Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Negara dengan pendapatan menengah ke bawah umumnya jarang memiliki regulasi kuat yang mengatur pembagian sektor pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah, sehingga mekanisme kerjanya lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini mengakibatkan pihak swasta dengan modal besar dapat membuat layanan super mewah sementara pelayanan publik seringkali terbengkalai. Hal ini menimbulkan adanya gap pelayanan yang sangat bervariasi di negara-negara ini.  Mulai dari layanan kelas atas hingga pengobatan-pengobatan tradisional yang dilakukan oleh orang-orang kompeten di bidangnya. Belum lagi terdapat provider kesehatan yang menganut sistem dualisme, bekerja di pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah, hal ini menimbulkan adanya perbedaan kualitas layanan antara swasta dan publik meskipun dilakukan oleh aktor yang sama, karena sektor swasta memberikan kompensasi yang jauh berbeda dibandingkan publik.

Layanan kesehatan seharusnya tidak mengenal dualisme tersebut, setiap warga masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima, terlepas dari status sosio ekonomi warga tersebut. Layanan rawat jalan yang baik merupakan salah satu indikator kesehatan masyarakat yang signifikan, karena dapat meningkatkan status kesehatan secara cepat di tingkat populasi. Menurut WHO, anggaran kesehatan terbesar yang dikeluarkan sebuah keluarga di negara miskin adalah untuk berobat rawat jalan, mayoritas warga membayar melalui kantongnya sendiri. Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan dimana warga yang miskin menghabiskan uangnya "hanya" sekedar untuk berobat. Berbeda dengan negara-negara maju, anggaran kesehatan banyak dihabiskan untuk mengobati pasien-pasien rawat inap dan banyak diantaranya ditanggung oleh negara atau asuransi swasta.

art31mar

Adanya Universal Health Coverage (UHC) pada beberapa negara berkembang memberikan sedikit angin segar, dimana masyarakat dapat berobat secara murah. Namun, tentu masih memerlukan perbaikan dari sisi regulasi agar UHC tidak hanya digunakan oleh masyarakat perkotaan yang memiliki akses transportasi mudah ke layanan kesehatan. Bahasan terkait kebijakan perbaikan layanan rawat jalan di negara berkembang akan diuraikan lebih lanjut pada artikel berikutnya.

oleh Elisa Sulistyaningrum, S.Gz, Dietisien, MPH

Referensi:

Berman, Peter. 2000. Organization of ambulatory care provision: a critical determinant of health system performance in developing countries. Bulletin of the World Health Organization : the International Journal of Public Health, 78(6) : 791-802
http://www.who.int/bulletin/archives/78%286%29791.pdf 

Keliru mengidentifikasi pasien terjadi hampir di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Pemberian obat menjadi salah satu tugas seorang perawat yang paling penting karena perawat adalah mata rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien. Peran ini sering dilalaikan oleh perawat.

Perawat mengantarkan obat pasien ke kamar setelah menerima obat dari bagian farmasi. Tugas perawat bukan hanya sekedar memberikan injeksi, pil dan memperhitungkan jumlah tetes infus, tapi perawat harus memastika bahwa obat yang diberikan enam benar yaitu benar pasien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu dan benar dokumentasi.

Sering kali dalam proses pengobatan menimbulkan kekeliruan maupun kesalahan. Ada beberapa kesalahan pengobatan yang terjadi karena salah pasien yaitu 1) kesalahan yang salah pasien selama administrasi; 2) kesalahan slah pasien selama penulisan; 3) kesalahan yang salah pasien selama peresepan; dan 4) kesalahan yang salah pasien selama pemberian obat. Insulin, heparin, dan vankomisin adalah tiga obat yang paling umum terlibat dalam kesalahan yang salah-pasien.

Hasil penelitian dari Pennsylvania Patient Safety Advisory yang dilakukan tahun 2011 menunjukkan bahwa kesalahan obat paling banyak teradi pada proses administrasi. Dari 123 laporan administration error yang diterima, 108 (88%) memenuhi kriteria administration error. Administration error yang paling sering dilaporkan adalah obat yang tidak tepat, dosis yang tidak tepat dan kelalaian dosis.

24mar

Berbagai langkah yang direkomendasikan oleh Pennsylvania Patient Safety Advisory untuk mengatasi kesalahan salah pasien dalam proses pengobatan yaitu meningkatkan verifikasi pasien, pastikan penyimpanan obat dan dokumen spesifik yang tepat, gunakan tekhnologi kesehatan dengan benar misalnya menggunakan computerized prescriber order entry (CPOE), batasi penggunaan pesan verbal dan memberdayakan pasien untuk mencegah dan mendeteksi kesalahan.

Solusi mengatasi kesalahan pasien dalam proses pengobatan ini dapat menjadi referensi bagi rumah sakit di Indonesia untuk memenuhi syarat akreditasi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) 2012. Sebagaimana pada Sasaran keselamatan pasien rumah sakit, salah satunya sasaran ketepatan indentifikasi pasien. Selain itu World Health Organization (WHO) juga mendorong pasien dan keluarga untuk menjadi peserta aktif dalam melakukan identifikasi pasien.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH
Sumber : Pennsylvania Patient Safety Advisory. 2013. Wrong-Patient Medication Errors: An Analysis of Event Reports in Pennsylvania and Strategies for Prevention
http://www.patientsafetyauthority.org/ADVISORIES/AdvisoryLibrary/2013/Jun;10%282%29/documents/41.pdf 

Kesalahan pemberian obat di tatanan rumah sakit memberikan dampak langsung yang besar terhadap keselamatan pasien dan mutu pelayanan. Sebuah bukti penting dari literatur internasional menunjukkan risiko yang ditimbulkan oleh kesalahan pengobatan dan mengakibatkan efek samping yang sebenarnya dapat dicegah. Di Amerika serikat, kesalahan pengobatan diperkirakan merugikan sedikitnya 1,5 juta pasien per tahun. Di rumah sakit Australia sekitar 1% dari semua pasien menderita efek samping sebagai akibat dari kesalahan pengobatan. Di Inggris, seribu klaim berturut-turut dilaporkan ke perlindungan Medical Society terkait dengan kesalahan pemberian resep dan obat-obatan.

Untuk pencegahan kesalahan pengobatan pada pasien ada banyak cara yang dapat digunakan dengan menggunakan teknologi informasi. Teknologi informasi memiliki potensi untuk mengurangi kesalahan pengobatan. salah satu yang dianjurkan adalah penggunaan Computerized Physician Order Entry ( CPOE). CPOE merupakan suatu sistem pencatatan perintah/order medikasi dari dokter yang berbasis teknologi komputer. Perintah ini kemudian ditransmisikan kepada berbagai departemen dan staf medis yang bertanggungjawab atas pelaksanaan perintah seperti laboratorium, farmasi, radiologi dan bidang keperawatan. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan terutama di bidang efisiensi dan keamanan pengobatan. Melalui sistem ini dokter, perawat dan apoteker bekerja secara bersama-sama dalam proses medikasi untuk mengurangi kesalahan pengobatan (medication error). Hal ini terjadi karena dengan CPOE, setiap tenaga kesehatan dapat mengakses data riwayat medikasi seorang pasien. Perawat merupakan salah satu faktor kunci kesuksesan dari pelaksanaan CPOE. Oleh karena itu, perawatan pasien dengan CPOE merupakan sebuah proses tim, dimana semua anggotanya terlibat untuk meningkatkan kesehatan pasien maka perawat dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan kolaboratifnya terutama dibidang komunikasi, pengetahuan serta teknologi informasi.

Dalam sistem ini, CPOE ini memberikan keuntungan anatara lain 1) mengurangi tingkat keterlambaran dalam proses keperawatan, 2) mengurangi kesalahan interpretasi tulisan tangangan, 3) memungkinkan input data dariunit-unit pelayanan ataupun dari tempat lain, 4) menyediakan fasilitas pengecekan atas pemberian dosis yang tidak tepat, 5) menyederhanakan inventaris dan proses penagihan, 6) dengan penggunaan CPOE prescribing sistem sinyal dosis dan pemeriksaan interaksi terdeteksi secara otomatis, misalnya memberi tahu pengguna bahwa dosis yang digunakan terlalu tinggi dan berbahaya serta bisa juga memberi tahu pengguna bahwa obat-obat yang digunakan dapat mengganggu kesehatan. Selain itu, sistem ini juga meningkatkan efiseiensi dan keamanan dari proses pemberian obat serta mengurangi kesalahan pemberian obat oleh perawat.

Solusi teknologi informasi untuk meningkatkan proses tatacara pemberian obat dan mengurangi kejadian kesalahan pemberian obat adalah dengan Barcode Medication Administration System. Teknologi barcode secara otomatis akan melakukan cek 5 benar pada saat perawat melakukan scan tanda pengenal, dan mengidentifikasi tanda pengenal pasien (gelang pengenal) untuk mengakses profil pengobatan pasien dan memverifikasi nama obat, pasien, dosis, waktu dan cara pemberian yang tepat. Pengecekan ini dilakukan untuk satu kali pemberian obat, disamping tempat tidur pasien, sebelum obat diberikan. Proses kerja penggunaan barcode medication administration system meliputi: (1) scan tanda pengenal agar dapat mengakses sistem barcode, (2) mengambil obat di area penyimpanan, (3) cek label obat sesuai dengan BCMA, (4) scan medication barcode, (5) scan tanda pengenal pasien dipergelangan tangan, (6) memberikan obat, (7) dokumentasi.

Meskipun sistem IT menyediakan mekanisme yang jelas dan menarik untuk mengurangi kesalahan pengobatan dan meningkatkan mutu namun tantangan yang harus dihadapi adalah, hanya 10% dari rumah sakit AS yang menggunakan CPOE. Hambatan utama dalam proses adopsi adalah biaya yang tinggi dari sistem dan lingkungan, insentif sama, dimana rumah sakit dan dokter membayar untuk sistem, tetapi asuransi kesehatan meraup keuntungan finansial yang lebih besar. Salah satu mekanisme penting untuk menghapus rintangan ini adalah melalui insentif keuangan untuk organisasi kesehatan.

Oleh : Armiatin, SE., MPH.
Sumber : Medication errors: prevention using information technology systems. Agrawal, A. Journal compilation © 2009 The British Pharmacological Society.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2723209/pdf/bcp0067-0681.pdf 

Medication error atau kesalahan dalam pemberian obat merupakan hal yang banyak dijumpai di rumah sakit. Sekarang ini banyak berita dan headline yang mengupas secara tajam akan hal tersebut bahkan sampai menjadi masalah kesehatan nasional karena sudah membuat pasien kehilangan nyawa. Rumah sakit tidak lagi dipandang sebagai tempat yang aman untuk menyembuhkan penyakit, ada kekhawatiran dari masyarakat akan memburuknya kesehatan bahkan sampai kematian saat proses pengobatan berlangsung. Penelitian menunjukan bahwa medication error dan efek samping dari obat merupakan penyebab utama dari kerugian rumah sakit yang menjurus pada kecacatan dan bahkan kematian, jumlahnya mencapai 6.5% dari penerimaan rumah sakit.

Penelitian lain dengan metode observasi langsung kepada pemberi layanan pengobatan menunjukan bahwa proses pengemasan dan administrasi merupakan proses yang paling rentan menimbulkan kesalahan pemberian obat pada pasien, dengan kontribusi hampir 20%. Bates, dkk mendefinisikan medication error sebagai sebuah kesalahan dalam proses pengobatan yang mencakup pemesanan, transkripsi, pengemasan, administrasi, termasuk cacatan pemulangan pasien. Dean, dkk lebih lanjut membagi proses peresepan obat menjadi 2 yakni intelektual proses/pengambilan keputusan yang mencakup pengetahuan akan diagnosis, interaksi, dan kontradiksi; dan technical proses yang mencakup komunikasi seperti nama obat, dosis dan form administrasi.

Sebuah study oleh Lisby, dkk di Denmark yang berfokus pada technical proses, melakukan pengumpulan data pada ruang perawatan medis dan bangsal operasi pada 2005 menemukan ada 2467 kemungkinan error dan 43% atau 1067 diantaranya terindikasi sebagai medication error. Kesalahan pemberian dosis dan peresepan adalah kesalahan yang paling banyak dilakukan yakni mencapai 1209 di ruang perawatan dan 1258 di bangsal operasi. Secara statistik tidak ada perbedaan tingkat kesalahan yang terjadi di ruang perawatan dan bangsal operasi.

Lisby, dkk juga menganalisis medication error berdasarkan proses peresepan sampai dengan proses pencatatan pasien pulang. Lisby, dkk menemukan ada perbedaan jumlah error pada proses pemesanan dan transkripsi, hal ini disebabkan karena ada obat-obat yang tidak dipesan tetapi dimasukan dalam medication chart. Selain itu ada juga perbedaan pada proses pengemasan dan administrasi, hal ini disebabkan karena proses administrasi pasien yang kurang baik pada pemeriksaan medis. Kesalahan pada proses administrasi ini diantaranya adalah kurangnya kontrol terhadap identitas pasien, kesalahan waktu pemberian, dan kesalahan distribusi obat; hal ini sangat merugikan pasien karena bisa saja pasien menerima obat dengan dosis yang tidak sesuai.

Berdasarkan pada temuan-temuan tersebut, Lisby, dkk menyarankan beberapa hal diantaranya :

  1. Pada proses pemesanan dan transkripsi diperlukan suatu sistem yang baku, yang mengatur proses pemesanan dan transkripsi. Medication chart, paper, ataupun dalam bentuk elektronik harus menjabarkan secara jelas komponen yang diperlukan adar tidak menimbulkan keraguan pada peresepan, terutama terkait bentuk obat dan rutenya. Hal ini sangat penting karena seringkali perawat salah menginterpretasikan resep dan formulasi obat pada rekam medis.
  2. Kesalahan yang paling banyak terjadi pada proses pengemasan adalah pengurangan/penghilangan dosis, sedangkan pada proses administrasi adalah kurangnya kontrol terhadap identitas pasien dan kesalah waktu pemberian obat. Oleh karena itu hal ini menjadi sangat penting untuk diselsaikan, Lisby, dkk menyarankan untuk mengembangkan teknologi baru untuk mengontrol ketepatan identitas pasien seperti bar code medication untuk memastikan identitas pasien. Namun demikian teknologi ini harus betul-betul dipertimbangkan dalam proses peresepan obat.
  3. Untuk proses pencatatan pasien pulang, Lisby, dkk menyarankan suatu guideline yang baku dan tidak menimbulkan keraguan dalam pencatatan resep. Hal ini didasarkan pada temuan mereka yakni dua per tiga error pada pencatatan pasien pulang terjadi karena kesalahan memasukan resep yang tidak memenuhi syarat pada pencatatan tersebut.

Rekomendasi dari Lisby, dkk bisa jadi merupakan solusi untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, terutama mutu peresepan. Agar ke depannya tidak ada lagi pasien yang dirugikan dan rumah sakit tidak dianggap sebagai tempat yang menakutkan ketelitian dalam setiap proses peresepan sangat dibutuhkan.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran UNDANA

Sumber : Lisby, et all. 2005. Errors in the medication process: frequency, type, and potential. International Journal for Quality in Health Care, Vol. 17, Number I : pp. 15-22
http://intqhc.oxfordjournals.org/content/intqhc/17/1/15.full.pdf