Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pada uji klinis maupun manajemen nyeri yang efektif diperlukan penilaian yang valid dan reliabel. Nyeri akut dapat dinilai baik pada saat pasien dalam kondisi sedang istirahat atau sedang bergerak dengan menggunakan alat satu dimensi seperti penilaian skala numerik (Numeric Rating Scale) atau skala analog visual (Visual Analog Scale). Kedua alat tersebut memiliki 'kemampuan' lebih untuk mendeteksi perubahan intensitas nyeri dibandingkan dengan skala penilaian kategori lisan (Verbal Categorial Rating Scale).

Penilaian nyeri merupakan hal yang penting dilakukan sehingga dapat diperoleh data yang bermanfaat dan kesimpulan yang benar pada proses perawatan yang diberikan kepada pasien. Oleh karena itu banyak dikembangkan instrumen untuk melakukan penilaian nyeri ini, seperti VAS,NRS, dan VRS. Dua diantara instrumen tersebut yakni penilaian skala numerik (NRS) dan skala analog visual (VAS), memiliki keunggulan yakni berfungsi 'terbaik' untuk pasien dengan perasaan subyektif terhadap rasa nyeri yang dirasakan saat sekarang. Pada sebuah penelitian yang menggunakan rekaman secara simultan intensitas nyeri pada VAS, NRS, dan VRS dengan melibatkan sejumlah pasien dalam skala besar menunjukkan bahwa VAS dan NRS lebih unggul dibandingkan VRS. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan untuk membandingkan penggunaan instrumen penilaian nyeri VAS, NRS, dan VRS diperoleh hasil bahwa instrumen VAS dan NRS memberikan hasil yang hampir identik pada pasien yang sama, waktu yang bervariasi atau berbeda-beda setelah proses pembedahan.

art-17des14

ari 13des-2

Grafik Hasil Penelitian Perbandingan VAS, NRS, dan VRS
(sumber: Assessment Pain British Journal of Anaesthesia 101 (1): 17–24 (2008))

Penilaian nyeri pada pasien yang sedang beristirahat ataupun pasien yang sedang dalam pergerakan penting dilakukan, namun proses penilaian nyeri pada pasien yang sedang bergerak dinilai lebih penting dibandingkan pada saat pasien sedang dalam kondisi istirahat, salah satunya karena pergerakan pasien dapat memicu terjadinya nyeri.

Penilaian nyeri pada pasien dilakukan pada berbagai aspek dan situasi, antara lain:

  • Penilaian nyeri dasar yang dilakukan untuk mengetahui dan mendokumentasikan sensitivitas uji suatu obat. Misalnya pada uji obat analgesik berikut, dimana dilakukan uji sensitivitas dengan hasil: untuk pemberian codeine ditambah acetaminophen tidak berbeda dari pemberian acetaminophen saja pada pasien dengan nyeri awal hanya moderat (40-60 pada 0-100 VAS) , tapi jelas lebih unggul pada mereka dengan nyeri awal yang lebih parah (di atas 60 pada 0-100 VAS).
  • Penilaian nyeri akut pada komponen neuropathic setelah pembedahan
  • Penilaian nyeri kronis, dimana penilaian dan pengelolaan nyeri dilakukan untuk pasien dengan perawatan yang dapat menimbulkan nyeri yang cukup lama (long-lasting pain). Penilaian komprehensif diperlukan dalam setiap pengelolaan kondisi nyeri kronis yang kompleks, meliputi; sejarah sakit/ nyeri, pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik tertentu. Beberapa instrumen yang dapat dipergunakan dalam penilaian nyeri kronis, seperti:
    • The Brief Inventory Pain (BIP)
    • The McGill Pain Questionnaire (MPQ) dan Short-Form McGill Pain Questionnaire (SMQ)
    • The Massachusetts General Hospital Pain Center's Assessment Form
    • Neuropathic pain screening tools
    • The Initiative, Measurement, adan Pain Assessment in Clinical Trials
  • Penilaian nyeri untuk menilai kualitas kesehatan yang berhubungan dengan pasien dengan penyakit kronis
  • Penilaian nyeri dengan instrumen yang diperuntukkan bagi penyakit tertentu dan generik untuk mengetahui dampak nyeri pada berbagai fungsi
  • Penilaian nyeri pada pasien sakit kanker dan pasien dengan perawatan paliatif Untuk pasien kanker dapat mempergunakan The Brief Inventory (BIP) sebagai instrumen penilaian nyeri. 
    Untuk pasien dengan perawatan paliatif dapat mempergunakan beberapa pilihan instrumen, seperti; Memorial Pain Assessment Card; Memorial Symptom Assessment Scale (MSAS) and a Short Form (MSAS-SF); M.D. Anderson Symptom Inventory (MDASI); the Rotterdam Symptom Checklist; and the Symptom Distress Scale
  • Penilaian nyeri pada pasien yang memiliki masalah komunikasi dan dementia, dapat mempergunakan instrumen penilaian nyeri, seperti; The COMFORT Pain Scale untuk bayi dan anak-anak kecil, Face–Legs–Activity–Cry–Consolability, The CRIES Pain Scale, The MOBID-2 Pain Scale

Berbagai referensi instrumen banyak tersedia dan dapat dipergunakan dalam proses penilaian nyeri pasien. Pemilihan instrumen yang tepat dapat memberikan data dan kesimpulan yang tepat dalam proses pemberian layanan kesehatan kepada pasien. Sehingga penentuan instrumen penilaian nyeri harus ditentukan dengan berbagai pertimbangan dan kondisi pasien.

Oleh : Lucia Evi I.
Sumber : Assessment of Pain, British Journal of Anaesthesia 101 (1): 17–24 (2008)
http://bja.oxfordjournals.org/content/101/1/17.abstract/  

 

Kematian ibu hingga kini masih menjadi indikator penilaian mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Semakin tinggi kematian ibu di suatu wilayah, semakin buruk mutu layanan kesehatan di wilayah tersebut. Berbagai faktor penyebab kematian ibu digali untuk menentukan intervensi yang tepat. Salah satunya faktor sosial budaya.

Di Indonesia, dikenal "Tiga Terlambat" dan "Empat Terlalu" sebagai faktor penyebab kematian ibu. Terlambat pertama adalah terlambat dalam mencapai fasilitas pelayanan. Kedua, terlambat dalam mendapat pertolongan yang cepat dan tepat di fasilitas pelayanan. Ketiga, terlambat dalam mengenali tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan. Sedangkan "Empat Terlalu" terdiri dari terlalu tua, terlalu muda, terlalu sering, dan terlalu banyak.

Lalu, di mana peran faktor sosial budaya dalam "mendukung" terjadinya kematian ibu?

Terlambat pertama, yaitu terlambat dalam mencapai fasilitas pelayanan, secara teknis disebabkan oleh hambatan dalam proses transportasi. Ketiadaan alat transportasi maupun jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan membuat ibu terlambat mendapat pelayanan. Selain problem teknis, perkara sosial budaya juga cukup punya andil dalam tahap ini. Di Indonesia, ibu hamil tidak bisa serta merta dirujuk ke fasilitas kesehatan bila belum mendapat persetujuan tetua. Kadangkala yang terjadi ialah komplikasi yang dialami ibu hamil dianggap sebagai akibat dari dosa-dosa yang pernah diperbuat keluarga. Akibatnya, ibu hamil tersebut harus menjalani proses pembersihan dosa selama beberapa waktu sebelum dibawa ke fasilitas kesehatan.

Contoh demikian ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Nigeria, keterlambatan atau keengganan ibu hamil pergi ke fasilitas kesehatan disebabkan kuatnya kepercayaan terhadap pengobatan tradisional dibanding pengobatan modern. Masyarakat juga meyakini bahwa komplikasi yang dialami ibu hamil, misalnya perdarahan, disebabkan oleh kutukan setan sehingga tidak mempan diatasi di fasilitas kesehatan. Di Gambia, ibu hamil disarankan menuju fasilitas kesehatan setelah waktu shalat dzuhur setempat. Selain itu, ibu hamil juga enggan menuju fasilitas kesehatan karena kerap diperlakukan kasar oleh perawat.

Terlambat kedua, yaitu terlambat mendapat pertolongan yang cepat dan tepat di fasilitas pelayanan, secara teknis terkait dengan terbatasnya tenaga medis. Faktor sosial budaya juga berpengaruh dalam aspek ini. Di Indonesia, pelayanan kesehatan yang lambat diakibatkan oleh rendahnya motivasi kerja tenaga kesehatan karena isu remunerasi. Kesehatan juga kadang belum menjadi prioritas Pemda, sehingga pengadaan alat dan obat untuk melayani ibu hamil sering kali tidak tersedia. Akibatnya pelayanan terhadap ibu hamil terhambat. Selain itu, campur tangan politik menyebabkan tenaga kesehatan terlatih di suatu wilayah dimutasi ke tempat lain.

Terlambat ketiga dan "Empat Terlalu", dari sudut pandang sosial budaya juga terkait dengan kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat. Terlambat mengenali tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan seringkali disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat. Terlalu tua menikah dan melahirkan terkait dengan keputusan perempuan modern untuk mendahulukan karier atau mengupayakan kemapanan hidup sebelum menikah dan memiliki anak. Terlalu muda melahirkan terkait dengan kepercayaan wanita di desa yang umumnya malu menikah dan melahirkan di usia terlalu tua. Terlalu sering dan terlalu banyak melahirkan umumnya terkait dengan kepercayaan bahwa banyak anak banyak rejeki.

Faktor-faktor sosial budaya yang muncul dalam masyarakat memang tidak secara langsung mempengaruhi kematian ibu. Namun, hal ini berpengaruh terhadap intervensi yang akan diberikan dalam upaya penyurunan kematian ibu. Maka, perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai dampak faktor sosial budaya dalam kematian ibu.

Oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Referensi:

  • Cham M; Sundby J; and Vangen S; 2005; Maternal mortality in the rural Gambia, a qualitative study on access to emergency obstetric care; Reproductive Health; 2:3
  • Dr. dr. Atik Triratnawati, 2013, Laporan Hasil Monev Aspek Kualitatif Program Sister Hospital
  • Okolocha C, Chiwuzie J, Braimoh S, Unuigbe J, dan Olumeko P; 1998; Socio-cultural factors in maternal morbidity and mortality: a study of a semi-urban community in southern Nigeria; J Epidemiol Community Health; 52:293–297
  • Ronsmans, C, and Graham, WJ; 2006; Maternal mortality: who, when, where, and why; The Lancet; Volume 368: 9542; Pages 1189 - 1200
  • Spot Dokter, Mencegah Risiko Kehamilan dan Persalinan: 3 Terlambat, 4 Terlalu, http://home.spotdokter.com/389/mencegah-risiko-kehamilan-dan-persalinan-3-terlambat-4-terlalu/
  • V. De Brouwere, et. al., 2002, Reducing Maternal Mortality in Developing Country, Tropical Medicine & International Health, Volume 3:10.

Penurunan angka kematian bayi penting karena Angka Kematian Bayi (AKB) dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Indikator AKB terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial-ekonomi dan kesehatannya. Menanggapi permasalahan anak yang masih menjadi perhatian di Provinsi Nusa Tenggara Timur dimana kematian ibu sudah bisa diturunkan namun hal ini tidak terjadi pada penurunan kematian bayi. Maka, dibutuhkan upaya-upaya luar biasa dari instansi pelayanan kesehatan untuk memecahkan permasalahan ini.

Seperti pada data yang dipaparkan oleh tim Dinkes Provinsi NTT dalam pertemuan lokakarya evaluasi akhir yang dilakukan di Bali (4-5/12/2014) bahwa belum ada perubahan yang berarti dalam menurunkan angka kematian bayi.

art8des14

Sumber: Sumber Data: Laporan F1 – F8 Bulan dan Indikator Antara Revolusi KIA NTT 2013- 2014 Kab/Kota melalui Bid. Kesmas Dinkes NTT

Pemerintah melalui Dinas kesehatan sudah berupaya untuk menekan angka kematian bayi di NTT baik melalui gebrakan revolusi KIA dengan pesan seluruh persalinan di Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT, harus ditolong oleh tenaga kesehatan berkompeten dan dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai, sesuai dengan peraturan Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009 tanggal 21 Agustus 2009. Upaya ini perlu didukung dengan pendekatan lainnya. Ada satu strategi yang dipaparkan oleh dr. Stefanus Bria Seran, MPH dalam upaya menurunkan angka kematian bayi yakni dengan menggunakan pendekatan PERKESMAS.

Seperti yang diketahui bahwa Pelayanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) merupakan salah satu upaya puskesmas yang mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan memadukan ilmu/praktik keperawatan dengan kesehatan masyarakat melalui dukungan peran serta aktif masyarakat yang mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat untuk ikut meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga mandiri dalam upaya kesehatannya.

Petugas Perkesmas dalam hal ini adalah seluruh perawat fungsional yang bekerja di puskesmas dan mendukung adanya kolaborasi dengan petugas kesehatan lain (dokter, bidan, petugas gizi, petugas kesling, dan lain-lain) sesuai kebutuhan dan lingkup permasalahan yang dihadapi ketika melayani masyarakat. Kegiatan pelayanan Perkesmas dapat dilaksanakan di dalam dan di luar gedung puskesmas. Di dalam gedung, perawat melakukan asuhan keperawatan bagi individu yang datang ke puskesmas sedangkan kegiatan di luar gedung, perawat dapat melakukan asuhan keperawatan keluarga maupun asuhan keperawatan kelompok khusus/rawan kesehatan di daerah binaan Perkesmas. Berbagai masalah kesehatan yang memerlukan pelayanan Perkesmas termasuk pada kelompok balita. Jenis kegiatan yang dilakukan selama memberikan pelayanan Perkesmas seperti; deteksi dini, penyuluhan kesehatan, konseling, perawatan kesehatan dasar, dan rujukan ke pelayanan kesehatan terdekat.

Ide tersebut sesuai dengan latar belakang dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat yakni Puskesmas yang merupakan ujung tombak penyelenggaraan UKM maupun UKP di strata pertama pelayanan kesehatan, dan merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan kesehatan di Kabupaten/Kota. Upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas meliputi upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar yang paling dekat dengan masyarakat sangat menentukan kinerja Kabupaten/Kota untuk mewujudkan masyarakat sehat di wilayahnya. Prinsip penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh, terpadu, terjangkau dan bermutu merupakan prinsip yang seharusnya diterapkan di Puskesmas, sehingga kinerja Puskesmas lebih optimal.

Mengingat saat ini permasalahan kesehatan yang dihadapi cukup kompleks, upaya kesehatan belum dapat menjangkau seluruh masyarakat meskipun Puskesmas telah tersedia di setiap kecamatan yang rata-rata ditunjang oleh tiga Puskesmas Pembantu namun Dinkes provinsi NTT tetap optimis dengan mengaktifkan kembali kegiatan perkesmas akan dapat membawa dampak yang lebih baik dalam menurunkan angka kematian bayi.

Oleh: Andriani, MPH

Referensi:

High-Alert Medication atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat-obat yang secara signifikan berisiko membahayakan pasien bila digunakan dengan salah atau pengelolaan yang kurang tepat. Di Indonesia, pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit mengharuskan rumah sakit untuk mengembangakan kebijakan pengelolan obat untuk meningkatkan keamanan khususnya obat yang perlu diwaspadai (high-alert medications). Obat ini sering menyababkan kesalahan serius (sentinel event) dan dapat menyababkan reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD). Berdasarkan study yang dilakukan oleh Institute for Safe Medication Practices (ISMP) di US, obat yang paling sering menyebabkan ROTD dan sentinel event adalah insulin, opium dan narkotik, injeksi potassium chloride (phospate) concentrate, intravenous anticoagulants (hepari) dan sodium chloride solution lebih besar dari 0,9%.

Berikut adalah ketagori dan spesifikasi obat yang termasuk ke dalam high alert medication .

List of High Alert Medication in Acute Care Setting

-Kategori/ kelas obat-obatan

Spesifikasi Obat

adrenergic agonists, IV (e.g., EPINEPHrine, phenylephrine, norepinephrine)

EPINEPHrine, subcutaneous

adrenergic antagonists, IV (e.g., propranolol, metoprolol, labetalol)

epoprostenol (Flolan), IV

anesthetic agents, general, inhaled and IV (e.g., propofol, ketamine)

insulin U-500 (special emphasis) : *All forms of insulin, subcutaneous and IV, are considered a class of high-alert medications.

Insulin U-500 has been singled out for special emphasis to bring attention to the

need for distinct strategies to prevent the types of errors that occur with this concentrated

form of insulin

antiarrhythmics, IV (e.g., lidocaine, amiodarone)

magnesium sulfate injection

antithrombotic agents, including:

  • anticoagulants (e.g., warfarin, low molecular weight heparin, IV unfractionated heparin)
  • Factor Xa inhibitors (e.g., fondaparinux, apixaban, rivaroxaban)
  • direct thrombin inhibitors (e.g., argatroban, bivalirudin, dabigatran etexilate)
  • thrombolytics (e.g., alteplase, reteplase, tenecteplase)
  • glycoprotein IIb/IIIa inhibitors (e.g., eptifibatide)

methotrexate, oral, non-oncologic use

cardioplegic solutions

opium tincture

chemotherapeutic agents, parenteral and oral

oxytocin, IV

dextrose, hypertonic, 20% or greater

nitroprusside sodium for injection

dialysis solutions, peritoneal and hemodialysis

potassium chloride for injection concentrate

epidural or intrathecal medications

potassium phosphates injection

hypoglycemics, oral

promethazine, IV

inotropic medications, IV (e.g., digoxin, milrinone)

vasopressin, IV or intraosseous

insulin, subcutaneous and IV

 

liposomal forms of drugs (e.g., liposomal amphotericin B) and conventional counterparts

(e.g., amphotericin B desoxycholate)

 

moderate sedation agents, IV (e.g., dexmedetomidine, midazolam)

 

moderate sedation agents, oral, for children (e.g., chloral hydrate)

 

narcotics/opioids

  • IV
  • Transdermal
  • oral (including liquid concentrates, immediate and sustained-release formulations)

 

neuromuscular blocking agents (e.g., succinylcholine, rocuronium, vecuronium)

 

parenteral nutrition preparations

 

radiocontrast agents, IV

 

sterile water for injection, inhalation, and irrigation

(excluding pour bottles) in containers of 100 mL or more

 

sodium chloride for injection, hypertonic, greater than 0.9% concentration

 

List of High Alert Medications in Ambulatory Healtcare

-Kategori/ kelas obat-obatan

Spesifikasi Obat

antiretroviral agents (e.g., efavirenz, lamiVUDine, raltegravir, ritonavir,

combination antiretroviral products)

carBAMazepine

chemotherapeutic agents, oral (excluding hormonal agents)

(e.g., cyclophosphamide, mercaptopurine, temozolomide)

chloral hydrate liquid, for sedation of children

 

hypoglycemic agents, oral

heparin, including unfractionated and low molecular weight heparin

immunosuppressant agents (e.g., azaTHIOprine, cycloSPORINE,

tacrolimus)

metFORMIN

insulin, all formulations

methotrexate, non-oncologic use

opioids, all formulations

midazolam liquid, for sedation of children

pediatric liquid medications that require measurement

propylthiouracil

pregnancy category X drugs (e.g., bosentan, ISOtretinoin)

warfarin

Dengan adanya daftar obat di atas, diharapkan bisa mengurangi kesalahan dalam pemberian high alert medications. Pemberian high-alert medications harus teliti. Hal-hal yang dilakukan untuk meningkatkan keamanan high alert medications adalah perawat harus melakukan pengecekan ganda (double check) terhadap semua high alert medications sebelum diberikan kepada pasien. Selain itu, persiapan dan penyimpanannya pun harus jelas. High alert medications harus disimpan di pos perawat di dalam troli atau kabinet yang terkunci dan diberi label yang jelas.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH
Sumber:
_____(2011). List of High-Alert Medications in Community/Ambulatory Healthcare. ISMP
_____(2014). L is t o f High-Alert Medicationsin Acute Care Settings. ISMP

http://www.ismp.org/tools/highalertmedications.pdf 
http://www.ismp.org/communityRx/tools/ambulatoryhighalert.asp