Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Telah terbit Keputusan Menteri Kesehatan No 455 Tahun 2013 tentang Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Dalam putusan tersebut menjelaskan bahwa Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES), Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI) merupakan Forum asosiasi fasilitas kesehatan yang akan melakukan negosisasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

Keputusan ini menjadi pembahasan seluruh organisasi profesi di Indonesi karena di dalam proses tersebut, hampir tidak melibatkan organisasi profesi dalam menyusunnya. Sehingga Organisasi profesi mempertanyakan mengapa tidak organisasi profesi yang betul-betul sudah jelas, jelas organisasinya, legalitasnya, alamatnya dari pusat sampai cabang dibandingkan organisasi tersebut yang baru di awal," Ujar Drs. Saleh Rustandi selaku wakil IAI Pusat.

Forum asosiasi fasilitas kesehatan bertugas (1) melakukan negosiasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengenai besaran pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan penyelenggara jaminan kesehatan nasional dan (2) mensosialisasikan hasil kesepakatan besaran pembayaran kepada anggota masing-masing.

Dan Forum ini mempunyai fungsi (1) memberikan masukan dan pertimbangan kepada Menteri Kesehatan tentang besaran pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan dan (2) menyelenggarakan rapat forum sesuai kebutuhan.

Dalam acara Seminar peran sektor farmasi dalam jaminan kesehatan nasional yang diadakan pada 21 Desember 2013, Drs. Bayu Tedja Muliawan, M.Farm, MM, Apt selaku Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mengatakan "permenkes 455 itu menjadi usulan juga dari Prof budi yaitu asosiasi fasilitas kesehatan dalam berdiskusi yang diajak berdiskusi adalah faskes. itu mengajak organisasi profesi. Jadi sudah agak diubah yaitu mengajak organisasi profesi dalam membuat kebijakannya". (NAS)

Keputusan Menteri Kesehatan No 455 Tahun 2013 bisa di Download disini

Kasus dr. Ayu dkk merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia karena hal ini jarang terjadi. Tidak ada satu pun dokter yang dengan sengaja ingin menyelakai pasiennya. Namun Indonesia merupakan negara hukum. Negara juga menjamin adanya prinsip persamaan di muka hukum yang artinya tidak ada satu pun warga Indonesia yang dapat kebal hukum. Namun sebenarnya prinsip equality before the law tidak berlaku mutlak yang artinya prinsip tersebut dapat dibuat pengecualian melalui peraturan perundangan-undangan." Ujar Supriyadi, SH, M.Hum

Dasar Putusan kasasi MA adalah pasal 359 KUHP yang mengandung tiga unsur yaitu barangsiapa, karena kealpaannya, menyebabkan orang lain mati dan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau 1 tahun kurungan. Maksud unsur "barangsiapa" adalah menunjuk pada orang/manusia bukan badan usaha atau korporasi. Sehingga bila yang didakwahkan adalah pasal 359 KUHP maka tidak mungkin bila rumah sakit yang ingin dipidanakan. Untuk melihat unsur "kealpaan" adalah tidak mudah dan pembuktiaannya tidak mungkin dilakukan secara fisik maupun psikis karena menyangkut sikap batin maka dilakukan secara normatif.

Pada kasus dr. Ayu dkk terjadi disparitas (perbedaan putusan) antara Pengadilan Negeri (PN) Manado dan Mahkamah Agung (MA). PN Manado memutus bebas dan MA memutus dipidana. Yang menarik dalam kasus ini adalah penuntut umum tidak menempuh upaya banding karena aturan main di KUHP, putusan bebas tidak bisa dimintakan banding. Melainkan penuntut umum menempuh kasasi langsung ke MA. Sebenarnya putusan bebas tidak bisa dimintakan kasasi (pasal 244 KUHP) tetapi praktek yang berjalan ternyata MA menerima kasasi putusan bebas. Akhirnya, pasal 244 dimintakan judicial review ke MK. Dan pada tanggal 28 Maret 2013 menyatakan putusan bebas bisa dimintakan kasasi.

