Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Upaya besar diperlukan oleh pasien yang mengidap penyakit Diabetes tipe 2, dimana edukasi diperlukan untuk meningkatkan kesehatan dengan tetap menghormati kebutuhan individu serta pilihan sukarela mereka. Artikel ini akan menyampaikan hasil penelitian ujicoba konstruk teori intervensi edukasi tersebut, dengan berfokus pada perspketif pasien terkait nilai yang mereka peroleh dengan adanya intervensi edukasi.

Meningkatnya penyakit kronis diantaranya penyakit diabetes, memerlukan manajemen yang baik sehingga tatalaksana penyakit tersebut dapat efektif, salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan edukasi yang memiliki tujuan jelas dan pasien terlibat dalam proses pelayanan kesehatan yang mereka terima. Pada artikel ini akan dibahas mengenai pemberdayaan edukasi pasien diabetes, penerapannya, serta penyampaian manfaat jangka panjang yang dapat diperoleh. Pengawasan diabetes sendiri merupakan suatu hal yang komplek serta memiliki berbagai perawatan dengan berbagai edukasi sesuai dengan jenis perawatan. Namun strategi manajemen diabetes yang saling memiliki ketergantungan, berpusat di tiga elemen kunci, yakni:

  • Pendidikan dan dukungan untuk manajemen diri (termasuk pengurangan faktor risiko gaya hidup)
  • Strategi pengobatan yang efektif untuk menjaga tingkat normal glukosa darah dan lipid, serta tekanan darah normal
  • Pengawasan yang efektif untuk deteksi dini dan pengobatan komplikasi

Pada studi ini dilakukan perbandingan antara teori yang berhubungan dengan pengalaman belajar orang dewasa (tabel I) dengan perilaku menjaga kesehatan (tabel II).

17art-1

Edukasi kesehatan adalah kegiatan yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk pencapaian pada kesehatan atau penyakit yang berhubungan dengan pembelajaran, dan beberapa relatif membuat perubahan permanen dalam kemampuan dan disposisi individu. Efektivitas edukasi kesehatan dapat mengubah pengetahuan dan pemahaman cara berpikir, yang mungkin dapat berdampak pada perubahan perilaku atau gaya hidup.

Berikut adalah model kerja edukasi pasien yang mendasarkan pada berbagai teori yang saling berhubungan, dan menggambarkan bagaimana berbagai teori fokus pada lima domain pembelajaran, dimana perubahan dapat terjadi pada; pengetahuan, ketrampilan, pemahaman, sikap, dan aplikasi.

17art-3

Partisipan dalam penelitian ini dipilih secara acak dan dibagi kedalam beberapa kategori intervensi, yang terbagi menjadi:

  • Kelompok percobaan jangka pendek (0 bulan)
  • Kelompok kontrol jangka pendek (6 bulan)
  • Setelah itu kelompok jangka pendek digabung untuk membentuk kelompok percobaan jangka panjang
  • Kelompok kontrol jangka panjang (> 12 bulan)

Sedangkan percobaan ini dirancang, agar partisipan menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait edukasi, sebagai berikut:

  • Apakah berdampak pada keyakinan pasien terhadap penyakit?
  • Menyebabkan perubahan dalam perilaku perawatan diri?
  • Berdampak pada kontrol gula darah?

Jumlah sampel untuk kelompok percobaan sebesar 53 orang, dan kelompok kontrol sejumlah 36 orang. Sekitar 40% yang bersedia berpartisipasi dari jumlah keseluruhan yang diminta terlibat, sebagian menolak untuk berpartisipasi, penolakkan yang terjadi dengan berbagai alasan antara lain; kurangnya ketertarikan terhadap penelitian, keterbatasan waktu, kebutuhan pasien yang memiliki komitmen pada program edukasi selama 8 minggu. Hal-hal tersebut kemungkinan berpengaruh pada proses rekrutmen.

Untuk intervensi yang dipilih berdasarkan pada Program Otoritas Edukasi Kesehatan 'Look After Yourself". Intinya adalah memberdayakan edukasi kesehatan yang didasarkan pada anggapan bahwa akusisi pengetahuan tidak cukup membekali individu untuk melakukan tindakan mandiri. Intervensi 'The Diabetes Look After Yourself' dilaksanakan selama 8 minggu, yang masing-masing sesi setiap minggunya berlangsung selama 2 jam, dan disampaikan oleh tutor yang semuanya adalah perawat spesialis diabetes dan telah dilatih serta dilengkapi dengan panduan mengajar untuk memastikan standarisasi konten. Konten dari kursus meliputi; latihan olah raga dan relaksasi serta berbagai topik kesehatan yang berkaitan dengan self-management diabetes.

