Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Top manajemen sering disebut sebagai penentu kesuksesan dalam pengimplementasian Quality Improvement (QI). Karena top manajemen dianggap mampu membangun kualitas suatu organisasi sebagai prioritas utama, menciptakan kualitas sebagai budaya yang ditanamkan dalam organisasi, dan memobilisasi sumber daya keuangan dan manusia yang diperlukan untuk mendukung perkembangan organisasi. Begitu pula top manajemen pada rumah sakit. Sebagai suatu organisasi, pentingnya peran dari top manajemen pada rumah sakit di dunia budaya klinis dalam Continuous Quality Improvement/ Total Quality Management (CQI/TQM).

Namun fakta yang terjadi, manajer kesehatan kurang mampu melakukan kontrol secara langsung atas insentif dan kondisi kerja yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku dokter dan akan berdampak pada biaya dan kualitas penanganan klinis. Hal ini dapat terjadi karena ketika mereka dipekerjakan oleh suatu organisasi kesehatan, dokter diberikan status dengan hak otonomi dalam pengambilan keputusan dalam melakukan tindakan klinis. Mengingat status khusus dari dokter di organisasi kesehatan, manajer kesehatan tidak dapat bergantung pada struktur manajemen yang konvensional.

Peningkatan mutu rumah sakit harus selalu dilakukan secara berkesinambungan agar bisa memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dulu, tugas untuk meningkatkan mutu rumah sakit hanya merupakan tugas dari manajemen rumah sakit, tetapi dengan CQI/ TQM, semua pihak dilibatkan dalam peningkatan mutu rumah sakit mulai dari manajemen puncak, staf sampai dengan petugas pelayanan. CQI/ TQM mengendalikan mutu berdasar pada fakta yang objektif. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui gambaran situasi dan persolan yang ada sehingga untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam meningkatkan manajemen mutu juga berdasar atas fakta bukan opini pribadi ataupun golongan.

Pada CQI/ TQM, keterlibatan petugas medis sangat dibutuhkan. Keterlibatan tenaga medis pada CQI/ TQM dapat dilihat dari partisipasi dokter dalam pelatihan QI formal, partisipasi dokter dalam tim QI, klinisi yang terlibat dalam proyek QA/ QI dan departemen klinis di rumah sakit yang memliki proyek QA/QI resmi yang terogranisir.

Berdasarkan survei dari beberapa rumah sakit yang menerapkan CQI/ TQM, 11% dari dokter ahli telah menerima pelatihan QI formal, tetapi hanya 8% yang berpartisipasi dalam tim proyek QI. Lebih dari setengah dari departemen klinis di rumah sakit yang memiliki proyek QI yang terorganisir resmi. Akan tetapi, hanya 18% tim proyek yang menggunakan data untuk perbaikan mutu. Data ini dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data ini, kondisi rumah sakit yang menerapkan CQI/ TQM masih perlu ditingkatkan, diharapkan semua rumah sakit dapat menggunakan data tersebut untuk peningkatan mutu rumah sakit.

Tabel 1. Study Measures and descriptive Statistics

art27ags2

Keterlibatan semua pihak di rumah sakit sangat penting guna meningkatkan kualitas rumah sakit. Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa keetrlibatan semua unsur manajemen puncak, staf dan kepemimpinan dokter sangat siginifikan.
Tabel 2. Logistic Regression Analysis of Physician Involvement in Governance, Board Leadership for Quality, and CEO Leadership for Quality on Clinical Involvement in CQI/ TQM

27ags-2

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan dari atas adalah faktor kunci keberhasilan dalam memenuhi semua masalah ini. Sebagai contoh, pemimpin rumah sakit dapat meningkatkan kredibilitas dari upaya CQI/ TQM dengan menghubungkan semua aspek SDM dan keuangan untuk CQI/ TQM, selain itu juga komitmen yang kuat dan perbaikan yang berkelanjutan juga berperan dalam hal ini. Pemimpin rumah sakit dapat mendorong kinerja tim lintas fungsional antara professional kesehatan dengan menetapkan anggaran pada jalur layanan klinis.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH
Sumber: Weiner et al., 1997. Promoting Clinical Involvement in Hospital Quality Improvement Efforts: The Effects of Top Management, Board, and Physician Leadership. HSR: Health Services Research 32:4.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1070207/pdf/hsresearch00036-0116.pdf

Perkembangan zaman yang semakin maju tidak sebanding dengan peningkatan kualitas dalam dunia kedokteran. Hal ini terlihat terutama pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dan layanan primer. Dokter yang memiliki andil besar dalam mewujudkan layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau harus mampu juga melakukan pelayanan dengan memperhatikan skrinning atau penapisan rujukan tingkat pertama dan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi. Besarnya peran dan harapan terhadap dokter belum disertai kualitas dokter-dokter muda yang akan menjadi tumpuan pembangunan kesehatan ke depan.

Hasil survei dokter nasional (2003) menyatakan masih sedikit dokter yang menggunakan metode peningkatan kualitas mutu dalam pelayanan. Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai diimplementasikan pada Januari 2014, harus ada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan primer.

Penelitian yang dilakukan di Amerika serikat (AS) kepada 3.598 dokter mengenai keterlibatan mereka dalam peningkatan kualitas (Quality Improvement) di layanan kesehatan. Dari penelitian didapatkan hasil, bahwa hanya sepertiga dokter yang menerapkan sistem peningkatan kualitas dalam layanan kesehatan, baik dalam praktek pribadi atau kelompok. Dokter yang dalam prakteknya menggunakan Electronic Medical records (EMRs) memiliki tingkat penyimpanan data yang baik mengenai riwayat penyakit pasien. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kualitas dokter dalam pelayanan. Honorarium yang didapat dalam praktek oleh seorang dokter juga mempengaruhi pada kualitas dari pelayanan.

Banyak faktor yang menunjang peningkatan kualitas dalam layanan kesehatan. Oleh sebab itu kebijakan mengenai peningkatan kualitas mutu, khususnya dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh profesi dokter, sebaiknya lebih ditingkatkan. Kebijakan yang disusun sebaiknya difokuskan pada bidang kapasitas, pendidikan dan profesionalisme. Kualitas pelayanan yang baik guna mewujudkan pelayanan yang prima.

Oleh : Elisa Sulistyaningrum, S.Gz, Dietisien, MPH.
Sumber : Audet et al., 2005. Measure, Learn, And Improve: Physicians' Involvement In Quality Improvement. Health Affairs, Volume 24, Number 3.
http://content.healthaffairs.org/content/24/3/843.full.pdf+html 

Ada beragam bentuk upaya peningkatan mutu layanan kesehatan. Salah satunya dengan menurunkan lama rawat inap (length of stay/LOS) di rumah sakit. Banyak pula metode untuk menjamin peningkatan mutu ini. Salah satunya adalah metode yang melibatkan akuntabilitas dokter.

Penelitian di berbagai negara menunjukkan proporsi besar masa rawat inap tercurah pada pelayanan non akut yang sebenarnya tidak perlu rawat inap. Dari penelitian serupa ditemukan sebanyak 20% tempat tidur di rumah sakit digunakan secara tidak patut. Kejadian ini berdampak pada pemborosan biaya dan sumber daya manusia. Masa rawat inap yang panjang juga menyebabkan pasien terkena resiko komplikasi iatrogenik. Pada pasien lanjut usia, masa rawat inap berlebih meningkatkan resiko penurunan fungsi tubuh yang mempengaruhi kualitas hidup.

Studi observasi menunjukkan berbagai penyebab perpanjangan lama rawat inap, yaitu akses terhadap layanan komunitas, tertundanya pelayanan medis, dan yang tidak kalah penting adalah akibat perilaku klinisi. Berbagai intervensi seperti discharge planning, penggunaan care pathways, program pengingat bagi klinisi, audit periodik untuk identifikasi dan merespon alasan keterlambatan, penggunaan ceklis untuk perencanaan kunjungan, maupun identifikasi motivasi rujukan dokter pernah diadopsi untuk menurunkan LOS yang tidak perlu. Umumnya, intervensi yang dilakukan hanya menggunakan satu jenis strategi. Setelah implementasi strategi ini dievaluasi, hasilnya belum dapat disimpulkan strategi umum yang dapat menurunkan masa rawat inap yang tidak perlu.

Alasan inilah yang mendasari Caminiti dkk. melakukan penelitian untuk mengevaluasi dampak berbagai komponen strategi, dengan audit dan umpan balik sebagai komponen inti, untuk menurunkan LOS yang tidak perlu. Audit dan umpan balik adalah intervensi yang umum digunakan untuk meningkatkan praktek profesional baik digunakan sendiri atau menjadi komponen intervensi peningkatan mutu multifaset. Ada kepercayaan bahwa profesional kesehatan terdorong untuk memodifikasi prakteknya ketika diberikan umpan balik mengenai kinerja mereka yang tidak optimal. Studi yang bersifat cluster randomized trial itu dilakukan di 12 bangsal dengan LOS terpanjang di salah satu rumah sakit di Italia.

Strategi dalam penelitian ini bertujuan memotivasi masing-masing klinisi untuk mengadopsi pola praktek yang lebih efisien. Strategi ini terdiri dari dua komponen terintegrasi. Pertama, distribusi dua laporan bulanan. Laporan pertama berisi daftar pasien yang diklasifikasikan sebagai pasien yang masih ada di bangsal walau status klinis mereka sudah layak pulang. Laporan kedua berisi profil LOS masing-masing pasien dalam kelompok intervensi. Kedua, audit oleh profesional di masing-masing bangsal dalam kelompok intervensi. Audit ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus-kasus pasien yang dinilai layak pulang.

Penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang langsung melibatkan dokter terbukti bermanfaat untuk menurunkan LOS pada kelompok pasien yang masih dirawat tanpa alasan jelas. Strategi ini menunjukkan bahwa proses mengingatkan dokter untuk mengurangi masa rawat inap dapat dilakukan dengan cara sederhana tanpa perlu tambahan intervensi kompleks. Strategi yang melibatkan dokter, dapat membantu menurunkan masalah masa rawat inap yang terkait kontrol staf medis (lihat tabel 1). Dengan cara sederhana ini, pasien dapat juga selamat dari dampak buruk masa rawat inap yang terlalu panjang.
Tabel 1. Daftar alasan perpanjangan masa rawat inap

art27ags1

Oleh : drg. Puti Aulia Rahma, MPH
Sumber : Caminiti et al., Reducing unnecessary hospital days to improve quality care through physician accountability: a cluster randomized trial, BMC Health Service Research 2013; 13:14.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3577481/pdf/1472-6963-13-14.pdf

 

Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat kesehatan. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang aman dan bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Infeksi yang didapat di rumah sakit adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada perawatan intensif neonatal. Sehingga, untuk mendukung peningkatan keselamatan pasien di ruang perawatan NICU maka perawat perlu dibekali ilmu dan pengalaman yang cukup, sehingga kompetensi dalam penanganan pasien kritis semakin membaik. Kompetensi teknikal perawat merupakan kompetensi tidak terbatas pada kemampuan melakukan tindakan keperawatan namun lebih penting adalah keterampilan mendapatkan data yang valid dan terpercaya serta keterampilan melakukan pengkajian fisik secara akurat, keterampilan melakukan diagnostik masalah menjadi diagnosis keperawatan, keterampilan memilih dan menentukan intervensi yang tepat.

Selain mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien, perawat di unit perawatan intensif juga dituntut untuk mampu menjaga mutu pelayanan yang berkulitas. Dalam menjaga mutu pelayanan di unit perawatan intensif, fungsi dan peran perawat sangat besar, karena proses perawatan pasien diantaranya dengan observasi kondisi pasien secara ketat yang dilakukan oleh perawat. Kompetensi perawat dalam penanganan pasien kritis dan menjaga mutu pelayanan ini tidak hanya membutuhkan ilmu dan pengalaman yang cukup, namun juga tingkat kepedulian dalam merawat pasien dengan komunikasi yang efektif.

Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi perawat dengan pasien, keluarga pasien serta profesi atau unit lain. Hubungan perawat dengan unit lain atau profesi kesehatan lain juga memerlukan komunikasi dan kerjasama yang baik agar pengelolaan pasien kritis bisa optimal serta sasaran keselamatan pasien dapat tercapai.

Sebuah artikel tentang intervensi menggerakkan perawat untuk peningkatan mutu dalam mengurangi infeksi yang didapat di NICU dengan menggunakan ceklist Central line–associated blood stream infection (CLABSI) and ventilator-associated pneumonia (VAP), hal ini dilakukan untuk mengurangi kejadian infeksi sesuai dengan kriteria National Healthcare Safety Network (NHSN). CLABSI dan VAP mengaudit tingkat infeksi yang diukur sebelum dan setelah kedua ceklist tersebut diimplementasikan. Penerapan CLABSI ceklist menimbulkan penurunan 84 hari perawatan di rumah sakit yang lebih sedikit dan dapat penghematan biaya perkiraan $ 348.000, serta penurunan 92% di CLABSI sedangkan penerapan VAP mengakibatkan penurunan hari rawat rumah sakit 72 lebih sedikit, penghematan biaya diperkirakan $ 300.000, pengurangan 71% dalam VAP (preintervention untuk postintervention). Intervensi dari ceklist yang diterapkan memberikan struktur yang jelas agar perawat berhasil dengan menerapkan proses yang sistematis untuk perbaikan. Untuk meningkatkan praktek keperawatan di NICU diperlukan beberapa faktor baik pendidikan yang berfokus pada pencegahan Hospital-Acquired Infections (HAI), unsur merevisi praktek pedoman, melacak kepatuhan, dan pelaporan hasil pasien  penting dilakukan untuk membantu penyedia layanan NICU melihat dampak perubahan praktek keperawatan.

Oleh : Andriani Yulianti, SE., MPH.
Sumber : Ceballos et al., 2013. Nurse-Driven Quality Improvement Interventions to Reduce Hospital-Acquired Infection in the NICU. National Association of Neonatal Nurses. Advances in Neonatal Care . Vol. 13, No. 3. pp. 154-163.

http://stage-nursing.wkh-mr.com/ovidfiles/00149525-201306000-00004.pdf