Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kelompok Pendukung Ibu (KP Ibu) adalah kelompok berbasis masyarakat yang terdiri dari Ibu hamil dan Ibu yang berjumlah maksimal 10 orang yang menyusui anak usia 0 – 6 bulan dan mengadakan pertemuan rutin setiap bulan untuk berbagi pengalaman dan informasi seputar kehamilan, melahirkan dan menyusui. Kelompok Pendukung Ibu menyusui merupakan salah satu upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang mendapatkan dukungan pelayanan serta pembinaan teknis dari petugas kesehatan.

Tujuan KP Ibu adalah agar ibu siap dalam menghadapi persalinan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan dapat memberikan ASI eksklusif secara lancar. Pertemuan ini difasilitasi oleh seorang motivator, yaitu ibu dengan usia yang sebaya dengan peserta lainnya yang akan berbagi pengalaman dan informasi seputar kehamilan, melahirkan dan menyusui. Motivator sudah dilatih terlebih dahulu dengan didampingi oleh petugas kesehatan sebagai pembina KP Ibu. Pembina KP Ibu adalah seseorang yang berkomitmen dan bertugas sehari-harinya sebagai orang yang banyak melakukan pendampingan ke masyarakat, seperti petugas kesehatan dari Puskesmas dan PKK.

Kegiatan KP Ibu di Indonesia yang diinisiasi oleh Mercy Corps Indonesia merupakan adaptasi dari program mother to mother support group yang dipublikasikan oleh program LINKAGES pada tahun 2004 tentang dukungan sebaya (peer support) untuk Ibu mengenai perawatan dan gizi ibu hamil serta persiapan ibu dalam melakukan IMD, pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan melanjutkan pemberian ASI disertai Makanan Pendamping (MPASI) yang bergizi hingga anak berusia 2 tahun.

Berdasarkan upayanya dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan, KP Ibu melibatkan tiga level/konteks, yaitu; 1. Konteks lingkungan (dengan fasilitator berasal dari Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah). 2. Konteks organisasi (dengan fasilitator berasal dari Dinas Kesehatan setempat, Mercy Corps Indonesia dan puskesmas), 3.Konteks sistem mikro pelayanan kesehatan (dengan fasilitator berasal dari petugas kesehatan di puskesmas, PKK dan motivator sebagai kader kesehatan),

Dalam konteks lingkungan, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan mengatur regulasi berkaitan dengan pemberian ASI serta KP Ibu. Program KP Ibu mendukung Pasal 128 dan 129 UU No. 36 Tahun 2009 (UU Kesehatan) dan Peraturan Pemerintah no.33 tahun 2012 yang mengatur tentang pemberian ASI ekslusif. Program KP Ibu juga merupakan salah satu dari "Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui" yang dicanangkan oleh mantan Menteri Kesehatan (Almh) dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH, dimana terdapat pernyataan pada langkah nomor sepuluh yaitu "Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI di masyarakat dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Sarana Pelayanan Kesehatan".

Sampai saat ini, program KP Ibu sudah terlaksana di berbagai kota dan kecamatan di Indonesia. DIY sendiri merupakan salah satu provinsi yang aktif dalam program KP Ibu, contohnya saja di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul telah mencanangkan pembentukan KP Ibu di seluruh dusun/Posyandu di Kabupaten Bantul yang dibakukan dalam Surat Edaran Setda Bantul pada Februari 2010 kepada seluruh Kepala Desa se-Kabupaten Bantul agar memfasilitasi pembentukan,regenerasi dan pendampingan berkelanjutan KP Ibu di wilayahnya melalui Dana Alokasi Dana Desa (ADD).

