Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Bila pertanyaan tersebut kita ajukan pada manajer dan direktur rumah sakit, semua akan menjawab: "perlu". Di Indonesia, orang akan merujuk pada persyaratan perijinan rumah sakit, undang-undang, dan regulasi lain. Di forum diskusi, khalayak akan menyinggung soal mutu dan keselamatan pasien. Para pemilik rumah sakit swasta, berharap cemas akan ada perubahan perilaku dokter dan karyawan lain. Selain mengikuti regulasi, apakah benar bahwa akreditasi rumah sakit diperlukan? Mari kita simak fakta-fakta yang kita temukan.

Menilik Publikasi Ilmiah

Greenfield dan Braithwaite (2009) menulis dalam sebuah editorial mengenai perlunya transparansi bukti ilmiah manfaat akreditasi rumah sakit. Organisasi yang melakukan akreditasi terus menerus memperbaiki standar akreditasi yang dimiliki namun sangat sedikit publikasi yang bisa membuktikan efikasi standar tersebut. Walau secara umum diakui bahwa akreditasi meningkatkan kualitas dan keselamatan, namun bukti yang secara tegas mendukungnya belum berkembang dengan baik. Enam tahun sebelumnya, Shaw (2003) pernah pula menulis dalam sebuah editorial mengomentari review WHO terhadap akreditasi di 36 negara. Shaw (2003) menilai ada banyak variasi yang mempengaruhi akreditasi sehingga pemahaman bersama terhadap manfaat akreditasi perlu dibangun.

Sebuah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Pomey dkk (2010) menemukan fakta bahwa akreditasi bermanfaat dalam memulai peningkatan mutu berkelanjutan, kepemimpinan dalam peningkatan mutu, dan memberi kesempatan staf mengembangkan berbagai peluang. Namun penelitian ini kembali mempertanyakan manfaat akreditasi pada periode waktu setelah akreditasi yang pertama. Tantangan yang mulai kurang dirasakan diperkirakan menjadi penyebab utamanya.

Penelitian Tehewy dkk (2009) di Mesir adalah satu di antara sedikit yang menemukan hubungan akreditasi dengan kepuasan pasien. Tiga puluh institusi kesehatan yang telah terakreditasi dibandingkan dengan unit sepadan yang belum terprogram akreditasi. Walau kepuasan pasien dikaji dengan skala yang cukup populer, namun hubungan ini patut diduga bukan hubungan kausatif langsung. Unit yang secara sadar turut dalam akreditasi cenderung berorientasi pada mutu dan pelanggan. Sangat mungkin terjadi, kepuasan pasien adalah bagian dari orientasi dasar unit-unit ini.

Nicklin (2014) menerbitkan sebuah laporan bagi kepentingan akreditasi di Kanada. Laporannya menyebutkan bermacam manfaat akreditasi sesuai literatur yang dikumpulkannya. Sebagian besar manfaat yang disebut berhubungan dengan proses layanan, dan secara tegas disampaikan perlunya investigasi lebih lanjut untuk membuktikan hubungan kuat antara akreditasi dan outcome pasien. Laporan ini sejalan dengan laporan Salmon dkk (2003) yang meneliti rumah sakit terakreditasi di salah satu provinsi di Afrika Selatan bahwa perlu penyelidikan lebih teliti mengenai hubungan perbaikan standar struktur dan proses akibat akreditasi dengan outcome.

Tak kurang, Alkhenizan dan Shaw (2011) mengutip salah satu penelitian besar yang melibatkan 742 rumah sakit yang mempergunakan standar JCAHO (Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara performa rumah sakit sesuai standar JCAHO terhadap ¬outcome (Catatan: penulis tidak dapat menemukan naskah lengkap publikasi asli penelitian ini.) Mirip dengan penelitian Braithwaithe dkk (2009) yang hanya menemukan kecenderungan antara akreditasi dan ¬outcome klinis.

