Menganalisis Indikator Mutu Rumah Sakit – Bagian 2
Pendahuluan
Pada kesempatan yang lalu, penulis pernah membagikan ide mengenai penyusunan indikator mutu rumah sakit dan penyajian indikator mutu rumah sakit . Walaupun keduanya sudah cukup untuk karya sehari-hari, tidak ada salahnya bila para manajer dan pemimpin sistem mikro di rumah sakit menambahkan analisis secara statistika terhadap pengukuran indikator mutu tersebut.
Analisis ini diharapkan menjadi insight apakah intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki nilai indikator mutu sudah adekuat. Analisis ini juga akan merangsang para pemimpin sistem mikro di rumah sakit beserta tim untuk terbiasa melakukan penelitian. Tim yang terbiasa melakukan penelitian akan mudah mengembangkan diri karena senantiasa menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apakah usaha ini sudah cukup signifikan?"
Pada tulisan bagian kedua ini, penulis mengajak pembaca untuk menyimak salah satu contoh analisis data sebelum dan setelah intervensi pada indikator mutu rumah sakit dengan tipe data ordinal. Indikator yang dipakai dalam mengilustrasikan contoh analisis data ini adalah: kepuasan pasien instalasi gawat darurat.
Ilustrasi Kasus
Rumah Sakit "Puri Sejahtera" menetapkan salah satu indikator mutu instalasi gawat darurat (IGD) adalah "kepuasan pasien instalasi gawat darurat". Rumah sakit ini membuat kuesioner singkat terkait tingkat kepuasan pasien IGD dengan skala 1-9. Skala satu artinya sangat tidak puas sementara angka 9 artinya sangat puas. Kuesioner ini diberikan pada akhir perawatan di IGD. Hasil pengukurannya disajikan dalam Tabel 1. asd
No. Sampel |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
Tingkat Kepuasan |
4 |
5 |
7 |
2 |
3 |
9 |
3 |
4 |
3 |
5 |
Tabel 1 Hasil Pengukuran Sebelum Intervensi
Tim instalasi gawat darurat mendiskusikanhasil pengukuran ini. Setelah menggunakan berbagai alat bantu untuk mengidentifikasi faktor-faktor kontributor dan faktor penyebab, tim menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan yang belum mencapai target tersebut adalah karena para pasien di IGD tersebut menunggu terlalu lama untuk diperiksa dokter. Dengan hanya satu dokter yang melayani 12 tempat tidur, seorang pasien dapat menunggu lebih dari 30 menit sampai diperiksa oleh dokter.
Untuk itulah tim kemudian mendiskusikan dengan kepala bidang pelayanan untuk menambah jumlah dokter jaga IGD dan menerapkan sistem triase baru. Dengan kedua intervensi ini, diharapkan waktu tunggu pasien berkurang dan kepuasan pasien kembali meningkat. Hasil pengukuran satu bulan setelah intervensi disajikan dalam Tabel 2.
No. Sampel |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
Tingkat Kepuasan (1-9) |
8 |
6 |
9 |
7 |
8 |
8 |
6 |
5 |
9 |
3 |
Tabel 2 Hasil Pengukuran Satu Bulan setelah Intervensi
Analisis Statistik
Berbeda dengan statistik parametrik yang dibahas dalam tulisan bagian pertama mengenai analisis indikator, data indikator mutu ini memiliki tipe data ordinal. Data ordinal termasuk ke dalam tipe data kategorial, memiliki penjenjangan, namun jarak antara jenjang satu dan berikutnya tidak dapat diasumsikan sama. Artinya, seorang yang memilih tingkat kepuasan 8 belum tentu dua kali lebih puas daripada orang lain yang memilih tingkat kepuasaan 4.
Untuk menguji perbedaan antara kedua kelompok berdata ordinal ini digunakan uji statistik non parametrik. Nama uji yang sesuai adalah Mann-Whitney. Dalam statistik parametrik, uji ini setara dengan t-test yang kita pakai dalam ilustrasi pada tulisan bagian pertama yang lalu.
Sebelum melakukan uji beda, mari kita menetapkan hipotesis 0 (H0) dan hipotesis alternatif. Prinsipnya, uji normalitas membandingkan data yang akan diuji dengan data distribusi normal. Pada uji beda, kita akan membandingkan nilai p dengan nilai suatu konstanta. Pada tingkat kepercayaan 95%, kita akan membandingkan nilai p dengan angka 0,05. Apabila nilai p>0,05 maka hipotesis nol (H0) diterima. Sebaliknya, apabila nilai p<0,05 maka hipotesis nol (H0) ditolak dan otomatis hipotesis alternatif (Ha) yang diterima. Hipotesis ditetapkan seperti yang disajikan dalam Tabel 3
Hipotesis 0 (H0) |
Tidak ada perbedaan antara data sebelum intervensi dan setelah intervensi. |
Hipotesis Alternatif (Ha) |
Ada perbedaan antara data sebelum intervensi dan setelah intervensi. |
Tabel 3 Hipotesis dalam uji beda.
Jalankan uji non parametrik 2 sampel independen. Setelah melengkapi kotak dialog, maka akan muncul hasil seperti yang disajikan dalam Tabel 4.
Test Statisticsb |
|
|
Tingkat Kepuasan |
Mann-Whitney U |
20.000 |
Wilcoxon W |
75.000 |
Z |
-2.289 |
Asymp. Sig. (2-tailed) |
.022 |
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] |
.023a |
Tabel 4 Hasil uji Mann-Whitney.
Perhatikan angka yang dicetak tebal (0,022). Nilai p tersebut <0,05 sehingga hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Hal tersebut berarti ada beda secara signifikan pada kedua kelompok. Dengan kata lain, data setelah intervensi berbeda secara signifikan dengan data sebelum intervensi.
Interpretasi
Proses analisis yang dijelaskan di atas merupakan salah satu contoh penerapan statistika dalam pengelolaan rumah sakit. Meskipun demikian, karena pengelolaan rumah sakit bersandar pada sumber-sumber ilmiah tertentu, maka interpretasi atas apa yang telah diterapkan oleh statistika tidak boleh dilakukan secara serampangan. Sebelum melakukan interpretasi, perlu ditanyakan: apakah peningkatan kepuasan pasien IGD ini akibat intervensi yang dilakukan? Analisis statistik yang tadi dilakukan tidak sepenuhnya bisa menjelaskan walau secara logis bisa diterima.
Seperti juga dalam ilmu kedokteran, pengelola rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung digiring untuk menggunakan bukti-bukti ilmiah yang sahih untuk mengelola rumah sakit, pun mutunya. Ilustrasi di atas cukup menarik karena di Indonesia, IGD disalahartikan oleh sebagian masyarakat sebagai pelayanan yang "ekspres" dibandingkan pelayanan rawat jalan. Instalasi rawat jalan (IRJ) di hampir semua rumah sakit selalu memiliki kursi tunggu jauh lebih banyak daripada di IGD. Hal ini membuat IRJ identik dengan menunggu.
Pada kenyataannya, pelayanan di IGD tidaklah selalu cepat karena digunakan suatu prioritisasi berbasis kebutuhan pasien yang disebut sebagai triase. Pasien yang lebih gawat dan/atau darurat akan didahulukan, sehingga pasien yang sebenarnya bisa berobat ke rawat jalan tetap harus menunggu. Di sinilah banyak sumber bukti mengenai implementasi triase yang dapat digunakan sebagai acuan tim mutu di IGD untuk memperbaiki mutu.
Kembali kepada ilustrasi kasus di atas, peningkatan kepuasan pasien sangat mungkin akibat intervensi. Akal sehat pasti mengatakan demikian. Namun bila menggunakan bukti-bukti ilmiah untuk menelaah masalah dan menyusun intervensi, bisa jadi kesimpulan akhir interpretasi tidak sepenuhnya demikian. Misalnya, intervensi memang meningkatkan kepuasan pasien, namun bukan akibat waktu tunggu yang semakin singkat namun akibat IGD yang lebih teratur pasca implementasi sistem triase baru.
Penutup
Analisis statistik seperti yang diuraikan dalam tulisan ini belum jamak diterapkan dalam pengelolaan mutu di rumah sakit. Bila diterapkan pun, seringkali didapatkan kekeliruan dalam pemilihan uji statistik sehingga hasilnya tidak sahih digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh manajemen rumah sakit. Diharapkan setelah membaca tulisan ini, tim pengelola mutu di rumah sakit dapat secara rutin menerapkan statistika lebih dalam untuk menganalisis indikator mutu rumah sakit.
Penulis
Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H.. Penulis adalah dokter, pernah memimpin instalasi gawat darurat rumah sakit swasta di Yogyakarta. Saat ini penulis merupakan peserta pendidikan dokter spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
Artikel Lainnya
- Evolusi Cakupan Kesehatan Universal, Tren yang sedang Berlangsung, dan Tantangan Masa Depan: Tinjauan Kebijakan Konseptual
- Hambatan dalam Akses Layanan Kesehatan bagi Perempuan Penyandang Disabilitas
- Meningkatkan Layanan Primer dan Preventif dengan Praktik dan Edukasi Interprofesional
- Memfokuskan Kembali Layanan Suportif Kanker: Kerangka Kerja untuk Layanan Kanker Terintegrasi
- Biaya Ketiadaan Tindakan terhadap Ketidakaktifan Fisik terhadap Sistem Layanan Kesehatan