Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Salah satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi trend dalam pelayanan kesehatan secara global adalah rekam medik elektronik. Di Indonesia, dikenal dengan Rekam Medik Elektronik (RME). RME sudah banyak digunakan di berbagai rumah sakit di dunia sebagai pengganti atau pelengkap rekam medik kesehatan berbentuk kertas.

Secara administratif rekam medis elektronik bermanfaat sebagai gudang penyimpanan informasi secara elektronik mengenai status kesehatan dan layanan kesehatan yang diperoleh pasien sepanjang hidupnya. Selain itu, penggunaan rekam medis elektronik memberikan manfaat kepada dokter dan petugas kesehatan dalam mengakses informasi pasien yang pada akhirnya membantu dalam pengambilan keputusan klinis. Pencatatan rekam medis adalah wajib bagi dokter dan dokter gigi yang melakukan tindakan medis kepada pasien, sesuai dengan aturan sehingga tidak ada alasan bagi dokter untuk tidak membuat rekam medik tersebut. Rekam medik elektronik merupakan solusi bagi rumah sakit untuk mengatasi berbagai masalah yang sering terjadi di rumah sakit seperti tempat penyimpanan yang besar, hilangnya rekam medis, pengeluaran data yang dibutuhkan, dan lain-lain.

Meski memiliki berbagai manfaat, di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain penggunaan sistem RME atau Electronic Medical Record (EMR) ini sangat sedikit, hanya 15-20 persen dokter yang mengadopsi sistem EMR dan 20-25 persen dari rumah sakit, hal ini disebabkan karena penggunaan sistem EMR memerlukan biaya tinggi (membutuhkan investasi yang lebih besar daripada RM kertas, untuk perangkat keras dan perangkat lunak serta biaya penunjang), kurangnya sertifikasi dan standarisasi, kekhawatiran tentang privasi dan adanya kekhawatiran siapa yang akan membiayai sistem EMR ini.

Pada tahun 2003 RAND Health Information Technology (HIT) mulai melakukan studi untuk lebih memahami peran dan pentingnya EMR dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan menginformasikan kepada pemerintah agar bisa memaksimalkan manfaat dari EMR dan meningkatkan penggunaannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Richard dkk, antara lain:

  1. Peningkatan produktivitas: penggunaan sistem EMR dapat mengurangi biaya
  2. Efisiensi: sistem EMR yang diadopsi, dapat mengurangi sumber daya yang ada untuk meningkatkan kualitas pelayanan
  3. Mengurangi kejadian efek samping obat dalam perawatan rawat inap dan rawat jalan
  4. Penggunaan HIT untuk perawatan pencegahan jangka pendek. 
    Sistem EMR dapat mengintegrasikan rekomendasi berbasis bukti untuk layanan pencegahan (seperti ujian screening) dengan data pasien (seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga) untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan layanan tertentu. Sistem ini dapat mengingatkan penyedia layanan untuk menawarkan layanan selama kunjungan rutin dan mengingatkan pasien untuk jadwal perawatan.
  5. Menggunakan HIT untuk penanganan penyakit kronis jangka pendek.
    Sistem EMR dapat menjadi instrumen selama proses pengelolaan penyakit (untuk pasien berisiko tinggi, sistem manajemen kasus membantu koordinasi alur kerja, termasuk komunikasi diantara beberapa spesialis dan pasien)

Di Indonesia sendiri, rumah sakit yang telah menjalankan sistem informasi rumah sakit adalah RSUD DR. Soetomo Surabaya. Seluruh transaksi dapat terintegrasi melalui satu pintu. RM RS Soetomo sudah memakai EMR yang sangat memudahkan untuk mengeluarkan RM pasien baik secara rekap maupun detail. Para dokter dapat dengan mudah mengakses data pasien melalui login serta password yang dimilikinya.

Oleh : Armiatin, MPH
Sumber: Hillestad, Richard, et al., Can Electronic Medical Record Systems Transform Health Care? Potential Health Benefits, Savings, And Costs. Health Affairs, 24, No.5 (2005)

Sistem e-resep mengurangi kesalahan pengobatan, mudah dibaca, memperbaiki praktek dokter dan effisiensi kesalahan apotik. Paling penting, dokter dan apotik bertukar data resep secara mudah dan cepat, menghemat waktu dan mempersingkat workflow staff serta meminimalisir kesalahan informasi komunikasi by phone dan fax.

