Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pengukuran Kualitas Antibiotik

Antibiotik hanya bekerja untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik tidak bermanfaat mengobati penyakit yang diakibatkan oleh virus atau nonbakteri lainnya. Pemberian antibiotik secara rasional diartikan sebagai pemberian antibiotik yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping obat yang dalam arti konkritnya adalah:

  1. Pemberian resep yang tepat atau sesuai indikasi
  2. Pemberian dosis yang tepat
  3. Lama pemberian obat yang tepat
  4. Interval pemberian obat yang tepat
  5. Aman pada pemberiannya
  6. Terjangkau oleh penderita.13

Untuk meningkatkan pemberian antibiotik yang rasional, pemberian antibiotik pada unit pelayanan kesehatan selain harus disesuaikan dengan pedoman pengobatan juga sangat dipengaruh oleh pengelolaan obat.14 Pemberian antibiotik juga disesuaikan dengan Formularium Rumah Sakit yaitu daftar obat yang disepakati beserta informasinya yang harus ditetapkan di rumah sakit. Formularium Rumah Sakit disusun oleh tim khusus dan disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan di rumah sakit tersebut.

Penilaian mengenai rasionalitas pemberian antibiotik memuat dua aspek penting untuk dievaluasi yaitu jumlah antibiotik yang digunakan yang disebut dengan kuantitas dan ketepatan dalam pemilihan jenis antibiotik, dosis serta lama pemberian yang disebut kualitas.

Kualitas pemberian antibiotik dapat dinilai dengan melihat catatan medis. Hal-hal yang harus dinilai antara lain ada tidaknya indikasi, dosis, lama pemberian, pilihan jenis dan sebagainya.

Gyssens, dkk membagi kategori kualitas pemberian antibiotik sebagai berikut:

  1. Kategori I: pemberian dengan indikasi yang tepat
  2. Kategori II: pemberian antibiotik yang tidak tepat:
    1. Dosis
    2. Interval
    3. Rute
  3. Kategori III: pemberian antibiotik atas indikasi yang tepat dosis/interval/rute yang tepat tapi tidak tepat dalam lama pemberian (terlalu lama atau terlalu sebentar)
  4. Kategori IV: pemberian antibiotik yang tepat indikasi, dosis/interval/rute serta lama pemberian tetapi tidak tepat jenisnya
    1. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif
    2. Ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik
    3. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah
    4. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih sempit spektrumnya.
  5. Kategori V: pemberian antibiotik yang tanpa indikasi
  6. Kategori VI: rekam medis tidak lengkap untuk dievaluasi.

Penilaian kualitas pemberian antibiotik pada penelitian ini menggunakan alur Gyssens.

gbr20

Waktu pemberian antibiotik merupakan hal penting. Tempat dimana timing memiliki pengaruh yang besar yaitu pada pemberian antibiotik profilaksis dalam kasus bedah. Durasi pemberian antibiotik seharusnya cukup lama untuk membunuh bakteri kausatif, namun cukup singkat untuk mikroflora endogen pada pasien, dan cukup singkat untuk mikroflora di lingkungan. Penelitian ini menggunakan kriteria Gyssens.

Kualitas pemberian antibiotik dinilai dengan melihat langsung catatan medis kemudian oleh reviewer independen dengan menggunakan bagan alur Gyssens untuk menilai peresepan antibiotik. Setiap antibiotik yang diresepkan oleh dokter dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu terapi, profilaksis, dan unknown atau tidak diketahui tujuannya. Pemberian antibiotik tanpa adanya gejala klinis infeksi yang diberikan setengah sampai satu jam sebelum tindakan bedah disebut profilaksis. Peresepan untuk profilaksis diberi label Antimicrobial Drug Prophylaxis (ADP). Pemberian antibiotik tipe terapi dapat dibedakan menjadi Antimicrobial Drug Empiric therapy (ADE), Antimicrobial Drug Extended Empiric therapy (ADET) dan Antimicrobial Drug Documented (ADD) therapy. ADE merupakan terapi empirik yang digunakan pada 72 jam pertama perawatan dan belum terdapat hasil kultur. ADET adalah terapi empirik luas tanpa diagnosis definitif yang merupakan kelanjutan dari ADE. ADD merupakan terapi yang diberikan setelah diagnosis definitif tegak/ setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi keluar. Sedangkan untuk tipe terapi unknown diberi label Antimicrobial Drug Unknown (ADU) therapy, yaitu apabila antibiotik diberikan tanpa ada indikasi pemberian antibiotik.

Penutup

Kualitas antibiotik yang ternilai dengan baik mencerminkan penerapan pemakaian antibiotik yang bijaksana (prudent use of antibiotics). Pemberian tersebut selain secara empiris, juga secara definitif berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi yaitu tes sensitivitas antibiotik yang harus disertai usulan pemilihan jenis antibiotik dengan mempertimbangkan keadaan klinis pasien.

Mikrobiologi klinik dalam hal ini memegang peranan. Mikrobiologi klinik merupakan cabang Ilmu Kedokteran Medik yang memanfaatkan kompentensi di bidang Kedokteran Umum dan Mikrobiologi Kedokteran untuk bersama-sama klinisi terkait melaksanakan tindakan surveilans, pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi serta secara aktif melaksanakan tindakan pengendalian infeksi di lingkungan rumah sakit, fasilitas pelayananan kesehatan lain maupun masyarakat.

Pada pelayanan/asuhan medis dalam menghadapi masalah medis yang berhubungan dengan infeksi, diagnosis rasional dan bijak apabila analisis data dan informasi hasil pengkajian menggunakan landasan teori dan konsep mikrobiologi kedokteran, terutama kepentingannya dalam merancang alternatif tindakan dan terapi antibiotik pilihan (educated-guess).

Pemerintah Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan HK. 02.04/1966/I/1966/11 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Intensiv Care Unit (ICU) yang di dalamnya menyebutkan bahwa tim di ICU salah satunya adalah dokter spesialis mikrobiologi klinik dengan tugas mengawal pemakaian antibiotik yang bijak.

Hal ini selaras dengan panduan yang diacu internasional yaitu panduan dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan American Society for Microbiology (ASM) melalui dokumen yang dipublikasikan 10 Juli 2013 mengenai peranan spesialis mikrobiologi klinik yang tak hanya di tingkat laboratorium dengan menyediakan hasil yang akurat namun juga di tingkat klinik dengan melakukan konfirmasi hasil laboratorium mikrobiologi dengan kondisi klinis penderita.

Oleh: dr. Ridha Wahyutomo, Sp.MK (Mikrobiologi Klinik RS. Mardi Rahayu)

Referensi:

  1. Chambers, H.F., 2010, General Principles of Antimicrobial Therapy, In: Goodman and Gilman’s ThePharmacological Basis of Therapeutics, 12th Edition, McGraw-Hill Companies, New York, 316-317
  2. Russell AD. Types of antibiotics and synthetic antimicrobial agents. In: Denyer SP, Hodges NA, Gorman SP, editors. Hugo and Russell’s Pharmaceutical Microbiology. 8 ed. Massachusetts, USA: Blackwell Science Ltd; 2011. p. 152-4.
  3. Rezaei M, Komijani M, Javadirad SM. Bacteriostatic Agents. In: Bobbarala V, editor. A Search for Antibacterial Agents. Rijeka, Croatia: InTech; 2012. p. 219.
  4. Porco TC, Gao D, Scott JC, Shim E, Enanoria WT, Galvani AP, et al. When Does Overuse of Antibiotics Become a Tragedy of the Commons? PLoS ONE. 2012;7(12):1-3.
  5. Fonseca MJo, Santos CL, Costa Pc, Lencastre L, Tavares F. Increasing Awareness about Antibiotic Use and Resistance: A Hands-On Project for High School Students. PLoS ONE. 2012;7(9):1-2.
  6. World Health Organization. The Role of Education in the Rational use of medisines: New Delhi: WHO; 2008
  7. Opal SM, Mayer KH, Medeiros AA. Mechanisms of Bacterial Antibiotic Resistance. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, editors. Principles and Practice of Infectious Diseases. 7 ed. USA: Churchill Livingstone; 2010. p. 236-48
  8. Enzler MJ, Berbari E, Osmon DR. Antimicrobial Prophylaxis in Adults. Mayo Clinic Proceedings. 2011;86(7):686-701.
  9. Hadi U, Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter M, Veld DHit, et al. Audit of antibiotic prescribing in two governmental teaching hospitals in Indonesia. Clinical Microbiology Infectious Disease. 2008;14:698–707.
  10. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Buku Panduan Implementasi PPRA di Rumah Sakit. 2012
  11. Jawetz, Melnick, Adelberg, 2011, Antimicrobial Chemotherapy, In : Jawetz, Melnick, and Adelberg's Medisal Microbiology, 24th Edition, McGraw-Hill Companies, New York, 163-66
  12. DeMarco CE, Lerner SA. Mechanisms of Action of Antimicrobial Agents. In: Goldman E, Green LH, editors. Practical Handbook of Microbiology. USA: CRC Press; 2009. p. 132-40.
  13. Cunha BA. Antibiotik Essentials. Massachusetts: Physicians' Press; 2010
  14. Depkes R.I.,. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta. 2008
  15. Gyssens . IC,. Audit For monitoring quality antimikrobial prescription, dalam : Gould I.M. Van Der Meer, penyunting Antibiotik Policies: Theory and practice, Kluwer Academic Publisher, New York, 2005, h.197-226
  16. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit. In: Kesehatan, editor. Jakarta: Kemenkes; 2011. p. 1-8.
  17. Baron EJ, Miller JM, Weinstein MP, Richter SS, Gilligan PH, Bourbeau P, et al. A Guide to Utilization of the Microbiology Laboratory for Diagnosis of Infectious Diseases: 2013 Recommendations by the Infectious Diseases Society of America (IDSA) and the American Society for Microbiology (ASM). Infectious Diseases Society of America. 2013:1-100.

 

Kanker serviks menempati ranking kedua sebagai penyakit kanker yang paling banyak diderita oleh wanita di seluruh dunia, dan yang tidak kalah mengejutkan lebih dari 80% terjadi di negara berkembang. Hal ini sejalan dengan prediksi beberapa ahli diberbagai belahan dunia beberapa dekade belakangan bahwa tren penyakit tidak menular di negara berkembang akan semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan pola penyakit dari yang dulunya penyakit menular ke penyakit tidak menular.

Situasi ini bisa disebabkan karena perubahan gaya hidup dengan semakin berkembangnya industrialisasi dan teknologi yang mana merupakan suatu hal yang baik bahwa masyarakat di negara berkembang boleh dikatakan semakin maju. Namun hal ini juga bisa berarti tantangan baru, banyak negara berkembang masih kesulitan dengan penyakit tidak menular dan sekarang muncul "pendatang baru" yang pastinya akan membuat mereka lebih kesulitan. Salah satunya adalah meningkatnya health care cost karena penyakit tidak menular membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perawatannya. Untuk itu pencegahan dan pendekatan berbasis kesehatan masyarakat sangat penting untuk menekan bertambahnya penyakit tidak menular.

Dalam salah satu review artikelnya, Scarinci et al. (2010) memaparkan pendekatan yang menarik dan mungkin bisa dipertimbangkan untuk pencegahan kanker serviks terutama untuk daerah dengan sumber daya kesehatan yang terbatas. Dalam artikel tersebut, Scarinci et al. (2010) memaparkan fenomena kanker serviks di Amerika Serikat yang mana lebih dari 60% terjadi pada kelompok minoritas (populasi Afrika-Amerika dan masyarakat miskin). Kelompok ini tidak memiliki akses yang baik pada pelayanan kesehatan (vaksin dan screening), ditambah lagi sebagai kelompok minoritas wanita pada kelompok ini merasa malu apabila menerima vaksin atau melakukan screening karena takut dianggap tidak bisa menjaga kesehatannya.

Scarinci et al. (2010) merekomendasikan 2 tindakan pencegahan yang dinilai efektif untuk mengatasi masalah ini, yakni :

  1. Pencegahan tingkat pertama dengan menyediakan vaksin untuk wanita berusia kurang dari 18 tahun.
  2. Pencegahan tingkat kedua dengan screening/deteksi dini untuk mengidentifikasi kejadian kanker sedini mungkin dan menentukan perawatan yang tepat untuk wanita usia 30 tahun ke atas.

Scarinci et al. (2010) berpendapat bahwa kedua pendekatan ini harus berfokus pada kelompok umur yang tepat sehingga perawatan yang diberikan akan tepat sasaran. Selain itu Scarinci et al. (2010) juga menekankan pentingnya community-based intervention untuk mengurangi ketimpangan dalam pencegahan kanker serviks. Sebuah studi kualitatif di negara bagian South Carolina menemukan bahwa kelompok minoritas lebih aktif berpartisipasi pada edukasi kanker serviks yang dilakukan oleh gereja setempat dibanding oleh organisasi lain.

