalaian. Dan yang bisa dipertanggungjawabkan dan diatur secara hukum adalah kelalaiannya bukan malprakteknya.

Perlukah hukum pidana bagi praktik Kedokteran?

Layakkah seorang dokter dipidana karena clinical judgment (pengambilan keputusan medis)? Pasal 359 KUHP berbunyi "barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun penjara". Bila pasal tersebut di terapkan di kedokteran, terdapat satu kekeliruan yang mendasar.

Penerapan hukum pidana pasal 359 KUHP diterapkan untuk kecelakaan lalu lintas yaitu seorang pengemudi lalai lalu menabrak korban dan meninggal. Artinya seandainya korban tidak ditabrak oleh pengemudi yang lalai maka korban masih sehat. Sedangkan yang dihadapi oleh dokter, korban bukanlah orang yang sehat melainkan orang yang sudah atau menuju ke arah meninggal kemudian dokter mencoba untuk mencegah. Hasilnya bisa berhasil bisa tidak. Bila berhasil mencegah, itu wajar dan bila tidak berhasil mencegah, apakah pidana?. Jadi bila korban dilepas oleh dokter maka akan mortalitas (kematian). Dan hal tersebut dinamakan pre-existing condition (keadaan yang awal). Itu yang harus diperhitungkan," Kata dokter yang mengambil Master of Laws di La Trobe University Australia.

Lalu apa yang akan terjadi bila professional judgment dipidana? Sebagai contoh hakim salah mengambil keputusan yang menyebabkan orang di hukum mati atau pada waktu membubarkan demonstran, seorang polisi melepaskan tembakan peringatan dan pelurunya jatuh mengenai seseorang, apakah akan dipidana pasal 359 KUHP? Bila ya, maka akibatnya ada hak dari seseorang untuk non-self incrimination (tidak untuk memaparkan dirinya untuk dipidana). Maka mungkin polisi akan membiarkan saja demontrans mengamuk dan mati.

Aplikasi culpa dalam profesi selain dokter

Untuk culpa lata di profesi kedokteran, seorang dokter tidak dapat dipersalahkan karena kelalaiannya menghilangkan nyawa kecuali bila ia tidak memeriksa, tidak tahu atau tidak berbuat sebagaimana seorang dokter yang baik sehingga culpa lata menjadi suatu pegangan.
Untuk membuktikan suatu kelalaian :

  1. Tentukan adanya penyimpangan atas tindakan medis
  2. Bila menyimpang, tentukan adanya damage / cedera
  3. Bila ada akibat, tentukan adanya kausalitas.
    Menurut MA tahun 1969 tentang causaliteit menyatakan bahwa dalam mencari hubungan sebab dan akibat harus dipergunakan metode secara inductief. Dan sejawat dari hukum, logika yang digunakan adalah deduktif. Namun klinisi, induktif yaitu pasien datang dengan keluhan lalu diperiksa kemudian diketahui diagnosis. Proses ini yang harus dipatuhi.
  4. Apabila ada kausalitas, tentukan foreseeability (apakah bisa diduga atau tidak)
    Bila sesuatu tidak bisa di duga, tidak pantas untuk dibebankan. Sehingga harus dipertimbangkan oleh hakim. Bila bisa di duga pun, sudah dilakukan pencegahan atau tidak.

Kesimpulannya : mencoba untuk membuka suatu wacana yang mungkin bisa dikembangkan di hukum yang baru yaitu bagaimana penerapan hukum pidana 359 KUHP di dalam suatu clinical judgment.

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

triharnotoOleh : dr. Triharnoto SpPD (Tim Leader Sisiter Hospital RS Panti Rapih Yogyakarta - RSUD Ende NTT)

Kasus hukum dr. Ayu dan kawan-kawan di Manado ternyata berdampak pada program sister hospital di NTT. Beberapa Rumah sakit mitra A berhenti melakukan pengiriman dokter residen senior ke rumah sakit mitra B. Hal ini dikarenakan adanya keraguan RS Mitra A mengenai perlindungan hukum bagi dokter yang bertugas dalam rangka sister hospital. Dokter residen senior menjadi takut bekerja di NTT karena statusnya sebagai residen yang bertugas sementara dan pada akhirnya tidak bersedia ditugaskan. RS mitra A tentu saja juga tidak akan mau menanggung akibatnya.

Keinginan untuk membantu yang sangat kuat dan keinginan untuk bermitra menurunkan angka kematian berubah menjadi ketakutan. Ketakutan ini bisa sangat dimengerti apabila misalnya karena kegagalan dalam menolong pasien ternyata dapat menyebabkan mereka dibui, seperti layaknya pencuri, perampok, pembunuh atau koruptor yang dianggap melakukan tindakan kriminal dan harus dipidanakan.

Disatu sisi, jiwa melayani para dokter-dokter ini tidak terbantahkan, seperti dokter-dokter lain dalam program-program kerja sama sejenis lainnya, yang menempatkan residen senior bertugas di rumah sakit-rumah sakit daerah dan terpencil lainnya. Termasuk dokter-dokter umum yang bekerja di daerah-daerah sulit diseluruh wilayah Indonesia. Tapi apa daya, merekapun menjadi takut seandainya kasus dr. Ayu menimpa mereka. Hal itu bisa saja terjadi dimanapun, kapanpun bahwa dokter bisa gagal dalam menolong pasiennya, sehingga berakibat cacat atau bahkan meninggal. Ketakutan itu tidaklah berlebihan dan manusiawi, sehingga memicu solidaritas dokter di seluruh Indonesia pada kasus dr. Ayu yang dianggap sebagai kriminalisasi terhadap dokter.

Pembaca yang budiman, saya hanyalah seorang dokter yang sangat peduli dengan masalah kesehatan, saya tidak akan membahas kasus hukumnya. Tetapi saya ingin mengajak semua pihak untuk melakukan refleksi secara jujur dengan menggunakan nalar sehat dan hati jernih. Saya percaya semua orang mempunyai nurani. Nurani itu akan berbicara sama, yaitu cinta kasih. Tidak ada satu orang dokterpun dalam melayani pasiennya bertujuan jahat, apalagi ingin membunuh. Dia hanya ingin menolong sesuai keahliannya. Tetapi bisa saja terjadi seorang dokter gagal menolong pasien dan akhirnya pasien meninggal, meskipun telah berjuang keras sekuat tenaga.

Fakta menunjukkan bahwa sebaik-baiknya dan sehebat-hebatnya dokter TIDAK MUNGKIN bisa menjamin 100% keberhasilan yaitu kesembuhan atau nyawa seseorang selamat. Oleh karena itu secara hukum jaminan yang diberikan dokter kepada pasien adalah jaminan upaya pengobatan, bukan jaminan kesembuhan. Jaminan upaya pengobatann ini diberikan oleh dokter dengan menangani pasien sesuai dengan apa yang disebut Standard Operating Procedure (SOP) dan Standar Pelayanan Medik (SPM) yang sudah ditetapkan.

Setiap disiplin ilmu kedokteran mempunyai SOP dan SPM-nya masing-masing. Pada prinsipnya SOP dan SPM ini mengacu pada bukti ilmiah pengetahuan kedokteran, yang sudah dipilih oleh profesi sebagai upaya terbaik dalam menolong pasien. Suatu SOP dan SPM memberi pedoman bagaimana menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya.

Sebagai contoh adalah kasus saya sendiri. Pada bulan Juli 2012 lalu, kornea mata kiri saya mengalami kebocoran akibat luka yang terjadi saat saya berenang disalah satu hotel tempat saya menginap di Ende, saat saya melakukan tugas saya dalam sister hospital dengan RSUD Ende. Selanjutnya luka itu tidak kunjung sembuh, sehingga kornea bocor. Singkat cerita, saya ditolong oleh seorang dokter ahli mata di Jakarta. Kemudian dilakukan operasi emergensi, dan dilanjutkan tranplantasi korena. Hasilnya gagal, kornea donor tidak berfungi dan mata saya tidak bisa melihat. Sebelum dilakukan operasi/transplantasi dijelaskan prosedur penanganan, bahwa dengan diagnosis "perforasi kornea", tidak ada pilihan lain selain transplantasi. Kemungkinan bila berhasil akan bisa melihat lagi, dan bila gagal kornea tidak bisa hidup, ditolak tubuh saya dan tidak akan bisa melihat. Dalam hal ini, perforasi kornea adalah diagnosis, dan transplantasi adalah penanganan. Saya tahu dan percaya bahwa dokter Mata yang menangani saya sudah melakukan penanganan sesuai SOP dan SPM dengan baik, tetapi hasilnya gagal. Sampai sekarang mata kiri saya tidak bisa melihat. Apakah saya akan menuntut?. Jawabnya tidak. Melainkan saya bersyukur. Meski saya tdak bisa melihat lagi, tapi bola mata saya masih utuh. Saya tahu dan merasakan dr. Mata yang menangani saya sudah melakukan yang terbaik, sesuai SOP dan SPM.

Seorang dokter dalam bekerja, pertama dan yang utama mendasarkan suatu prinsip Primum Non Nocere, atau First Do No Harm atau pertama-tama tidak boleh merugikan orang lain (pasien). SOP dan SPM disusun sebagai pegangan yang terperinci bagaimana dokter melaksanakan prinsip tersebut. Sehingga bila seorang dokter sudah melakukan tindakannya sesuai SOP dan SPM, maka secara esensial dia sudah melakukan yang terbaik buat pasiennya. Dan di sinilah seorang dokter tidak bisa dipidanakan bila dokter gagal menolong pasiennya.

Dinegara yang menganut hukum "good samaritan law" dalam keadaan emergensi, seorang dokter yang menolong pasien tidak bisa dipidanakan, karena dalam kategori emergensi maka bila tidak dilakukan pertolongan segera orang tersebut akan meninggal, dan bila dilakukan pertolongan mungkin akan bisa menyelamatkan pasien.

Sebagai penutup, saya berharap kasus ini tidak menyurutkan sejawat dokter untuk melakukan tugas-tugas mulianya melayani pasien, dengan tetap patuh pada SOP dan SPM masing-masing dengan lebih mengutamakan komunikasi yang baik dengan pasiennya. Masyarakat tetap harus lebih kritis tanpa menghilangkan respek terhadap dokter. Para penegak hukum saya harap mau belajar dengan bijak, khusunya Hakim MA yang tidak perlu merasa gengsi, malu, merasa wibawanya akan jatuh untuk meninjau kembali, bila memang ada yang kurang pas, harus jujur memperbaikinya secara adil. Terakhir kepada pemerintah, supaya lebih peduli, lebih adil dalam menjalankan amanat Undang-undang khususnya bidang kesehatan. Saya percaya, bahwa kita semua menginginkan wajah pelayanan kesehatan yang manusiawi. Mari kita sambut era baru pelayanan BPJS yang akan dimulai 1 januari 2014.

Penulis adalah Pemerhati Medical Humanity.
Team leader Sisiter Hospital RS Panti Rapih Yogyakarta - RSUD Ende NTT.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam sedang menempuh pendidikan Spesialis
Konsultan Ginjal Hipertensi di FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
Penulis buku The Doctor Catatan hati Seorang Dokter

 

 

Berkembangnya pemberitaan di media elektronik dan media cetak mengenai kasus dr. Ayu dkk menggelitik Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D untuk menelusur kasus tersebut dari perspektif manajemen rumah sakit. Ketua Magister Manajemen Rumah Sakit FK UGM ini menjelaskan bahwa keputusan dari MA (Mahkamah Agung) tidak mencerminkan apa yang diajarkan di manajemen rumah sakit yaitu harus team work. Dan dalam kasus tersebut, yang terjadi adalah hanya tiga residen yang terkena hukum pidana.

Fakta yang terjadi pada kasus dr. Ayu dkk adalah adanya kegagalan operasi SC yaitu pasien tidak selamat. Dalam konteks manajemen rumah sakit, kegagalan bukan merupakan kesalahan per orang atau kelompok melainkan kesalahan kolektif (tim). Dan residen adalah pihak yang lemah bila dilihat dari sisi hukum yaitu sebagai siswa atau pekerja.

Profesor yang mengajar juga di S2 hukum kesehatan fakultas hukum UGM ini menjelaskan bahwa team work yang ideal dalam rumah sakit pendidikan adalah dokter penanggungjwab (DPJ) Obgyn, DPJ anestesi, residen obgyn, residen anestesi, direksi RS Pendidikan dan Dekanat Fakultas Kedokteran. Dalam kasus dr. Ayu dkk, yang berada di ruang operasi adalah tiga residen obgyn dan penata anestesi. Sedangkan DPJ Obgyn dan DPJ Anestesi tidak ada.

Bila dilihat dari rantai mutu rumah sakit menurut konsep Berwick, kegagalan tim terjadi pada :

  1. Pasien & Masyarakat
    Dari kejadian ini, terjadi adanya kegagalan dalam hubungan pasien dan dokter atau yang biasa disebut miscommunication (keluarga pasien marah yang berujung pada kasus hukum). Selain itu, tidak adanya sanksi administratif dari RS Pendidikan bagi dokter yang gagal membina hubungan (keberadaan DPJ yang tidak ada dalam pelaksanaan operasi melainkan adanya keberadaan penata anestesi)
  2. Sistem Mikro
    RS Dr. Kandou adalah RS Pendidikan yang logikanya selalu ada DPJ dan residen sehingga perlu dipertanyakan dimana tanggungjawab DPJ. Selain itu, dalam peraturan tidak diperbolehkan ada penata anestesi melainkan dokter anestesi.
  3. Konteks Organisasi (Rumah Sakit)
    Tidak jelas dan perlu dipertanyakan mengapa tidak ada SIP, mengapa RS gagal mengadakan dokter spesialis anestesi dalam operasi tersebut, mengapa tidak ada staf RS yang membantu tanda tangan informed consent
  4. Konteks Lingkungan
    Perlu dipertanyakan apakah dinas kesehatan setempat tidak mengawasi mutu pelayanan RS tersebut, dimana SIP Residen, tidak terlihat sistem pemantauan kerja residen oleh FK dan RS, Pihak FK tidak melindungi residen karena residen bagian dari FK (apakah tidak ada penugasan dari FK ke RS Pendidikan dengan rincian kompetensi tertentu)

Sehingga kesimpulannya bahwa pada saat pertanggungjawaban, team work yang ideal menurut teori tidak terpakai oleh hukum yaitu yang terkena pidana hanya tiga orang residen. Kedepannya jangan sampai menjadi pengalaman dimana hanya tiga residen yang dipersalahkan melainkan sistem di rumah sakit, sistem di dinas kesehatan, dan sistem di Fakultas kedokteran harus diperbaiki.

Langkah kedepannya adalah memberikan perlindungan hukum untuk residen dan seluruh tenaga kesehatan. Prof. Laksono menghimbau bagi kolegium dan profesi untuk tidak menarik diri dari kegiatan pelayanan namun bagaimana mencari strategi untuk perlindungan hukum.

Policy Brief Memperkuat perlindungan hukum di RS Jejaring Pendidikan: Sebagai Respon Keputusan MA Terhadap Kasus Dr.A , di Manado

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Anuwat SupachutikulPKMK, Bangkok – Hari terakhir pelaksanaan Exchange and Study Program on "Universal Health Coverage and Hospital Accreditation Program Realization" diisi dengan paparan dan diskusi singkat kesimpulan-kesimpulan hasil workshop. Narasumber pada sesi ini adalah Dr. Suwit Wilbulpolprasert, Dr. Viroj Tangcharoensathien, serta Anuwat Supachutikul, MD. Materi paparan dan diskusi diringkas menjadi satu sesi, karena para narasumber memiliki jadwal kegiatan berbeda di tempat lain.

Dalam paparannya Dr. Suwit Wilbulpolprasert menekankan kembali bahwa pelaksanaan Universal Health Coverage (UHC) tidak semata-mata terkait biaya atau status kaya dan miskin suatu negara. "When we're poor it's time to move and when rich it's time to share. Justru saat terjadi krisis ekonomi di negara kita, kita dapat menghasilkan inovasi yang lebih baik," tegasnya. Dr. Suwit menghimbau kembali bagi negara-negara yang akan atau sedang melaksanakan UHC untuk memperhatikan aspek kesehatan dalam pelaksanaan UHC. "Lihat sistemnya untuk menyediakan layanan yang bermutu bagi masyarakat. Lalu, memikirkan kemudahan akses bagi masyarakat di daerah terpencil. Pikirkan tentang tenaga kesehatan. Uang bisa dicari dari mana saja," tutur penasehat senior Kementrian Kesehatan Masyarakat (MoPH) Thailand ini.

Dr. Suwit juga menekankan kembali mengenai mutu pelayanan kesehatan dalam skema UHC. "Quality is the spirit of health worker. It's the spirit to give good health care to people," tegasnya lagi. Jika hanya memikirkan uang, maka spiritual akan turun. Jika tingkat spiritual turun, maka mutu pelayanan kesehatan juga akan menurun. Jadi dalam UHC ini penting sekali untuk mengutamakan mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien. "Kita harus melakukan segala hal untuk meningkatkan motivasi, moral dan passion tenaga kesehatan dalam memberi layanan kesehatan," demikian Dr. Suwit.

Terkait dengan mutu layanan kesehatan, Anuwat Supachutikul, MD memberikan paparan tentang upaya mengaitkan konsep akreditasi dalam skema UHC. Anuwat menekankan perhatian pada tingkat nasional dan tingkat rumah sakit. "Di tingkat nasional, kita harus melihat standar umum apa yang paling berdampak pada pasien, misalnya patient safety, kemudian lakukan pengembangan standar," terang Anuwat. Dalam pengembangan standar ini, perlu juga diperhatikan mekanisme pemberian insentif bagi pihak-pihak yang sudah melaksanakan standar tersebut. Selain itu perlu juga ditetapkan sebuah sistem untuk menilai efektivitas penggunaan dana pada skema UHC.

Di tingkat rumah sakit, Anuwat menekankan perlunya motivasi kepada staf RS untuk memberi pelayanan yang berkualitas bagi pasien. Tidak mengapa bila RS ingin memberi insentif bagi staf yang telah bekerja keras, namun insentif hendaknya tidak dijadikan penekanan utama dalam memberi pelayanan. Hampir senada dengan paparan Anuwat, Dr. Viroj Tangcharoensathien mengungkapkan tentang upaya mencari keuntungan yang umumnya dilakukan oleh RS swasta. "Tidak selamanya private sector for profit, buruk. Ini tergantung kekuatan pemerintah untuk membuat regulasi," terang Dr. Viroj. Selain itu, perlu juga adanya solidaritas tinggi untuk meminimalisir gap antara orang kaya dan miskin.

Oleh : drg. Puti Aulia Rahma, MPH