Dalam konteks organisasi, Puskesmas memegang peranan penting dalam pelaksanaan KP ibu di wilayah cakupannya. Kepala Puskesmas bertanggung jawab atas kegiatan ini tetapi secara teknis dilakukan oleh tim KP ibu di setiap puskesmas. Untuk menghasilkan Pembina KP Ibu yang berkualitas, Dinas Kesehatan yang bertugas mengadakan pembinaan serta melakukan mentoring dan evaluasi berkala terhadap petugas kesehatan yang dibina. Dalam kegiatan pembinaan, didatangkan narasumber yang kompeten seperti dokter dan konselor laktasi. Perwakilan Mercy Corps Indonesia juga turut hadir seperti pada kegiatan Bimtek petugas KP Ibu di Kantor Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur, pada September 2014.

Dalam sistem mikro pelayanan kesehatan, petugas kesehatan dari puskesmas yang menjadi Pembina KP Ibu akan melatih dan mendampingi ibu-ibu dari PKK atau ibu-ibu yang menjadi kader kesehatan di wilayahnya untuk menjadi motivator KP Ibu. Dengan dibekali pengetahuan dan keterampilan, motivator akan berbagi ilmu dan membantu ibu menyusui dalam menghadapi kesulitan selama pemberian ASI Ekslusif di setiap pertemuan rutinnya. Dari kegiatan ini, diharapkan para peserta KP Ibu bisa menyebarkan informasi kepada ibu hamil dan menyusui lainnya mengenai ASI ekslusif.

Adanya pencapaian tingkat mutu yang diharapkan telah dibuktikan oleh salah satu penelitian yang menilai adanya peningkatan perilaku ASI eksklusif di kelompok dusun dengan program KP Ibu sebesar 17% (39% pada sebelum program dan 56% pada sesudah program) dibandingkan kelompok dusun tanpa program KP Ibu sebesar 8.8% di Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul DIY pada tahun 2010.

Penulis: dr. Novika Handayani

Artikel ini merupakan resensi dari artikel pada link dibawah ini:

  1. http://kpibu.blogspot.co.id/2014/09/latar-belakang-pembentukan-kp-ibu.html 
  2. http://kpibu.blogspot.co.id/2014/09/kegiatan-bimtek-petugas-pembina.html 
  3. https://www.mercycorps.org/articles/indonesia/mothers-supporting-mothers
  4. http://puskesmas.bantulkab.go.id/srandakan/2012/11/28/kelompok-pendukung-ibu-kp-ibu-bantul-di-desa-trimurti-srandakan/ 

Referensi:

  1. Morrow, A., Guerrero,m., Shults,J., Calva, J., Lutter, C., Bravo, J., Palacios, G., Morrow, R., Butterfoss, F. 1999. Efficacy of home-based peer counselling to promote exclusive breastfeeding: a randomised controlled trial. The Lancet.Vol 353.April 10, 1999
  2. Lakshmi, T. 2011. Hubungan Kelompok Pendukung Ibu Terhadap Perubahan Perilaku Menyusui di Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul di Yogyakarta (Analisa Data Sekunder KPC Healthy Start Yogyakarta Survey 2009 – 2010). Tesis, Mahasiswi Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
  3. http://www.dinkes.kulonprogokab.go.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=105
  4. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/10-langkah-menuju-keberhasilan-menyusui
  5. http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/breastfeeding-family
  6. https://www.mercycorps.org/articles/indonesia/promoting-early-and-exclusive-breastfeeding 
  7. http://www.tensteps.org/pdf/breastfeeding-faqs-mtms.pdf 

Asma adalah masalah kesehatan global yang serius dengan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan (Global Initiative for Asthma - GINA, 2012) karena dapat meningkatkan biaya pada saat perawatan kesehatan. Asma perlu mendapat perhatian karena penyakit asma dapat menurunkan produktivitas dan meningkatkan beban ekonomi. Pengetahuan tentang penyakit asma perlu diketahui masyarakat umum, sehingga ikut membantu dalam meminimalisasi faktor pencetus asma bagi penderitanya. Orang yang mengidap asma seringkali tidak bisa menjalani hidup normal dan produktif. Kemajuan terbaru dalam ilmu kesehatan memungkinkan seseorang untuk mengendalikan gejala-gejala yang dapat melumpuhkannya, karena hampir semua orang yang mengidap asma bisa menjalani hidup normal. Hal ini hanya dimungkinkan jika penderita mendapatkan perawatan yang teratur dan juga melakukan perawatan mandiri dalam mengatasi asma tersebut. Terapi pencegahan yang teratur adalah kunci untuk mengontrol asma.

Keberhasilan mengontrol penyakit asma butuh komitmen dari petugas kesehatan dan pasien itu sendiri untuk membuat rencana manajemen asma berkelanjutan yang meliputi diagnosa dan memilih obat yang tepat, mengidentifikasi dan menghindari pemicu serangan asma, mengedukasi pasien mengenai manajemen asma diri sendiri, serta memantau dan memodifikasi perawatan asma. Bila upaya yang dilakukan untuk menghindari faktor pencetus asma berhasil, maka gangguan asma pada penderita bisa dikendalikan. Kriteria klinis asma yang terkontrol, terlihat bila penderita bebas gejala asma, aktivitas sehari-harinya tidak terganggu asma, tidak lagi mengalami gangguan ketika tidur, tidak lagi menggunakan obat pelega lagi dan hasil pemeriksaan faal parunya normal.

Pengetahuan dan sikap penderita tentang perawatan asma rata-rata masih rendah. Hal ini ditandai dengan: penderita kurang memahami tentang penyakit asma, pengertian, faktor yang mempengaruhi timbulnya asma, hal-hal yang harus dilakukan untuk perawatan penyakit asma. Kurangnya kesadaran pada penderita untuk melakukan pola hidup sehat, olahraga, menjaga kebersihan lingkungan rumah sehingga banyak debu, tidak ada ventilasi dan kecenderungan untuk menutupi penyakitnya.

Dalam mengendalikan Asma sebagian besar pasien menggunakan obat pencegahan; yang mana mayoritas tidak terkontrol penggunaannya. Hanya sekitar 3,2% dari pasien melakukan pemantauan diri rutin di rumah pada aliran ekspirasi puncak dan 38% dari pasien melaporkan bahwa meskipun mereka memiliki peak flow meter, mereka tidak menggunakannya secara teratur. Untuk obat pencegahan sebanyak 55,7% dari pasien asma menggunakan inhaler dengan benar sedangkan 44,3% lainnya diperlukan pendidikan karena teknik inhalasi masih dirasa buruk.

Dalam sebuah penelitian yang ditemukan oleh Elena Gurkova et all (2015) dengan membedakan antara kontrol asma pada pasien dewasa yang dikontrol selama 6 bulan dan 12 bulan. Hasilnya menunjukkan perbedaan yang signifikan yakni ada tingkat signifikan lebih tinggi dari kontrol asma pada pasien setelah 12 bulan dikontrol dibandingkan dengan orang-orang dalam 6 bulan masa tes. Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kontrol asma dan kualitas hidup pada orang dewasa dengan asma, penelitian yang ada berfokus pada evaluasi pembangunan satu tahun kontrol asma dan dua pendekatan yang saling melengkapi untuk menilai kualitas hidup menggunakan health-related quality of life (HRQOL) dan subjective well-being (SWB). Kontrol asma hanya menyumbang 13% dari varians dalam SWB dan 64% di HRQOL, Hal ini menunjukkan bahwa dampak asma lebih besar pada komponen fungsi fisik HRQOL (gejala dan keterbatasan aktivitas) dari pada komponen mental atau emosional HRQOL (National Heart Lung dan Blood Institute, 2007) atau domain SWB. Dalam penetian yang ditemukan oleh Correira de Sousa et al. (2013) juga ditemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara kontrol asma dan kualitas hidup dari pasien asma yang dirawat di praktek umum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol asma, pada gilirannya mempengaruhi kualitas hidup yang terkait kesehatan. Faktor-faktor seperti harapan pasien yang rendah terhadap pengobatan, pentingnya gejala dan kurangnya kesadaran kontrol diidentifikasi sebagai penentu terkait pasien pada kontrol asma. Oleh karena itu, adanya kebutuhan untuk meningkatkan harapan pasien dengan meningkatkan kesadaran kualitas hidup yang dapat dicapai. Dari data yang ada dapat dilihat bahwa selama 12 bulan ada perubahan signifikan dalam domain fisik kualitas hidup (persepsi gejala dan tingkat aktivitas fisik). Perubahan dalam domain emosional kualitas hidup dan kepuasan hidup secara keseluruhan tidak signifikan. Temuan ini menekankan peran pemantauan rutin pada pasien yang dikontrol asma. Hal ini dapat menyebabkan partisipasi yang lebih aktif dari pasien dan meningkatkan harapan hidup mereka daripada hanya hasil terapi.

Oleh: Andriani Yulianti, MPH
Sumber: Gurkova E., et al. Relationship Between Asthma Control, Health-Related Quality Of Life And Subjective Well-Being In Czech Adults With Asthma. Cent Eur J Nurs Midw 2015;6(3):274–282 Doi: 10.15452/CEJNM.2015.06.0016
http://periodika.osu.cz/

Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mengharuskan sektor pelayanan kesehatan untuk terus berbenah guna meningkatkan daya saing. Langkah awal perbaikan berkelanjutan adalah dengan memahami variasi proses dalam pelayanan kesehatan.

Penyedia layanan kesehatan kini dituntut untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan. Perbaikan yang dilakukan harus berbasis fakta lapangan yang diterjemahkan dalam bentuk data. Data terpercaya yang dikumpulkan dengan metode yang baik selanjutnya diterjemahkan menjadi informasi yang berguna untuk mengambil keputusan dan mengubah suatu proses pelayanan kesehatan menjadi lebih baik.

Suatu seri data biasanya akan menunjukkan peningkatan dan penurunan selama kurun waktu tertentu, misalnya jumlah pasien yang mengalami phlebitis di bangsal penyakit dalam setiap bulan selama kurun waktu satu tahun. Adanya peningkatan dan penurunan ini menunjukkan adanya variasi dalam proses pemberian layanan kesehatan.

Fisikawan, insinyur, sekaligus ahli statistik Walter Shewhart yang dikenal sebagai bapak quality control melalui teori yang dikemukakannya tahun 1931 mengungkapkan bahwa cara untuk memperbaiki suatu proses adalah dengan meminimalkan variasi, dan bila mungkin, mengarahkan keseluruhan proses ke tujuan yang ingin dicapai. Shewhart membedakan variasi menjadi dua jenis yaitu special cause variation dan common cause variation.

Common cause variation merupakan variasi random yang dapat terjadi karena berbagai faktor yang ada dalam suatu proses. Variasi yang terjadi merupakan ritme regular dari suatu proses dan menghasilkan suatu proses yang stabil atau 'in control'. Seseorang dapat membuat prediksi yang sempit atau presisi dari proses yang hanya memiliki common cause variation.

Special cause variation disebabkan oleh suatu hal tidak biasa yang disebabkan karena adanya perubahan atau kejadian tertentu di luar sistem proses. Ketika suatu special cause terjadi, suatu proses akan berada di luar kendali atau 'out of control'. Akan sangat sulit untuk melakukan prediksi outcome suatu proses akibat special cause variation.

Suatu proses yang baik memiliki variasi yang minimal. Namun, suatu proses produksi menggunakan mesin canggih sekali pun dapat saja memiliki variasi. Bisa kita bayangkan variasi yang dapat terjadi dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dilakukan oleh banyak orang.

Adanya variasi dalam suatu proses, baik itu common cause variation maupun special cause variation, tidak dapat dikatakan merupakan sesuatu yang baik maupun buruk. Special cause variation yang tidak direncanakan biasanya merupakan suatu hal yang tidak diinginkan. Namun, dalam upaya perbaikan proses, adanya suatu special cause variation merupakan suatu sinyal yang menandakan upaya perbaikan yang dilakukan berjalan dengan efektif.

Sebaliknya suatu proses bisa saja hanya memiliki common cause variation atau dikatakan stabil namun pada titik yang tidak dapat diterima. Sebagai contoh angka infeksi luka operasi (ILO) mencapai 40% ± 5% merupakan suatu sistem proses yang stabil tetapi tentu bukanlah angka yang diharapkan.

Identifikasi jenis variasi sangat penting karena perbaikan suatu proses membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk masing-masing tipe variasi. Pada suatu proses yang memiliki special cause variation, perbaikan dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi special cause terlebih dahulu sebelum mengubah seluruh sistem. Untuk sistem proses dengan common cause variation perbaikan proses bertujuan untuk mempersempit variasi dan mengarahkan outcome menuju nilai yang diharapkan.

Banyak metode yang dapat digunakan untuk membedakan common cause variation dan special cause variation. Metode analisis seperti Shewhart (control) chart, cumulative summation charts, funnel plots dan run chart. Dari semuanya run chart merupakan metode sederhana namun dapat memberikan informasi penting terkait kinerja suatu proses. Sayangnya metode ini kurang banyak digunakan dalam dunia kesehatan.

Oleh : dr. Berli Kusuma

Sumber:

  1. Harrison S. Using run charts for healthcare improvement-an introduction. [internet]. September 2012 [cited: 19 October 2016].
  2. Perla RJ, Provost LP, Murray SK. The run chart: a simple analytical tool for learning from variation in healthcare processes. BMJ Qual Saf. 2011;20:46-51. doi:10.1136/bmjqs.2009.037895
  3. Berardinelli, Carl. A Guide to Control Charts. [internet]. January 2012 [cited: 19 October 2016]. 

 

Penyakit Asma di Amerika Serikat masih dianggap sebagai persoalan serius. Hal itu tak lain karena masih tingginya jumlah penderita asma dan pengaruhnya yang signifikan terhadap kerentanan kualitas hidup 15-17 Juta penderita. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi kondisi tersebut mencapai 12,7 miliar per tahun. Pada kelompok minoritas atau pada populasi yang mendiami daerah-daerah pinggiran yang marginal ditemukan banyak insiden, morbilitas hingga kematian yang disebabkan oleh Asma. East Harlem adalah salah satu contoh komunitas dengan angka rawat inap (hospitalization) tertinggi akibat Asma dengan angka kematian mencapai 10 kali di atas rata-rata nasional. Fakta tersebut membuat berbagai pihak melakukan upaya-upaya dengan pendekatan keilmuan untuk mengurangi jumlah penderita asma akut dan di sisi lain mengurangi penggunaan layanan kesehatan untuk menekan biaya.

Berdasarkan hasil studi sebelumnya, faktor risiko penyebab meningkatnya jumlah rawat inap penyakit asma meliputi faktor demografi, klinis, penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai resep serta kondisi lingkungan sosial yang tidak mendukung. Diantara beberapa faktor risiko tersebut, yang paling konsisten dilaporkan dan muncul adalah faktor jenis kelamin, taraf sosial ekonomi yang rendah, dan konsumsi obat yang tidak sesuai resep. Di samping beberapa faktor utama tersebut, juga terdapat faktor lain seperti sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan kendala bahasa (komunikasi) dalam proses konsultasi, jika seluruh faktor tersebut dibiarkan dapat berpotensi tinggi pada penurunan kualitas kehidupan penderita asma. Singkatnya, dari berbagai pola kejadian yang berlangsung, dapat diamati bahwa terdapat korelasi antara faktor lingkungan, demografi, situasi pemanfaatan layanan kesehatan dan kualitas hidup penderita asma.

Dalam rangka memastikan hal tersebut dan menyajikannya dalam bentuk sebuah data ilmiah yang dapat dipertangunggjawabkan serta sebagai upaya menganalisis berbagai faktor utama yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita asma. Maka, sebuah penelitian di Amerika dilakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data tentang pasien dari berbagai sudut pandang. Hal menarik dan sekaligus menjadi poin penting dalam penelitian ini tidak lain adalah fokusnya pada identifikasi berbagai faktor yang sekiranya dapat dimodifikasi dan pada akhirnya di intervensi untuk diubah melalui kebijakan atau cara-cara lain yang mungkin, guna mengurangi risiko penurunan kualitas hidup penderita asma. Mengingat situasi (faktor risiko) yang sama juga dapat dijumpai pada masyarakat Indonesia, tentu hal ini penting untuk diketahui yaitu bagaimana proses dan hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan untuk kasus penderita asma yang terdapat di Indonesia. Berikut uraian singkat tentang penelitian tersebut.

Substansi dari penelitian ini untuk menemukan faktor-faktor, hubungan antar faktor, serta kaitannya dengan resource utilization yang sekiranya dapat berpotensi pada penurunan kualitas hidup penderita asma. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan melakukan wawancara kepada 198 orang dewasa yang dirawat dengan diagnosa asma di beberapa rumah sakit di daerah pinggiran dalam periode satu tahun. Kegiatan wawancara dibagi menjadi beberapa tahapan, tahap pertama dalam wawancara dikumpulkan informasi detail mengenai kondisi sosiodemografi, sejarah asma penderita/responden (dapat berupa rekam medis), akses pada perawatan, jenis obat-obatan asma yang digunakan, dan aerolallergens. Tahap Kedua adalah mengumpulkan berbagai data yang tersedia pada resource utilization (unit emergensi rumah sakit dan unit admisi rumah sakit untuk asma), kemudian informasi tentang kaitan asma dan kualitas hidup penderita direkam selam 6 bulan sejak proses perawatan. Berbagai temuan data dalam beberapa tahapan wawancara tersebut diolah dengan pendekatan analisis univariat dan multivariat dalam statistik, untuk mengetahui/memprediksi pemanfaatan sumber daya (resource utilization), kondisi sosiodemografi dan kaitannya dengan kondisi kualitas hidup penderita asma.

Lokasi penelitian bertempat di Mount Sinai Hospital, total waktu penelitian yang dibutuhkan 1 (satu) tahun dengan kriteria responden berumur 18 tahun, dapat berbahasa Ingrris atau Spanyol, berkompeten memberikan persetujuan atau informasi tertentu, dan terdiagnosa mengidap asma sebagai alasan utama mendapatkan perawatan di Rumah Sakit bersangkutan. Sebelum seluruh proses collecting data dilakukan, seluruh staf peneliti dilatih teknik survei dan wawancara dalam bahasa Inggris atau Spanyol. Selama wawancara awal, pasien diminta menjawab serangkaian pertanyaan demografis yang meliputi jenis kelamin, usia, ras/etnis, tingkat pendidikan, status pekerjaan, bahasa utama yang digunakan, asuransi, dan pendapatan rumah tangga. Sementara untuk kondisi komorbiditas dilaporkan oleh pasien apakah ada atau tidak ada, seperti sinusitis kronis, penyakit gastroesophageal reflux, gagal jantung kongestif, bronkitis kronis, diabetes, depresi, dan kecemasan atau serangan panik.

Mengenai informasi tentang akses pada perawatan dievaluasi dengan pertanyaan tentang kesulitan mendapatkan seorang dokter atau perawat melalui telepon, membuat janji mendesak, atau mendapatkan obat untuk asma. Selain itu, pasien ditanya apakah mereka memiliki seorang dokter pribadi yang bertanggung jawab untuk mengelola asma mereka dan melaporkannya.

Dalam hal mendeteksi tingkat keparahan asma, penelitian ini menggunakan beberapa indikator, termasuk diantaranya penggunaan kronis kortikosteroid sistemik, frekuensi kunjungan rawat jalan atau rawat inap selama 12 bulan, dan riwayat intubasi endotrakeal. Penelitian tersebut juga mengumpulkan informasi mengenai regimen asma pasien, kualitas perawatan asma, kepatuhan yang dilaporkan, dan perilaku manajemen diri. Kemudian untuk mnegtahui salah satu bagian terpenting dalam penelitian, yakni pengaruh asma yang diderita dengan kualitas hidup, penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuisioner dengan nama Mini Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ) yang dikembangkan oleh Juniper, dkk. Instrumen berupa kuisioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang terbagi menjadi 4 domain; keterbatasan aktivitas (activity limitations), gejala, kondisi/fungsi emosi, serta pengaruh lingkungan. Skor untuk setiap domain, serta skor komposit total, dapat berkisar dari 1 sampai 7, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik.

Seteleh diolah menggunakan aplikasi statistik, data-data yang dikumpulkan selama masa penelitian berlangsung berhasil membawa pada beberapa kesimpulan sesuai dengan pengelompokan domain analisis yang dibuat. Untuk kasus penelitian ini (yang diselenggarakan dari tahun 2001 hingga 2002), menghasilkan beberapa kesimpulan. Beberapa diantaranya, pada 6 bulan pertama penelitian, terdapat 49 % dari jumlah keseluruhan responden yang kembali mendapat perawatan di rumah sakit, baik rawat inap maupun rawat jalan. 49 % responden tersebut sebagian besar berasal dari golongan masyarakat dengan taraf ekonomi rendah. Kesimpulan ini relevan dengan fakta mengenai area epidemologi asma, yakni di daerah-daerah pinggiran, tempat dimana masyarakat berpendapatan rendah bermukim. Faktor pengaruh lain yang masuk dalam kesimpulan adalah bahwa sebagian besar dari 49 persen tersebut adalah tipikal pasien yang memiliki ketergantungan yang kuat pada obat-obat asma seperti oral steroid yang mereka gunakan dengan intensitas yang sangat tinggi.

Kecenderungan lain yang ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa jumlah penderita asma berjenis kelamin perempuan lebih sedikit jumlah kunjungan rawat inap maupun rawat jalannya. Perbandingan dengan pasien berjenis klamin laki-laki adalah 45% dan 63%). Sementara hasil penelitian yang berkaitan dengan jumlah penggunaaan pelayanan/fasilitas kesehatan (resorce utilization), menunjukkan bahwa perbedaan bahasa, ras, warna kulit dan jenis klamin tidak berkaitan dengan tinggi rendahnya jumlah penggunaan resource utilization. Kesimpulan penting lain yang dapat dicatat dari hasil penelitian tersebut yakni relasi antara tingkat keparahan dan jumlah kunjungan (baik rawat jalan maupun rawat inap) dengan kondisi alergi pasien. sebagain besar dari jumlah pasien dengan asma akut dan sering melakukan kunjangan perawatan adalah pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap hewan tertentu, terutama kecoak.

Beberapa kesimpulan tersebut menunjukan pada dua kecenderungan utama, yakni terdapat hubungan yang kuat antara tingginya jumlah pengidap asma akut dengan rendahnya taraf ekonomi dan buruknya kondisi lingkungan. Hasil penelitian ini menggambarkan kondisi umum maupun realitas yang melingkupi kasus asma yang terjadi di Amerika Serikat. Beberapa konisi dan kecendrungan dalam kesimpulan yang menjadi hasil penelitian dapat digolongkan sama dengan apa yang dapat kita jumpai di Indonesia, dan tentu terdapat pula perbedaan yang signifikan. Kecendrungan kesamaan kondisi yang dimaksud misalnya bahwa di Indonesia juga terdapat realitas masyarakat dengan taraf ekonomi dan kondisi lingkungan yang buruk. Tak hanya itu, kendala perbedaan bahasa dan komunikasi dalam interaksi antara tenaga medis dan pasien sering menjadi kendala sebuah proses diagnosa atau pengobatan yang optimal juga terjadi di Indonesia. Dalam serangkaian realitas dan konteks tersebutlah menjadi cukup relevan untuk meletakkan dan mengkaji proses hingga hasil penelitian tersebut diatas sebagai referensi yang memperkaya wawasan, sudut pandang dan wacana keilmuan dalam konteks penanggulangan penyakit asma.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep, MPH
Sumber: Wisnivesky, et al. Predictors of asthma-related health care utilization and quality of life among inner-city patients with asthma. 2005. Allergy ClinImmunol Vol. 116, Number 3.