Hal ini membuktikan pentingnya melibatkan organisasi kemasyarakatan untuk hasil yang lebih maksimal dalam mengedukasi masyarakat. Studi lain di negara bagian Alabama dan Mississippi menemukan adanya peningkatan angka screening untuk kanker payudara dan kanker serviks pada populasi wanita Afrika-Amerika dengan pendekatan Community-Based Participatory Research (CBPR) dan Empowerment Model dimana memanfaatkan komunitas setempat sebagai relawan/Community Health Workers (CHW).

Sudahkan kita mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah penyakit tidak menular ini?

Oleh: Stevie Ardianto Nappoe,
SKM-Master Student, The University of Alabama at Birmingham, Fulbright Scholar 2016

Scarinci, I. C., Garcia, F. A., Kobetz, E., Partridge, E. E., Brandt, H. M., Bell, M. C., Castle, P. E. (2010). Cervical Cancer Prevention: New Tools And Old Barriers. Cancer, 116(11), 2531-2542. doi:10.1002/cncr.25065
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2876205/pdf/nihms179540.pdf

Latar Belakang

Alexander Fleming menemukan antibiotik pertama, penicillin, pada 1927. Setelah digunakan pertama kali tahun 1940-an, antibiotik membawa perubahan besar pada pelayanan kesehatan dan penyembuhan infeksi bakterial.

Antibiotik didefinisikan sebagai substansi, yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Munculnya antibiotik sintetik mengubah definisi menjadi substansi yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau substansi serupa yang diproduksi keseluruhan maupun sebagian oleh sintesis kimia, pada konsentrasi minimal terukur menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain.

Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi. Artinya obat itu harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Berdasarkan sifat ini, sifat antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bakterisid.

Berdasarkan penelitian, kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian di rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi. Peresepan antibiotik yang tidak tepat menjadi penyebab timbulnya epidemik bakteri resisten yang hasilnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. WHO telah mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah antibiotik, termasuk strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi.

Resistensi Antibiotik

Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotik. Sifat ini bisa merupakan suatu mekanisme alamiah untuk tetap bertahan hidup. Timbulnya resistensi pada suatu strain mikroba terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih dari mekanisme berikut:

  1. Penghambatan secara enzimatik
  2. Perubahan membran sel bakteri
  3. Effluks antibiotik
  4. Perubahan sasaran di ribosom
  5. Perubahan target pada dinding sel
  6. Perubahan target pada enzim.

Agar suatu obat efektif untuk pengobatan, maka obat itu harus mencapai tempat aktivitasnya di dalam tubuh dengan kecepatan dan jumlah yang cukup untuk menghasilkan konsentrasi efektif.

Prinsip Pemberian Antibiotik di Klinik

1. Tepat Indikasi

Pemberian antibiotik di klinik bertujuan untuk menghentikan metabolisme kuman penyebab infeksi. Pemberian antibiotik ditentukan berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut:

  1. Gambaran klinik penyakit infeksi, yaitu efek yang ditimbulkan akibat adanya toksin yang dikeluarkan bakteri ke tubuh hospes.
  2. Efek terapi antibiotik pada penyakit infeksi hanya sebagai akibat kerja antibiotik terhadap biomekanisme bakteri dan tidak terhadap biomekanisme tubuh hospes.
  3. Antibiotik hanyalah menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari penyakit infeksi.

Untuk menentukan perlu atau tidaknya pemberian antibiotik pada suatu penyakit perlu diperhatikan gejala klinik dan patogenisitas bakteri serta kesanggupan mekanisme pertahanan tubuh hospes.

Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik penyakit infeksi paling umum, tidak merupakan indikator kuat pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik akibat demam tidak bijaksana karena:

  1. Pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat merugikan pasien (berupa efek samping) dan masyarakat (berupa masalah resistensi).
  2. Demam dapat disebabkan oleh infeksi virus yang cukup tinggi angka kejadiannya dan tidak dapat dipercepat penyembuhannya dengan menggunakan antibiotik yang tidak rasional.
  3. Demam dapat juga terjadi pada penyakit noninfeksi, yang dengan sendirinya bukan indikasi pemberian antibiotik.

Indikasi pemberian antibiotik pada pasien harus dipertimbangkan dengan seksama, dan sangat tergantung pada pengalaman pengamatan klinik dokter yang mengobati pasien.9

2. Pemilihan Antibiotik yang Tepat

Setelah dokter menentukan perlu tidaknya pemberian antibiotik, langkah berikutnya adalah pemilihan antibiotik yang tepat serta penentuan dosis dan cara pemberiannya. Dalam memilih antibiotik yang tepat harus dipertimbangkan faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotik, keadaan tubuh hospes dan biaya pengobatan.

Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotik, perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan diambil sebelum pemberian antibiotik. Setelah pengambilan bahan tersebut terutama dalam keadaan penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotik dapat dimulai dengan memilih antibiotik yang tepat sesuai gejala klinis pasien.

Dalam praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada setiap penyakit infeksi. Sehingga pemilihan antibiotik dilakukan dengan membuat perkiraan kuman penyebab infeksi dan pola kepekaannya.

Bila dari hasil kepekaan ternyata pilihan antibiotik semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik maka terapi menggunakan antibiotik tersebut diteruskan. Namun jika hasil uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotik yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotik semula gejala klinik penyakit tersebut menunjukkan perbaikan-perbaikan yang menyakinkan maka antibiotik semula dapat diteruskan. Tetapi apabila hasil perbaikan klinis kurang memuaskan, antibiotik yang diberikan semula dapat digantikan dengan antibiotik yang lebih efektif sesuai dengan hasil uji sensitivitas.

Bila pemberian antibiotik hanya bersifat bakteriostatik, pemusnahan bakteri hanya tergantung pada daya tahan tubuh hospes, tidak demikian halnya dengan antibiotik bakterisid. Antibiotik bakterisid dapat dipastikan menghasilkan efek terapi, apalagi bila diketahui bahwa daya tahan tubuh hospes telah menurun, seperti pada penyakit difisiensi imun, leukimia akut dan lain-lain. Pada keadaan ini lebih baik digunakan antibiotik bakterisid.

Keadaan tubuh hospes perlu dipertimbangkan untuk memilih antibiotik yang tepat. Untuk pasien penyakit infeksi yang juga menderita penyakit ginjal misalnya, jika diperlukan jenis tetrasiklin sebagai antibiotik, maka sebaiknya dipilih doksisiklin yang paling aman diantara tetrasiklin lainnya.10

3. Penentuan Dosis dan Lama Pemberian yang Tepat

Penentuan dosis dan lama pemberian terapi antibiotik, didasarkan pada sifat farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut.
Untuk penentuan besar dosis tergantung pada jenis infeksi dan penetrasi obat ke tempat infeksi. Sedangkan untuk penentuan lama pemberian tergantung pada respon klinik, mikrobiologis maupun radiologis.

4. Farmakokinetik Antibiotika

Faktor-faktor yang penting dan berperan dalam farmakokinetika obat adalah absorpsi, distribusi, biotransformasi, eliminasi, faktor genetik dan interaksi obat. Antibiotika yang akan mengalami transportasi tergantung dengan daya ikatnya terhadap protein plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu mempunyai kemampuan sebagai antimikroba.
Transport antibiotika ditentukan oleh proses difusinya, luas daerah transfer, kelarutan dalam lemak, berat molekul, derajat ionisasi, koefisien partisi dan perbedaan konsentrasi. meternofetal.1,2,11,12

Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pemberian Antibiotik

Pemberian antibiotik adalah penentu utama dari berkembangnya resistensi. Banyak parameter yang telah dibuat untuk mengoptimalkan penilaian kualitas pemberian antibiotik. Peningkatan pemberian antibiotik secara bijak menjadi solusi sebagai upaya mengatasi resistensi. Pemilihan antibiotik yang bijak yaitu adalah yang tepat indikasi, dosis, rute serta waktu pemberian.

Jumlah antibiotik yang diberikan juga menentukan tepat tidaknya peresepan antibiotik tersebut. Pemberian antibiotik yang bijak meliputi kuantitas dan kualitas yang baik tergantung dari:

  1. Ketersediaan antibiotik
    Keterbatasan akses mendapatkan antibiotik yang efektif juga mempengaruhi pilihan dokter untuk meresepkan antibiotik yang tepat. Hal ini berkaitan dengan formularium antibiotik atau daftar antibiotik yang tersedia di sebuah rumah sakit. Untuk pelayanan obat dalam program Jamkesmas mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 1455/Menkes/SK/X/2010, tangggal 4 Oktober 2010 tentang Formularium Program Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Dalam keadaan tertentu, bila memungkinkan RS bisa menggunakan formularium RS.
  2. Kebijakan mengenai pemberian antibiotik
    Kebijakan untuk pemberian antibiotik secara bijak diperlukan sebagai pedoman bagi dokter dalam praktik sehari-hari. Rekomendasi nasional yang mendukung pemberian antibiotik sebaiknya terus dikembangkan sehingga pelaksanaan dan pengawasan pemberian antibiotik dapat secara ketat dilaksanakan. Sebaiknya pedoman pemberian antibiotik di rumah sakit diperbarui secara berkesinambungan.
  3. Pengetahuan dan sikap dokter
    Pemilihan antibiotik tergantung dari pengetahuan dokter tentang berbagai aspek yang berbeda mengenai penyakit infeksi. Dalam pemberian antibiotik harus dipertimbangkan dengan seksama mulai dari ketepatan diagnosis, tujuan pengobatan, pilihan obat yang tepat, pemberian obat kepada penderita, memberikan informasi yang adekuat dan memantau efek pemberian obat. Hal ini sangat tergantung pada sikap dan pengalaman pengamatan klinik dokter dalam mengobati pasien. Faktor yang mempengaruhi perubahan sikap individu maupun kelompok, salah satunya adalah faktor pendorong (reinforcing faktors) yaitu faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang dikarenakan adanya sikap dan perilaku pihak lain misalnya institusi, atasan, teman kerja atau tokoh lain yang menjadi model. Faktor pengetahuan dan sikap dokter merupakan faktor penting, walaupun tidak diingkari pula terdapat peran dari pihak lain seperti institusi yang membawahi dokter dan farmasi.
  4. Promosi farmasi
    Industri faramasi ikut berperan dalam penyediaan dan promosi antibiotik. Terkadang pihak farmasi mengintervensi dokter karena menginginkan pemberian produk antibiotiknya meningkat, sehingga mempengaruhi dokter dalam peresepan. Sebaiknya dilakukan pengendalian dan pengawasan terhadap aktivitas promosi tersebut.10

Oleh: dr. Ridha Wahyutomo, Sp.MK (Mikrobiologi Klinik RS. Mardi Rahayu)

Referensi:

  1. Chambers, H.F., 2010, General Principles of Antimicrobial Therapy, In: Goodman and Gilman’s ThePharmacological Basis of Therapeutics, 12th Edition, McGraw-Hill Companies, New York, 316-317
  2. Russell AD. Types of antibiotics and synthetic antimicrobial agents. In: Denyer SP, Hodges NA, Gorman SP, editors. Hugo and Russell’s Pharmaceutical Microbiology. 8 ed. Massachusetts, USA: Blackwell Science Ltd; 2011. p. 152-4.
  3. Rezaei M, Komijani M, Javadirad SM. Bacteriostatic Agents. In: Bobbarala V, editor. A Search for Antibacterial Agents. Rijeka, Croatia: InTech; 2012. p. 219.
  4. Porco TC, Gao D, Scott JC, Shim E, Enanoria WT, Galvani AP, et al. When Does Overuse of Antibiotics Become a Tragedy of the Commons? PLoS ONE. 2012;7(12):1-3.
  5. Fonseca MJo, Santos CL, Costa Pc, Lencastre L, Tavares F. Increasing Awareness about Antibiotic Use and Resistance: A Hands-On Project for High School Students. PLoS ONE. 2012;7(9):1-2.
  6. World Health Organization. The Role of Education in the Rational use of medisines: New Delhi: WHO; 2008
  7. Opal SM, Mayer KH, Medeiros AA. Mechanisms of Bacterial Antibiotic Resistance. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, editors. Principles and Practice of Infectious Diseases. 7 ed. USA: Churchill Livingstone; 2010. p. 236-48
  8. Enzler MJ, Berbari E, Osmon DR. Antimicrobial Prophylaxis in Adults. Mayo Clinic Proceedings. 2011;86(7):686-701.
  9. Hadi U, Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter M, Veld DHit, et al. Audit of antibiotic prescribing in two governmental teaching hospitals in Indonesia. Clinical Microbiology Infectious Disease. 2008;14:698–707.
  10. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Buku Panduan Implementasi PPRA di Rumah Sakit. 2012
  11. Jawetz, Melnick, Adelberg, 2011, Antimicrobial Chemotherapy, In : Jawetz, Melnick, and Adelberg's Medisal Microbiology, 24th Edition, McGraw-Hill Companies, New York, 163-66
  12. DeMarco CE, Lerner SA. Mechanisms of Action of Antimicrobial Agents. In: Goldman E, Green LH, editors. Practical Handbook of Microbiology. USA: CRC Press; 2009. p. 132-40.
  13. Cunha BA. Antibiotik Essentials. Massachusetts: Physicians' Press; 2010
  14. Depkes R.I.,. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta. 2008
  15. Gyssens . IC,. Audit For monitoring quality antimikrobial prescription, dalam : Gould I.M. Van Der Meer, penyunting Antibiotik Policies: Theory and practice, Kluwer Academic Publisher, New York, 2005, h.197-226
  16. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit. In: Kesehatan, editor. Jakarta: Kemenkes; 2011. p. 1-8.
  17. Baron EJ, Miller JM, Weinstein MP, Richter SS, Gilligan PH, Bourbeau P, et al. A Guide to Utilization of the Microbiology Laboratory for Diagnosis of Infectious Diseases: 2013 Recommendations by the Infectious Diseases Society of America (IDSA) and the American Society for Microbiology (ASM). Infectious Diseases Society of America. 2013:1-100.

 

Kelompok Pendukung Ibu (KP Ibu) adalah kelompok berbasis masyarakat yang terdiri dari Ibu hamil dan Ibu yang berjumlah maksimal 10 orang yang menyusui anak usia 0 – 6 bulan dan mengadakan pertemuan rutin setiap bulan untuk berbagi pengalaman dan informasi seputar kehamilan, melahirkan dan menyusui. Kelompok Pendukung Ibu menyusui merupakan salah satu upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang mendapatkan dukungan pelayanan serta pembinaan teknis dari petugas kesehatan.

Tujuan KP Ibu adalah agar ibu siap dalam menghadapi persalinan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan dapat memberikan ASI eksklusif secara lancar. Pertemuan ini difasilitasi oleh seorang motivator, yaitu ibu dengan usia yang sebaya dengan peserta lainnya yang akan berbagi pengalaman dan informasi seputar kehamilan, melahirkan dan menyusui. Motivator sudah dilatih terlebih dahulu dengan didampingi oleh petugas kesehatan sebagai pembina KP Ibu. Pembina KP Ibu adalah seseorang yang berkomitmen dan bertugas sehari-harinya sebagai orang yang banyak melakukan pendampingan ke masyarakat, seperti petugas kesehatan dari Puskesmas dan PKK.

Kegiatan KP Ibu di Indonesia yang diinisiasi oleh Mercy Corps Indonesia merupakan adaptasi dari program mother to mother support group yang dipublikasikan oleh program LINKAGES pada tahun 2004 tentang dukungan sebaya (peer support) untuk Ibu mengenai perawatan dan gizi ibu hamil serta persiapan ibu dalam melakukan IMD, pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan melanjutkan pemberian ASI disertai Makanan Pendamping (MPASI) yang bergizi hingga anak berusia 2 tahun.

Berdasarkan upayanya dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan, KP Ibu melibatkan tiga level/konteks, yaitu; 1. Konteks lingkungan (dengan fasilitator berasal dari Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah). 2. Konteks organisasi (dengan fasilitator berasal dari Dinas Kesehatan setempat, Mercy Corps Indonesia dan puskesmas), 3.Konteks sistem mikro pelayanan kesehatan (dengan fasilitator berasal dari petugas kesehatan di puskesmas, PKK dan motivator sebagai kader kesehatan),

Dalam konteks lingkungan, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan mengatur regulasi berkaitan dengan pemberian ASI serta KP Ibu. Program KP Ibu mendukung Pasal 128 dan 129 UU No. 36 Tahun 2009 (UU Kesehatan) dan Peraturan Pemerintah no.33 tahun 2012 yang mengatur tentang pemberian ASI ekslusif. Program KP Ibu juga merupakan salah satu dari "Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui" yang dicanangkan oleh mantan Menteri Kesehatan (Almh) dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH, dimana terdapat pernyataan pada langkah nomor sepuluh yaitu "Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI di masyarakat dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Sarana Pelayanan Kesehatan".

Sampai saat ini, program KP Ibu sudah terlaksana di berbagai kota dan kecamatan di Indonesia. DIY sendiri merupakan salah satu provinsi yang aktif dalam program KP Ibu, contohnya saja di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul telah mencanangkan pembentukan KP Ibu di seluruh dusun/Posyandu di Kabupaten Bantul yang dibakukan dalam Surat Edaran Setda Bantul pada Februari 2010 kepada seluruh Kepala Desa se-Kabupaten Bantul agar memfasilitasi pembentukan,regenerasi dan pendampingan berkelanjutan KP Ibu di wilayahnya melalui Dana Alokasi Dana Desa (ADD).

Dalam konteks organisasi, Puskesmas memegang peranan penting dalam pelaksanaan KP ibu di wilayah cakupannya. Kepala Puskesmas bertanggung jawab atas kegiatan ini tetapi secara teknis dilakukan oleh tim KP ibu di setiap puskesmas. Untuk menghasilkan Pembina KP Ibu yang berkualitas, Dinas Kesehatan yang bertugas mengadakan pembinaan serta melakukan mentoring dan evaluasi berkala terhadap petugas kesehatan yang dibina. Dalam kegiatan pembinaan, didatangkan narasumber yang kompeten seperti dokter dan konselor laktasi. Perwakilan Mercy Corps Indonesia juga turut hadir seperti pada kegiatan Bimtek petugas KP Ibu di Kantor Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur, pada September 2014.

Dalam sistem mikro pelayanan kesehatan, petugas kesehatan dari puskesmas yang menjadi Pembina KP Ibu akan melatih dan mendampingi ibu-ibu dari PKK atau ibu-ibu yang menjadi kader kesehatan di wilayahnya untuk menjadi motivator KP Ibu. Dengan dibekali pengetahuan dan keterampilan, motivator akan berbagi ilmu dan membantu ibu menyusui dalam menghadapi kesulitan selama pemberian ASI Ekslusif di setiap pertemuan rutinnya. Dari kegiatan ini, diharapkan para peserta KP Ibu bisa menyebarkan informasi kepada ibu hamil dan menyusui lainnya mengenai ASI ekslusif.

Adanya pencapaian tingkat mutu yang diharapkan telah dibuktikan oleh salah satu penelitian yang menilai adanya peningkatan perilaku ASI eksklusif di kelompok dusun dengan program KP Ibu sebesar 17% (39% pada sebelum program dan 56% pada sesudah program) dibandingkan kelompok dusun tanpa program KP Ibu sebesar 8.8% di Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul DIY pada tahun 2010.

Penulis: dr. Novika Handayani

Artikel ini merupakan resensi dari artikel pada link dibawah ini:

  1. http://kpibu.blogspot.co.id/2014/09/latar-belakang-pembentukan-kp-ibu.html 
  2. http://kpibu.blogspot.co.id/2014/09/kegiatan-bimtek-petugas-pembina.html 
  3. https://www.mercycorps.org/articles/indonesia/mothers-supporting-mothers
  4. http://puskesmas.bantulkab.go.id/srandakan/2012/11/28/kelompok-pendukung-ibu-kp-ibu-bantul-di-desa-trimurti-srandakan/ 

Referensi:

  1. Morrow, A., Guerrero,m., Shults,J., Calva, J., Lutter, C., Bravo, J., Palacios, G., Morrow, R., Butterfoss, F. 1999. Efficacy of home-based peer counselling to promote exclusive breastfeeding: a randomised controlled trial. The Lancet.Vol 353.April 10, 1999
  2. Lakshmi, T. 2011. Hubungan Kelompok Pendukung Ibu Terhadap Perubahan Perilaku Menyusui di Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul di Yogyakarta (Analisa Data Sekunder KPC Healthy Start Yogyakarta Survey 2009 – 2010). Tesis, Mahasiswi Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
  3. http://www.dinkes.kulonprogokab.go.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=105
  4. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/10-langkah-menuju-keberhasilan-menyusui
  5. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/breastfeeding-family
  6. https://www.mercycorps.org/articles/indonesia/promoting-early-and-exclusive-breastfeeding 
  7. http://www.tensteps.org/pdf/breastfeeding-faqs-mtms.pdf