Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan di Indonesia, mulai menunjukkan dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program ini memudahkan masyarakat mengakses layanan kesehatan. Masyarakat juga terjamin secara finansial bila menderita sakit. Namun, selama program bergulir, perhatian pemerintah baru tertuju pada peningkatan jumlah peserta, jumlah provider, maupun kendali biaya. Urusan mutu layanan kesehatan belum menjadi prioritas. Dampaknya, masyarakat bisa saja mengakses fasilitas kesehatan dengan mutu layanan yang tidak baik.

Selain Indonesia, negara-negara berpendapatan rendah dan menengah lainnya di kawasan Asia Pasifik juga mengalami kondisi serupa. Akreditasi rumah sakit memang telah dilakukan sebagai upaya meningkatkan mutu layanan kesehatan secara umum. Namun, di negara-negara Asia Pasifik ini, layanan rawat jalan disinyalir merupakan jenis layanan yang menyebabkan sharing biaya paling besar. Jenis layanan ini pula yang membawa beban ganda untuk penyebaran penyakit menular dan tidak menular. Situasi ini patut menjadi perhatian utama pemerintah setempat.

Apa saja yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan? Berikut empat usulan strategi yang disebutkan dalam policy brief bertema Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?: Pertama, menginvestasikan sumber daya untuk membangun definisi operasional dan pengukuran mutu layanan kesehatan. Semua standar yang diperlukan untuk menjamin mutu layanan perlu dikembangkan lengkap dengan metode pengukurannya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi profesi dan provider untuk melakukan hal ini.

Kedua, menyediakan sumber daya dan panduan strategi peningkatan mutu di pusat layanan kesehatan publik. Strategi ini terbukti dapat meningkatkan mutu layanan di fasilitas kesehatan umum di Singapura dan Thailand. Pemerintah di kedua negara tersebut berinvestasi cukup besar untuk menjalankan strategi ini dan melakukan pengawasan berkala. Peningkatan mutu layanan kesehatan publik dapat mendorong fasilitas kesehatan swasta untuk meningkatkan mutu layanannya.

Ketiga, memperbaiki pemanfaatan pembiayaan dan strategi berbasis pasar untuk menghasilkan insentif bagi perbaikan mutu layanan kesehatan. Upaya yang dapat dilakukan dalam strategi ini diantaranya adalah mengaitkan pengukuran indikator mutu dengan sistem pembayaran provider. Investasi secara simultan untuk peningkatan kapasitas dan pelatihan juga perlu dilakukan agar provider dapat memberi layanan bermutu sesuai standar. Implementasi strategi ini juga dapat berupa pembuatan definisi operasional untuk tiap layanan dan melakukan pengawasan berkala. Keempat, kombinasi pelaksanaan berbagai strategi. Tidak ada strategi tunggal yang dapat berhasil optimal saat dijalankan. Implementasi berbagai strategi berdasar diagnosis masalah akan sangat dibutuhkan untuk memecahkan masalah mutu layanan kesehatan.

Di Indonesia, keempat usulan strategi ini masih relevan dilakukan walaupun tidak semuanya. Indonesia sudah memiliki standar layanan kesehatan dan metode pengukurannya. Namun, Indonesia belum banyak berinvestasi untuk pengembangan kapasitas sumber daya. Sistem pembayaran tenaga kesehatan juga belum dikaitkan dengan indikator mutu. Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan dan mengimplementasikan usulan strategi-strategi ini untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan di era JKN.

oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Sumber : Hort K dan Dayal P, 2015, Policy Brief Quality of Care: What are effective policy options for governments in low-and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care?, Asia Pacific Observatory on Health Systems and Policies, Vol. 4 No. 1.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf 

Negara dengan pendapatan menengah ke bawah umumnya jarang memiliki regulasi kuat yang mengatur pembagian sektor pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah, sehingga mekanisme kerjanya lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini mengakibatkan pihak swasta dengan modal besar dapat membuat layanan super mewah sementara pelayanan publik seringkali terbengkalai. Hal ini menimbulkan adanya gap pelayanan yang sangat bervariasi di negara-negara ini.  Mulai dari layanan kelas atas hingga pengobatan-pengobatan tradisional yang dilakukan oleh orang-orang kompeten di bidangnya. Belum lagi terdapat provider kesehatan yang menganut sistem dualisme, bekerja di pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah, hal ini menimbulkan adanya perbedaan kualitas layanan antara swasta dan publik meskipun dilakukan oleh aktor yang sama, karena sektor swasta memberikan kompensasi yang jauh berbeda dibandingkan publik.

Layanan kesehatan seharusnya tidak mengenal dualisme tersebut, setiap warga masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima, terlepas dari status sosio ekonomi warga tersebut. Layanan rawat jalan yang baik merupakan salah satu indikator kesehatan masyarakat yang signifikan, karena dapat meningkatkan status kesehatan secara cepat di tingkat populasi. Menurut WHO, anggaran kesehatan terbesar yang dikeluarkan sebuah keluarga di negara miskin adalah untuk berobat rawat jalan, mayoritas warga membayar melalui kantongnya sendiri. Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan dimana warga yang miskin menghabiskan uangnya "hanya" sekedar untuk berobat. Berbeda dengan negara-negara maju, anggaran kesehatan banyak dihabiskan untuk mengobati pasien-pasien rawat inap dan banyak diantaranya ditanggung oleh negara atau asuransi swasta.

art31mar

Adanya Universal Health Coverage (UHC) pada beberapa negara berkembang memberikan sedikit angin segar, dimana masyarakat dapat berobat secara murah. Namun, tentu masih memerlukan perbaikan dari sisi regulasi agar UHC tidak hanya digunakan oleh masyarakat perkotaan yang memiliki akses transportasi mudah ke layanan kesehatan. Bahasan terkait kebijakan perbaikan layanan rawat jalan di negara berkembang akan diuraikan lebih lanjut pada artikel berikutnya.

oleh Elisa Sulistyaningrum, S.Gz, Dietisien, MPH

Referensi:

Berman, Peter. 2000. Organization of ambulatory care provision: a critical determinant of health system performance in developing countries. Bulletin of the World Health Organization : the International Journal of Public Health, 78(6) : 791-802
http://www.who.int/bulletin/archives/78%286%29791.pdf 

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mendengar pembicaraan terkait kualitas, baik itu mengenai kualitas produk barang maupun jasa, misalnya pada jasa pelayanan kesehatan, terkadang kita menilai kualitas antara pelayanan yang diberikan oleh RS swasta dan RS negeri di negeri kita ini. Namun sesungguhnya bagaimana kualitas itu? Tentu saja pertanyaan ini akan menimbulkan banyak jawaban-jawaban sesuai dengan pengalaman masing-masing, karena maknanya akan berlainan bagi setiap orang dan tergantung pada konteksnya. Kita akan sulit untuk menentukan kualitas karena ada ambiguitas dalam mendefinisikan kualitas itu sendiri. Tidak adanya definisi yang terukur secara umum dan dapat diterima karena ada beberapa perspektif kualitas yakni dari perspektif penyedia, pembayar dan pasien itu sendiri.

Meskipun sulit diukur, namun kerangka konsep kualitas sudah banyak digunakan dalam literatur yang dikembangkan oleh ahli mutu pelayanan yakni Donabedian (1996), kerangka ini mengidentifikasi tiga aspek kualitas yang dapat diukur yakni: input (fasilitas, staf, peralatan, perlengkapan); proses (kepatuhan terhadap protocol dan standar asuhan keperwatan) serta hasil (kesembuhan, angka pasien hidup, komplikasi maupun hasil yang buruk). Adapula dimensi kualitas yang di sorot oleh NHS yakni pengalaman pasiendan kepuasan pasien terhadap layanan. Masing-masing alat uji kualitas memiliki kekurangan masing-masing, misalnya pada konsep Donabedian (1996) mengenai input, meskipun input lebih mudah untuk diukur namun memiliki hubungan yang lemah terhadap kualitas, pada proses juga ada kesulitan dalam mengukur yakni waktu mengobservasi membutuhkan waktu yang lama dan sulit untuk diterapkan sedangkan menilai hasil juga membutuhkan biaya yang mahal dan lebih komplek karena faktor intervensi sulit diukur pada kondisi kronis yang membutuhkan tindak lanjut. Pada dimensi kualitas yang disorot NHS meskipun dalam penerapannya relatif lebih mudah karena mengukur melalui wawancara dengan klien, namun kualitas khususnya efektifitas dan keamanan cenderung diabaikan karena lebih mengukur kepada pemanfaatan, efisiensi serta tanggapan terhadap harapan pasien.

Terlepas dari adanya kekurangan-kekurangan dalam menilai kualitas, bukan berarti kualitas tidak dapat diukur, namun dapat dirinci aspek-aspek apa saja yang akan dinilai, seperti pada sebuah penelitian mengenai kualitas di sektor publik dan swasta yang dilakukan oleh Berenderas (2011) terungkap bahwa ketersediaan obat, respon terhadap pasien jauh lebih baik dibandingkan fasilitas publik, hal ini dikarenakan oleh sumber daya yang berkontribusi pada rendahnya kualitas layanan tersebut, namun di sisi lain ada pula penelitian Basu (2012) yang meneliti bahwa sektor swasta lebih buruk karena meresepkan obat dan tes yang tidak perlu sehingga dapat merugikan pasien, namun di sisi lain tingkat akurasi yang buruk terhadap diagnostik dan buruknya tingkat kompetensi pada standar medis lebih sering dilanggar oleh layanan publik.

Adapun faktor yang diasumsikan mendorong buruknya kualitas pelayanan di negara-negara skala menengah ke bawah (Low Midle Countries-LMICs) yakni berasal dari ketersediaan yang tidak memadai dari komponen structural seperti staf, fasilitas, dan peralatan. Meskipun struktur termasuk beban berat namun telah terbukti memiliki hubungan yang lemah terhadap kualitas layanan, dan yang menjadi perhatian adalah pentingnya perilaku penyedia (ketepatan saran baik dari kompetensi maupun upaya penyedia jasa layanan) dalam menentukan pelayanan kesehatan terutama dalam pengaturan rawat jalan. Adapula yang menjadi penyumbang buruknya kualitas yakni kompetensi tenaga kesehatan yang buruk, kesenjangan antara pengetahuan dan praktek, kepatuhan yang rendah terhadap standar profesional juga turut menjadi faktor buruknya kualitas pelayanan. Penelitian dari Barber dkk (2007) juga menemukan bahwa bahkan situasi dimana orang-orang miskin memiliki akses ke dokter yang sama namun orang miskin tersebut menerima kualitas perawatan yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa penyediaan melakukan diskriminasi terhadap upaya kesehatan yang diberikan.

Hal tersebut di atas turut menjadi faktor penyumbang masalah buruknya kualitas layanan kesehatan dan kurangnya budaya organisasi yang ada di negara-negara LMICs yang mendorong pada akuntabilitas dan nilai-nilai kebersamaan.

Oleh : Andriani Yulianti, MPH.

Sumber : Policy Brief. Quality of Care. What are effective policy options for governments in low- and middle-income countries to improve and regulate the quality of ambulatory care? Dayal et.al. Policy Brief. Vol.4, No.1. Asia PacificObservatory on Health Systems and Policies. World Health Organization. 2015.
http://www.jointlearningnetwork.org/uploads/files/resources/WPRO_Quality_of_Care_Brief_2015-02.pdf 

Kesalahan pemberian obat di tatanan rumah sakit memberikan dampak langsung yang besar terhadap keselamatan pasien dan mutu pelayanan. Sebuah bukti penting dari literatur internasional menunjukkan risiko yang ditimbulkan oleh kesalahan pengobatan dan mengakibatkan efek samping yang sebenarnya dapat dicegah. Di Amerika serikat, kesalahan pengobatan diperkirakan merugikan sedikitnya 1,5 juta pasien per tahun. Di rumah sakit Australia sekitar 1% dari semua pasien menderita efek samping sebagai akibat dari kesalahan pengobatan. Di Inggris, seribu klaim berturut-turut dilaporkan ke perlindungan Medical Society terkait dengan kesalahan pemberian resep dan obat-obatan.

Untuk pencegahan kesalahan pengobatan pada pasien ada banyak cara yang dapat digunakan dengan menggunakan teknologi informasi. Teknologi informasi memiliki potensi untuk mengurangi kesalahan pengobatan. salah satu yang dianjurkan adalah penggunaan Computerized Physician Order Entry ( CPOE). CPOE merupakan suatu sistem pencatatan perintah/order medikasi dari dokter yang berbasis teknologi komputer. Perintah ini kemudian ditransmisikan kepada berbagai departemen dan staf medis yang bertanggungjawab atas pelaksanaan perintah seperti laboratorium, farmasi, radiologi dan bidang keperawatan. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan terutama di bidang efisiensi dan keamanan pengobatan. Melalui sistem ini dokter, perawat dan apoteker bekerja secara bersama-sama dalam proses medikasi untuk mengurangi kesalahan pengobatan (medication error). Hal ini terjadi karena dengan CPOE, setiap tenaga kesehatan dapat mengakses data riwayat medikasi seorang pasien. Perawat merupakan salah satu faktor kunci kesuksesan dari pelaksanaan CPOE. Oleh karena itu, perawatan pasien dengan CPOE merupakan sebuah proses tim, dimana semua anggotanya terlibat untuk meningkatkan kesehatan pasien maka perawat dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan kolaboratifnya terutama dibidang komunikasi, pengetahuan serta teknologi informasi.

Dalam sistem ini, CPOE ini memberikan keuntungan anatara lain 1) mengurangi tingkat keterlambaran dalam proses keperawatan, 2) mengurangi kesalahan interpretasi tulisan tangangan, 3) memungkinkan input data dariunit-unit pelayanan ataupun dari tempat lain, 4) menyediakan fasilitas pengecekan atas pemberian dosis yang tidak tepat, 5) menyederhanakan inventaris dan proses penagihan, 6) dengan penggunaan CPOE prescribing sistem sinyal dosis dan pemeriksaan interaksi terdeteksi secara otomatis, misalnya memberi tahu pengguna bahwa dosis yang digunakan terlalu tinggi dan berbahaya serta bisa juga memberi tahu pengguna bahwa obat-obat yang digunakan dapat mengganggu kesehatan. Selain itu, sistem ini juga meningkatkan efiseiensi dan keamanan dari proses pemberian obat serta mengurangi kesalahan pemberian obat oleh perawat.

Solusi teknologi informasi untuk meningkatkan proses tatacara pemberian obat dan mengurangi kejadian kesalahan pemberian obat adalah dengan Barcode Medication Administration System. Teknologi barcode secara otomatis akan melakukan cek 5 benar pada saat perawat melakukan scan tanda pengenal, dan mengidentifikasi tanda pengenal pasien (gelang pengenal) untuk mengakses profil pengobatan pasien dan memverifikasi nama obat, pasien, dosis, waktu dan cara pemberian yang tepat. Pengecekan ini dilakukan untuk satu kali pemberian obat, disamping tempat tidur pasien, sebelum obat diberikan. Proses kerja penggunaan barcode medication administration system meliputi: (1) scan tanda pengenal agar dapat mengakses sistem barcode, (2) mengambil obat di area penyimpanan, (3) cek label obat sesuai dengan BCMA, (4) scan medication barcode, (5) scan tanda pengenal pasien dipergelangan tangan, (6) memberikan obat, (7) dokumentasi.

Meskipun sistem IT menyediakan mekanisme yang jelas dan menarik untuk mengurangi kesalahan pengobatan dan meningkatkan mutu namun tantangan yang harus dihadapi adalah, hanya 10% dari rumah sakit AS yang menggunakan CPOE. Hambatan utama dalam proses adopsi adalah biaya yang tinggi dari sistem dan lingkungan, insentif sama, dimana rumah sakit dan dokter membayar untuk sistem, tetapi asuransi kesehatan meraup keuntungan finansial yang lebih besar. Salah satu mekanisme penting untuk menghapus rintangan ini adalah melalui insentif keuangan untuk organisasi kesehatan.

Oleh : Armiatin, SE., MPH.
Sumber : Medication errors: prevention using information technology systems. Agrawal, A. Journal compilation © 2009 The British Pharmacological Society.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2723209/pdf/bcp0067-0681.pdf