Akreditasi di Indonesia

Setelah lebih dari satu dasawarsa memakai sistem akreditasi 5, 12, dan 16 pelayanan, Komisi Akreditasi Rumah Sakit meluncurkan standar akreditasi baru yang mengacu pada standar JCI (Joint Commission International, berafiliasi pada The Joint Commission yang juga dulu dikenal sebagai JCAHO). Isi standar ini sudah secara luas dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu diulang di sini.

Menarik untuk diakui bahwa standar ini cukup berat untuk dipenuhi. Pertama, rumah sakit harus mengubah cara pandangnya terhadap pelayanan pasien secara menyeluruh. Kedua, metode telusur untuk membuktikan standar memerlukan implementasi standar yang tidak mudah dicapai. Ketiga, mendidik staf rumah sakit yang sudah nyaman dengan sistem pelayanan yang lama itu sungguh tidak mudah. Keempat, memang standar baru ini lebih banyak daripada standar yang lama.

Untuk memenuhi standar akreditasi ini, wajah generik rumah sakit di Indonesia menjadi makin serupa. Gelang dengan dua macam identitas, gelang alergi, rencana penanggulangan bencana rumah sakit, simulasi bencana, pengendalian infeksi, ¬clinical pathway, catatan perkembangan pasien terintegrasi, dan lain-lain. Itu adalah contoh penerapan standar yang mulai menjadi umum di kalangan rumah sakit di Indonesia.

Dengan penerapan universal coverage lewat BPJS Kesehatan, kesamaan wajah ini makin nampak. Pengawasan mutu dan keselamatan pasien banyak diintegrasikan dengan pembiayaan dan standar pelayanan. Jumlah pasien yang jatuh dari tempat tidur dihitung, infeksi aliran darah dianalisis potensi kerugian biayanya, dan clinical pathway diaudit pembiayaannya.

Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil dari manfaat akreditasi model baru yang mulai diimplementasikan. Masih banyak perbaikan lain yang dilakukan seperti misalnya pembuatan berbagai panduan dan pedoman, revisi standar prosedur operasional, dipenuhinya hak pasien, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa akreditasi baru ini memodifikasi budaya kerja tenaga kesehatan dan tenaga administrasi rumah sakit.

Perlukah Akreditasi?

Referensi ilmiah terpublikasi ternyata menguatkan apa yang diamati di tataran rumah sakit yang sedang mempersiapkan akreditasi. Standar struktur dan proses nampak lebih mengemuka dalam referensi maupun dalam pengalaman sehari-hari mempersiapkan akreditasi. Dengan konsep patient-centered care yang dikatakan menjadi nafas akreditasi di bab pelayanan pasien, para insan rumah sakit perlu meredefinisi tujuan akreditasi yang dilakukan rumah sakitnya.

Braithwaithe dkk (2009) menambahkan bahwa hasil akreditasi menggambarkan perilaku kepemimpinan dan karakteristik kultural di rumah sakit. Dengan memperbaiki standar struktur dan proses lewat pemenuhan standar akreditasi, rumah sakit diharapkan mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu pelayanan. Budaya kerja inilah yang hendaknya dicapai oleh rumah sakit ketika mempersiapkan akreditasi. Dengan budaya kerja yang baik ini, kekhawatiran Pomey dkk (2010) bahwa manfaat akreditasi akan memudar seiring waktu bisa dihindari.
Lalu bagaimana dengan kepuasan pasien? Belum sepenuhnya dapat disimpulkan bahwa akreditasi meningkatkan kepuasan pasien. Bimbingan akreditasi yang dilakukan di Indonesia mengarahkan rumah sakit untuk menciptakan suatu perasaan emosional pada diri pasien yang disebut sebagai pengalaman pasien atau ¬patient experience. Pengalaman ini adalah suatu konsep yang lebih cair sehingga idenya mudah dituang dari satu pasien ke keluarga, atau dari pasien ke lingkungan sekitarnya. Pengalaman pasien ini ingin diwujudkan dalam bentuk patient-centered care yang dibangun antara lain dengan clinical pathway, catatan perkembangan pasien terintegrasi, pertemuan-pertemuan tim perawatan pasien, dan lain-lain.

Tantangannya saat ini adalah bagaimana ukuran-ukuran struktur dan proses yang sudah jelas diperbaiki dengan akreditasi ini bisa langsung dikomunikasikan dan menjadi pengalaman pasien yang unik. Tentu ini tidak mudah. Perlu lebih dari sekedar menaati regulasi dengan menempuh proses akreditasi.

Di sisi lain, penelitian-penelitian yang nampak belum mendukung manfaat akreditasi untuk meningkatkan mutu ¬outcome klinis dan kepuasan pasien harus diperhatikan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penelitian-penelitian yang mengangkat topik akreditasi dari mahasiswa-mahasiswa di universitas maupun peneliti lain perlu dikumpulkan dan dipelajari. Standar boleh saja berkembang dengan cepat, namun perlu ada bukti bahwa standar tersebut memang bermanfaat bagi rumah sakit yang berupaya memenuhinya. Ibaratnya, sistem kita perlu berorientasi pada evidence-based accreditation.

Kesimpulan

Setelah menilik publikasi-publikasi di atas dan membandingkannya dengan proses akreditasi yang dilakukan, perlu atau tidaknya akreditasi sudah bisa dijawab. Akreditasi dari sisi tenaga kesehatan rumah sakit adalah perlu. Perlu untuk menetapi regulasi, mempertahankan ijin rumah sakit, dan memperbaiki struktur dan proses pelayanan rumah sakit. Dari sisi pasien dan pelanggan rumah sakit, belum ada bukti yang kuat bahwa mereka diuntungkan secara langsung oleh akreditasi. Sambil menunggu (dan menambahi) bukti dan diskusi, mari kita kembali mempersiapkan akreditasi di rumah sakit kita masing-masing. Jangan lupa, ukuran outcome akan makin jelek kalau kita lebih memilih mengerjakan berkas akreditasi dan lupa berbincang pada pasien. Salam!

Penulis

Naskah ini ditulis oleh dr. Robertus Arian Datusanantyo. Penulis adalah wakil ketua tim akreditasi RS Panti Rapih Yogyakarta. Tulisan ini adalah opini pribadi.

Referensi

  • Alkhenizan, A. & Shaw, C., 2011. Impact of Accreditation on the Quality of Healthcare Services: a Systematic Review of the Literature. Ann Saudi Med. 2011 Jul-Aug; 31(4): 407–416.
  • Braithwaithe, J. et al, 2009. Health service accreditation as a predictor of clinical and organisational performance: a blinded, random, stratified study. Qual Saf Health Care 2010;19:14e21.
  • Greenfield, D. & Braithwaithe, J., 2009. Developing the evidence base for accreditation of healthcare organisations: a call for transparency and innovation. Qual Saf Health Care 2009; 18:162–163.
  • Nicklin, W., 2014. The Value and Impact of Health Care Accreditation: A Literature Review. Accreditation Canada, 2008 (Updated March 2014).
  • Pomey, M. et al., 2010. Does accreditation stimulate change? A study of the impact of the accreditation process on Canadian healthcare organizations. Implementation Science 2010, 5:31.
  • Salmon, J.W. et al., 2003. The Impact of Accreditation on the Quality of Hospital Care: KwaZulu-Natal Province, Republic of South Africa. Operations Research Results 2(17). Bethesda, MD: Published for the U.S. Agency for International Development (USAID) by the Quality Assurance Project, University Research Co., LLC.
  • Shaw, C.D., 2003. Evaluating Accreditation. International Journal for Quality in Health Care 2003; Volume 15, Number 6: pp. 455–456
  • Tehewy, M.A. et al., 2009. Evaluation of accreditation program in non-governmental organizations' health units in Egypt: short-term outcomes. International Journal for Quality in Health Care 2009; Volume 21, Number 3: pp. 183–189.

Rujukan merupakan pemindahan tanggung jawab penanganan/perawatan pasien dari pemberi rujukan/provider ke penerima rujukan/provider yang berada diatasnya, yang mana biasanya pasien membutuhkan pelayanan yang lebih kompleks untuk penyakit yang dideritanya. Suksesnya proses rujukan pasien sangat ditentukan oleh proses komunikasi antara provider yang terlibat, yang mana proses ini seringkali diabaikan yang berimbas pada mutu rujukan.

Untuk mengatasi masalah komunikasi ini, di negara-negara maju sudah dikembangkan rujukan berbasis electronik salah satunya adalah yang dikembangkan oleh Health Information Technology for Economic and Clinical Health Act (HITECH) yang berbasis Electronic Health Records (EHRs). Walaupun sudah didukung dengan teknologi bukan berarti rujukan elektronik ini sudah sempurna, ada beberapa hal yang masih harus diperhatikan sebelum menerapkan sistem ini, terutama pada aspek komunikasi, bagaimana teknologi yang diterapkan ini bisa bersinergi dengan lingkungan sosial di sarana pelayanan kesehatan, yang mana hal ini memerlukan pendekatan "socio-techical".

Tidak ada standar yang baku penggunaan sistem elektronik untuk proses rujukan dan penelitian di bidang ini juga masih minim. Selain itu rujukan yang kompleks dan bervariasi antara sarana pelayanan kesehatan yang satu dengan yang lain juga menjadi pertimbangan untuk penerapan sistem elektonik ini. Sebagai negara berkembang yang masih berkutat dengan berbagai permasalah termasuk sistem rujukan, yang tentunya cepat atau lambat akan menerapkan rujukan berbasis EHR atau sejenisnya, kita perlu mempelajari beberapa hal.

Berikut adalah 10 rekomendasi berdasarkan studi yang dilakukan oleh Esquivel, et all, yang mungkin bisa dipelajari sebelum kita mendesign sistem rujukan elektonik atau yang berbasis EHR:

1. Memasukan fitur komunikasi langsung/real-time yang bisa diakses oleh pemberi dan penerima rujukan secara mudah.

Beberapa sistem rujukan elektronik yang dikembangkan mungkin mengesampingkan fitur ini, namun justru beberapa tindakan medis membutuhkan komunikasi langsung antara pemberi dan penerima rujukan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa lebih dari 60% provider, lebih memilih menggunakan komunikasi langsung terutama untuk rujukan yang bersifat urgent. Specialist/penerima rujukan lebih memilih untuk berkomunikasi langsung dengan pemberi rujukan apabila ada keraguan dengan diagnosa yang diberikan atau berhadapan dengan kasus-kasus urgent. Sistem rujukan elektronik yang didesign harus menambahkan fitur real-time communication baik melalui telepon, skype, atau text yang bisa diakses dengan mudah pada interface system.

2. Menggunakan template rujukan yang sesuai standar dengan struktur yang baik dan menambahkan free-text kolom.

Konten, bentuk, dan struktur dari surat rujukan mempengaruhi proses rujukan karena surat ini merupakan media komunikasi yang paling banyak dipakai untuk merujuk. Beberapa penelitian menunjukan tingkat kepuasan yang tinggi dari provider dengan surat rujukan yang sudah distandarisasi. Sistem rujukan elektronik harus didesign agar lebih mudah bagi kita untuk membuat, memaintain dan mendiseminasikan surat rujukan yang sesuai standar. Namun demikian yang perlu diperhatikan dalam interface template suratnya adalah perlu memasukan free-text kolom untuk memudahkan pemberi dan penerima rujukan memberikan penjelasan atau informasi tambahan terkait diagnosa pasien.

3. Menjamin pelaksanaan rujukan berdasarkan alasan yang tepat untuk merujuk.

Banyak penelitian menemukan bahwa penjelasan tentang alasan merujuk masih menjadi faktor yang menjadi penghalang terciptanya komunikasi yang baik antara pemberi dan penerima rujukan. Penjelasan yang detail tentang alasan merujuk tidak hanya sebatas profesionalitas namun untuk mempercepat proses rujukan yang dibuat. Sistem rujukan elektonik yang didesign harus bisa mencegah/membatasi rujukan yang tidak perlu atau dengan alasan yang tidak jelas, dengan memberikan ruang kepada pemberi rujukan untuk menambahkan penjelasan untuk dipertimbangkan.

4. Melibatkan Primary Care Practitioner (PCP) dan Spesialist dalam mengembangkan guidelines proses rujukan.

Sistem rujukan elektronik yang dikembangkan harus mengintegrasikan guidelines yang terstandar untuk semua provider yang terlibat didalamnya dengan melibatkan PCP dan specialist sehingga apa yang menjadi kebutuhan dari masing-masing provider bisa terakomodir dalam guidelines tersebut. Dengan adanya guidelines yang terstandarisasi ini, semua proses rujukan akan berjalan sesuai dengan langkah-langkah yang sudah ditetapkan, selain itu juga memberikan akses yang lebih mudah pada specialist dan alternative untuk menentukan tempat rujukan. Namun demikian sistem rujukan elektronik ini juga harus memberikan fleksibilitas kepada pemberi rujukan bila diperlukan untuk keluar dari guidelines yang telah ditetapkan dengan justifikasi yang bisa diterima berdasarkan urgensi dan kebutuhan medis.

5. Mengintegrasikan kebutuhan komunikasi pasien.

Salah satu hal yang luput dari perhatian adalah keterlibatan pasien dalam menentukan proses rujukan. Padahal faktor ini berpengaruh pada besarnya proses rujukan yang tidak tuntas diantaranya pembatalan rujukan yang berakibat pada penundaan perawatan. Sistem rujukan yang didesign harus memberikan pasien ruang untuk menerima informasi yang dibutuhkan terkait rujukan, memberikan pilihan untuk mengatur jadwal kunjungan dan membatalkannya, memilih tempat rujukan, dan memberikan pertanyaan. Fitur tersebut bisa diintegrasikan dalam bentuk smartphone application, social media, atau program lain berbasis web. Dengan begitu, pasien bisa mendapatkan akses yang mudah untuk status pengobataan, reminder, dan tools lain untuk berkomunikasi dengan dokter/specialist.

6. Menggunakan pre-populate secara otomatis berbasis pada data pasien sebelumnya.

Penggunaan pre-populate sangat berguna untuk meningkatkan kinerja dari provider, dengan demikian provider tidak perlu mengulang pengisian untuk beberapa kolom isian umum yang apabila secara manual harus diisi satu per satu. Selain itu hal ini juga mempersingkat waktu tunggu dan meningkatkan effisiensi pada saat pasien berkonsultasi. Sistem rujukan elektronik harus bisa melakukan pre-populate misalnya untuk beberapa item seperti data demografi, pengobatan yang sudah diperoleh, dan tes laboratorium yang sudah dilakukan. Lebih jauh lagi pre-populate bisa memberikan gambaran singkat mengenai pasien yang dirujuk, seperti diagnosa pasien atau data berdasarkan kelompok umur.

7. Mengintegrasikan konsultasi secara elektronik.

Untuk beberapa kasus rujukan sebenarnya pemberi rujukan hanya perlu berkonsultasi dengan specialist/penerima rujukan tanpa perlu kunjungan dari pasien. Oleh karena itu sistem rujukan elektronik harus bisa menyediakan fitur ini, misalnya melalui telemedicine, pemberi rujukan bisa melakukan konsultasi secara berkelanjutan dengan specialist terkait dengan penanganan pasien sehingga pasien bisa ditangani oleh pemberi rujukan tanpa harus pergi ke specialist. Hal ini bila diterapkan secara tepat maka bisa mencegah inefisiensi dan penundaan pelayanan yang berhubungan dengan rujukan yang tidak perlu.

8. Menyediakan dan mengintegerasikan status rujukan dan feedback pada alur kerja provider..

Proses rujukan akan berjalan sukses apabila pemberi dan penerima rujukan mendapatkan pemberitahuan mengenai perkembangan rujukan pasien. Pemberi rujukan mengharapkan kepastian apakah rujukannya sudah diterima atau belum, sementara penerima rujukan juga perlu berkonsultasi sewaktu-waktu kepada pemberi rujukan untuk penanganan pasien yang dirujuk. Sistem rujukan elektronik harus bisa menginformasikan perkembangan status pasien yang dirujuk apakah sudah diterima atau belum, apakah membutuhakan dokumen atau penjelasan tambahan atau tidak. Namun demikian pemberitahuan yang diberikan jangan sampai membebani kerja dari pemberi maupun penerima rujukan.

9. Memasukan sistem rujukan elektronik ke dalam kebijakan dan peraturan daerah.

Pemerintah daerah atau dalam hal ini pengguna sistem rujukan elektronik harus mengupdate kebijakan dan peraturan yang berhubungan dengan rujukan sesuai dengan guidelines dari sistem rujukan elektronik tersebut, misalnya terkait tugas dan tanggung jawab dari pemberi dan penerima rujukan, informasi yang harus disertakan dalam rujukan, pertukaran informasi dan data antar provider, dan prosedur penggunaan teknologi untuk rujukan.

10. Pengawasan terhadap system rujukan elektronik.

Organisasi atau pengguna sistem rujukan elektronik harus mengawasi dan mengevaluasi secara berkala penggunaan, performance, keuntungan, dan kelemahan dari sistem rujukan yang digunakan dan perlu melibatkan semua stakeholder yang terlibat. Hal ini dilakukan agar semua kebutuhan dari stakeholder yang terlibat didalamnya bisa terakomodir.
Melihat kondisi yang ada saat ini ditengah keterbatasan dan masalah lain memang membutuhkan waktu lama untuk negara kita menerapkan sistem rujukan elektronik ini, namun tidak ada salahnya untuk kita mempelajari dan mengantisipasi masalah yang ditimbulkan nantinya agar sistem yang diterapkan bisa berjalan dengan baik dan menjamin rujukan yang berkualitas.

Sumber : Esquivel, et all. 2012. Improving the Effectiveness of Electronic Health Record-Based Referral Processes. BMC Medical Informatics & Decision Making

Oleh: Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran

Headline tersebut menjadi sub tema yang disampaikan pada Workshop Nasional Manajemen Rumah Sakit dan Dewan Pertimbangan Medik di Bandung 10-11 September 2014 lalu. Bahasan menarik mengenai fraud ditinjau dari berbagai aspek, mulai dari definisi, berbagai kemungkinan penyebab terjadinya fraud, sampai dengan dampak fraud ditinjau dari aspek hukum.

Paparan diawali dengan bagaimana peningkatan daya saing dan penguatan puskesmas serta rumah sakit menjadi tuntutan yang harus dapat terpenuhi ke depannya. Salah satunya dengan penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mencapai tujuan universal health coverage, dengan cakupan JKN yang ditingkatkan secara bertahap dan ditargetkan pada tahun 2019 dapat menjangkau seluruh penduduk Indonesia agar mempunyai jaminan kesehatan.

Salah satu tujuan penerapan JKN sendiri seperti diketahui adalah untuk mencapai kendali mutu dan kendali biaya, dengan adanya Panduan Nasional Praktek Klinis (PNPK) diharapkan setiap rumah sakit dapat mempunyai acuan dalam menyiapkan Standar Prosedur Operasional dan Clinical Pathway di rumah sakit. Selain itu tentu saja manajemen rumah sakit perlu mempersiapkan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka kendali mutu dan kendali biaya dalam pelaksanaan JKN tersebut, antara lain:

  • Menyiapkan, menerapkan, dan mematuhi SOP serta Clinical Pathway
  • Melakukan efisiensi pelayanan seperti dalam penggunaan obat, alat bahan, tindakan medis (dengan tanpa mengorbankan kepentingan pasien), Pemanfaatan sarana penunjang pelayanan, Pemeliharaan sarana prasarana
  • Membangun dan memperkuat sistem pengawasan internal

Langkah-langkah lainnya yang perlu dilakukan oleh rumah sakit dalam menghadapi JKN, antara lain:

  • Memahami konsep JKN secara utuh
  • Memahami sistem pembayaran prospektif kapitasi dan INA CBGs
  • Memahami kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan
  • Memahami persyaratan untuk untuk menjadi fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, dan
  • Mempercepat penetapan kelas bagi FKRTL oleh Kementerian Kesehatan.

Potensi fraud sendiri kemungkinan akan selalu ada dalam sistem pembayaran yang menggunakan mekanisme klaim. Sehingga pada proses penerapan JKN, berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mencegah dan bahkan menghilangkan terjadinya fraud, antara lain; memperbaiki sistem pelayanan JKN, sistem monitoring evaluasi dan pengawasan JKN, menyusun pedoman untuk mencegah terjadinya fraud dalam pelaksanaan JKN.

Berbagai potensi fraud yang bisa terjadi di rumah sakit pada penerapan JKN :

  • Pasien dipulangkan sebelum waktunya
  • Pemecahan/ fragmentasi pelayanan
  • Memperpendek jam pelayanan rawat jalan
  • Mengurangi mutu pelayanan
  • Membayar selisih atau kekurangan biaya yang seharusnya merupakan manfaat dari peserta
  • Rawat inap menjadi rawat jalan atau sebaliknya
  • Up coding / code creep
  • Klaim palsu

Fraud sendiri bisa dilakukan dalam banyak cara dan oleh berbagai pihak, seperti; kolusi pihak BPJS kesehatan dengan rumah sakit, kolusi pihak vendor dengan rumah sakit, kolusi pasien dengan rumah sakit, kolusi internal rumah sakit, dan sebagainya. Namun area yang paling rawan terjadinya fraud adalah pada proses penentuan tarif dan klaim serta pemberian pelayanan dan penetapan kepesertaan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Iswan Elmi, Deputi Pencegahan KPK. Sedangkan upaya untuk mencegah korupsi di JKN juga dilakukan oleh KPK antara lain melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) dengan membentuk forum bersama BPJS kesehatan, Kemenkes, Kemensos, Kemendagri, Kemenkeu, OJK, dan DJSN. Terdapat 3 hal mendesak yang memerlukan penyelesaian, yakni:

  • Kepesertaan PBI
  • Pengawasan fraud dalam layanan
  • Regulasi dan pengawasan penggunaan dana kapitasi di faskes primer

Fraud dalam JKN dinilai dapat merugikan keuangan negara karena apabila dana jaminan sosial tidak cukup untuk membayar klaim maka negara yang akan menanggung kekurangan dana tersebut. Untuk itu apabila terjadi indikasi adanya fraud maka semua pihak terkait akan dilibatkan pada proses investigasi. Kehati-hatian dalam setiap langkah yang dilakukan sangat diperlukan mengingat dampak terjadinya fraud dapat menjadi tanggungjawab semua pihak terkait.

Materi lengkap dapat diakses dibawah

Potensi Fraud dalam Implemetasi INA-CBG serta Mekanisme Pengendaliannya dalam Era JKN - Bambang Wibowo

Keynote Speech Menkes acara Pertemuan Nasional Manajemen RS & DPM 2014

Potensi Fraud pada Layanan Publik di Bidang Kesehatan - Iswan Elmi Deputi Pencegahan KPK

Sistem Pencegahan dan Penindakan Fraud di kesehatan - Prof. Laksono Trisnantoro

Disarikan oleh Lucia Evi I.
Sumber: Berbagai materi presentasi pada Workshop Nasional Manajemen Rumah Sakit dan Dewan Pertimbangan Medik, Bandung 10-11 September 2014. 

Audit rujukan yang berkualitas tidak kalah pentingnya seperti tindakan klinik dan merupakan hal yang esensial dari good clinical care karena merupakan hubungan antara healthcare professionals di primary dan secondary environments. Melalui audit rujukan, informasi dikumpulkan dan digunakan sebagai prioritas kedepan, memberikan rekomendasi sebagai tindakan selanjutnya selain itu banyak hal dapat dikaji, dikenali, dievaluasi sehingga menghasilkan tindakan yang efektif dan efisien.

Salah satu program yang dikembangkan untuk menghasilkan audit yang berkualitas adalah the eastern health GP Liaison, Program ini hasil kerja sama antara eastern health hospitals dan tree eastern melbourne divisions of general practice. Program ini fokus pada promosi kesehatan pasien dan penyerahan kembali informasi kesehatan pasien. Sejak tahun 2003, eastern health GPL team mengumpulkan, menganalisis, merekomendasikan informasi untuk digunakan di eastern hospital yang sudah bekerja sama.

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menghasilkan audit rujukan yang efektif dari eastern health GPL adalah assessment scala. Pendekatan ini dirancang oleh eastern health GPL team yang digunakan untuk meminimalisir perbedaan tafsiran. Dengan menggunakan assessment scala, dapat mereview tiap bagian pelayanan untuk merubah keefektifitasan dari hal-hal yang akan dilakukan kedepan. Assessment scala dipakai dan digunakan dalam mengaudit rujukan di 3 unit antara lain emergency department, outpatient department dan sub-acute ambulatory care services.

Hasil pencatatan audit rujukan dari eastern health GPL team di emergency department bervariasi, hal ini dipengaruhi status klinis pasien. Pada saat mencatat secara tiba-tiba keadaan pasien tidak stabil sehingga berdampak pada ketersediaan waktu pasien untuk penyelidikan dan perekaman informasi dari tim audit, oleh karena itu dalam melaksanakan proses ini tim harus menghampiri pasien sesegra mungkin.

Kalau hasil audit rujukan di emergency department dipengaruhi oleh status klinis pasien maka audit di outpatient deparment pada umumnya stabil secara klinis sehingga dapat diselidiki lebih dalam dan memperoleh banyak informasi dalam audit.

Unit terakhir dalam audit rujukan adalah di sub-acute ambulatory care services. Pada bagian ini dilakukan prospective dalam periode waktu yang berbeda. Dengan melihat follows up dari hasil auditan sebelumnya, apakah ada perubahan pelayanan kesehatan?

Kekurangan dari audit rujukan dengan pendekatan assessment scale antara lain: identitas pasien tercatat tidak lengkap dalam hasil auditan, dokumen audit tidak mudah dibaca dengan baik, validitas data tidak terjaga karena diukur dalam jangka pendek (3 bulan), tidak memberikan informasi klinik yang urgent karena tidak diselidiki secara mendalam status klinik pasien dan tidak memberikan informasi mengenai keadaan psikologi pasien secara mendalam.

The eastern health GP Liaison team merekomendasikan beberapa perbaikan antara lain:

  1. Memperbaiki GP referrals to eastern health yakni memasukan nomor handphone pasien, nama dokter yang merawat terutama pada pasien rawat jalan, durasi rujukan, tingkat kedaruratan, perjalanan psikologi pasien, format form audit.
  2. Memasukan informasi di eastern health wesite antara lain diskripsi klinik dan pelayanan dengan memasukan nama dokter yang merawat pada unit rawat jalan, syarat durasi waktu rujukan, keadaan psikologi pasien dan versi terbaru form audit rujukan.
  3. General practice training yakni easter health GP liaison team memberikan rekomendasi untuk pelatihan kepada staff general practice demi perubahan target area.
  4. Keterlibatan dari eastern hospital pada setiap perubahan pada GP auditan dan diinformasikan melalui diskusi sehingga relevan pada eastern health proses rujukan.
  5. Penyederhanaan audit assessment scale dengan binary responses.

Sumber : eastern health great health and wellbing, eastern ranges GP association, greater eastern primary health, medicare local inner east melbourne (2011). Eastern health GP Liaison program and 2011 eastern health GP referral audit

Oleh : Dedison Asanab S.KM