Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Peningkatan mutu di rumah sakit merupakan sesuatu yang wajib di era JKN sekarang ini dimana persaingan antar provider semakin terbuka dan bisa jadi rumah sakit/faskes yang tidak bermutu akan kalah bersaing dan berdampak pada pendapatan yang menurun. Pada umumnya upaya peningkatan mutu saat ini hanya terfokus kepada pasien, persepsi/pendapat pasien mengenai pelayanan yang diberikan menjadi hal yang mutlak sebagai indikator mutu rumah sakit, padahal ada informan lain yang lebih mudah diakses untuk menentukan indikator mutu yakni perawat. Perawat merupakan tenaga siaga 24 jam dalam memberikan perawatan kepada pasien sekaligus sebagai jembatan antara pasien dengan dokter yang menangani. Tugas perawat yang lekat dengan pasien membuat mereka paham dan merasakan apa yang dirasakan pasien termasuk mutu pelayanan yang diberikan antara lain perawatan langsung, pengawasan status pasien, dukungan emosional kepada pasien, asistensi untuk kegiatan sehari-hari, profesional team collaboration, dan edukasi kepada pasien.

Peningkatan mutu pelayanan merupakan hal yang mutlak untuk pengambilan keputusan baik itu oleh regulator (Dinas Kesehatan/Pemda), consumer (pasien), maupun provider (RS dan faskes lain). Faktanya, memang masih banyak tantangan dalam peningkatan mutu hal ini bisa karena informasi yang diberikan oleh pasien kurang relevan atau kurang jelas, oleh karena itu menggunakan perawat sebagai salah satu informan dalam melaporkan kualitas mutu pelayanan bisa menjadi pertimbangan.

Sejak beberapa tahun lalu para ahli sudah mulai meneliti tentang penggunaan sumber lain (selain pasien) sebagai penentu indikator mutu rumah sakit, salah satu yang menarik untuk dipelajari adalah penelitian yang dipimpin oleh McHugh & Stimpfel tentang kemungkinan menggunakan perawat sebagai informan untuk melaporkan kualitas mutu rumah sakit pada 396 rumah sakit di empat negara bagian di USA (California, Florida, Pennsylvania, dan New Jersey). McHugh & Stimpfel meyakini bahwa laporan perawat tentang mutu layanan merupakan faktor penentu untuk pengukuran outcome dan proses perawatan penyakit di rumah sakit, diantaranya acute myocardinal infarction, pneumonia, dan tindakan operasi. Laporan tersebut secara statistik juga berhubungan erat dengan level skor rumah sakit yang berhubungan dengan evaluasi pasien terhadap pelayanan yang mereka terima.

McHugh & Stimpfel berpendapat bahwa menggunakan perawat sebagai salah satu informan untuk penentuan mutu pelayanan merupakan sesuatu yang valid dan sudah sesuai dengan konsep sosiologi organisasi, dimana kualitas secara umum diukur melalui struktural, proses, atau outcome. Cara langsung untuk menentukan indikator mutu pelayanan adalah melalu proses, dan perawat terlibat secara langsung dalam proses tersebut mempunyai sesuatu yang unik tentang proses pelayanan/perawatan kepada pasien. Perawat mempunyai persepsi yang luas tantang beberapa aspek pelayanan diantaranya interaksi provider dengan pasien, eduasi dan dukungan kepada pasien dan keluarganya, dan integrasi sistem informasi dan teknologi. Beberapa aspek ini tidak terdokumentasi dengan baik di status pasien. Informasi-informasi tersebut walaupun sedikit sangat memberikan perbedaan terhadap outcome yang dihasilkan.

Walaupun perpektif pasien merupakan indikator utama dalam peningkatan mutu layanan, namun pendapat dari perawat tidak bisa dikesampingkan, kedua hal ini bisa saling melengkapi. Misalnya pada saat pasien tidak bisa memberikan pendapat karena dalam perawatan yang kritis, atau meninggal dunia, atau pasien yang dibawah umur; perawat bisa dijadikan informan untuk memberikan masukan karena mereka yang tahu segala sesuatu yang dirasakan pasien pada saat perawatan. Selain itu data-data yang dikumpulkan dari perawat tersebut juga bisa dijadikan bahan untuk benchmarking dan quality improvement baik dalam rumah sakit maupun sebagai lesson learnt bagi faskes lain yang membutuhkan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai memikirkan perawat ataupun tenaga kesehatan yang lain dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kesehatan, keterlibatan dari banyak pihak tentunya akan memperkaya informasi yang dibutuhkan untuk percepatan peningkatan mutu layanan di rumah sakit maupun faskes lain yang sampai saat ini masih belum signifikan.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran-UNDANA
Sumber : McHugh, D. Matthew and Stimpfel, W. Amy. 2012. Nurse Reported Quality of Care : A Measure of Hospital Quality. Wiley Periodicals : Research in Nursing & Health, 35, 566-575.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3596809/pdf/nihms448301.pdf 

Merokok bagi sebagian dari kita menjadi kegiatan yang sudah dianggap sangat biasa. Bahkan kita juga biasa melihat orang merokok dilakukan sambil menggendong balita/bayi, merokok sambil menyetir kendaraan, saat bersiap ke rumah ibadah, menarik becak maupun saat rapat super penting di kantor-kantor pemerintah. Pendeknya merokok selain menjadi kegiatan sambilan juga kadangkala bisa menjadi kegiatan utama bagi semua kalangan di hampir semua tempat. Hampir tidak ada area publik seperti di taman, di angkutan umum maupun di berbagai kantor pemerintahan yang bebas rokok. Sangat wajar untuk sebuah negara yang belum meratifikasi mengaksesi kerangka kerja internasional dari badan kesehatan dunia (WHO) untuk mencegah meluasnya epidemi merokok itu. Mengutip tulisan Prof. dr. Hasbullah Thabrany dkk, seorang ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia maka negara kita menjadi surga bagi para perokok dan industrinya seperti dalam bukunya yang berjudul : Indonesia, the heaven for cigarette companies and the hell for the people.

Walaupun dalam berbagai aturan sudah jelas tercantum seperti UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan berbagai aturan di bawahnya tetapi eksistensi rokok sebagai bahan adiktif yang merajai  semua kalangan (golongan) dan semua kawasan tidak terbantahkan. Produksi, distribusi, periklanan sampai pada perilaku masyarakat dalam merokok menjadi pekerjaan rumah (PR) yang masih menggantung. Bahkan Indonesia tercatat menjadi satu-satunya di negara Asia Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).

Burke Fishburn menegaskan menciptakan lingkungan bebas asap rokok adalah satu satunya strategi yang memberikan perlindungan dari bahaya asap rokok lain. Di sisi lain, merokok seperti diketahui menjadi salah satu faktor risiko untuk berkembang mejadi penyakit tidak menular (PTM) seperti kanker, kencing manis dan darah tinggi. Sehingga sangatlah wajar bila sekarang angka kesakitan PTM juga mengalami kenaikan yang sangat berarti bahkan menduduki beberapa urutan dalam 10 besar penyakit.

Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Dari hal-hal tersebut, muncullah kepentingan untuk menciptakan Kawasan Terbatas Merokok dan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dalam pembahasan ini maka penulis akan lebih fokus pada KTR sebagai sebuah istilah yang mengacu bahwa di dalam area/kawasan tersebut tidak boleh ada 'sesuatu' yang berhubungan dengan rokok. Seperti iklan rokok dalam bentuk banner, leaflet, toko/warung penjual rokok, ruang khusus merokok maupun asbak untuk membuang puntung rokok.

Istilah Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR) muncul karena dianggap tidak ada batas aman asap rokok terhadap orang lain. Penerapan KTR 100% berarti tidak menyediakan ruang untuk merokok dalam bentuk apapun baik yang berventilasi maupun yang menggunakan penyaring udara, karena dianggap tidak dapat secara penuh melindungi paparan dari asap rokok.

Sementara indikator kepatuhan KTR terdiri atas 8 komponen yaitu 1) tidak ada orang merokok;2) tidak terdapat ruangan khusus merokok; 3) terdapat tanda larangan merokok; 4) tidak tercium asap rokok; 5) tidak terdapat asbak/ korek/pemantik ; 6) tidak ditemukan puntung rokok; 7) tidak ditemukan adanya indikasi merek atau sponsor, promosi dna iklan rokok di area KTR serta 8) tidak ditemukan penjualan rokok pada sarana kesehatan, sarana belajar/sekolah, sarana terkait dengan anak, sarana ibadah, tempat kerja serta tempat umum dan sarana olahraga kecuali di pasar modern/mall, hotel, restaurant, tempat hiburan dan pasar tradisional.

Sampai saat ini, penerapan KTR di beberapa tempat seperti di fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan /sekolah sudah dicanangkan. Tetapi diakui bahwa kegiatan penerapan KTR masih belum ideal sesuai dengan tujuannya. KTR total di berbagai tempat yang seharusnya steril dari hal-hal yang berbau rokok kadang masih sulit diterapkan. Kegiatan yang terkait merokok masih ditemukan di sana-sini. Di tempat-tempat tersebut masih sering dijumpai petugas maupun pengunjung yang merokok.

Pengunjung yang melanggar peringatan KTR beralasan karena ketidaktahuan karena tanda-tanda peringatan KTR hanya dipasang di wilayah tertentu. Sementara bagi para 'penghuni' dan 'orang dalam' institusi tersebut yang melanggar peringatan KTR itu biasanya karena adanya kesengajaan. Khusus untuk para perokok berat aturan KTR menjadi sebuah siksaan tersendiri dan biasanya karena sudah tidak bisa menahan untuk tidak mengisap rokok sebagai sebuah alasan dan pembenaran saat melanggar peringatan KTR.

Tentu saja para pengunjung dan penghuni yang sudah tahu aturan KTR akan sembunyi-sembunyi dalam mengisap rokoknya. Tempat favorit yang tersembunyi biasanya seperti dekat pojok belakang dan tempat-tempat yang nyaman untuk kumpul bersama seperti kantin/ garasi /parkir/ tempat olahraga di institusi tersebut.

Puntung rokok juga kerapkali ditaruh dalam sela-sela bunga dalam pot atau dibuang sembarangan. Dalam hal 'kesengajaan' biasanya puntung rokok cenderung akan "disembunyikan". Walaupun tidak ada asbak yang 'resmi' dipajang tetapi ternyata apapun bisa menjadi asbak seperti kaleng bekas minuman, botol air kemasan kosong dan bahkan gelas/cangkir tempat air minum sehari-hari.

Luru Utis Sebagai Sistem Monitoring Efektivitas KTR

Banyaknya pihak yang merasa terancam dengan penerapan KTR memunculkan banyaknya pelanggaran penerapan KTR. Bila tanpa sistem monitoring yang baik maka efektivitas KTR seringkali dipertanyakan. KTR dianggap masih sebatas papan nama yang dipasang di wilayah tertentu tanpa tahu apakah cukup efektivitas atau tidak. Sehingga disinilah diperlukan sebuah monitoring untuk melihat efektivitas KTR dari waktu ke waktu.

Menurut hemat penulis kegiatan luru utis - sebuah istilah dari bahasa Jawa yang berarti mencari puntung rokok- dimana pada beberapa waktu lalu punting rokok mempunyai nilai ekonomi tersendiri- dapat menjadi sebuah aktivitas yang dapat dipakai untuk memantau efektivitas penerapan KTR di lingkungan tertentu. Dalam praktiknya, luru utis tidak hanya mencari dan menghitung puntung rokok saja. Tetapi juga bisa diperluas pada perangkat pendukung kegiatan merokok seperti asbak, korek api/pemantik api, serta bungkus rokok. Dalam beberapa kasus kegiatan luru utis juga dapat menemukan perokok yang sedang menghisap rokok di kawasan KTR. Maka tidak berlebihan bila luru utis selain alat untuk monitoring KTR juga punya manfaat untuk melihat salah satu indikator kepatuhan petugas dan pengunjung serta untuk lebih meningkatkan promosi untuk keberadaan KTR itu sendiri.

Pelaksanaan luru utis secara teknis dapat dilakukan setiap hari Jumat saat laskar KTR (relawan luru utis) sekitar 1 jam akan mengumpulkan semua puntung rokok yang ditemukan di dalam areal pagar institusi KTR. Bukan hanya puntung rokok yang dicari tetapi juga sekaligus mencari bungkus rokok, korek api maupun asbak Pengumpulan bisa dimulai sekitar jam 07.30-08.30 Wib. Program ini bisa berjalan tanpa biaya. Program ini juga bisa dilakukan sambil kegiatan Jumat bersih ataupun kegiatan olahraga di hari Jumat.

Dalam setiap minggunya hasil pencarian dan pengumpulan puntung rokok akan dihitung jumlahnya. Data yang masuk dianalisa untuk melihat perkembangannya. Disadari juga masih banyak puntung rokok yang 'lolos' yang tidak ikut terhitung karena sudah masuk ke tempat sampah dan dibuang oleh petugas kebersihan.

Dari evaluasi tim luru utis maka seringkali didapatkan hasil yang cenderung menurun pada awal kegiatan, tetapi di beberapa waktu berikutnya masih terdapat kenaikan jumlah puntung rokok yang ditemukan (fluktuatif). Begitu pula jumlah petugas dan relawan luru utis yang terlibat bisa jadi masih belum terlalu banyak dan fluktuatif. Seringkali bahkan berkurang karena tergantung kesibukan masing-masing personel.

Supaya hasil monitoring terdokumentasi maka disarankan untuk menayangkan dalam sebuah pengumuman secara berkala. Bila hasil belum menunjukkan trend penurunan maka relawan luru utis tidak perlu berkecil hati karena dapat diartikan sebagai 'cambuk' untuk lebih mensosialisasikan KTR sebagai sebuah kebijakan yang harus diperjuangkan. Implikasi dari praktik luru utis adalah makin menguatnya isu KTR di institusi tersebut. Dalam jangka panjang yang diharapkan adalah munculnya kesadaran komunal bahwa merokok adalah sebuah kegiatan yang akan menghamburkan sumber daya yang sudah sangat terbatas : uang, waktu dan kesehatan.

Maka, selamat melakukan luru utis...

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*
*Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Dinas Kesehatan Kota Tarakan

Dalam penyelenggaraan praktik pelayanan kesehatan di pusat pelayanan kesehatan misal di Rumah Sakit, sampai saat ini masih berorientasi pada penyedia jasa yang terfokus pada pemenuhan standar-standar praktik, belum banyak pelayanan kesehatan atau rumah sakit yang berfokus sejauh mana penilaian kualitas pelayanan yang sudah diberikan dari perspektif pasien. Karakteristik pasien akan mempengaruhi persepsinya tentang kualitas pelayanan. Pasien menghendaki kualitas perawatan terbaik untuk biaya yang mereka bayar. Harapan-harapan pasien sering juga berbeda dengan harapan dari penyedia jasa pelayanan.

Sedangkan harapan pasien dapat dipakai sebagai standar untuk mengevaluasi pelayanan di masa mendatang. Oleh karena itu, kepuasan pelanggan sangat penting dan harus dijamin dengan menghasilkan pelayanan yang berkualitas tinggi. Seperti diketahui bahwa kepuasan berimplikasi pada perbaikan terus menerus sehingga kualitas layanan harus terus diperbaharui setiap saat agar pelanggan tetap puas dan loyal.

Di Amerika Serikat, Arizona dan Maryland terdapat sebuah survei mengenai pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit, yang menjadi pusat percontohan untuk daerah lainnya yakni survei Consumer Assessment of Health Providers and Systems (CAHPS). Survei Rumah Sakit ini dimaksudkan untuk menjadi standar, instrumen survei dan metodologi pengumpulan data untuk mengukur pengalaman dari prespektif pasien tentang perawatan pasien rawat inapdi rumah sakit dan melaporkan perbandingan yang valid antara rumah sakit. Metodologi ini dan informasi yang dihasilkannya akan ditempatkan dalam domain publik untuk digunakan oleh rumah sakit dan pihak lain yang berkepentingan.

Berikut prinsip-prinsip survei CAHPS rumah sakit:

  1. Menggunakan bukti ilmiah terbaik yang tersedia;
  2. Mengukur hanya pada hal-hal responden yang terbaik atau satunya sumber informasi;
  3. Berdasarkan penilaian pada pengalaman responden dengan spesifik perilaku penyedia dan peringkat perawatan mereka;
  4. Menggabungkan masukan pemangku kepentingan seluruh proses pengembangan;
  5. Mengembangkan format laporan seiring dengan pengembangan survei;
  6. Memberikan bantuan teknis kepada pengguna; dan
  7. Menempatkan produk dalam domain publik.

Berikut format survei yang dapat digunakan dalam mengukur pelayanan rumah sakit berdasarkan perspektif pasien.


Berikut Instruksi Survei

  • Anda hanya harus mengisi survei ini jika Anda adalah pasien selama tinggal di rumah sakit yang disebutkan dalam surat keterangan. Jangan mengisi survei ini jika Anda bukanlah pasien.
  • Menjawab semua pertanyaan dengan mencentang kotak jawaban dibawah Anda.
  • Kadang-kadang anda diminta untuk melewatkan beberapa pertanyaan dalam survei ini.

Ketika ini terjadi, Anda akan melihat panah dengan catatan yang memberitahu Anda
pertanyaan apa untuk menjawab berikutnya, seperti ini:

□ Iya
□ Tidak

Jika tidak, maka kembali ke pertanyaan 1

Semua informasi yang ditinggalkan oleh Anda maupun keluarga anda akan disimpan pribadi.
Anda mungkin akan melihat nomor di sampul survei ini. Nomor ini hanya digunakan untuk mengingatkan kami jika Anda kembali disurvei maka kami tidak perlu mengirimkan pengingat.

Jawablah pertanyaan dalam survei ini tentang pengalaman Anda tinggal di rumah sakit
dan berikan nama rumah sakit di sampulnya. Tidak boleh memasukkan pengalaman di rumah sakit lainnya dalam lembar jawaban Anda.

Pelayanan Dari Perawat

  1. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering perawat memperlakukan Anda dengan sopan dan hormat?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  2. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering perawat mendengarkan Anda dengan cermat?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  3. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering perawat menjelaskan hal-hal agar Anda bisa mengerti?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  4. Selama tinggal di rumah sakit ini, setelah Anda menekan tombol call, sebagaimana sering Anda mendapatkan bantuan segera setelah Anda menginginkannya?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
    5. Aku tidak pernah menekan tombol call

Perawatan Dari Dokter

  1. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering dokter memperlakukan Anda dengan sopan dan hormat?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  2. Selama tinggal di rumah sakit ini , seberapa sering dokter mendengarkan dengan seksama keluhan anda?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  3. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering dokter menjelaskan hal-hal dengan cara yang bisa Anda mengerti?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu

Lingkungan Rumah Sakit

  1. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering kamar dan kamar mandi Anda dibersihkan?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  2. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering daerah di sekitar Anda dan ruangan anda dalam keadaan tenang di malam hari?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu

Pengalaman Anda Di Rumah Sakit Ini

  1. Selama di rumah sakit ini tinggal, apakah Anda membutuhkan bantuan dari perawat atau staf rumah sakit lainnya untuk ke kamar mandi atau dalam menggunakan pispot?
    1. Ya
    2. Tidak
      Jika Tidak, Langsung ke pertanyaan 12.

.

  1. Seberapa sering Anda mendapatkan bantuan dalam mendapatkan ke kamar mandi atau di menggunakan pispot segera setelah Anda inginkan?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  2. Selama tinggal di rumah sakit ini, apakah Anda membutuhkan obat untuk sakit?
    1. Ya
    2. Tidak
      Jika Tidak, Langsung ke pertanyaan 15.
  3. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering penyakit Anda terkontrol dengan baik?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  4. Selama tinggal di rumah sakit ini, seberapa sering staf rumah sakit melakukan segala sesuatu yang mereka bisa untuk membantu Anda dengan rasa sakit Anda?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  5. Selama tinggal di rumah sakit ini, apakah Anda diberi obat yang Anda tidak ambil sebelumnya?
    1. Ya
    2. Tidak
      Jika Tidak, Langsung ke pertanyaan 18
  6. Sebelum memberikan Anda obat baru, seberapa sering staf rumah sakit memberi tahu Anda mengenai kegunaan obat tersebut?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu
  7. Sebelum memberikan Anda obat baru, seberapa sering staf rumah sakit menjelaskan kemungkinan efek samping dengan cara yang bisa Anda mengerti?
    1. Tidak pernah
    2. Terkadang
    3. Biasanya
    4. Selalu

Ketika Anda Meninggalkan Rumah Sakit

  1. Setelah Anda meninggalkan rumah sakit, Anda pulang ke rumah anda sendiri, rumah orang lain, atau fasilitas kesehatan lain?
    1. Rumah Sendiri
    2. Rumah Orang lain
    3. Fasilitas Kesehatan lain Jika lainnya, lanjutkan ke pertanyaan 21
  2. Selama tinggal di rumah sakit ini, apakah dokter, perawat, atau staf rumah sakit lainnya berbicara dengan Anda tentang apakah Anda akan membutuhkan bantuan ketika Anda sudah meninggalkan rumah sakit?
    1. Ya
    2. Tidak
  3. Selama tinggal di rumah sakit ini, apakah Anda mendapatkan informasi secara tertulis tentang gejala atau masalah kesehatan yang harus diwaspadai setelah Anda meninggalkan rumah sakit?
    1. Ya
    2. Tidak

Rating Keseluruhan Rumah Sakit
Jawablah pertanyaan dalam survei ini tentang pengalaman Anda tinggal di rumah sakit
dan berikan nama rumah sakit di sampulnya. Tidak boleh memasukkan pengalaman di rumah sakit lainnya dalam lembar jawaban Anda.

  1. Menggunakan nomor dari 0 sampai 10, di mana 0 adalah rumah sakit terburuk dan 10 adalah rumah sakit terbaik, nomor beraoa yang Anda gunakan untuk menilai rumah sakit ini?
    0 □ 0 Buruk
    1 □ 1
    2 □ 2
    3 □ 3
    4 □ 4
    5 □ 5
    6 □ 6
    7 □ 7
    8 □ 8
    9 □ 9
    10 □ 10 Terbaik
  2. Apakah Anda merekomendasikan rumah sakit ini ke teman dan keluarga Anda?
    1. Pasti tidak
    2. Mungkin tidak
    3. Mungkin ya
    4. Pasti ya

Tentang Anda

Hanya ada beberapa item yang tersisa kini:

  1. Secara umum, bagaimana Anda akan menilai kesehatan Anda secara keseluruhan?
    1 □ Exelent
    2 □ Sangat baik
    3 □ Baik
    4 □ Adil
    5 □ Buruk
  2. Pendidikan terakhir yang diselesaikan?
    1 □ SD
    2 □ SMP
    3 □ SMA
    4 □ Diploma
    5 □ Sarjana
    5 □ Pasca Sarjana
  3. Apakah Anda mampu berbahasa daerah.........?
    1. Ya
    2. Tidak
  4. Apakah Suku Anda? Silahkan pilih salah satu atau lebih.
    1. Sunda
    2. Jawa
    3. Sasak
    4. Bugis
    5. Bugis Beberapa bahasa lain (silakan mencetak): _______

Terima Kasih
Silakan mengembalikan survei setelah selesai pada amplop pos.

Oleh : Andriani Yulianti, SE., MPH.
Sumber: Goldstein E. et al. Measuring Hospital Care from the Patients' Perspective: An Overview of the CAHPSs Hospital Survey Development Process. HSR: Health Services Research 40:6, Part II (December 2005).
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1361247/pdf/hesr_477.pdf 

Pendahuluan

Di berbagai tempat banyak disebutkan bahwa instalasi gawat darurat (IGD) adalah etalase pelayanan rumah sakit. Disebut demikian karena IGD dianggap sebagai paparan pertama pasien akut yang datang ke rumah sakit. Mereka yang percaya bahwa IGD adalah etalase rumah sakit mengatakan bahwa mutu rumah sakit dan bagaimana pelayanannya akan tergambar jelas dari bagaimana pasien di IGD diperlakukan. Sebagai etalase, IGD dianggap mewakili mutu rumah sakit. Dalam kerangka perbaikan mutu IGD, hal ini dapat diterima karena meningkatkan motivasi peningkatan kinerja staf IGD.

Sistem Mikro, Rantai Nilai, dan Regulasi

Meskipun demikian, dengan cara pandang bahwa IGD adalah salah satu sistem mikro di rumah sakit (Berwick 2002), sebutan ini perlu dievaluasi. Sistem mikro adalah sekumpulan orang yang secara teratur bekerja sama melayani suatu subpopulasi tertentu (Nelson et al. 2002). Sistem mikro biasanya merupakan bagian dalam suatu sistem makro tertentu dan saling terhubung dengan sistem-sistem mikro yang lain secara longgar maupun ketat. Secara umum, IGD sebagai sistem mikro merupakan bagian dari sistem makro yang disebut rumah sakit.

Di rumah sakit, sistem mikro tidak hanya IGD. Dengan batasan definisi longgar yang berubah dari waktu ke waktu, sistem mikro di rumah sakit bisa sangat bervariasi dalam hal jumlah dan bentuk. Konsep ini akan lebih menarik bila dilihat dari perspektif mutu. Faktanya, mutu rumah sakit tidak dapat melampaui mutu kumpulan sistem mikro yang ada di dalamnya. Mutu IGD, dengan demikian tidak otomatis menggambarkan mutu rumah sakit. Sebagai salah satu sistem mikro, IGD hanyalah salah satu bahan bangunan dalam mutu rumah sakit.

Pendekatan lain yang dapat dipakai mengevaluasi anggapan bahwa IGD adalah etalase rumah sakit adalah pendekatan rantai nilai dari Michael Porter. Dalam konsep rantai nilai ini, keseluruhan proses asupan sampai luaran pasien yang dilayani di IGD didukung oleh sistem pendukung yang berupa infrastruktur, kepemimpinan dan pengelolaan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, dan teknologi informasi (Acharyulu & Shekhar 2012).

Dalam konsep rantai nilai ini, keempat sistem pendukung tersebut menyangga aktivitas mulai dari asupan pasien sampai luaran pasien. Aktivitas tersebut dilakukan tidak hanya oleh IGD. Dengan demikian, paling tidak ada dua implikasi yang timbul. Implikasi pertama adalah kinerja yang tampak di IGD bukan hasil kerja staf IGD saja namun juga kinerja sistem pendukung. Kedua, kinerja sistem pendukung mempengaruhi semua pelayanan di rumah sakit. Dengan penjelasan kedua implikasi ini, semakin jelas bahwa pelayanan rumah sakit tidak dapat dilihat dari kinerja IGD saja.

Dari sisi regulasi di Indonesia, evaluasi juga dapat dilakukan terhadap anggapan bahwa IGD merupakan etalase rumah sakit. Undang-undang No. 44 Tahun 2009 dengan jelas menyatakan bahwa rumah sakit memiliki tiga macam layanan utama yaitu rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Konsep ini sejalan dengan akreditasi rumah sakit yang saat ini memiliki paradigma berpusat pada pasien, mutu, dan keselamatan pasien.

Lebih lanjut, pelayanan IGD diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 856 Tahun 2009. Dalam peraturan menteri tersebut, diatur berbagai standar mengenai IGD dalam empat tingkat pelayanan sesuai kelas rumah sakit. Ada beberapa kekhususan dalam pelayanan IGD menurut peraturan menteri ini, salah satunya mengenai indikator mutu pelayanan. Walaupun secara eksplisit tidak diatur dalam peraturan ini, salah satu tolok ukur pelayanan IGD yang baik adalah kecepatan pelayanan. Ketentuan ini berbeda dari pelayanan-pelayanan lain di rumah sakit yang lebih condong disebut sebagai pada waktu tertentu atau pada waktu yang tepat.

Dalam standar pelayanan minimal rumah sakit yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 tahun 2008 diatur bahwa IGD harus mampu memberikan pelayanan medis dalam waktu lima menit sejak pasien datang. Kecepatan dan keselamatan yang harus menjadi nafas pelayanan IGD tentu membawa konsekuensi khusus dalam pengelolaan kinerja IGD. Kekhususan ini menjadikan keterwakilan pelayanan rumah sakit tidak mungkin terjadi di IGD.

Ketiga pemikiran di atas semakin menguatkan prinsip bahwa IGD bukanlah etalase pelayanan rumah sakit. Namun demikian, sebuah penelitian pernah membandingkan data pelayanan IGD rumah sakit di Australia dan Cina. Data pasien IGD, cara masuknya, dan jenis kegawatan yang dilayani dapat membantu bagaimana rumah sakit dibandingkan satu dengan yang lainnya (Hou & Chu 2010). Beban yang diterima rumah sakit juga dapat dianalisis dari data-data tersebut. Dalam hal ini, IGD dapat menjadi tempat pengukuran yang baik bagi penilaian beban rumah sakit terhadap kasus-kasus penyakit trauma dan akut.

Penutup

Uraian di atas dapat memberikan gambaran mengapa IGD sebenarnya tidak tepat disebut sebagai etalase pelayanan rumah sakit. Dengan ketiga alasan di atas, nampak bahwa pelayanan IGD tidak mewakili pelayanan rumah sakit karena IGD menangani subpopulasi yang khusus dari populasi yang dilayani rumah sakit. Walau demikian, IGD sebagai salah satu pintu masuk rumah sakit memang perlu didukung karena penilaian customer rumah sakit dapat dimulai sejak di IGD.

Penulis

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis: dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H.. Penulis adalah dokter, sedang melanjutkan pendidikan dokter spesialis, dan pernah memimpin instalasi gawat darurat rumah sakit tipe B.

Daftar Bacaan:

  • Acharyulu, G. & Shekhar, B.R., 2012. Role of Value Chain Strategy in Healthcare Supply Chain Management: An Empirical Study in India. International Journal of Management, 29(1), pp.91–98. [Accessed October 19, 2013] 
  • Berwick, D., 2002. A user's manual for the IOM's "Quality Chasm" report. Health Affairs, 21(3), pp.80–90. [Accessed October 19, 2013].
  • Hou, X. & Chu, K., 2010. Emergency department in hospitals , a window of the world : A preliminary comparison between Australia and China. World Journal of Emergency Medicine, 1(3), pp.180–184.
  • Nelson, E.C. et al., 2002. Microsystems in Health Care: Part 1. Learning from High-Performing Front-Line Clinical Units. The Joint Commission International Journal on Quality Improvement, 28(9), pp.472–493.