Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Layanan kesehatan bermutu sering didefinisikan sebagai layanan yang diberikan sesuai kebutuhan pasien, pada waktu dan dengan cara yang tepat. Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan mutu layanan kesehatan dengan 6 atribut yaitu keselamatan, berpusat pada pasien, ketepatan waktu, efektif, efisien, dan seimbang. Aspek-aspek layanan bermutu ini diterjemahkan lebih detil oleh pasien dan provider yang menerima dan menyediakan layanan kemoterapi. Bagaimana mereka memaknai mutu dalam layanan kanker?

Bagi pasien dan provider, layanan kanker disebut bermutu bila mengandung komponen informasi yang dibutuhkan, dukungan psikososial, tanggungjawab layanan, dan koordinasi layanan. Provider juga menyebutkan pentingnya keseimbangan dalam layanan kanker dan pertimbangan upah. Informasi ini didapatkan dari studi literatur yang dilakukan Hess dan Pol terhadap 15 artikel antara Januari 2009-Mei 2013 yang memenuhi kriteria dan mewakili perspektif pelayanan kemoterapi dari total 4.934 pasien kanker, provider, pemberi layanan kesehatan, dan fasilitator pendidikan.

Studi dilatarbelakangi olehsemakin tingginya kebutuhan terapi kanker bermutu tinggi di Amerika Serikat. Data dari American Cancer Society menunjukkan lebih dari 1,6 juta orang baru terdiagnosis kanker pada 2013. Sumber yang sama juga memperkirakan terdapat 14 juta penderita kanker yang bertahan hidup pada 2012. Meski tingkat kematian akibat kanker menurun 20% sejak 1991, jumlah penduduk Amerika Serikat yang terdiagnosis kanker semakin meningkat. Seringkali mutu layanan kesehatan didefinisikan keliru. Keseragaman pemahaman mengenai komponen yang menyebabkan mutu juga masih minim.

Menurut pasien kanker, sebuah layanan kemoterapi dikatakan bermutu bila mengandung aspek informasi, komunikasi, koordinasi perawatan, perawatan yang tepat waktu, kejelasan penanggung jawab perawatan, perawatan yang sesuai kebutuhan individu, dan dukungan sistem psikososial. Bila perawatan kanker minim informasi, kurang komunikasi, kurang perhatian selama perawaan, dan perawatan terpecah-pecah tanpa koordinasi, pasien berpendapat pelayanan semacam ini kurang bermutu.

Keterangan komponen mutu terapi kanker menurut pasien dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1. Komponen dan Konteks Mutu Terapi Kanker Menurut Pasien

Komponen Mutu

Konteks

Informasi

Definisi: Membantu pasien dan keluarga untuk mencari website yang berreputasi baik; navigator untuk membantu pasien berpartisipasi dalam pembuatan keputusan; pengetahuan cara mengelola efek samping; tim perawatan membantu pasien memahami diagnosis; informasi tertulis tentang apa yang diharapkan selama perawatan, efek samping, dan apa yang harus dilakukan saat di rumah; mengetahui siapa yang dapat ditanyai bila ada pertanyaan.

Hambatan: Pasien dibanjiri dengan informasi yang kompleks dan saling bertentangan; edukasi pasien diberikan saat keputusan medis telah dibuat; kurang kesadaran mengenai apa yang akan terjadi, prosedur tidak dijelaskan; tidak memahami hasil tes; informasi yang kontradiksi; tidak mengetahui siapa yang harus dihubungi di luar jam kerja.

Komunikasi

Definisi: Tingkat komunikasi yang tinggi dihubungkan dengan tingginya tingkat mutu layanan.

Hambatan: Informasi yang tidak akurat/ kontradiksi dari interaksi dengan provider; kemampuan memahami instruksi/ informasi yang diberikan pada saat diagnosis dan pembuatan keputusan perawatan.

Koordinasi Perawatan

Definisi: Menemukan pendekatan “one stop shopping” untuk perawatan kanker; meningkatkan peran provider perawatan primer selama perawatan; semua provider bekerja sebagai tim.

Hambatan: Kurang kerja tim antar provider; disorganisasi antara provider; kurangnya sumber tunggal dalam memberi informasi riwayat perawatan, tes, dan tagihan; pelayanan primer tidak memahami kanker, hanya para sepsialis yang paham.

Ketepatan Waktu Perawatan

Definisi: Pasien mendapat diagnosis yang lebih cepat dan lebih puas terhadap pelayanan; ketepatan waktu dalam hal ini sangat tergantung preferensi pasien bukan semata waktu pelayanan yang lebih pendek.

Hambatan: Permasalahan dengan sistem perjanjia atau waktu tunggu memicu lewatnya masa perjajian; membutuhkan waktu lama untuk menjangkau provider bila ada kondisi gawat darurat; penundaan pada proses diagnosis meningkatkan stess pada pasien; waktu tunggu yang lama juga menambah stress pasien.

Tanggung Jawab Perawatan

Partisipasi dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan tingginya kepuasan; membutuhkan kejelasan mengenai pihak yang bertanggungjawab untuk tiap bagian perawatan; pasien tidak ingin ditinggalkan dengan tanggung jawab untuk memastikan bahwa semuanya berjalan lancar.

Personalisasi Perawatan

Perasaan dirawat sebagai manusia dari pada hanya sebagai pasien; pendekatan perawatan “whole person”; provider dan staf yang mengenal nama pasien; tingginya tingkat perawatan oleh provider berkaitan dengan keinginan untuk merekomendasikan provider.

Dukungan Psikososial

Kebutuhan untuk didukung teman sebaya dan psikososial profesional; kebutuhan dukungan emosional dari provider layanan kesehatan; pelayanan diharapkan diperkenalkan lebih awal dalam rencana perawatan; dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.

Kurang Perhatian terhadap Perawatan

Provider tidak memberi perhatian cukup kepada perawatan individu; pasien memiliki waktu yang sangat terbatas dengan provider; kurang perhatian selama masa rawat inap dan kurangnya rasa hormat berdampak pada pemulihan.

Berbeda pasien, menurut provider, mereka dapat memberi pelayanan yang bermutu bila terdapat komponen sebagai berikut akuntabilitas metriks, tim multidisiplin, hubungan dengan kolegium, penjadwalan ulang/ sistem medis elektronik, akses yang adil untuk populasi desa/ pendapatan rendah, program dukungan psikososial pasien, dan dukungan reimbursemen untuk perawatan yang berpusat pada pasien. Komponen yang dianggap provider menyulitkan pemberian pelayanan bermutu kepada pasien adalah kurang kejelasan penanggungjawab perawatan, kurang koordinasi perawatan, beban kerja provider, ketepatan waktu perawatan, edukasi pasien/ informasi yang dibutuhkan, akses pasien terhadap perawatan, kebijakan reimbursement, dan kurangnya dukungan psikososial untuk pasien.

Keterangan komponen mutu terapi kanker menurut provider dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2. Komponen dan Konteks Mutu Terapi Kanker Menurut Provider

Komponen Mutu

Konteks

Akses terhadap Perawatan

Hambatan: Ras, etnik, sosial ekonomi, dan perbedaan demografis; kebutuhan anak-anak dan orang dewasa; pendapatan rendah dan tidak terjamin asuransi dalam mengakses pelayanan; asuransi tidak memadai.

Rekomendasi: Penggunaan telemedicine untuk perawatan daerah pedesaan; peningkatan kaitan antara pusat kanker dan jejaring keselamatan rumah sakit.

Kebijakan Reimbursemen

Hambatan: Tidak ada penghargaan untuk pelayanan yang memberikan informasi atau perawatan pendukung; reimbursemen mengecilkan perawatan yang berpusat pada pasien.

Rekomendasi: Insentif finansial dalam reimbursemen yang dapat mendorong pelayanan berpusat pasien.

Kurang Dukungan Layanan Psikososial untuk Pasien

Hambatan: Pasien mengalami ketakutan, kecemasan, depresi, dan tertekan; kurangnya penilaian sistematis atau perhatian terhadap isu psikososial.

Rekomendasi: Meningkatkan mutu layanan dengan merekrut lebih banyak pekerja sosial dalam bidang kanker dan mengedukasi mereka dalam perawatan kanker; penggunaan navigator pasien untuk menyediakan dukungan.

Akuntabilitas Perawatan/ Metriks Perawatan

Kurangnya kejelasan siapa yang akan memandu perawatan pasien sebelum dan setelah terapi kanker; perawatan kanker yang terintegrasi akan membantu mendukung akuntabilitas; mendorong adanya pengukuran kinerja.

Koordinasi Perawatan

Kurangnya koordinasi sebelum dan setelah periode perawatan; perawatan multidisiplin dilakukan terlambat yaitu setelah perawatan dimulai; tidak ada provider yang jelas pada saat kedatangan pasien di onkologi; kesulitan berkomunikasi dengan provider yang tidak berada di lokasi.

Beban Kerja Provider

Jumlah staf yang tidak memadai memicu perubahan, pengurangan, atau penundaan dalam perawatan pasien dan mempengaruhi keselamatan; penggantian tenaga dokter oleh perawat berdampak pada mutu perawatan pasien.

Ketepatan Waktu Perawatan

Ketidakjelasan akuntabilitas dan jumlah staf yang tidak memadai berkontribusi terhadap tertundanya waktu perawatan; manajer perawtan tidak bisa mengatasi hal ini.

Edukasi/ Informasi Pasien

Navigator pasien untuk membantu mereka mengakses informasi; pusat perawatan bervariasi dalam hal perhatian dan sumber daya yang bersedia untuk mengedukasi pasien; informasi kunci batu diberikan setelah keputusan utama dibuat; waktu provider dalam menjawab pertanyaan pasien dan detil yang dibutuhkan pasien memakan waktu yang provider dalam memberi perawatan kepada pasien.

Tim Multidisiplin

Tim multidisiplin dapat meningkatkan ketepatan waktu perawatan; hambatan terjadi ketika perawatan multidisiplin dimulai setelah inisiasi perawatan.

Hubungan Kolegium

Mutu perawatan dapat meningkat bila hubungan kolegium dan komunikasi yang baik tercipta antara perawat dan dokter.

Sistem Elektronik

Sistem elektornik dapat meningkatkan ketepatan waktu pelayanan; catatan medis elektronik dan portal pasien dapat menghubungkan pasien dengan informasi dan layanan; catatan medis elektronik dapat membantu mengkoordinasi perawatan, memfasilitasi komunikasi antar provider, mendukung rencana perawatan multidisiplin, dan meningkatkan keselamatan; membantu penjadwalan perjanjian

Temuan terkait komponen-komponen mutu dalam penelitian ini dapat menjadi poin awal untuk inisiatif lebih lanjut untuk meningkatkan mutu layanan kanker. Informasi ini juga membantu mengidentifikasi pengukuran mutu yang penting bagi pasien dan provider. Inisiatif yang berfokus pada peningkatan mutu pelayanan kanker sedapat mungkin mempertimbangkan keterbatasan dan hambatan yang disebutkan dalam penelitian ini, terutama terkait komunikasi pasien-provider, pembagian informasi, dan reimbursment untuk mendukung perawatan berpusat pada pasien. Untuk meningkatkan keberhasilan, inisiatif yang akan dilakukan harus mencakup strategi untuk mitigasi hambatan-hambatan yang ada.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH
Sumber: Hess LM dan Pohl G, Perspective of Quality Care in Cancer Treatment: A Review of the Literature, Am Health Drug Benefits, 2013; 6(6): 321 – 329.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ 

Era saat ini sedang berfokus pada penyediaan pelayanan kesehatan dengan kualitas tinggi, baik dari segi perawatan dan keterjangkauan biaya. Pelayanan kesehatan dengan kualitas tinggi salah satu faktor yang mendukung yaitu tenaga kesehatan yang profesional, mereka melakukan upaya pelayanan dari mulai pencegahan dan pengobatan. Pengobatan yang dilakukan selama di rumah sakit bukan hanya berfokus pada obat, melainkan juga terapi gizi juga berperan di dalamnya. Penanganan gizi kepada pasien di rumah sakit sebaiknya dilakukan secara kolaboratif antara ahli gizi, dokter, perawat dan apoteker. Untuk pelayanan gizi secara keseluruhan, melibatkan pula pihak manajemen, karena sebagian besar pengeluaran di rumah sakit adalah untuk kebutuhan makanan.

Pelayanan gizi yang optimal dapat meningkatkan kesembuhan pasien, mempercepat lama rawat inap dan mengurangi biaya perawatan. Skrining gizi pada pasien merupakan tindakan awal yang harus dilakukan, untuk mengidentifikasi apakah pasien tersebut mengalami malnutrisi atau tidak. Menurut Kelly dan pakar nutrisi lain dalam jurnal Critical Role of Nutrition in Improving Quality of Care, terdapat enam prinsip yang dapat diterapkan dalam model penanganan asuhan gizi secara kolaboratif, diantaranya :

  1. Mensosialisasikan asuhan penanganan gizi (Nutritional Care Proses) kepada semua tenaga kesehatan yang terlibat. Tidak hanya sebatas sosialisasi tetapi bisa menjadi sebuah aturan baku dalam menangani pasien, dimulai dari anamnesa tidak hanya bersifat medis, tetapi dari segi skrining nutrisi juga disertakan.
  2. Pembagian tugas antara tenaga medis yang terlibat dalam penanganan asuhan gizi. Dalam hal ini tim interdisipliner harus mendiskusikan hambatan dan solusi dalam menangani dan mengobati pasien yang beresiko atau pasien malnutrisi.
  3. Skrining dan diagnosa pasien dengan malnutrisi dan yang beresiko malnutrisi. Tingginya kasus kekurangan gizi di rumah sakit, sehingga setiap pasien harus menerima skrining gizi yang tepat. Menggunakan alat skrining yang sudah tervalidasi dan dilakukan oleh ahli gizi. Hasil skrining selanjutnya dikomunikasikan dengan tim interdisipliner untuk menentukan diagnosa dan intervensi yang komprehensif.
  4. Melakukan intervensi gizi secara komprehensif dan pengawasan yang berkelanjutan. Ketika seorang pasien diidentifikasi kekurangan gizi, intervensi gizi yang tepat harus segera dilakukan sepenuhnya dengan cepat. Intervensi gizi yang dilakukan mencakup modifikasi pemberian diet, perhitungan kebutuhan pasien serta pemesanan makanan.
  5. Merencanakan dan mendokumentasikan asuhan penanganan gizi pasien. Asuhan gizi yang dilakukan secara resmi harus direncanakan dan didokumentasikan, dimasukan dalam catatan medis agar bisa menjadi alat komunikasi tim interdisipliner. Dari mulai hasil skrining gizi, pengukuran antropometri, diagnosa gizi, interaksi obat dengan nutrisi, intervensi gizi, tujuan pemberian diet, presentase asupan makan pasien serta monitoring dan evaluasi penanganan asuhan gizi secara berkelanjutan.
  6. Penanganan asuhan gizi secara komprehensif. Pengelolaan status gizi dari mulai pasien masuk hingga pasien keluar dari rumah sakit dilakukan secara komprehensif oleh tim interdisipliner. Pemberian terapi gizi kepada pasien dilakukan sesuai tujuan. Selama proses perawatan melibatkan pula keluarga pasien, terutama untuk edukasi gizi.

Berikut ini adalah gambaran dari tahapan enam prinsip penanganan asuhan gizi di rumah sakit yang dilakukan secara kolaborasi oleh tim interdisipliner.

art-11jan

The Alliance's Approach to Interdisciplinary Nutrition Care. AND¼Academy of Nutrition and Dietetics; A.S.P.E.N.¼ American Society for Parenteral and Enteral Nutrition; EHR¼electronic health record; ONS¼oral nutrition supplement; PCP¼primary care physician.

Dengan penanganan asuhan gizi yang dilakukan secara komprehensif oleh tim interdisipliner, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Oleh : Elisa Sulistyaningrum, MPH.
Sumber: Tappenden A. Kelly et al. Critical Role of Nutrition in Improving Quality of Care:
An Interdisciplinary Call to Action to Address Adult Hospital Malnutrition. Journal Of The Academy Of Nutrition And Dietetics. September 2013 Volume 113 Number 9.

Kepuasan pasien merupakan kunci penting meningkatkan quality care dalam pelayanan kesehatan, health care provider perlu menyadari bahwa keuntungan utama sistem pelayanan kesehatan adalah pasien. Pasien yang puas akan selalu nyaman di rumah sakit dalam waktu lama, selalu kembali dan merekomendasikan kepada orang lain. 3 hal ini merupakan bagian indikator pengukuran kepuasan pasien dalam penilaian health care provided, dengan meningkatnya pertumbuhan rumah sakit yang berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan pasien tentang apa yang seharusnya didapatkan, maka pasien membutuhkan rumah sakit yang menyediakan semua yang dibutuhkan.

Selain 3 indikator diatas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kepuasan pasien antara lain: prosedur administrasi, pelayanan diagnosis, perilaku staff, kebersihan, kepedulian perawat, makanan, komunikasi, kedekatan psikologi, housekeeping, pelayanan teknis, akses dan alat yang memadai. Jika semua ini berjalan baik maka akan meningkatkan jumlah pasien dan tentu meningkatkan pendapatan rumah sakit. Vera (1993) mengatakan bahwa peningkatan kualitas pelayanan kesehatan adalah kewajiban health care provider. Peningkatan kualitas pelayanan misalnya keamanan kontrasepsi dan efektif. Pelayanan yang buruk dapat mengakibatkan infeksi, luka bahkan kematian.

  • Perilaku staf
    Pengalaman pasien tentang bagaimana respect dokter, skill perawat, paramedical staff dan support staff, serta pertemuan dan interaksi secara intensif berdampak pada kepuasan pasien. Bitner (1990) menyatakan hubungan yang lama antara dokter dan pasien meningkatkan kepuasan pasien, selain itu skills perawat, paramedical staff dan support staff juga berperan penting dalam mempengaruhi kepuasan pasien.
  • Lingkungan rumah sakit
    Pasien biasanya judges rumah sakit berdasarkan apa yang dilihat, sebelum mendapatkan pelayanan pasien sudah memutuskan apakah harus kembali ke rumah sakit ini? Ada hubungan yang kuat antara lingkungan rumah sakit dan kepuasan pasien sehingga rumah sakit perlu menyediakan fasilitas yang memadai, lingkungan yang asri, dan ruang tunggu, ruang pasien, ruang administrasi yang nyaman. Zineldin (2004) mengemukakan bahwa peran management penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan pasien, berdampak pada lingkungan eksternal, performance rumah sakit, networking, interaksi dengan pasien dan kolaborasi dengan organisasi lain.
  • Pelayanan diagnosis
    Campbell J, 1999 mengemukakan bahwa kepuasan pasien umumnya dijelaskan sebagai gambaran pelayanan yang diterima dan hasil dari perlakuan itu. Membatalkan atau menunda pelayanan diagnosis menurunkan level kepuasan pasien, pelayanan ini mencakup pelayanan laboratorium dan radiologi.
  • Makanan
    Makanan yang layak juga mempengaruhi kepuasan pasien, sudah tersedia penyedia jasa makanan yang dapat bekerja sama dengan rumah sakit. Banyak pasien membenci makanan rumah sakit karna diet sehingga managemen perlu mempersiapkan counselor, pasien dikonseling tanpa merusak program diet.
  • Kebersihan
    Persepsi pasien tentang kebersihan rumah sakit berdampak positif pada kualitas rumah sakit, kebersihan yang dimaksud bukan hanya didalam ruangan namun diluar ruangan, hygiene, teknik mencuci tangan dan lain-lain. Pasien dan staff perlu menyadari akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan rumah sakit, hal ini akan meningkatkan kepuasan pasien dan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

16feb-5

Tingginya pendapatan rumah sakit dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan pasien akan mempertimbangkan untuk terus memanfaatkan rumah sakit tersebut misalnya berdasarkan pengalaman memanfaatkan rumah sakit sebelumnya dan kesalahan pelayanan yang pernah dilakukan.

Sofaer dan Firminger, 2005 mengidentifikasi 7 kategori penting untuk pasien antara lain:
Patien centered care, akses, kesopanan, komunikasi dan informasi, skill, efisiensi dan fasilitas yang memadai. 7 kategori ini perlu ditingkatkan dan dibuat dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi untuk mencapai kualitas pelayanan sesuai standar, selain itu perlu meningkatkan komunikasi secara efektif dengan pasien sehingga terbangun hubungan yang harmonis dan leluasa dalam mengidentifikasi masalah dan memperbaiki performance rumah sakit untuk mencapai kualitas pelayanan berbasis kepuasan pasien.

Oleh: Dedison Asanab, S.KM (Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana)
Sumber: Ross Sharon D. et al. An Empirical study of the factors influencing quality of healthcare and its effects on patient satisfaction. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology. Vol. 4, Issue 2, February 2015.

http://www.rroij.com/

(Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan dengan Pendekatan Sistem)

Tak dapat dipungkiri bahwa Perawat dan berbagai tugas serta tanggung jawab yang melekat padanya (nurse staffing) merupakan garda terdepan dalam sebuah rangkaian sistem layanan kesehatan. Ia menjadi bagian penting yang merepresentasi sekaligus menjadi tolak ukur dari kualitas sistem keorganisasian dan manajemen yang dimiliki oleh sebuah Rumah Sakit atau Jasa Layanan Kesehatan lainnya. Bahkan, persepsi konsumen terhadap tingkat kualitas Penyedia Jasa Layanan Kesehatan sangat dipengaruhi oleh bagaimana tugas-tugas keperawatan di regulasi dan dijalankan. Oleh karenanya disamping aspek penting lain (seperti ketersediaan fasilitas dan tekhnologi medis) yang memadai, nurse staffing adalah salah satu hal utama yang perlu diperhatikan dengan seksama guna meningkatkan peluang keselamatan dan kesembuhan pasien.

Berbagai pendekatan konvensional yang mengkaji persoalan mutu/kualitas layanan kesehatan, biasanya hanya memaknai upaya optimalisasi tugas keperawatan dan peningkatan peluang keselamatan pasien dari persfektif instrumentatif belaka. Artinya hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dan kinerja keperawatan ditempuh melalui pendekatan teknis dengan melengkapi berbagai instrument penunjang kinerja dan keselamatan. Tidak heran jika selama ini penekanan dalam berbagai diskursus yang telah terselenggara sekedar berkutat di ranah ketersediaan fasilitas. Sementara itu, terdapat aspek lain yang berkaitan dengan dua hal tersebut (nurse staffing dan keselamatan pasien) yang jarang mendapat perhatian dan belum dikaji secara serius, yakni aspek keorganisasian dan regulasi internal (kebijakan Rumah Sakit tentang Nurse Staffing).

Hal demikian salah satunya disebabkan oleh minimnya jumlah penelitian yang mengkaji relasi/keterkaitan antara sistem keorganisasian pada lembaga penyedia jasa layanan kesehatan dengan mutu pelayanan dan tingkat keselamatan pasien. Sepintas veriabel-variabel tersebut nampak tidak memiliki kaitan secara langsung. Namun dewasa ini di Negara-negara maju, aspek keorganisasian dan regulasi internal pada lembaga penyedia jasa layanan kesehatan menjadi objek perhatian dan pengkajian khusus.

Sebuah hasil penelitian yang dilakukan di beberapa Negara (cross-country riset) pada tahun 2000 oleh The International Hospital Outcomes Study Consortium dan University of Pennsylvania’s Center for Health Outcomes and Policy Research membuktikan adanya hubungan/pengaruh yang signifikan antara sistem dan corak/bentuk keoragnisasian, regulasi internal tentang nurse staffing dengan tingkat keselamatan pasien. Dijelaskan bahwa bentuk dan sistem keorganisasian serta regulasi internal ikut menentukan tingkat kecepatan dan relevansi respon terhadap pasien.

Salah satu fokus dalam penelitian tersebut adalah mengidentifikasi model/bentuk organisasi serta regulasi internal yang paling tepat dan efektif. Tolak ukur yang digunakan adalah dengan menguji sejauh mana model dan sistem organisasi yang dijalankan serta regulasi internal mampu mengakomodasi berbagai kendala tekhnis maupun non-tekhnis yang dialami perawat saat bertugas (sumber data diambil dari laporan harian perawat dan wawancara). Tingkat akomodasi kemudian dideteksi dari respons dan fleksibilitas sistem organisasi dalam menanggapi kendala dan persoalan tugas keperawatan tersebut. Dalam kalimat lain organisasi (struktur Rumah Sakit) diumpamakan sebagai sistem yang mengakomodir dan merespon Outcomes yang berupa laporan dan hasil wawancara perawat. Komponen-komponen lain yang diteliti meliputi kecukupan jumlah perawat dan model supporting manajemen yang diberikan organisasi (struktur organisasi dalam RS) kepada perawat dalam menjalankan tugas-tugas keperawatannya (nurse staffing).

Hal penting yang perlu dicatat adalah tentang beberapa hal terkait hasil dari penelitian tersebut. Disebutkan bahwa pada salah satu RS yang menerapakn sistem keorganisasian yang relative fleksibel serta reponsif memiliki supporting manajemen (berupa regulasi internal) yang lebih efektif dan efisien dalam menunjang optimalisasi nurse staffing serta berdampak positif pada kondisi pasien. Rumah sakit tersebut ditemukan memiliki seperangkat atribut organisasi: yaitu berupa struktur organisasi yang datar, pengambilan keputusan terdesentralisasi oleh pengasuh samping tempat tidur (perawat yang secara langsung mendampingi pasien), masuknya eksekutif perawat kepala di manajemen puncak pengambilan keputusan (menjadi jajaran inti dari struktur organisasi RS), penjadwalan perawat yang fleksibel, otonomi dan wilayah otoritas perawat yang luas, serta investasi oleh manajemen dalam pendidikan berkelanjutan perawat. Faktor-faktor tersebut kemudian berdampak pada terciptanya iklim serta lingkungan kerja yang nyaman sekaligus kondusif sehingga memungkinkan perawat untuk mengontrol pasien secara optimal dan berkoordinasi dengan dokter dalam konteks relasi yang baik dan lancar. Dan yang terpenting adalah rumah sakit ini memiliki angka kematian pasien yang lebih rendah.

Eksampelar berdasarkan pada hasil penelitian tersebut tentu saja menjadi referensi yang layak dikaji dan dipertimbangkan untuk konteks peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Aspek keorganisasian yang meliputi supporting manajemen dan regulasi internal dalam rangka mengoptimalkan nurse staffing (kinerja keperawatan) nampaknya menjadi model pendekatan yang patut diuji lebih jauh untuk melihat kemungkinan penerapannya di Indonesia. Unsur yang paling esensial tentunya adalah upaya untuk menciptakan sebuah sistem dan model organisasi yang akomodatif dan reponsif terhadap Outcomes yang berasal dari temuan kendala-kendala tekhnis maupun non-tekhnis yang terjadi dilapangan dalam nurse staffing. Agar kedepan pendekatan pengkajian yang berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan tidak hanya semata-mata berkutat pada faktor fasilitas fisik belaka. Semoga bermanfaat.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep., MPH.
Sumber: Aiken H. Linda et al. Hospital staffing, organization, and quality of care: cross-national findings. International Journal for Quality in Health Care 2002; Volume 14, Number I: pp.5-13.