Pada pelaksanaan penelitian, hasil yang diperoleh dibagi menjadi temuan klinis dan perspektif pasien. Berikut adalah tabel temuan klinis:

17art-4

Sedangkan untuk mengkaji perspektif pasien dilakukan penilaian kualitatif dengan melaksanakan 10 Focus Group Discussion (FGD), 5 FGD dilaksanakan segera setelah kursus selesai dan 5 FGD dilaksanakan setelah percobaan selesai dilakukan. Untuk menggali persepsi pasien terhadap intervensi dan dampak yang dihasilkan dipergunakan tool semi terstruktur. Hasil penilaian kualitatif dengan FGD seperti terangkum dalam tabel berikut:

17art-5

Penggalian data dilakukan pada dua kategori dan penentuan tema dikembangkan dari pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi pasien tentang nilai apa yang diperoleh dari adanya intervensi. Berikut dua kategori yang ditentukan dalam studi kualitatif:

Kategori 1 : Kesesuaian intervensi untuk pasien dengan diabetes tipe 2
Tema 1 : Keahlian dan kemampuan bimbingan yang dimiliki perawat
Tema 2 : Negosiasi kurikulum
Tema 3 : Pengalaman pembelajaran
Tema 4 : Dukungan kelompok dan pembelajaran kolaboratif

Kategori 2 : Timeline beserta diagnosis
Tema 1 : Serapan edukasi yang berbeda
Tema 2 : Menyelaraskan kebutuhan pasien agar sesuai dengan intervensi

Artikel ini menguraikan bagaimana suatu teori dipergunakan untuk membuat suatu framework untuk mengarahkan edukasi terhadap pasien beserta evaluasinya. Mengacu pada hasil uji hipotesis yang dilakukan, diketahui bahwa terdapat hubungan antara data yang diperoleh. Sedangkan keterbatasan percobaan terletak pada jumlah partisipan yang bersedia terlibat dalam penelitian ini. Selain itu data secara terperinci juga tidak dihasilkan dalam penelitian ini, sehingga hasil studi ini memiliki keterbatasan untuk digeneralisasi. Sehingga kedepannya diperlukan penelitian lebih lanjut, terkait alasan kesediaan atau ketidaksediaan seseorang untuk terlibat dalam inisiatif edukasi.

Berdasarkan hasil studi ini, beberapa hal yang bisa disampaikan antara lain:

  • Pertama adalah studi ini fokus pada persepsi pasien bahwa apa yang mereka dapatkan membantu mereka.
    Mereka mendeskripsikan bagaimana penghargaan, kepercayaan, empati, dan keahlian adalah hal kritis yang penting bagi mereka, demikian juga dengan pembelajaran dari pasien lain dengan penyakit sejenis.
  • Kedua adalah intervensi menghasilkan outcome klinis yang positif atau baik untuk periode singkat, tetapi dampak ini tidak dirasakan secara longitudinal.
    Temuan dalam FGD menyebutkan bahwa alasan yang terkait dengan hasil ini adalah kurangnya pengetahuan khusus diantara tenaga kesehatan profesional dan pada sistem pelayanan kesehatan yang membatasi tanggungjawab personal dan keinginan untuk mengendalikan nasib mereka.
  • Ketiga adalah rendahnya serapan edukasi pasien mungkin tidak hanya mencerminkan iklim budaya yang menyebabkan ketergantungan, tapi kemungkinan juga mencerminkan keinginan pasien untuk 'meneruskan' peran pasif mereka

Konklusi dari studi ini dapat disampaikan bahwa edukasi dapat memberdayakan pasien untuk ambil bagian dalam tanggungjawab untuk mengelola penyakitnya, namun mereka tidak dapat mencapai kesuksesan jangka panjang tanpa bantuan dari tenaga kesehatan profesional yang dapat memberikan dukungan fasilitas untuk mencapai tujuan pasien. Peran ini memerlukan pemahaman mengenai teori edukasi pasien dan kemampuan komunikasi yang baik, sehingga diperlukan integrasi antara pengetahuan medis dan sosial ke dalam suatu edukasi profesional sehingga kemitraan dengan pasien dalam tatalaksana penyakit diabetes dapat terwujud.

Dirangkum oleh : Lucia Evi Indriarini
Sumber : Cooper et. al., Patients' perspectives on diabetes health care education. Health Research Education. Theory and Practice. Vol. 18 No. 2. 2003.
http://her.oxfordjournals.org/content/18/2/191.full.pdf+html

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan di Indonesia, mulai menunjukkan dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program ini memudahkan masyarakat mengakses layanan kesehatan. Masyarakat juga terjamin secara finansial bila menderita sakit. Namun, selama program bergulir, perhatian pemerintah baru tertuju pada peningkatan jumlah peserta, jumlah provider, maupun kendali biaya. Urusan mutu layanan kesehatan belum menjadi prioritas. Dampaknya, masyarakat bisa saja mengakses fasilitas kesehatan dengan mutu layanan yang tidak baik.

Selain Indonesia, negara-negara berpendapatan rendah dan menengah lainnya di kawasan Asia Pasifik juga mengalami kondisi serupa. Akreditasi rumah sakit memang telah dilakukan sebagai upaya meningkatkan mutu layanan kesehatan secara umum. Namun, di negara-negara Asia Pasifik ini, layanan rawat jalan disinyalir merupakan jenis layanan yang menyebabkan sharing biaya paling besar. Jenis layanan ini pula yang membawa beban ganda untuk penyebaran penyakit menular dan tidak menular. Situasi ini patut menjadi perhatian utama pemerintah setempat.

Apa saja yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan? Berikut empat usulan strategi yang disebutkan dalam policy brief bertema Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?: Pertama, menginvestasikan sumber daya untuk membangun definisi operasional dan pengukuran mutu layanan kesehatan. Semua standar yang diperlukan untuk menjamin mutu layanan perlu dikembangkan lengkap dengan metode pengukurannya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi profesi dan provider untuk melakukan hal ini.

Kedua, menyediakan sumber daya dan panduan strategi peningkatan mutu di pusat layanan kesehatan publik. Strategi ini terbukti dapat meningkatkan mutu layanan di fasilitas kesehatan umum di Singapura dan Thailand. Pemerintah di kedua negara tersebut berinvestasi cukup besar untuk menjalankan strategi ini dan melakukan pengawasan berkala. Peningkatan mutu layanan kesehatan publik dapat mendorong fasilitas kesehatan swasta untuk meningkatkan mutu layanannya.

Ketiga, memperbaiki pemanfaatan pembiayaan dan strategi berbasis pasar untuk menghasilkan insentif bagi perbaikan mutu layanan kesehatan. Upaya yang dapat dilakukan dalam strategi ini diantaranya adalah mengaitkan pengukuran indikator mutu dengan sistem pembayaran provider. Investasi secara simultan untuk peningkatan kapasitas dan pelatihan juga perlu dilakukan agar provider dapat memberi layanan bermutu sesuai standar. Implementasi strategi ini juga dapat berupa pembuatan definisi operasional untuk tiap layanan dan melakukan pengawasan berkala. Keempat, kombinasi pelaksanaan berbagai strategi. Tidak ada strategi tunggal yang dapat berhasil optimal saat dijalankan. Implementasi berbagai strategi berdasar diagnosis masalah akan sangat dibutuhkan untuk memecahkan masalah mutu layanan kesehatan.

Di Indonesia, keempat usulan strategi ini masih relevan dilakukan walaupun tidak semuanya. Indonesia sudah memiliki standar layanan kesehatan dan metode pengukurannya. Namun, Indonesia belum banyak berinvestasi untuk pengembangan kapasitas sumber daya. Sistem pembayaran tenaga kesehatan juga belum dikaitkan dengan indikator mutu. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan dan mengimplementasikan usulan strategi-strategi ini untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan di era JKN.

oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Sumber : Hort K dan Dayal P, 2015, Policy Brief Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?, Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies, Vol. 4 No. 1.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf 

Artikel terdahulu dari serial artikel minggu ini telah menjabarkan empat usulan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan dalam era JKN yang disarikan dari policy brief bertema "Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries (LMIC) to improve and regulate the quality of ambulatory care?".

