Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Malnutrisi protein-energi pada pasien rawat inap usia lanjut semakin sulit dikenali dan termasuk rendah tingkat perawatannya meskipun termasuk kategori prevalensi tinggi. Untuk mengenali kejadian malnutrisi, perlu dilakukan skrining malnutrisi. Skrining malnutrisi memungkinkan identifikasi dan perawatan malnutrisi dini yang bermanfaat sebagai tahap awal perawatan nutrisi. Skrining membutuhkan instrumen yang bersifat cepat-sederhana-dan akurat untuk mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan malnutrisi.

Idealnya, instrumen skrining dapat mengidentifikasi semua pasien malnutrisi yang dinilai (tinggi sensitivitas) dengan skirining positif mengidentifikasi bahwa tidak ada pasien yang bernutrisi baik (tinggi nilai positif prediktif). Banyak instrumen skrining tervalidasi yang direkomendasikan digunakan baik untuk pasien usia lanjut maupun untuk populasi rumah sakit (tabel 1). Malnutrition Screening Tool (MST) adalah instrumen skrining yang yang paling banyak digunakan di rumah sakit di Australia. Sedangkan, Nutrition Risk Screening (NRS 2002) adalah instrumen yang sukses digunakan di seluruh Eropa. Mini-Nutritional Assessment Short Form (MNA-SF) telah direkomendasikan untuk skrining penduduk lanjut usia. Simplified Nutritional Appetite Questionnaire (SNAQ) dan Rapid Screen dikembangkan di populasi komunitas penduduk namun belum divalidasi untuk setting rumah sakit. Walaupun sudah banyak instrumen yang divalidasi, keterbatasan utama dalam proses validasi ini adalah ketiadaan "gold standard" untuk mendiagnosis malnutrisi. Terdapat kesamaan yang jelas antar instrumen-instrumen ini. Pada umumnya, seluruh instrumen ini mengandung perubahan berat badan, asupan makanan, perhitungan indeks massa tubuh, dan penyakit akut.

art-11feb15

Perlu dicatat bahwa skrining nutrisi berbeda dari penilaian nutrisi. Instrumen penilaian nutrisi seperti Subjective Global Assessment (SGA) dan Mini-Nutritional Assessment (MNA) umum digunakan sebagai instrumen penilaian nutrisi tervalidasi. Keduanya menggunakan parameter-parameter untuk membuat diagnosisi nutrisi dan perawatan awal. Instrumen-instrumen ini telah direkomendasikan sebagai keluaran dalam uji klinik dan memprediksi keluaran kesehatan pada pasien rawat inap usia lanjut.

Terdapat perbedaan kunci antara instrumen penilaian nutrisi dan skrining nutrisi. SGA dan MNA adalah penilaian komprehensif yang digunakan oleh profesional (seperti ahli gizi, dokter, perawat terlatih, atau asisten peneliti) untuk mendiagnosis malnutrisi dan menginisiasi intervensi nutrisi. Sebaliknya, instrumen skrining nutrisi (pada tabel 1) dimaksudkan sebagai metode cepat dan mudah untuk mengidentifikasi kemungkinan malnutrisi dan mentriase pasien untuk penilaian dan intervensi nutrisi komprehensif. Walaupun SGA dan MNA telah direkomendasikan untuk mendiagnosis malnutrisi pada orang tua, terdapat perbedaan substansial antara parameter-parameter penilaian ini. Perbedaan parameter ini memungkinkan adanya perbedaan pada identifikasi grup "beresiko".

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa status nutrisi menurun selama proses perawatan karena asupan nutrisi yang kurang optimal. Pada pasien rawat inap usia lanjut, jelas sekali bahwa malnutrisi saat rawat inap tidak serta merta memprediksi rendahnya asupan nutrisi saat perawatan. Faktanya, beberapa pasien bernutrisi baik ternyata makan dengan buruk, menunjukkan grup pasien kedua yang seharusnya diidentifikasi segera pada masa awal masuk ke rumah sakit untuk mecegah malnutrisi. Kondisi ini menunjukkan pentingnya skrining dan re-skrining pasien usia lanjut untuk mengidentifikasi tidak hanya pasien yang telah mengalami malnutrisi tetapi juga pasien yang berresiko mengalami rendah asupan gizi selama masa rawat inap. Walaupun skrining malnutrisi umum digunakan untuk mengidentifikasi malnutrisi yang telah ada, belum ada instrumen skrining yang secara proaktif mengidentifikasi pasien yang berresiko rendah asupan nutrisi selama rawat inap. Kenyataan ini melatari penelitian yang dilakukan Young et al.

Penelitian yang dilakukan Young et al ini bertujuan untuk membandingkan instrumen-instrumen skrining terhadap instrumen penilaian nutrisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MNA dapat mengidentifikasi pasien rawat inap usia lanjut yang termasuk resiko malnutrisi dan yang sudah mengalami malnutrisi. Sebaliknya SGA hanya dapat mengidentifikasi kasus malnutrisi saja. Ini berarti MNA dapat menjadi instrumen yang cocok ketika pelayanan yang diberikan bertujuan untuk mencegah malnutrisi atau bila disebuah rumah sakit terdapat tenaga ahli gizi yang memadai. Sedangkan, SGA akan lebih cocok pada seting akut untuk mengidentifikasi malnutrisi yang sudah ada untuk memprioritaskan perawatan dalam rentang waktu pendek selama masa rawat inap.

Secara ringkas, semua instrumen skrining nutrisi, selain Rapid Screen, akurat dalam mengidentifikasi malnutrisi menggunakan SGA sehingga direkomendasikan untuk digunakan pada pasien rawat inap usia lanjut. Walaupun MNA-SF juga akurat, sebaiknya hanya digunakan ketika rumah sakit memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan penilaian nutrisi dan melakukan intervensi bagi semua pasien berresiko. Ketika menentukan instrumen skrining yang akan digunakan dalam praktek, klinisi harus mempertimbangkan kesederhanaan dan kemudahan implementasi instrumen dan sumber daya yang tersedia untuk menyediakan perawatan nutrisi untuk merawat semua pasien berresiko. Instrumen yang masuk dalam kategori akurat dan mudah digunakan diantaranya adalah MST. Dalam proses perawatan nutrisi juga harus diperhatikan bahwa perlu ada re-skrining dan monitoring asupan nutrisi untuk memungkinkan identifikasi awal dan mencegah penurunan nutrisi. Alasannya, tidak ada satupun instrumen yang dapat memprediksi rendahnya asupan nutrisi selama masa rawat inap.

Sumber: Young AM et al., 2013, Malnutrition screening tools: Comparison against two validated nutrition assessment methods in older medical inpatients, Nutrition: 29 (2013) 101–106.

http://www.nutritionjrnl.com/article/S0899-9007(12)00174-8/pdf 

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Sektor gizi seringkali masih menjadi sektor yang terpinggirkan di rumah sakit, fungsinya hanya sebatas memenuhi kebutuhan asupan makan bagi petugas maupun pasien. Namun bila ditelusur lebih mendalam, ternyata sektor gizi memegang salah satu peranan penting sebagai penentu lamanya rawat inap pasien di rumah sakit selain dari ketepatan diagnosis dan pengobatan dokter. Diketahui bahwa pada pasien malnutrisi (gizi buruk), rerata waktu rawat inap di rumah sakit adalah tujuh hari, dan pada pasien gizi baik dengan kondisi sama hanya diperlukan lima hari. Pasien gizi buruk juga memiliki risiko dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan gizi baik untuk kembali dirawat dalam waktu dua minggu pasca kepulangan. Biaya rumah sakit juga mengalami peningkatan yang signifikan pada pasien dengan gizi buruk (Lim, Benjamin, Chan, Loke, Ferguson, & Daniels, 2011).

Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini, lamanya hari rawat tentu akan berdampak buruk pada kondisi keuangan rumah sakit karena klaim pembayaran menggunakan sistem paket yang mematok tarif pengobatan, tanpa memandang jumlah hari rawat. Untuk itulah diperlukan kerjasama berbagai sektor untuk mencapai efisiensi. Dokter UGD harus dapat mengidentifikasi dan membedakan pasien-pasien yang datang dengan kondisi gizi buruk. Agar penanganan gizi dapat dilakukan seketika mungkin sebelum pasien tiba di bangsal, dokter harus dapat menentukan status gizi meskipun pasien tidak sadarkan diri. Anamnesis lengkap kepada keluarga tentu akan sangat membantu.

Pada kondisi sakit berat, pasien akan mengalami reaksi katabolisme dimana struktur kompleks akan dipecah menjadi sebuah struktur sederhana dan menghasilkan energi untuk kelangsungan hidup sel tubuh yang vital, seperti otak dan jantung (Prins, 2010). Tanpa asupan yang baik, reaksi katabolisme berlebih berakibat pada hilangnya energi. Pasien dengan risiko gizi buruk tinggi dan memerlukan perhatian khusus ditunjukkan pada tabel 1 (Robert H, Demling MD, Leslie DeSanti RN. , 2003).

Tabel 1. Pasien Dengan Risiko Tinggi Gizi Buruk

Berat Badan pasien < 80% Berat Ideal

Berat Badan Pasien > 120% Berat Ideal

Kehilangan Berat > 10% dalam 3 bulan

Pemakai zat terlarang / peminum alkohol

Pasien dengan kondisi kehilangan nutrisi

  • Malabsorbsi
  • Short Bowel Syndrome
  • Fistula usus
  • Abses
  • Dialisis

Pasien dengan peningkatan kebutuhan cairan

  • Trauma
  • Luka Bakar
  • Infeksi Berat

Apabila pasien memiliki salah satu risiko di atas, maka ia harus diawasi agar tidak terjatuh pada kondisi gizi buruk. Screening awal oleh dokter akan dilanjutkan screening mendalam oleh dietician rumah sakit menggunakan berbagai instrumen yang tersedia seperti Mini Nutritional Assesment (MNA) atau Nutritian Risk Index (NRI). Sedangkan gejala pasien dengan gizi buruk adalah sebagai berikut:

Tabel 2 kriteria diagnosis pasien gizi buruk

Apabila Pasien memiliki 1 atau lebih gejala ini

Apabila Pasien memiliki 2 atau lebih gejala ini

  • BMI < 16
  • BMI < 18,5
  • Kehilangan berat badan yang tidak wajar > 15% dalam 3-6 bulan
  • Kehilangan berat badan yang tidak wajar > 10% dalam 3-6 bulan
  • Intake makanan yang rendah > 10 hari
  • Intake makanan yang rendah > 5 hari
  • Kadar K, PO dan Mg yang rendah
  • Riwayat penggunaan obat yang tidak baik, termasuk insulin, kemoterapi atau diuretik yang berlebih

Pasien dengan kondisi gizi buruk HARUS mendapatkan penanganan yang berbeda dibandingkan pasien gizi baik, yang terjadi saat ini adalah pengelompokan diet hanya berdasarkan kondisi umum pasien seperti diet diabetes melitus, diet ginjal atau diet jantung. Padahal kebutuhan kalori dan kondisi pasien sangatlah beragam meskipun pada penyakit yang sama terlebih bila pasien tersebut berada di unit perawatan intensif. Asesmen rutin dari dietician di dalam penentuan menu makanan harian sangatlah yang dibutuhkan. Gagal untuk merencanakan diet bisa menjadi bumerang, dimana cost yang dikeluarkan rumah sakit akan semakin besar dengan pemberian nutrisi yang tidak perlu dan hari rawat yang memanjang.

Oleh : dr. M. Hardhantyo Puspowardoyo

Bibliography
Lim, S. L., Benjamin, K. C., Chan, Y. H., Loke, W. C., Ferguson, M., & Daniels, L. (2011). Malnutrition and its impact on cost of hospitalization, length of stay, readmission and 3-year mortality. Clinical Nutrition , 345 - 350. http://eprints.qut.edu.au/50643/2/c50643.pdf 
Prins, A. (2010). Nutritional assessment of the critically ill patient. Clinical Nutrition , 11 - 18. www.ajol.info/index.php/sajcn/article/download/52741/41346 
Robert H, Demling MD, Leslie DeSanti RN. . (2003). Protein-Energy Malnutrition, and the non healing cutaneous wound. Medscape CME . http://www.medscape.org/viewarticle/418377 

Di zaman modern ini, gemuk dan kurus menjadi hal yang paling dihindari oleh semua orang, khususnya wanita. Hampir setiap hari wanita menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan untuk mendapatkan ukuran proporsional. Perilaku hidup sehatpun acapkali dijalani. Wanita rela tidak makan makanan favorit. Bagaimana ketika mereka sakit? Apakah berat badan dan tinggi badan rutin diukur?

Unit layanan kesehatan universitas Aberdeen mengeluarkan hasil yang menggemparkan penduduk Skotlandia. Universitas Aberdeen melakukan survei pada dua belas kasus untuk melihat seberapa sering berat badan dan tinggi badan diukur selama pasien di rawat inap. Informasi berat dan tinggi badan diperoleh dari catatan medis dan catatan perawat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 12 kasus yang diteliti yaitu general medicine, heart failure, general surgery, stroke, cholecystectomy, colorectal surgery, obstetrics and gynaecology, pelvic floor repair, hysterectomy, orthopaedics, knee replacement, hip replacement, dan overall menunjukkan stroke paling jarang dilakukan pengukuran berat badan yaitu 37 % sedangkan yang paling sering dilakukan pengukuran berat badan adalah hystrectomy yaitu 87%. Kasus yang paling sering dilakukan pengukuran berat dan tinggi badan yakni Hip replacement 69%. Universitas Aberdeen juga menampilkan kasus pasien yang mengalami gizi buruk selama di rawat inap yaitu stroke dengan IBM kurang dari 18,5.

Kurang gizi menyebabkan apatis mental, kekuatan otot berkurang, gangguan fungsi jantung dan gangguan kekebalan terhadap infeksi. Defisit ini akan meningkatkan kecenderungan untuk mengembangkan komplikasi dan menghambat pemulihan. Survei besar orang dari segala usia dirawat di rumah sakit di Inggris telah menunjukkan bahwa lebih dari 20% yang kurang gizi dan bahwa kebanyakan orang kekurangan gizi memiliki asupan makanan yang kurang ketika di rumah sakit.

Pengukuran berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mendeteksi kebutuhan tubuh. Kekurangan gizi menyebabkan komplikasi dan menghambat pemulihan pasien sehingga length of stay lama. Prevalensi gizi buruk di rumah sakit seharusnya tidak terjadi. Bagaimana manajemen gizi pasien rawat inap di Indonesia?

Sumber: Campbell et all. 2011. Assessment of nutritional status in hospital in-patients. Q J Med 2002; 95:83–87
http://qjmed.oxfordjournals.org/content/qjmed/95/2/83.full.pdf 

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH

Pelayanan pendukung medis seperti instalasi gizi di suatu rumah sakit merupakan suatu kegiatan yang membantu dalam upaya penyembuhan dan pemulihan pasien, yang kegiatannya dapat dari usaha dapur sampai pengolahan diet bagi penderita. Bagian ini harus diatur dengan mempertimbangkan kebutuhan klinis, kebutuhan masyarakat, keamanan, kebersihan, serta manajemen yang tepat guna dalam memperbaiki pelayanan gizi di Rumah Sakit. Proses penyembuhan pasien yang berlangsung dibantu dengan adanya makanan yang memenuhi syarat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Ada beberapa prinsip-prinsip utama yang dilakukan dalam rangka mendukung peningkatan program gizi pelayanan kesehatan di rumah sakit menurut NHS Scotlandia, dimana program ini mencerminkan pendekatan peningkatan pelayanan kesehatan yang memberikan saran dan bimbingan serta dukungan yang kuat secara berkelanjutan baik implementasi perbaikan serta link untuk feedback. Adapun hal yang perlu diperhatikan yakni memusatkan perhatian pada stakeholder karena merupakan kunci dengan membangun budaya perbaikan untuk mencapai perbaikan yang terukur, menjaga dan membangun prestasi yanga ada, memperluas fokus dari pelayanan perawatan primer/masyarakat, membangun multidisiplin kerja antara pengaturan perawatan yang berbeda, membangun pemahaman mengenai perbaikan antara perawatan staf di rumah sakit dan manajer serta melakukan integrasi dengan program nasional mengenai gizi.

Ada lima kunci dalam program perbaikan gizi di rumah sakit yang dapat dilakukan yakni:

  1. Nutrisi yang cukup merupakan bagian yang penting dari pelayanan yang berpusat ke orang, keamanan dan pelayanan yang efektif. Sehingga perlu ditekankan bahwa penting untuk membuat pengalaman yang positif bagi pasien dengan memberikan perawatan gizi yang baik.
  2. Dukungan dari manajer senior
  3. Perlunya kejuaraan gizi seperti yang dilakukan di NHS Scotlandia agar dapat meningkatkan gizi di RS.
  4. Perubahan harus di uji coba di wilayah yang kecil sebelum diluncurkan.
  5. Memproduksi makanan kemasan yang dapat membantu meningkatkan pengalaman waktu makan pasien.

Ada juga beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan penyediaan layanan gizi yang baik, diantaranya perlu untuk melakukan kajian yang sistematis berdasarkan bukti pada layanan gizi untuk mengidentifikasi sejauh mana kita perlu melakukan program perbaikan kualitas pelayanan. Dalam penelitian NHS Healthcare Skotlandia juga mempriortaskan program perbaikan pada:

  1. Meningkatkan proses waktu makan;
  2. Memfasilitasi manajemen diri untuk layanan gizi sebagai kebutuhan jangka panjang
  3. Meningkatkan perpindahan antara rumah sakit dan perawatan rumah.

Program ini menarik untuk peningkatan mutu dan program keselamatan pasien karena tim didorong untuk mengembangkan laporan kemajuan, studi kasus dan cerita untuk mendukung proses perbaikan dan menunjukkan kemajuan mereka sendiri. Tim juga menggunakan telekonferensi yang dilakukan antara sesi belajar untuk mempertahankan dukungan dan memberikan kesempatan pada tim untuk belajar lebih lanjut untuk berbagi pengalaman dan belajar dari satu sama lain. Tujuan umumnya adalah untuk memberikan perbaikan dalam bidang-bidang prioritas perawatan gizi yang disepakati. Serta mendukung aktivitas spesifik di lokasi uji dan sesi pembelajaran dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang peningkatan gizi.

Berbagai pendekatan untuk menyebarkan perbaikan ini telah diadopsi dan telah membantu meningkatkan kesadaran di kalangan praktisi tentang potensi untuk meningkatkan pelayanan gizi. Adanya umpan balik dari pasien, perawat dan staf merupakan kunci untuk melakukan perbaikan. Umpan balik dari pasien, perawat dan staf kunci untuk menginformasikan perbaikan ini. Berikut adalah beberapa panduan untuk membuat suatu pertemuan untuk meningkatkan program perbaikan gizi d RS:

  1. Sesi pelatihan dalam bentuk cerita digital
  2. Pedoman yang digunakan untuk mengamati pengalaman pasien, termasuk alat-alat observasi dan teknik;
  3. Alat untuk mengamati interaksi pada waktu makan;
  4. Bimbingan dan materi pelatihan untuk mendukung alat observasi;
  5. Kartu komentar untuk menangkap pengalaman dari pemantauan waktu makan.

Program dengan panduan di atas telah memberikan kontribusi terhadap NHS dalam mempertimbangkan perawatan gizi dari perspektif yang lebih strategis, dan telah membantu untuk menempatkan perawatan gizi di garis depan kebijakan lokal dan nasional. Dukungan NHS dalam meningkatkan pelayanan gizi melalui pendidikan dan menjalankan praktek inovatif, juga telah membantu membangun kerja kolaboratif antara staf di beberapa daerah, dengan perawat berbasis lingkungan, ahli gizi dan staf katering yang mengakui bahwa ada peningkatan pemahaman peran satu sama lainnya.

Memberikan perawatan gizi yang baik adalah kunci untuk pengalaman pasien kesehatan dan elemen inti dari perawatan orang berpusat. Umpan balik yang diterima dari staf kesehatan, pasien dan perawat selama program ini jelas mencerminkan ini perawatan gizi harus tetap menjadi prioritas nasional, lokal dan individu.

Oleh : Andriani, MPH
Sumber : A hospital nutrition improvement programme. Nursing Times 02.10.13 / Vol 109 No 39 /
http://www.nursingtimes.net/Journals/2013/09/27/a/p/r/021013-A-hospital-nutrition-improvement-programme.pdf