Menurut Dosen Bagian Hukum Pidana FH UGM ini, upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia yaitu mendorong DPR RI untuk merevisi UU Kesehatan atau UU Praktek Kedokteran untuk memasukkan dua hal meliputi

  1. Ketentuan pasal 359 KUHP direformulasi kembali di dalam UU Praktek Kedokteran atau UU Kesehatan agar kejadian seperti kasus dr. Ayu dkk merupakan tindak pidana khusus. Harapannya agar masuk dalam peraturan perundang-undangan khusus supaya nantinya bisa ditangani oleh orang yang memang ahlinya
  2. Mengenai pengadilannya bisa menggunakan majelis khusus yaitu dengan hakim khusus yang paham tentang medis dan hukum. Sebagai contoh di UU Pemilu, tindak pidana pemilu yang mengadili adalah majelis khusus (hakim khusus yang mengetahui persoalan mengenai pemilu).

Dosen Fakultas Hukum UGM ini tidak sependapat bila dibentuk pengadilan khusus karena biayanya terlalu mahal dan prosesnya tidak mudah. Karena harus ada UU dan untuk membuat UU prosesnya tidak mudah (biaya besar dan waktu lama).

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Penerapan Kartu Jakarta Sehat yang mengakibatkan lonjakan kunjungan RS di ibukota menjadi sesuatu yang menarik. Di satu sisi hal ini menjadi cerminan "keberhasilan" program ini yang membuat tidak ada lagi pihak (baca: orang miskin) yang takut datang berobat karena tingginya pembiayaan kesehatan. Tetapi di sisi lain ini juga masih menjadi gambaran buruknya sistem rujukan berjenjang. Puskesmas dianggap kurang bisa memenuhi sebagian harapan masyarakat sehingga dalam hal ini Puskesmas seakan tidak menjadi bagian penting dalam sistem pelayanan kesehatan di Jakarta. Padahal kondisi puskesmas kecamatan di DKI yang semuanya sudah meraih sertifikasi international dalam manajemen mutunya (ISO 9001:2000 maupun ISO 9001 :2008).

Bila kondisi di ibukota negara dalam penerapan KJS mempunyai masalah seperti ini, maka bagaimana gambaran saat diterapkannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di pedalaman Kalimantan, Papua, Maluku serta berbagai daerah lain yang masuk kategori daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan (DPTK)? Bagaimana kira-kira tools yang tepat dalam meng-upgrade mutu pelayanan kesehatan di tempat-tempat tersebut?

Untuk daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan masalah mutu juga tetap harus dipikirkan walaupun tentu saja agak berbeda pendekatannya. Tools yang dipakai disesuaikan dengan anggaran yang ada walaupun tentu saja input minimal juga harus dipenuhi. Dalam hal ini maka penerapan sistem 5R bisa menjadi alternatif, di samping sistem lain yang tidak terlalu butuh anggaran yang besar seperti sistem berbasis keluhan pelanggan.

Dalam hal 5R maka penulis pernah melihat secara langsung penampilan puskesmas yang menerapkan hal tersebut. Penampilan fisiknya tidak berbeda jauh dengan penampilan puskesmas yang sudah menerapkan Sistem Manajemen Mutu di sekitarnya. Pada tahun 2012, Puskesmas Gamping II serta Puskesmas Berbah di Kabupaten Sleman, provinsi DIY sudah membuktikan bahwa puskesmas yang belum menerapkan SMM pun mampu tampil sejajar dengan puskesmas lain yang sudah menerapkan SMM di sekitarnya.

Tentu saja ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan dalam hal dokumentasi antara dua model puskesmas yang sudah menerapkan SMM dan yang belum. Tetapi dalam hal kenyamanan, keteraturan ruang kerja serta lingkungan secara sekilas tidak banyak bedanya. Dalam hal 5R justru yang dibutuhkan adalah komitmen manajemen puncak dalam hal ini adalah kepala puskesmas.

Sistem 5 R

Dalam bahasa Indonesia 5R ialah Ringkas , Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. Sebenarnya 5R adalah sebuah manajemen yang mengatur dan mengurus terkait kerapian dan keteraturan rumah (housekeeping). Sebuah kaidah yang sederhana yang cukup bagus dari negeri Jepang dalam pengaturan, pemeliharaan sebuah rumah yang dapat juga dipakai untuk tempat lain maupun kantor. Dalam bahasa aslinya kaidah ini berasal dari kata-kata : Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke (yang disingkat 5 S) dengan penjelasan sebagai berikut:

  1. Ringkas (Seiri), yaitu memilah barang berdasarkan kegunaannya apakah masih layak pakai atau tidak. Menyisihkan barang yang sudah tidak layak untuk dibuang maupun disingkirkan. Pada Seiri, terdapat satu tempat untuk semua barang dan setiap barang dianggap mempunyai tempatnya masing-masing;
  2. Rapi (Seiton),Barang akan disusun berdasarkan fungsi. Semua barang harus diberi label untuk memudahkan identifikasi. Seiton juga mengharuskan barang yang dipinjam harus dikembalikan pada tempat semula;
  3. Resik / Bersih (Seiso), Pada kegiatan ini prinsipnya adalah kebersihan harus dijaga. Untuk menjaga kebersihan ini ada 3 tahap yaitu tahap pertama dimana kebersihan akan dilakukan secara menyeluruh. Pada tahap keduanya tahap pemeliharaan yaitu harian yang dikerjakan kurang lebih 5 menit dalam sehari. Tahap ketiga adalah berkala seperti mingguan (Jumat atau Minggu Bersih) atau bulanan. Pada Seiso terlihat bahwa kebersihan tempat kerja bukan hanya tangung jawab seorang petugas Cleaning Service saja. Tetapi tanggung jawab semua petugas termasuk manajemen puncak;
  4. Rawat (Seiketsu), yaitu memperbaiki dari segi visual dan juga adanya standarisasi ;
  5. Rajin (Shitsuke) yaitu pembentukan kebiasaan petugas yang berdisiplin dan taat pada ketentuan yang telah disepakati.

Beberapa negara yang mengadop kaidah ini cukup sukses dalam penerapannya, seperti di Malaysia dan Philippine. Belajar dari negara Malaysia, sistem 5 S itu menjadi standar mutu tersendiri. Di sana 5S diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu berurutan menjadi Sisih, Susun, Sapu, Seragamkan, dan Senatiasa amalkan. Di sana semua instansi kesehatan sudah mengamalkan 5 R ini bahkan pada klinik desa di tengah perkebunan sawit sekalipun maupun di pedalaman negara bagian Sabah. 5 R membuat kantor yang dari luar terlihat sederhana atau bahkan bangunan lama tetapi didalamnya justru sangat teratur, bersih, rapi dan yang jelas akan memuaskan pelanggan.

Selain menjadi bagian dari mutu tersendiri, ternyata 5R juga diperlombakan baik di tingkat negeri /negara bagian maupun tingkat Negara. Sehingga dengan adanya kompetisi tersebut akan memacu semua fasilitas kesehatan baik klinik kesehatan, rumah sakit dan kantor dinas kesehatan untuk berbenah dan mengikuti lomba dan dengan sendirinya proses 5R di instansi tersebut juga akan diusahakan untuk diterapkan.

Efeknya sungguh sangat luar biasa. Di negara tetangga semua fasilitas kesehatan di berbagai tingkatan mempunyai penampilan yang sangat standar : bersih, indah dan rapi. Sehingga tidak heran juga bahwa banyak pasien di daerah perbatasan kita lari mencari pengobatan ke negeri tetangga karena bagi sebagian pasien situasi faskes yang demikian akan menjadi sugesti tersendiri bagi kesembuhannya.

Sebaliknya di negara kita sendiri walaupun beberapa waktu yang lalu jargon 5 R banyak terlihat di fasilitas kesehatan namun entah mengapa hal ini sekarang ini seakan menjadi kata-kata biasa yang cenderung kehilangan makna. Di sisi lain banyak yang menganggap mutu layanan hanya dapat diraih dengan sertifikasi dan akreditasi. Jangankan di DPTK, upaya menjadikan world class health care juga masih banyak terkendala di RS di kota-kota besar.

Mudah dan Murah

5R adalah pekerjaan yang "ketok mata" - istilah dalam bahasa Jawa yang secara leksikal berarti "kelihatan oleh mata" - yang menggambarkan hal atau pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilakukan karena tidak ada kesulitan yang berarti. Semua tergambar dengan jelas. Sehingga sangatlah mudah untuk dilakukan. 5R juga relatif tidak memakan biaya / murah. Padahal banyak sistem penerapan mutu di lingkungan pelayanan kesehatan yang rata-rata berbiaya mahal seperti sertifikasi internasional dan akreditasi sejatinya tetap membutuhkan 5 R dalam implementasinya. Masalahnya masyarakat kita masih cenderung menghargai sesuatu yangmahal dan bergengsi. Sehingga 5R yang sesungguhnya relatif murah dan mudah penerapannya, menjadi "tidak laku".

Di samping itu mindset lama bahwa, bahwa fasilitas standar milik pemerintah dianggap sudah cukup untuk tampil seadanya dengan WC nya yang bau, ruangan yang kurang terawat serta halaman yang masih penuh dengan sampah. Kerapian, kebersihan dan kenyamanan seringkali masih ditafsirkan bahwa kondisi itu hanya menjadi hak pasien yang menikmati fasilitas mahal saja (poor quality for poor people). Dalam hal iniseringkali disebabkankurangnya komitmen petugas sendiri. Komitmen untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Dalam perjalanan menuju era JamKesNas maka mindset yang kurang pas seharusnya pelan-pelan harus dikikis. Saat JKN diterapkan maka keluhan pelanggan bisa jadi akan meningkat sebagai konsekuensi naiknya jumlah kunjungan secara drastis. Penerapan 5R setidaknya akan mengurangi keluhan pelanggan di sisi yang selalu dilihat pasien saat pertama kali datang ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain seperti kebersihan dan kerapian. Menurut hemat penulis sudah saatnya perlu dilakukan percepatan rekayasa mutu fasilitas kesehatan khususnya di DTPK. 5R bisa menjadi salah satu alternatifnya.

Penulis : Tri Astuti Sugiyatmi (Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Peneliti di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, FK UGM)

Dasar Putusan kasasi MA terkait kasus dr. Ayu dkk adalah pasal 359 KUHP. Hasil keputusan kasus dr. Ayu berbunyi bahwa dr. Ayu dkk dihukum selama sepuluh bulan dikarenakan dua hal yaitu dr. Ayu dkk tidak melakukan pemeriksaan jantung dan rontgen paru-paru sebelum operasi. Dan tidak memberikan informasi yang memadai bahwa operasi tersebut bisa berbahaya sampai merenggut nyawa," Ujar dr. Nurdadi Saleh, SpOG yang mengikuti kasus dr. Ayu dkk dari tahun 2011.

Pemeriksaan jantung pra operatif pada keadaan emergency bukan merupakan SOP dan jelas bahwa hal itu bukan standar pada pemeriksaan. Selain itu, tidak boleh ibu hamil di rontgen walaupun menggunakan timah hitam karena akan ada pantulan sinar rontgen yang bila mengenai sel gonad atau sel seksual dari bayi maka dikemudian hari akan menjadi kanker.

Ketua Persatuan Obgyn Indonesia (POGI) ini juga menjelaskan bahwa kejadian yang sebenarnya terjadi adalah sebelum operasi, pasien mengalami gawat janin. Janin tersebut memberikan sinyal bahwa janin tidak sehat lagi yaitu keluarnya feses di dalam rahim atau bahasa medisnya disebut mekonium. Kejadian tersebut pertanda bahwa adanya hipoksi (kekurangan oksigen) karena adanya emboli. Sehingga terjadinya emboli bukan karena operasinya melainkan sudah terjadinya emboli sebelum operasi.

Supriyadi, SH, M.Hum menyatakan bahwa upaya hukum masih bisa di tempuh oleh dr. Ayu dkk yaitu peninjauan kembali (PK) supaya ada kemungkinan keputusan kasasi yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung bisa dianulir. Dan peninjauan kembali telah dilakukan oleh organisasi profesi Obgyn (POGI). POGI merasa keberatan dengan keputusan kasasi dengan empat alasan yaitu

  1. Putusan bebas murni (Vrijspraak)
    Bila sudah dinyatakan bebas murni maka tidak bisa dilakukan kasasi.
  2. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran mengatakan tidak ada kesalahan prosedur dan pelanggaran profesi
  3. Saksi ahli yang dalam hal ini adalah dr. Nurdadi Saleh, SpOG mengatakan bahwa seluruh dokter obgyn akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh dr. Ayu dkk yaitu melakukan seksio
  4. Sebab kematian pasien adalah terdapatnya udara di bilik kanan jantung yang berjumlah setengah liter sampai satu liter.

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH