Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Asma adalah masalah kesehatan global yang serius dengan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan (Global Initiative for Asthma - GINA, 2012) karena dapat meningkatkan biaya pada saat perawatan kesehatan. Asma perlu mendapat perhatian karena penyakit asma dapat menurunkan produktivitas dan meningkatkan beban ekonomi. Pengetahuan tentang penyakit asma perlu diketahui masyarakat umum, sehingga ikut membantu dalam meminimalisasi faktor pencetus asma bagi penderitanya. Orang yang mengidap asma seringkali tidak bisa menjalani hidup normal dan produktif. Kemajuan terbaru dalam ilmu kesehatan memungkinkan seseorang untuk mengendalikan gejala-gejala yang dapat melumpuhkannya, karena hampir semua orang yang mengidap asma bisa menjalani hidup normal. Hal ini hanya dimungkinkan jika penderita mendapatkan perawatan yang teratur dan juga melakukan perawatan mandiri dalam mengatasi asma tersebut. Terapi pencegahan yang teratur adalah kunci untuk mengontrol asma.

Keberhasilan mengontrol penyakit asma butuh komitmen dari petugas kesehatan dan pasien itu sendiri untuk membuat rencana manajemen asma berkelanjutan yang meliputi diagnosa dan memilih obat yang tepat, mengidentifikasi dan menghindari pemicu serangan asma, mengedukasi pasien mengenai manajemen asma diri sendiri, serta memantau dan memodifikasi perawatan asma. Bila upaya yang dilakukan untuk menghindari faktor pencetus asma berhasil, maka gangguan asma pada penderita bisa dikendalikan. Kriteria klinis asma yang terkontrol, terlihat bila penderita bebas gejala asma, aktivitas sehari-harinya tidak terganggu asma, tidak lagi mengalami gangguan ketika tidur, tidak lagi menggunakan obat pelega lagi dan hasil pemeriksaan faal parunya normal.

Pengetahuan dan sikap penderita tentang perawatan asma rata-rata masih rendah. Hal ini ditandai dengan: penderita kurang memahami tentang penyakit asma, pengertian, faktor yang mempengaruhi timbulnya asma, hal-hal yang harus dilakukan untuk perawatan penyakit asma. Kurangnya kesadaran pada penderita untuk melakukan pola hidup sehat, olahraga, menjaga kebersihan lingkungan rumah sehingga banyak debu, tidak ada ventilasi dan kecenderungan untuk menutupi penyakitnya.

Dalam mengendalikan Asma sebagian besar pasien menggunakan obat pencegahan; yang mana mayoritas tidak terkontrol penggunaannya. Hanya sekitar 3,2% dari pasien melakukan pemantauan diri rutin di rumah pada aliran ekspirasi puncak dan 38% dari pasien melaporkan bahwa meskipun mereka memiliki peak flow meter, mereka tidak menggunakannya secara teratur. Untuk obat pencegahan sebanyak 55,7% dari pasien asma menggunakan inhaler dengan benar sedangkan 44,3% lainnya diperlukan pendidikan karena teknik inhalasi masih dirasa buruk.

Dalam sebuah penelitian yang ditemukan oleh Elena Gurkova et all (2015) dengan membedakan antara kontrol asma pada pasien dewasa yang dikontrol selama 6 bulan dan 12 bulan. Hasilnya menunjukkan perbedaan yang signifikan yakni ada tingkat signifikan lebih tinggi dari kontrol asma pada pasien setelah 12 bulan dikontrol dibandingkan dengan orang-orang dalam 6 bulan masa tes. Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kontrol asma dan kualitas hidup pada orang dewasa dengan asma, penelitian yang ada berfokus pada evaluasi pembangunan satu tahun kontrol asma dan dua pendekatan yang saling melengkapi untuk menilai kualitas hidup menggunakan health-related quality of life (HRQOL) dan subjective well-being (SWB). Kontrol asma hanya menyumbang 13% dari varians dalam SWB dan 64% di HRQOL, Hal ini menunjukkan bahwa dampak asma lebih besar pada komponen fungsi fisik HRQOL (gejala dan keterbatasan aktivitas) dari pada komponen mental atau emosional HRQOL (National Heart Lung dan Blood Institute, 2007) atau domain SWB. Dalam penetian yang ditemukan oleh Correira de Sousa et al. (2013) juga ditemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara kontrol asma dan kualitas hidup dari pasien asma yang dirawat di praktek umum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol asma, pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup yang terkait kesehatan. Faktor-faktor seperti harapan pasien yang rendah terhadap pengobatan, pentingnya gejala dan kurangnya kesadaran kontrol diidentifikasi sebagai penentu terkait pasien pada kontrol asma. Oleh karena itu, adanya kebutuhan untuk meningkatkan harapan pasien dengan meningkatkan kesadaran kualitas hidup yang dapat dicapai. Dari data yang ada dapat dilihat bahwa selama 12 bulan ada perubahan signifikan dalam domain fisik kualitas hidup (persepsi gejala dan tingkat aktivitas fisik). Perubahan dalam domain emosional kualitas hidup dan kepuasan hidup secara keseluruhan tidak signifikan. Temuan ini menekankan peran pemantauan rutin pada pasien yang dikontrol asma. Hal ini dapat menyebabkan partisipasi yang lebih aktif dari pasien dan meningkatkan harapan hidup mereka daripada hanya hasil terapi.

Oleh: Andriani Yulianti, MPH
Sumber: Gurkova E., et al. Relationship Between Asthma Control, Health-Related Quality Of Life And Subjective Well-Being In Czech Adults With Asthma. Cent Eur J Nurs Midw 2015;6(3):274–282 Doi: 10.15452/CEJNM.2015.06.0016
http://periodika.osu.cz/

(Sebuah Alat Ukur Optimalisasi Pelaksanaan Audit Keselamatan Pasien dan Metode Evaluasi Sistem Audit)

Apa yang secara umum dan selama ini kita pahami sebagai faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan mutu pelayanan kesehatan serta tingkat keselamatan pasien hanya berkisar pada tata kelola/manajemen penyedia layanan kesehatan, kompetensi tenaga medis, fasilitas, peralatan medis dan kemutakhiran teknologi medis. Hal tersebut menjadi wajar jika terdapat faktor di luar pemahaman umum tersebut belum mendapat perhatian yang semestinya di lingkungan medis Indonesia. Adapun faktor yang dimaksud adalah audit keselamatan pasien.

Audit keselamatan pasien, terlepas dari urgensi fungsinya secara teoritik memang belum tergolong dalam jenis isu atau diskursus yang cukup populer serta belum ditanggapi secara memadai dalam dunia medis di Indonesia. Penyebab ketidakpopuleran tersebut adalah perhatian khalayak umum yang cenderung hanya tertuju pada isu-isu dan persoalan medis konvensional, juga disebabkan oleh karaguan dan pesimisme banyak pihak akan keseriusan pelaksanaannya serta potensi outcome yang dapat secara konkrit dihasilkan. Model pelaksanaan audit yang bersifat internal serta jangkauan publikasi hasil audit yang terbatas bagi kalangan sendiri (internal rumah sakit), berikut minimnya hasil-hasil nyata yang dapat dirasakan secara langsung dalam konteks perbaikan mutu pelayanan serta kemajuan sistem prevensi medical error, kerap mengundang kecurigaan tentang pelaksanaan audit yang hanya bersifat formalitas dan seadanya. Meskipun hal ini tentu saja tidak berlaku universal, namun dapat dikatakan bahwa sebagian besar rumah sakit di Indonesia memang belum mampu menunjukkan performa pelayanan yang prima.

Berbagai indikasi atau kecurigaan di atas tentu belum cukup dijadikan pijakan untuk menarik suatu kesimpulan apalagi menilai baik-buruknya pelaksanaan audit rumah sakit di Indonesia. Diperlukan setidaknya beberapa tahapan pengujian yang sistematis dan terukur serta dilandaskan pada metodologi berikut instrumen (alat uji) yang jelas. Dengan kata lain, diperlukan satu rangkaian penelitian yang mencakup keseluruhan aspek dalam pelaksanaan audit untuk menarik kesimpulan sekaligus memberikan masukan atau rekomendasi evaluasi sistem audit, dan terpenting dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Walaupun demikian, di samping penelitian pendekatan komparatif antara praktik pelaksanaan audit dengan apa yang secara teoritik ditetapkan sebagai model atau pola audit yang ideal dapat dilakukan sebagai bentuk tahapan awal untuk setidaknya mendapat gambaran berupa satu kesimpulan sementara (hipotesis).

Cara kerja pendekatan komparatif misalnya dapat dilakukan dengan menyusun daftar pertanyaan-pertanyaan perivikatif yang berkaitan dengan sifat dan prinsip-prinsip dasar pelaksanaan audit yang ideal secara teoritik. Cara ini bertujuan untuk mendeteksi tingkat kesesuaian antara pelaksanaan audit dengan ketetapan prinsip-prinsip teoritik sebuah audit yang ideal. Adapaun prinsip-prinsip dasar ideal yang perlu diketahui sebagai sifat sebuah pelaksanaan audit yang baik meliputi independensi, objektivitas, verifikasi ketersediaan sistem konsultasi mengenai resiko kerugian pasien, dan terpenting audit yang baik harus mampu mendorong kesinambungan peningkatan peluang keselamatan pasien. Sementara, list pertanyaan dapat mencakup objektivitas tim auditor, independensi tim auditor, sejauh mana hasil audit yang berupa outcomes ditindaklanjuti dan dikonversi menjadi kebijakan atau agenda evaluasi, hingga pada pertanyaan yang berkaitan dengan tindakan nyata yang dilakukan pihak manajemen/decission maker paska audit. Selanjutnya jawaban-jawaban yang diperoleh dari list pertanyaan yang diajukan tersebut dikomparasikan dengan standar ideal teoritik yang ditetapkan sebelumnya, untuk selanjutnya diolah sebagai bahan penarikan hipotesis. Cara ini cukup valid untuk sekedar melihat kecenderungan keseuaian das sein dan das sollen.

Sebelum lebih jauh masuk pada ulasan tentang pengujian audit yang berbasis pada penelitian. Beberapa hal yang penting untuk diketahui bersama guna menciptakan persepsi yang sebangun tentang audit internal adalah kriteria-kriteria apa saja yang harus dipenuhi sebagai pra syarat guna menciptakan suatu sistem audit internal yang baik. Kriteria pertama adalah persepsi yang tepat dalam memaknai istilah "internal" pada konteks audit keselamatan pasien. Merujuk pada jurnal yang dipublikasikan BMC Health Services Research (2013), istilah internal tidak serta merta dapat dimaknai sebagai pelaksanaan audit yang laik disangsikan tingkat objektivitas penilaiannya karena dilakukan oleh rekan sejawat pada satu departemen atau instansi yang sama. BMC Health Service Research juga menetapkan definisi istilah "internal" sebagai beberapa orang/staf yang berasal dari departemen atau istansi yang sama yang telah dibekali kompetensi/kecakapan di bidang audit dari pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi bersangkutan, tetapi memiliki ruang kerja yang spesifik (kerja auditing) pada badan tersendiri yang bersifat independen sekaligus memiliki otoritas tertentu. Artinya sebuah proses audit internal dikatakan memenuhi salah satu syarat, apabila model pengaturan kelembagaan yang berkaitan dengan kerja audit menyerupai definisi sebagaimana diuraikan oleh BMC Health Service Research tersebut. Sementara pra-syarat lain yang harus dipenuhi terkait pelaksanaan audit internal adalah pelibatan healthcare professional pada tahap evaluasi paska audit. Sudahkah kriteria dan pra-syarat tersebut dipenuhi dalam pelaksanaan audit internal keselamatan pasien di Indonesia?

Lebih lanjut, melalui artikel ini penulis berinisiatif memperkenalkan satu model pendekatan penelitian yang di samping berfungsi sebagai alat uji dan sarana penilaian/penarikan kesimpualan, juga secara bersamaan dapat dimanfaatkan/difungsikan sebagai instrumen evaluasi suatu sistem audit. Inisiatif ini berangkat dari kondisi serta berbagai persoalan umum yang masih kerap terjadi dalam dunia kesehatan di Indonesia. Sebagaimana telah disinggung di awal artikel ini, audit internal dalam konteks keselamatan pasien kerap direspon dan ditanggapi secara apriori oleh banyak kalangan. Penyebabnya bisa sangat beragam, salah satu yang paling penting adalah berkaitan dengan sistem dan mekanisme pelaksanaan audit internal yang urung menimbulkan keyakinan publik terkait objektivitas dan urgensi hasilnya. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa ragam situasi dan persoalan-persoalan tersebut masih berada pada wilayah yang sangat kabur. Oleh karena itu, upaya penulis memperkenalkan suatu model penelitian dan instrumet evaluasi ini dapat dikatakan sebagai usaha untuk menarik persolan tersebut pada ruang diskursus akademik yang lebih terang.

Mixed Method Evaluation

Mixed method Evaluation dilakukan dengan menggabungkan instrumen pengukuran kualitatif dan kuantitatif untuk mengukur beberapa hasil audit pada tingkat yang berbeda, yakni: pengaruh pada tingkat keselamatan pasien, perubahan/peningkatan kinerja tenaga profesional/tenaga medis, dan pengaruh terhadap kelembagaan/organisasi. Peneliti menggunakan instrumen secara luas diterapkan dan diteliti secara mendalam untuk mengukur efek samping, pengalaman pasien, kerja tim, dan budaya keselamatan pasien di antara penyedia layanan kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sistem audit untuk memantau dan meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit. Desain penelitian ini menentukan waktu untuk tahapan pengambilan data selama 18 bulan yang dibagi menjadi 2 tahapan waktu, tahapan pertama yakni proses pengumpulan data selama 3 bulan sebelum dilakukan audit hingga audit dimulai sedangkan tahapan kedua dilakukan proses pengumpulan data setelah proses audit selesai hingga 15 bulan berikutnya. Data primer yang dikumpulkan berupa efek samping dan komplikasi. Data sekunder berupa pengalaman pasien, rasio standar kematian, pasien rawat inap, budaya keselamatan pasien, dan iklim tim. Data-data lain yang dikumpulkan berupa ulasan rekam medis, kuesioner, data administrasi rumah sakit, dan pengamatan untuk menilai hasil.

Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek dari audit pada hasil keselamatan pasien dan kinerja penyedia layanan kesehatan. Pertanyaan utama penelitian adalah :

  1. Apakah audit berpengaruh pada peningkatan keselamatan pasien dan peningkatan profesionalitas pelayanan rumah sakit?
  2. Apa saja yang mendasari proses dan mekanisme efek keselamatan pasien pada saat audit dilakukan?

Metode dan instrumen yang digunakan dalam sistem audit

sistem audit

metode

Instrumen

pengukuran

Mempelajari kebijakan dan kualitas indikator

Alat penilaian diri secara online berdasarkan standar praktek hukum, nasional, dan profesional

wawancara semi-terstruktur dari penyedia layanan kesehatan

Bentuk standar wawancara

pengamatan sistematis (diskusi misalnya dokter komplikasi dan handover pasien)

Bentuk standar observasi

Kuesioner tentang tim fungsi penyedia layanan kesehatan

Inventarisasi Iklim Kerja Tim

Umpan balik dari hasil audit oleh presentasi dan laporan

Ulasan catatan pasien untuk mengukur efek samping

Record Standarisasi bentuk review berdasarkan protokol awalnya dikembangkan oleh Harvard Praktik Kedokteran Studi

Penilaian kualitas catatan pasien medis dan keperawatan

Bentuk Standarisasi penilaian

Penilaian dari manajemen dokumen (misalnya protokol dan prosedur) dan ditetapkan dalam pedoman kepatuhan

Bentuk penilaian Standarisasi sebagian didasarkan pada instrumen SETUJU

Tindak lanjut: meninjau kembali 15 bulan setelah audit untuk memantau perbaikan

Penilaian dan penilaian kualitas konsultasi dan kolaborasi dengan mitra internal dan eksternal utama

Appraisal Standarisasi dan penilaian kuesioner

 Metode dan instrumen untuk mengukur efek dari audit

variabel hasil

Sumber data

Frekuensi (jenis) pengukuran dan ukuran sampel per pengukuran

Saat pengukuran

Unit analisis

hasil utama

Efek samping dan komplikasi

Retrospektif rekam pasien berdasarkan protokol awalnya dikembangkan oleh Harvard Praktik Kedokteran Studi

2 (sebelum dan sesudah pengukuran) n = 400

- 3 bulan; + 15 bulan

Sabar

hasil sekunder

pengalaman pasien

Berkualitas indeks konsumen kuesioner berdasarkan Penilaian konsumen dari Penyedia Kesehatan dan Sistem

3 (sebelum dan sesudah pengukuran) n = 800

- 3 bulan; + 9 bulan dan 15 bulan

Sabar

Angka kematian Standarisasi

Data administrasi rutin rumah sakit

Terus (time series) n = 233 *

Bulanan

Sabar

rumah sakit berkepanjangan tinggal

Rutin Data administrasi rumah sakit

Terus (time series) n = 3268 **

Bulanan

Sabar

iklim tim

Inventarisasi tim Iklim [ 18 ]

2 (sebelum dan sesudah pengukuran) n = 132 ***

- 3 bulan; + 15 bulan

Profesional atau tim

budaya keselamatan pasien

Survei rumah sakit pada Pasien Budaya Keselamatan

2 (sebelum dan sesudah pengukuran) n = 132 ***

- 3 bulan; + 15 bulan

Profesional

 

Keselamatan berjalan arounds

2 (sebelum dan sesudah pengukuran) n = 8

- 3 bulan; + 15 bulan

Departemen

* Jumlah pasien di delapan departemen yang meninggal pada tahun 2012.
** Jumlah penderita lama tinggal pada tahun 2012 di delapan departemen.
*** Rata jumlah penyedia layanan kesehatan klinis per departemen.

Oleh: Eva Tirta Bayu Hasri, S.Kep, MPH.
Sumber: Hanskamp-Sebregts et al. Effects of auditing patient safety in hospital care: design of a mixed-method evaluation . BMC Health Services Research 2013, 13:226

http://www.biomedcentral.com/1472-6963/13/226 

Penyakit Asma di Amerika Serikat masih dianggap sebagai persoalan serius. Hal itu tak lain karena masih tingginya jumlah penderita asma dan pengaruhnya yang signifikan terhadap kerentanan kualitas hidup 15-17 Juta penderita. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi kondisi tersebut mencapai 12,7 miliar per tahun. Pada kelompok minoritas atau pada populasi yang mendiami daerah-daerah pinggiran yang marginal ditemukan banyak insiden, morbilitas hingga kematian yang disebabkan oleh Asma. East Harlem adalah salah satu contoh komunitas dengan angka rawat inap (hospitalization) tertinggi akibat Asma dengan angka kematian mencapai 10 kali di atas rata-rata nasional. Fakta tersebut membuat berbagai pihak melakukan upaya-upaya dengan pendekatan keilmuan untuk mengurangi jumlah penderita asma akut dan di sisi lain mengurangi penggunaan layanan kesehatan untuk menekan biaya.

Berdasarkan hasil studi sebelumnya, faktor risiko penyebab meningkatnya jumlah rawat inap penyakit asma meliputi faktor demografi, klinis, penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai resep serta kondisi lingkungan sosial yang tidak mendukung. Diantara beberapa faktor risiko tersebut, yang paling konsisten dilaporkan dan muncul adalah faktor jenis kelamin, taraf sosial ekonomi yang rendah, dan konsumsi obat yang tidak sesuai resep. Di samping beberapa faktor utama tersebut, juga terdapat faktor lain seperti sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan kendala bahasa (komunikasi) dalam proses konsultasi, jika seluruh faktor tersebut dibiarkan dapat berpotensi tinggi pada penurunan kualitas kehidupan penderita asma. Singkatnya, dari berbagai pola kejadian yang berlangsung, dapat diamati bahwa terdapat korelasi antara faktor lingkungan, demografi, situasi pemanfaatan layanan kesehatan dan kualitas hidup penderita asma.

Dalam rangka memastikan hal tersebut dan menyajikannya dalam bentuk sebuah data ilmiah yang dapat dipertangunggjawabkan serta sebagai upaya menganalisis berbagai faktor utama yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita asma. Maka, sebuah penelitian di Amerika dilakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data tentang pasien dari berbagai sudut pandang. Hal menarik dan sekaligus menjadi poin penting dalam penelitian ini tidak lain adalah fokusnya pada identifikasi berbagai faktor yang sekiranya dapat dimodifikasi dan pada akhirnya di intervensi untuk diubah melalui kebijakan atau cara-cara lain yang mungkin, guna mengurangi risiko penurunan kualitas hidup penderita asma. Mengingat situasi (faktor risiko) yang sama juga dapat dijumpai pada masyarakat Indonesia, tentu hal ini penting untuk diketahui yaitu bagaimana proses dan hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan untuk kasus penderita asma yang terdapat di Indonesia. Berikut uraian singkat tentang penelitian tersebut.

Substansi dari penelitian ini untuk menemukan faktor-faktor, hubungan antar faktor, serta kaitannya dengan resource utilization yang sekiranya dapat berpotensi pada penurunan kualitas hidup penderita asma. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan melakukan wawancara kepada 198 orang dewasa yang dirawat dengan diagnosa asma di beberapa rumah sakit di daerah pinggiran dalam periode satu tahun. Kegiatan wawancara dibagi menjadi beberapa tahapan, tahap pertama dalam wawancara dikumpulkan informasi detail mengenai kondisi sosiodemografi, sejarah asma penderita/responden (dapat berupa rekam medis), akses pada perawatan, jenis obat-obatan asma yang digunakan, dan aerolallergens. Tahap Kedua adalah mengumpulkan berbagai data yang tersedia pada resource utilization (unit emergensi rumah sakit dan unit admisi rumah sakit untuk asma), kemudian informasi tentang kaitan asma dan kualitas hidup penderita direkam selam 6 bulan sejak proses perawatan. Berbagai temuan data dalam beberapa tahapan wawancara tersebut diolah dengan pendekatan analisis univariat dan multivariat dalam statistik, untuk mengetahui/memprediksi pemanfaatan sumber daya (resource utilization), kondisi sosiodemografi dan kaitannya dengan kondisi kualitas hidup penderita asma.

Lokasi penelitian bertempat di Mount Sinai Hospital, total waktu penelitian yang dibutuhkan 1 (satu) tahun dengan kriteria responden berumur 18 tahun, dapat berbahasa Ingrris atau Spanyol, berkompeten memberikan persetujuan atau informasi tertentu, dan terdiagnosa mengidap asma sebagai alasan utama mendapatkan perawatan di Rumah Sakit bersangkutan. Sebelum seluruh proses collecting data dilakukan, seluruh staf peneliti dilatih teknik survei dan wawancara dalam bahasa Inggris atau Spanyol. Selama wawancara awal, pasien diminta menjawab serangkaian pertanyaan demografis yang meliputi jenis kelamin, usia, ras/etnis, tingkat pendidikan, status pekerjaan, bahasa utama yang digunakan, asuransi, dan pendapatan rumah tangga. Sementara untuk kondisi komorbiditas dilaporkan oleh pasien apakah ada atau tidak ada, seperti sinusitis kronis, penyakit gastroesophageal reflux, gagal jantung kongestif, bronkitis kronis, diabetes, depresi, dan kecemasan atau serangan panik.

Mengenai informasi tentang akses pada perawatan dievaluasi dengan pertanyaan tentang kesulitan mendapatkan seorang dokter atau perawat melalui telepon, membuat janji mendesak, atau mendapatkan obat untuk asma. Selain itu, pasien ditanya apakah mereka memiliki seorang dokter pribadi yang bertanggung jawab untuk mengelola asma mereka dan melaporkannya.

Dalam hal mendeteksi tingkat keparahan asma, penelitian ini menggunakan beberapa indikator, termasuk diantaranya penggunaan kronis kortikosteroid sistemik, frekuensi kunjungan rawat jalan atau rawat inap selama 12 bulan, dan riwayat intubasi endotrakeal. Penelitian tersebut juga mengumpulkan informasi mengenai regimen asma pasien, kualitas perawatan asma, kepatuhan yang dilaporkan, dan perilaku manajemen diri. Kemudian untuk mnegtahui salah satu bagian terpenting dalam penelitian, yakni pengaruh asma yang diderita dengan kualitas hidup, penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuisioner dengan nama Mini Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ) yang dikembangkan oleh Juniper, dkk. Instrumen berupa kuisioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang terbagi menjadi 4 domain; keterbatasan aktivitas (activity limitations), gejala, kondisi/fungsi emosi, serta pengaruh lingkungan. Skor untuk setiap domain, serta skor komposit total, dapat berkisar dari 1 sampai 7, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik.

Seteleh diolah menggunakan aplikasi statistik, data-data yang dikumpulkan selama masa penelitian berlangsung berhasil membawa pada beberapa kesimpulan sesuai dengan pengelompokan domain analisis yang dibuat. Untuk kasus penelitian ini (yang diselenggarakan dari tahun 2001 hingga 2002), menghasilkan beberapa kesimpulan. Beberapa diantaranya, pada 6 bulan pertama penelitian, terdapat 49 % dari jumlah keseluruhan responden yang kembali mendapat perawatan di rumah sakit, baik rawat inap maupun rawat jalan. 49 % responden tersebut sebagian besar berasal dari golongan masyarakat dengan taraf ekonomi rendah. Kesimpulan ini relevan dengan fakta mengenai area epidemologi asma, yakni di daerah-daerah pinggiran, tempat dimana masyarakat berpendapatan rendah bermukim. Faktor pengaruh lain yang masuk dalam kesimpulan adalah bahwa sebagian besar dari 49 persen tersebut adalah tipikal pasien yang memiliki ketergantungan yang kuat pada obat-obat asma seperti oral steroid yang mereka gunakan dengan intensitas yang sangat tinggi.

Kecenderungan lain yang ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa jumlah penderita asma berjenis kelamin perempuan lebih sedikit jumlah kunjungan rawat inap maupun rawat jalannya. Perbandingan dengan pasien berjenis klamin laki-laki adalah 45% dan 63%). Sementara hasil penelitian yang berkaitan dengan jumlah penggunaaan pelayanan/fasilitas kesehatan (resorce utilization), menunjukkan bahwa perbedaan bahasa, ras, warna kulit dan jenis klamin tidak berkaitan dengan tinggi rendahnya jumlah penggunaan resource utilization. Kesimpulan penting lain yang dapat dicatat dari hasil penelitian tersebut yakni relasi antara tingkat keparahan dan jumlah kunjungan (baik rawat jalan maupun rawat inap) dengan kondisi alergi pasien. sebagain besar dari jumlah pasien dengan asma akut dan sering melakukan kunjangan perawatan adalah pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap hewan tertentu, terutama kecoak.

Beberapa kesimpulan tersebut menunjukan pada dua kecenderungan utama, yakni terdapat hubungan yang kuat antara tingginya jumlah pengidap asma akut dengan rendahnya taraf ekonomi dan buruknya kondisi lingkungan. Hasil penelitian ini menggambarkan kondisi umum maupun realitas yang melingkupi kasus asma yang terjadi di Amerika Serikat. Beberapa konisi dan kecendrungan dalam kesimpulan yang menjadi hasil penelitian dapat digolongkan sama dengan apa yang dapat kita jumpai di Indonesia, dan tentu terdapat pula perbedaan yang signifikan. Kecendrungan kesamaan kondisi yang dimaksud misalnya bahwa di Indonesia juga terdapat realitas masyarakat dengan taraf ekonomi dan kondisi lingkungan yang buruk. Tak hanya itu, kendala perbedaan bahasa dan komunikasi dalam interaksi antara tenaga medis dan pasien sering menjadi kendala sebuah proses diagnosa atau pengobatan yang optimal juga terjadi di Indonesia. Dalam serangkaian realitas dan konteks tersebutlah menjadi cukup relevan untuk meletakkan dan mengkaji proses hingga hasil penelitian tersebut diatas sebagai referensi yang memperkaya wawasan, sudut pandang dan wacana keilmuan dalam konteks penanggulangan penyakit asma.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep, MPH
Sumber: Wisnivesky, et al. Predictors of asthma-related health care utilization and quality of life among inner-city patients with asthma. 2005. Allergy ClinImmunol Vol. 116, Number 3.

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalahan prosedur medis pada masyarakat khususnya perempuan, dr Aria Wibawa, ahli kebidanan dan kandungan dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta mencoba menjelaskan tentang: tumor, mioma, dan kista. Dimulai dengan istilah tumor yang arti sebenarnya adalah benjolan. Dalam tubuh, benjolan dibedakan dalam kategori:

  1. Benjolan normal (fisiologis) contohnya suatu kehamilan.
  2. Benjolan tidak normal.

Maka kata tumor secara umum (termasuk oleh dokter dan orang awam) diartikan sebagai: benjolan yang tidak normal. Tumor bisa berada di mana saja di organ/ jaringan tubuh. Tumor dapat dibedakan dari sifat jaringannya dalam kategori: padat, cair (yang ini sering juga disebut kista) serta campuran padat dan cair. Tumor juga dibedakan dari sifat dan kemampuannya merusak/menyebar dalam kategori antara lain jinak, 0 ganas (yang ini sering juga disebut kanker) dan borderline (antara jinak dan ganas).

Salah satu jenis tumor padat adalah mioma (di masyarakat dikenal dengan sebutan miom). Mioma adalah tumor padat yg berasal dari jaringan ikat. Nama lainnya adalah fibroid. Mioma atau fibroid paling sering lokasinya adalah di rahim (uterus), hanya sebagian kecil yang lokasinya di indung telur (ovarium). Mioma adalah tumor dengan kategori jinak (bukan kanker). Namun demikian, ada sebagian kecil dari mioma yang dapat berubah sifat menjadi tumor ganas (sangat sedikit: kurang dari 0.5%). Apabila seorang perempuan, mengidap mioma, maka tidak harus (selalu) dilakukan tindakan operatif atau pengangkatan. Pengangkatan tergantung dari beberapa hal seperti: ukuran, lokasi, jumlah dan apakah menimbulkan komplikasi (keluhan) atau tidak.

Kista artinya suatu benjolan yg berisi cairan yang bisa berada di mana saja di organ atau jaringan tubuh. Sementara yang dimaksud dan yang paling sering dibicarakan pada perempuan adalah kista yang lokasinya di ovarium (indung telur), maka disebut kista ovarium. Secara garis besar kista ovarium dibagi menjadi kategori normal dan tidak normal. Kista yang tidak normal dibagi menjadi kategori jinak, ganas dan borderline. adalah jaringan normal ovarium yang membentuk gambaran kista. Cirinya hilang timbul sesuai siklus haid Kista normal. Contohnya kista folikel, kista lutein atau kista rubrum. Tidak perlu dilakukan tindakan apapun untuk penanganan kista ini. Bahkan bisa dikatakan jika tidak ada malah tidak normal.

Kemudian, ada beberapa jenis, umumnya menetap dan dapat membesar. Bahkan, sebagian dapat menimbulkan kista abnormal jinak keluhan dan gangguan fungsi reproduksi. Contohnya kista endometriosis (kista coklat), kista dermoid dan sebagainya. Walaupun tidak mengancam jiwa, kista jenis ini terkadang memerlukan tindakan medis atau pengangkatan tergantung berbagai situasi klinis pasien. Sementara, kista abnormal ganas (kanker) adalah pertumbuhan jaringan yg tidak terkendali yang berpotensi invasi, merusak dan menyebar ke organ lain. Kista jenis ini mengancam jiwa, jadi harus sesegera mungkin dilakukan prosedur tindakan medis yg sesuai (biasanya tergantung stadium). Semakin dini stadiumnya, angka kesembuhan semakin baik. Jadi jika seorang perempuan dikatakan mengidap kista, jangan kuatir dulu apalagi langsung mengambil tindakan operatif, pastikan dulu jenisnya. Perempuan tidak perlu kuatir dengan Jenis kista normal namun HARUS kuatir terhadap tumor atau kista yang bersifat ganas (kanker) atau tumor jinak yang berpotensi mengganggu fungsi reproduksi.

Lalu, bagaimana caranya agar perempuan dapat menghindari atau mendeteksi (mengetahui) tumor ganas (kanker) organ reproduksi? Berikut beberapa tipsnya:

  1. Terapkan pola hidup yang sehat.
    Hindari pemakaian narkoba suntik serta pola kehidupan seksual yang abnormal karena sangat berisiko meningkatkan penyakit dan kanker organ reproduksi.
  2. Berhati-hati memilih pasangan hidup atau pasangan seksual.
    Sebagian kasus (cukup besar persentasenya) HIV, kerusakan fungsi reproduksi dan kanker organ reproduksi bukan disebabkan pasien yang bermasalah pola hidupnya, namun disebabkan pasangan seksualnya yang bermasalah karena mempunyai pola kehidupan seksual abnormal atau gaya hidup abnormal. Bahkan jika hal tersebut terjadi di masa lalu. Ironisnya, terkadang saat pasien sudah menderita penyakit, pasangannya (yang menyebabkan) tersebut sudah tidak dapat mendampingi lagi karena bercerai atau meninggal lebih dahulu.
  3. Secara rutin memeriksakan diri ke dokter yang kompeten, walaupun tidak ada keluhan. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah paps smear dan ultrasonografi (USG) agar transvaginal bisa lebih detail setidaknya setahun sekali.
  4. Perhatikan pola siklus haid.
    Perubahan pola siklus haid, perdarahan di luar siklus haid dan keluarnya cairan abnormal dari kemaluan merupakan salah satu tanda kanker dari rahim.
  5. Perhatikan bentuk/ kontur badan terutama daerah sekitar perut. Kanker ovarium pada stadium dini sering kali tanpa gejala. Adanya benjolan abnormal atau perut yang membesar harus diwaspadai sebagai salah satu gejala kanker ovarium.
  6. Jika telah terdeteksi adanya suatu tumor atau kanker, carilah informasi sebanyak mungkin (second opinion) atau pengobatan pada sumber yang kompeten dan dapat dipercaya. Pengobatan alternatif yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya hanya akan membuang waktu, biaya dan dapat membuat kondisi lebih parah sehubungan dengan kemampuan sel kanker yang progresif invasi atau menyebar ke organ lain.

Semoga bermanfaat, senangnya berbagi...

Oleh: dr. Aria Wibawa