Meskipun banyak manfaat, penggunaan sistem e-resep masih rendah di USA (Grossman et al.), medicare memberikan bonus ke dokter yang memenuhi syarat menggunakan elektronik health record (EHR) kalau sistem e-resep dibawah kendali medicare. Sistem e-resep berkembang cepat sebagai standar baru untuk mengontrol fraud pengajuan klaim, namun kelemahannya dokter diwajibkan menguasai aplikasi informasi teknologi kesehatan untuk memperbaharui dan mengirim resep menggunakan sistem elektronik.

art-23okt

Penelitian grossman et all pada tahun 2010 menyatakan, 70% dokter menggunakan elecktronic health record (EHR) ketika menggunakan sistem e-resep sendiri atau bukan dibawah kendali medicare dan 23 dokter mengirim ±70% e-resep, 30% sisanya dikirim by print, fax atau phone serta ≥ 24% apotik menerima 15% e-resep, hal ini rendah karena banyak dokter tidak mengirim setiap e-resep.

Bagaimanapun, e-resep dirasakan merubah effisiensi dan kepuasan pasien. E-resep selain dikirim, resep manual diberikan juga sebelumnya ke pasien untuk mengurangi kesalahan tafsiran.

Proses pembaharuan e-resep tidak mudah dan sulit dalam mengintegrasikan organization workflow, oleh karena itu Staff apotik dibekali banyak pelatihan untuk mengidentifikasi resep baru dan mengurangi kesalahan tafsiran meskipun request e-resep mudah diubah dan bisa ditanyakan ke dokter by phone atau fax serta dokter bisa membatalkan resep yang dikirim, tapi dengan menggunakan sistem ini, waktu dapat dihemat ketika proses pembaharuan resep berhasil dilakukan. Sebelumnya dokter membutuhkan waktu untuk fax, distribusi, menunggu persetujuan dan fax balik, namun sekarang dokter mengisi resep yang sudah ada di inbox dan langsung diterima atau dibatalkan dalam beberapa detik dan diperlukan follow up apotik by fax kalau dokter tidak merespon dalam waktu singkat.

Staf apotik diberikan sinyal jika ada e-resep baru kemudian sistem dicocokan dengan pasien dan dokter, kadang-kadang menyeleksi secara manual kebenaran identitas pasien dari komputer umum, jika sistem e-resep sedang eror.

Staf apotik kemudian memproses setiap resep, memberikan informasi di view screen, mencocokkan dengan sistem apotik dan mem-verifikasi informasi. Ada 3 hal dibutuhkan isian manual antara lain:

  • Nama pengobatan
    Dokter menyeleksi sebuah obat dalam sistem dengan tipe data bersifat string, sehingga kekuatan dan dosis disesuaikan dengan food and drug administration national drug code (NDC). Jika NDC tidak aktif atau error, data diolah secara manual dengan menyeleksi draft obat dari data base apotik, selain itu dokter menyeleksi obat dengan spesifikasi-spesifikasi dalam sistem e-resep, membuat keputusan tentang kemasan, jika ada kekeliruan kebutuhan penggunaan obat, kadang apotik mem-follow up keperluan dokter tanpa mengurangi kasiat obat dan kebutuhan pasien.

  • Kuantitas
    Dokter memerlukan ketelitian dalam membagi kuantitas kemasan atau multi use obat seperti paket pill, sirup, penyaring udara atau cream dalam e-resep. Sistem e-resep melihat kemasan atau isi daripada dosis setiap obat sehingga membuat dokter bingung dalam menyeleksi kuantitas dengan tepat.

  • Patient instruction
    Staf apotik menulis ulang patient instruction ke pasien agar pasien mengerti misalnya satu tablet tiga kali sehari.

Proses pembaharuan resep menjadi sesuatu yang bisa diramalkan jika apotik dan dokter dengan e-resep masih mau meng-update dan memperbaiki kesalahan kemasan dan jumlah obat. Selain itu Dokter dan apotik mendapatkan manfaat dari proses pembaharuan resep misalnya mendapatkan pedoman implementasi, best practice tools, education, training dan support khususnya tambahan beberapa e-resep baru. Hal ini merupakan kesempatan untuk memodifikasi dan merubah teknik-teknik standar dari dokter dan sistem desain apotik menjadi lebih baik dengan menggunakan komonikasi elektronik.

Naskah, pesan apotik dan penjajakan e-resep dibawah sistem komunikasi elektronik meningkatkan proporsi praktek yang disesuaikan dengan e-resep. Dokter mendapat langsung pengalaman dan tahu proses implementasi yang efisien. Dengan menggunakan e-resep proses berpindah dari free text menjadi sebuah format struktural yang membutuhkan ketelitian klinis dan menghindari kerancuan. Selain itu komunikasi elektronik meningkatkan hubungan dokter dan apotik, bukan hanya mengembangkan penggunaan e-resep tapi juga penggunaan tools elektronik kesehatan yang lain.

Sumber: Joy M Grossman, et all. 2010. Transmitting and processing electronic prescription: experiences of physician practices and pharmacies

Oleh: Dedison Asanab, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana

Akses terhadap layanan kesehatan yang bermutu merupakan hak dasar setiap manusia. Namun, layanan kesehatan dasar semata tidak lagi dirasa cukup saat ini. Merebaknya penyakit yang bersifat life-limiting mendorong masyarakat mencari layanan kesehatan pendukung. Mereka bukan hanya ingin sembuh tetapi juga ingin dibantu untuk mengatasi masalah sosial dan gangguan lain sebagai dampak penyakit tersebut.

Penyakit-penyakit seperti kanker atau HIV sebelumnya dikategorikan sebagai penyakit "pembunuh" manusia. Namun, penyakit-penyakit semacam ini berubah status menjadi penyakit kronis akibat perkembangan teknologi pengobatan. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi. Penderitanya akan mengalami gangguan fungsi tubuh lebih lama. Aspek sosial ekonomi juga akan terpengaruh. Mereka butuh layanan kesehatan menyeluruh yang efektif mengatasi semua permasalahan ini.

Kondisi inilah yang mendasari Lucket dkk., melakukan identifikasi berbasis bukti berbagai elemen penentu efektivitas palliative care. Penelitian ini ditujukan untuk membantu reformasi kebijakan layanan kesehatan di Australia. Hasilnya, ada enam elemen penentu efektivitas palliative care yaitu case management, shared care, specialist outreach services, managed clinical networks, integrated care, dan volunteers.

Case management. Case management merupakan kegiatan berulang untuk keberhasilan upaya penilaian dan penggalian kebutuhan masing-masing individu dalam perawatan paliatif. Kebutuhan ini mencakup aktivitas sehari-hari dan kesejahteraan sosial. Dalam case management dilakukan koordinasi layanan secara berkala dengan berbagai sektor kesehatan termasuk layanan sosial dan keagamaan.

Shared care. Dalam beberapa penelitian, shared care dilaporkan sebagai elemen efektif layanan paliatif. Karakteristik elemen ini adalah klinisi yang bekerja bersama profesi kesehatan dari disiplin lain, fokus pada komunikasi dan koordinasi, serta respon cepat sesuai kebutuhan dan strategi navigasi. Model yang mulanya dikembangkan untuk palliative care dewasa di daerah terpencil ini, saat ini telah direkomendasikan juga untuk perawatan anak-anak.

Specialist outreach services. Dalam skala internasional, specialist outreach services telah diadopsi untuk meningkatkan outcome untuk underserved population melalui: pemantapan klinik spesialis di praktek layanan primer perkotaan, pemantapan klinik spesialis di rumah sakit daerah yang tidak punya dokter spesialis, dan pemantapan klinik sub spesialis di pusat regional. Dampak positif specialist outreach services telah dikaji di Cochrane. Kesimpulannya, specialist outreach services dapat meningkatkan outcome pasien, menjamin penyampaian layanan kesehatan lebih efisien dan konsisten berbasis bukti ilmiah, serta menurunkan layanan rawat inap. Memang specialist outreach services terkait dengan penambahan biaya. Namun, penambahan biaya ini dianggap seimbang dengan peningkatan outcome kesehatan yang dihasilkan.

Managed clinical network. Jejaring klinis (clinical networks) telah lama diintegrasikan dengan berbagai sistem layanan kesehatan. Tujuannya, menjamin akses layanan kesehatan yang bermutu dan clinically-effective bagi populasi dengan akses dan outcome rendah. Jaringan ini memfasilitasi hubungan formal antara kelompok profesi kesehatan dan organisasi dari layanan primer, sekunder, dan tersier untuk bekerja secara terkoordinir serta tanpa memandang batasan-batasan profesi dan organisasi. Batasan-batasan ini biasanya terkait pendanaan dan batasan geografis.

Integrated care. Beberapa penelitian telah menunjukkan peran penting pelayanan terintegrasi (integrated care). Pelayanan terintegrasi merujuk kepada koordinasi beberapa pusat pelayanan sesuai kebutuhan pasien dan keluarganya. Tujuannya untuk memastikan keberlanjutan layanan kesehatan. Pelayanan terpadu mengharuskan pasien dan keluarganya terlibat dalam pembuatan keputusan dan menetapkan tujuan perawatan. Dampak baik layanan terintegrasi telah ditunjukkan oleh penelitian pada kasus perawatan pasien anak. Pada kasus ini, layanan terintegrasi bukan hanya berdampak positif bagi pasien dan keluarganya tetapi juga berdampak pada efisiensi organisasi dan kepuasan staf.

Volunteers. Elemen terakhir penentu efektivitas layanan paliatif adalah penggunaan sukarelawan (volunteers). Sukarelawan memegang peran penting dalam pemberian layanan paliatif, misalnya dalam kondisi minimnya tenaga kesehatan. Model layanan paliatif menggunakan volunteer telah jamak digunakan namun bukti implementasi dan evaluasinya masih terbatas.

Keenam elemen ini sebagian besar telah terbukti ilmiah membawa dampak bagi efektivitas layanan paliatif. Satu hal yang tak kalah penting, semua elemen ini berfokus pada pasien. Semuanya juga menunjukkan adanya dukungan dan kerja sama dengan aspek-aspek layanan kesehatan lainnya. Bila semua elemen ini dikombinasikan dengan apik, bukan tidak mungkin layanan paliatif yang dibutuhkan penderita penyakit kronis dapat terselenggara dengan baik.

Sumber: Elements of effective palliative care models: a rapid review. Luckett et al. BMC Health Services Research 2014, 14:136. http://www.biomedcentral.com/1472-6963/14/136

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Tulisan dokter sulit dibaca, sudah menjadi hal yang biasa. Walapun salah satu dari syarat menulis resep adalah "Hindari tulisan sulit dibaca hal ini dapat mempersulit pelayanan" tapi masih banyak dokter yang menulis resep dengan tulisan yang sulit dibaca. Mungkin hanya apoteker yang bisa membaca dan memahami resep yang ditulis. Namun bukan tidak mungkin apoteker melakukan kekeliruan dalam memberikan obat karena sulit menerjemahkan tulisan dokter sehingga terjadi medication error.

Layanan resep elektronik hadir untuk mengatasi medication error, namun seberapa efektifkah layanan ini?

Layanan resep elektronik di Inggris dimulai tahun 2005. Pelayanan resep elektronik yang dikenal dengan nama electronic prescription service (EPS) terjadi dalam 2 tahap yaitu EPS release 1 dan EPS release 2. EPSR1 berfungsi untuk menguji infrastruktur yang dibutuhkan untuk EPSR 2 di mana resep elektronik digital ditandatangani oleh prescriber dan dikirim secara elektronik ke apotek. EPRS1 mulai Juli 2009 diganti dengan EPSR 2.

EPS dimaksudkan untuk membantu dokter meningkatkan efisiensi dan pembatasan kesalahan medis. Kenyataannya medication error masih juga terjadi. Hasil penelitian Franklin (2014) menunjukkan beberapa kesalahan yang ditimbulkan dari penggunaan EPS. Penelitian ini dilakukan pada 15 community pharmacies di Inggris untuk membandingkan kesalahan pelabelan pada EPSR2 dengan non EPSR2. Non EPSR2 adalah resep dari EPSR1 dan Non EPS. Pengumpulan data berlangsung antara November 2009 dan September 2012 dengan design Naturalistic stepped wedge study.

Berdasarkan Tabel 1, data menunjukkan dari 10 sub kategori kesalahan pelabelan, 9 sub kategori kesalahan pelabelan terbanyak terjadi pada Non EPSR2. Data ini mengindikasikan bahwa penggunaan EPSR2 lebih baik daripada non EPSR.

art-21okt

Bukan hanya kesalahan pelabelan, hasil penelitian ini juga menunjukkan kesalahan konten 1,4%, peningkatan pelabelan oleh staf farmasi 13,6% dan sebagainya pada Tabel 2.

21okt2

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi rumah sakit yang belum menggunakan e-prescribing. Penelitian Franklin telah menunjukkan manfaat penggunaan EPRS2 walaupun masih menimbulkan kerugian bagi pasien. Hal ini tejadi karena kurangnya pemahaman dokter saat memasukkan kode, sehingga diperlukan kerjasama antar sistem.

Sumber: Bryony Dean Franklin, Matthew Reynolds, Stacey Sadler, et al. (2014). The effect of the electronic transmission of prescriptionson dispensing errors and prescription enhancements made in English community pharmacies: a naturalistic stepped wedge study. BMJ. http://qualitysafety.bmj.com/content/23/8/629.full.html#ref-list-1 

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH