Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Artikel terdahulu dari serial artikel minggu ini telah menjabarkan empat usulan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan dalam era JKN yang disarikan dari policy brief bertema "Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries (LMIC) to improve and regulate the quality of ambulatory care?".

Policy brief  tersebut juga menambahkan dua strategi peningkatan mutu layanan rawat jalan melalui pendekatan finansial, yaitu melalui "social franchising" dan "pay for performance". Kedua strategi ini diajukan karena: 1) banyak diterapkan di LMIC, 2) memiliki dasar teori yang kuat terutama untuk meningkatkan mutu pelayanan rawat jalan yang kompleks, dan 3) dapat digunakan sebagai alat dalam kerangka kerja JKN untuk mengukur dampak mutu pada level sistem.

Strategi pertama adalah "social franchising", mirip dengan model franchise di berbagai lembaga usaha (supermarket misalnya) namun franchise jenis ini lebih bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sosial, bukan keuntungan finansial. Franchisor biasa merupakan not-for-profit organization (NGO), atau lembaga pemerintah atau bisa juga lembaga for-profit, sedangkan lembaga pemberi franchise umumnya adalah sebuah lembaga pemberi pelayanan tertentu.

Penerapan "social franchising" antara lain seperti sebuah RS yang membuka jaringan pelayanan rawat jalan baik di perkotaan maupun di pedesaan, jaringan tersebut dapat berupa sarana pelayanan kesehatan primer dalam bentuk klinik dokter umum, dokter gigi, bidan/perawat praktek mandiri atau bisa juga dalam bentuk sarana pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi). Jaringan tersebut tidak dimiliki oleh RS sebagai franchisor, namun demikian franchiser mungkin membayar jasa/fee kepada RS tersebut sebagai timbal balik penggunaan merek dan logo RS serta penggunaan berbagai sumber daya secara bersama (misalnya peralatan dan juga pembelian bersama) sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan efisiensi biaya.

Di sisi lain RS tersebut ikut bertanggung jawab atas mutu yang diberikan dan konsistensi pelaksanaan prosedur yang ditetapkan melalui penilaian berdasarkan kunjungan dan laporan rutin bahkan melalui audit klinik sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan.

Strategi kedua adalah "pay for performance" atau insentif berdasarkan kinerja dapat diterapkan oleh institusi asuransi/pembiayaan (seperti BPJS) kepada fasilitas pelayanan kesehatan dan juga dapat diterapkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan kepada para staf mereka.

Ada beragam model "pay for performance", itu tergantung dari para pihak yang membayar dan yang dibayar, cara menetapkan dan mengukur kinerja, bagaimana cara insentif digunakan dan cara mengukur dampaknya terhadap kinerja. Efektivitas metode ini tergantung dari dukungan regulasi, sistem informasi dan pelaporan yang baik, kemungkinan untuk perbaikan dan inovasi, kemampuan manajemen untuk menerapkan, keleluasaan untuk mobilisasi sumber daya (termasuk SDM) dan kebebasan untuk membuat desain pelayanan yang sesuai dengan target mutu dan kuantitas.

Kedua strategi ini dapat diuji cobakan oleh BPJS antara lain dengan mendorong klinik pratama untuk membuat jejaring bersama klinik pratama lain dengan tujuan meningkatkan mutu dan efisiensi biaya atau memberikan insetif dalam bentuk finansial atau bentuk lain bagi fasyankes yang menunjukan kinerja yang baik.

Oleh: Hanevi Djasri, dr, MARS

Sumber : Hort K dan Dayal P, 2015, Policy Brief Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?, Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies, Vol. 4 No. 1.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mendengar pembicaraan terkait kualitas, baik itu mengenai kualitas produk barang maupun jasa, misalnya pada jasa pelayanan kesehatan, terkadang kita menilai kualitas antara pelayanan yang diberikan oleh RS swasta dan RS negeri di negeri kita ini. Namun sesungguhnya bagaimana kualitas itu? Tentu saja pertanyaan ini akan menimbulkan banyak jawaban-jawaban sesuai dengan pengalaman masing-masing, karena maknanya akan berlainan bagi setiap orang dan tergantung pada konteksnya. Kita akan sulit untuk menentukan kualitas karena ada ambiguitas dalam mendefinisikan kualitas itu sendiri. Tidak adanya definisi yang terukur secara umum dan dapat diterima karena ada beberapa perspektif kualitas yakni dari perspektif penyedia, pembayar dan pasien itu sendiri.

Meskipun sulit diukur, namun kerangka konsep kualitas sudah banyak digunakan dalam literatur yang dikembangkan oleh ahli mutu pelayanan yakni Donabedian (1996), kerangka ini mengidentifikasi tiga aspek kualitas yang dapat diukur yakni: input (fasilitas, staf, peralatan, perlengkapan); proses (kepatuhan terhadap protocol dan standar asuhan keperwatan) serta hasil (kesembuhan, angka pasien hidup, komplikasi maupun hasil yang buruk). Adapula dimensi kualitas yang di sorot oleh NHS yakni pengalaman pasiendan kepuasan pasien terhadap layanan. Masing-masing alat uji kualitas memiliki kekurangan masing-masing, misalnya pada konsep Donabedian (1996) mengenai input, meskipun input lebih mudah untuk diukur namun memiliki hubungan yang lemah terhadap kualitas, pada proses juga ada kesulitan dalam mengukur yakni waktu mengobservasi membutuhkan waktu yang lama dan sulit untuk diterapkan sedangkan menilai hasil juga membutuhkan biaya yang mahal dan lebih komplek karena faktor intervensi sulit diukur pada kondisi kronis yang membutuhkan tindak lanjut. Pada dimensi kualitas yang disorot NHS meskipun dalam penerapannya relatif lebih mudah karena mengukur melalui wawancara dengan klien, namun kualitas khususnya efektifitas dan keamanan cenderung diabaikan karena lebih mengukur kepada pemanfaatan, efisiensi serta tanggapan terhadap harapan pasien.

Terlepas dari adanya kekurangan-kekurangan dalam menilai kualitas, bukan berarti kualitas tidak dapat diukur, namun dapat dirinci aspek-aspek apa saja yang akan dinilai, seperti pada sebuah penelitian mengenai kualitas di sektor publik dan swasta yang dilakukan oleh Berenderas (2011) terungkap bahwa ketersediaan obat, respon terhadap pasien jauh lebih baik dibandingkan fasilitas publik, hal ini dikarenakan oleh sumber daya yang berkontribusi pada rendahnya kualitas layanan tersebut, namun di sisi lain ada pula penelitian Basu (2012) yang meneliti bahwa sektor swasta lebih buruk karena meresepkan obat dan tes yang tidak perlu sehingga dapat merugikan pasien, namun di sisi lain tingkat akurasi yang buruk terhadap diagnostik dan buruknya tingkat kompetensi pada standar medis lebih sering dilanggar oleh layanan publik.

Adapun faktor yang diasumsikan mendorong buruknya kualitas pelayanan di negara-negara skala menengah ke bawah (Low Midle Countries-LMICs) yakni berasal dari ketersediaan yang tidak memadai dari komponen structural seperti staf, fasilitas, dan peralatan. Meskipun struktur termasuk beban berat namun telah terbukti memiliki hubungan yang lemah terhadap kualitas layanan, dan yang menjadi perhatian adalah pentingnya perilaku penyedia (ketepatan saran baik dari kompetensi maupun upaya penyedia jasa layanan) dalam menentukan pelayanan kesehatan terutama dalam pengaturan rawat jalan. Adapula yang menjadi penyumbang buruknya kualitas yakni kompetensi tenaga kesehatan yang buruk, kesenjangan antara pengetahuan dan praktek, kepatuhan yang rendah terhadap standar profesional juga turut menjadi faktor buruknya kualitas pelayanan. Penelitian dari Barber dkk (2007) juga menemukan bahwa bahkan situasi dimana orang-orang miskin memiliki akses ke dokter yang sama namun orang miskin tersebut menerima kualitas perawatan yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa penyediaan melakukan diskriminasi terhadap upaya kesehatan yang diberikan.

Hal tersebut di atas turut menjadi faktor penyumbang masalah buruknya kualitas layanan kesehatan dan kurangnya budaya organisasi yang ada di negara-negara LMICs yang mendorong pada akuntabilitas dan nilai-nilai kebersamaan.

Oleh : Andriani Yulianti, MPH.

Sumber : Policy Brief. Quality of Care. What are effective policy options for governments in low- and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care? Dayal et.al. Policy Brief. Vol.4, No.1. Asia PacificObservatory on Health Systems and Policies. World Health Organization. 2015.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf 

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan di Indonesia, mulai menunjukkan dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program ini memudahkan masyarakat mengakses layanan kesehatan. Masyarakat juga terjamin secara finansial bila menderita sakit. Namun, selama program bergulir, perhatian pemerintah baru tertuju pada peningkatan jumlah peserta, jumlah provider, maupun kendali biaya. Urusan mutu layanan kesehatan belum menjadi prioritas. Dampaknya, masyarakat bisa saja mengakses fasilitas kesehatan dengan mutu layanan yang tidak baik.

Selain Indonesia, negara-negara berpendapatan rendah dan menengah lainnya di kawasan Asia Pasifik juga mengalami kondisi serupa. Akreditasi rumah sakit memang telah dilakukan sebagai upaya meningkatkan mutu layanan kesehatan secara umum. Namun, di negara-negara Asia Pasifik ini, layanan rawat jalan disinyalir merupakan jenis layanan yang menyebabkan sharing biaya paling besar. Jenis layanan ini pula yang membawa beban ganda untuk penyebaran penyakit menular dan tidak menular. Situasi ini patut menjadi perhatian utama pemerintah setempat.

Apa saja yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan? Berikut empat usulan strategi yang disebutkan dalam policy brief bertema Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?: Pertama, menginvestasikan sumber daya untuk membangun definisi operasional dan pengukuran mutu layanan kesehatan. Semua standar yang diperlukan untuk menjamin mutu layanan perlu dikembangkan lengkap dengan metode pengukurannya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi profesi dan provider untuk melakukan hal ini.

Kedua, menyediakan sumber daya dan panduan strategi peningkatan mutu di pusat layanan kesehatan publik. Strategi ini terbukti dapat meningkatkan mutu layanan di fasilitas kesehatan umum di Singapura dan Thailand. Pemerintah di kedua negara tersebut berinvestasi cukup besar untuk menjalankan strategi ini dan melakukan pengawasan berkala. Peningkatan mutu layanan kesehatan publik dapat mendorong fasilitas kesehatan swasta untuk meningkatkan mutu layanannya.

Ketiga, memperbaiki pemanfaatan pembiayaan dan strategi berbasis pasar untuk menghasilkan insentif bagi perbaikan mutu layanan kesehatan. Upaya yang dapat dilakukan dalam strategi ini diantaranya adalah mengaitkan pengukuran indikator mutu dengan sistem pembayaran provider. Investasi secara simultan untuk peningkatan kapasitas dan pelatihan juga perlu dilakukan agar provider dapat memberi layanan bermutu sesuai standar. Implementasi strategi ini juga dapat berupa pembuatan definisi operasional untuk tiap layanan dan melakukan pengawasan berkala. Keempat, kombinasi pelaksanaan berbagai strategi. Tidak ada strategi tunggal yang dapat berhasil optimal saat dijalankan. Implementasi berbagai strategi berdasar diagnosis masalah akan sangat dibutuhkan untuk memecahkan masalah mutu layanan kesehatan.

Di Indonesia, keempat usulan strategi ini masih relevan dilakukan walaupun tidak semuanya. Indonesia sudah memiliki standar layanan kesehatan dan metode pengukurannya. Namun, Indonesia belum banyak berinvestasi untuk pengembangan kapasitas sumber daya. Sistem pembayaran tenaga kesehatan juga belum dikaitkan dengan indikator mutu. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan dan mengimplementasikan usulan strategi-strategi ini untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan di era JKN.

oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Sumber : Hort K dan Dayal P, 2015, Policy Brief Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?, Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies, Vol. 4 No. 1.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf 

Negara dengan pendapatan menengah ke bawah umumnya jarang memiliki regulasi kuat yang mengatur pembagian sektor pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah, sehingga mekanisme kerjanya lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini mengakibatkan pihak swasta dengan modal besar dapat membuat layanan super mewah sementara pelayanan publik seringkali terbengkalai. Hal ini menimbulkan adanya gap pelayanan yang sangat bervariasi di negara-negara ini.  Mulai dari layanan kelas atas hingga pengobatan-pengobatan tradisional yang dilakukan oleh orang-orang kompeten di bidangnya. Belum lagi terdapat provider kesehatan yang menganut sistem dualisme, bekerja di pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah, hal ini menimbulkan adanya perbedaan kualitas layanan antara swasta dan publik meskipun dilakukan oleh aktor yang sama, karena sektor swasta memberikan kompensasi yang jauh berbeda dibandingkan publik.

Layanan kesehatan seharusnya tidak mengenal dualisme tersebut, setiap warga masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima, terlepas dari status sosio ekonomi warga tersebut. Layanan rawat jalan yang baik merupakan salah satu indikator kesehatan masyarakat yang signifikan, karena dapat meningkatkan status kesehatan secara cepat di tingkat populasi. Menurut WHO, anggaran kesehatan terbesar yang dikeluarkan sebuah keluarga di negara miskin adalah untuk berobat rawat jalan, mayoritas warga membayar melalui kantongnya sendiri. Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan dimana warga yang miskin menghabiskan uangnya "hanya" sekedar untuk berobat. Berbeda dengan negara-negara maju, anggaran kesehatan banyak dihabiskan untuk mengobati pasien-pasien rawat inap dan banyak diantaranya ditanggung oleh negara atau asuransi swasta.

art31mar

Adanya Universal Health Coverage (UHC) pada beberapa negara berkembang memberikan sedikit angin segar, dimana masyarakat dapat berobat secara murah. Namun, tentu masih memerlukan perbaikan dari sisi regulasi agar UHC tidak hanya digunakan oleh masyarakat perkotaan yang memiliki akses transportasi mudah ke layanan kesehatan. Bahasan terkait kebijakan perbaikan layanan rawat jalan di negara berkembang akan diuraikan lebih lanjut pada artikel berikutnya.

oleh Elisa Sulistyaningrum, S.Gz, Dietisien, MPH

Referensi:

Berman, Peter. 2000. Organization of ambulatory care provision: a critical determinant of health system performance in developing countries. Bulletin of the World Health Organization : the International Journal of Public Health, 78(6) : 791-802
http://www.who.int/bulletin/archives/78%286%29791.pdf