Policy brief  tersebut juga menambahkan dua strategi peningkatan mutu layanan rawat jalan melalui pendekatan finansial, yaitu melalui "social franchising" dan "pay for performance". Kedua strategi ini diajukan karena: 1) banyak diterapkan di LMIC, 2) memiliki dasar teori yang kuat terutama untuk meningkatkan mutu pelayanan rawat jalan yang kompleks, dan 3) dapat digunakan sebagai alat dalam kerangka kerja JKN untuk mengukur dampak mutu pada level sistem.

Strategi pertama adalah "social franchising", mirip dengan model franchise di berbagai lembaga usaha (supermarket misalnya) namun franchise jenis ini lebih bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sosial, bukan keuntungan finansial. Franchisor biasa merupakan not-for-profit organization (NGO), atau lembaga pemerintah atau bisa juga lembaga for-profit, sedangkan lembaga pemberi franchise umumnya adalah sebuah lembaga pemberi pelayanan tertentu.

Penerapan "social franchising" antara lain seperti sebuah RS yang membuka jaringan pelayanan rawat jalan baik di perkotaan maupun di pedesaan, jaringan tersebut dapat berupa sarana pelayanan kesehatan primer dalam bentuk klinik dokter umum, dokter gigi, bidan/perawat praktek mandiri atau bisa juga dalam bentuk sarana pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi). Jaringan tersebut tidak dimiliki oleh RS sebagai franchisor, namun demikian franchiser mungkin membayar jasa/fee kepada RS tersebut sebagai timbal balik penggunaan merek dan logo RS serta penggunaan berbagai sumber daya secara bersama (misalnya peralatan dan juga pembelian bersama) sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan efisiensi biaya.

Di sisi lain RS tersebut ikut bertanggung jawab atas mutu yang diberikan dan konsistensi pelaksanaan prosedur yang ditetapkan melalui penilaian berdasarkan kunjungan dan laporan rutin bahkan melalui audit klinik sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan.

Strategi kedua adalah "pay for performance" atau insentif berdasarkan kinerja dapat diterapkan oleh institusi asuransi/pembiayaan (seperti BPJS) kepada fasilitas pelayanan kesehatan dan juga dapat diterapkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan kepada para staf mereka.

Ada beragam model "pay for performance", itu tergantung dari para pihak yang membayar dan yang dibayar, cara menetapkan dan mengukur kinerja, bagaimana cara insentif digunakan dan cara mengukur dampaknya terhadap kinerja. Efektivitas metode ini tergantung dari dukungan regulasi, sistem informasi dan pelaporan yang baik, kemungkinan untuk perbaikan dan inovasi, kemampuan manajemen untuk menerapkan, keleluasaan untuk mobilisasi sumber daya (termasuk SDM) dan kebebasan untuk membuat desain pelayanan yang sesuai dengan target mutu dan kuantitas.

Kedua strategi ini dapat diuji cobakan oleh BPJS antara lain dengan mendorong klinik pratama untuk membuat jejaring bersama klinik pratama lain dengan tujuan meningkatkan mutu dan efisiensi biaya atau memberikan insetif dalam bentuk finansial atau bentuk lain bagi fasyankes yang menunjukan kinerja yang baik.

Oleh: Hanevi Djasri, dr, MARS

Sumber : Hort K dan Dayal P, 2015, Policy Brief Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?, Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies, Vol. 4 No. 1.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mendengar pembicaraan terkait kualitas, baik itu mengenai kualitas produk barang maupun jasa, misalnya pada jasa pelayanan kesehatan, terkadang kita menilai kualitas antara pelayanan yang diberikan oleh RS swasta dan RS negeri di negeri kita ini. Namun sesungguhnya bagaimana kualitas itu? Tentu saja pertanyaan ini akan menimbulkan banyak jawaban-jawaban sesuai dengan pengalaman masing-masing, karena maknanya akan berlainan bagi setiap orang dan tergantung pada konteksnya. Kita akan sulit untuk menentukan kualitas karena ada ambiguitas dalam mendefinisikan kualitas itu sendiri. Tidak adanya definisi yang terukur secara umum dan dapat diterima karena ada beberapa perspektif kualitas yakni dari perspektif penyedia, pembayar dan pasien itu sendiri.

Meskipun sulit diukur, namun kerangka konsep kualitas sudah banyak digunakan dalam literatur yang dikembangkan oleh ahli mutu pelayanan yakni Donabedian (1996), kerangka ini mengidentifikasi tiga aspek kualitas yang dapat diukur yakni: input (fasilitas, staf, peralatan, perlengkapan); proses (kepatuhan terhadap protocol dan standar asuhan keperwatan) serta hasil (kesembuhan, angka pasien hidup, komplikasi maupun hasil yang buruk). Adapula dimensi kualitas yang di sorot oleh NHS yakni pengalaman pasiendan kepuasan pasien terhadap layanan. Masing-masing alat uji kualitas memiliki kekurangan masing-masing, misalnya pada konsep Donabedian (1996) mengenai input, meskipun input lebih mudah untuk diukur namun memiliki hubungan yang lemah terhadap kualitas, pada proses juga ada kesulitan dalam mengukur yakni waktu mengobservasi membutuhkan waktu yang lama dan sulit untuk diterapkan sedangkan menilai hasil juga membutuhkan biaya yang mahal dan lebih komplek karena faktor intervensi sulit diukur pada kondisi kronis yang membutuhkan tindak lanjut. Pada dimensi kualitas yang disorot NHS meskipun dalam penerapannya relatif lebih mudah karena mengukur melalui wawancara dengan klien, namun kualitas khususnya efektifitas dan keamanan cenderung diabaikan karena lebih mengukur kepada pemanfaatan, efisiensi serta tanggapan terhadap harapan pasien.

Terlepas dari adanya kekurangan-kekurangan dalam menilai kualitas, bukan berarti kualitas tidak dapat diukur, namun dapat dirinci aspek-aspek apa saja yang akan dinilai, seperti pada sebuah penelitian mengenai kualitas di sektor publik dan swasta yang dilakukan oleh Berenderas (2011) terungkap bahwa ketersediaan obat, respon terhadap pasien jauh lebih baik dibandingkan fasilitas publik, hal ini dikarenakan oleh sumber daya yang berkontribusi pada rendahnya kualitas layanan tersebut, namun di sisi lain ada pula penelitian Basu (2012) yang meneliti bahwa sektor swasta lebih buruk karena meresepkan obat dan tes yang tidak perlu sehingga dapat merugikan pasien, namun di sisi lain tingkat akurasi yang buruk terhadap diagnostik dan buruknya tingkat kompetensi pada standar medis lebih sering dilanggar oleh layanan publik.

Adapun faktor yang diasumsikan mendorong buruknya kualitas pelayanan di negara-negara skala menengah ke bawah (Low Midle Countries-LMICs) yakni berasal dari ketersediaan yang tidak memadai dari komponen structural seperti staf, fasilitas, dan peralatan. Meskipun struktur termasuk beban berat namun telah terbukti memiliki hubungan yang lemah terhadap kualitas layanan, dan yang menjadi perhatian adalah pentingnya perilaku penyedia (ketepatan saran baik dari kompetensi maupun upaya penyedia jasa layanan) dalam menentukan pelayanan kesehatan terutama dalam pengaturan rawat jalan. Adapula yang menjadi penyumbang buruknya kualitas yakni kompetensi tenaga kesehatan yang buruk, kesenjangan antara pengetahuan dan praktek, kepatuhan yang rendah terhadap standar profesional juga turut menjadi faktor buruknya kualitas pelayanan. Penelitian dari Barber dkk (2007) juga menemukan bahwa bahkan situasi dimana orang-orang miskin memiliki akses ke dokter yang sama namun orang miskin tersebut menerima kualitas perawatan yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa penyediaan melakukan diskriminasi terhadap upaya kesehatan yang diberikan.

Hal tersebut di atas turut menjadi faktor penyumbang masalah buruknya kualitas layanan kesehatan dan kurangnya budaya organisasi yang ada di negara-negara LMICs yang mendorong pada akuntabilitas dan nilai-nilai kebersamaan.

Oleh : Andriani Yulianti, MPH.

Sumber : Policy Brief. Quality of Care. What are effective policy options for governments in low- and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care? Dayal et.al. Policy Brief. Vol.4, No.1. Asia PacificObservatory on Health Systems and Policies. World Health Organization. 2015.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf