Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kesalahan pemberian obat di tatanan rumah sakit memberikan dampak langsung yang besar terhadap keselamatan pasien dan mutu pelayanan. Sebuah bukti penting dari literatur internasional menunjukkan risiko yang ditimbulkan oleh kesalahan pengobatan dan mengakibatkan efek samping yang sebenarnya dapat dicegah. Di Amerika serikat, kesalahan pengobatan diperkirakan merugikan sedikitnya 1,5 juta pasien per tahun. Di rumah sakit Australia sekitar 1% dari semua pasien menderita efek samping sebagai akibat dari kesalahan pengobatan. Di Inggris, seribu klaim berturut-turut dilaporkan ke perlindungan Medical Society terkait dengan kesalahan pemberian resep dan obat-obatan.

Untuk pencegahan kesalahan pengobatan pada pasien ada banyak cara yang dapat digunakan dengan menggunakan teknologi informasi. Teknologi informasi memiliki potensi untuk mengurangi kesalahan pengobatan. salah satu yang dianjurkan adalah penggunaan Computerized Physician Order Entry ( CPOE). CPOE merupakan suatu sistem pencatatan perintah/order medikasi dari dokter yang berbasis teknologi komputer. Perintah ini kemudian ditransmisikan kepada berbagai departemen dan staf medis yang bertanggungjawab atas pelaksanaan perintah seperti laboratorium, farmasi, radiologi dan bidang keperawatan. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan terutama di bidang efisiensi dan keamanan pengobatan. Melalui sistem ini dokter, perawat dan apoteker bekerja secara bersama-sama dalam proses medikasi untuk mengurangi kesalahan pengobatan (medication error). Hal ini terjadi karena dengan CPOE, setiap tenaga kesehatan dapat mengakses data riwayat medikasi seorang pasien. Perawat merupakan salah satu faktor kunci kesuksesan dari pelaksanaan CPOE. Oleh karena itu, perawatan pasien dengan CPOE merupakan sebuah proses tim, dimana semua anggotanya terlibat untuk meningkatkan kesehatan pasien maka perawat dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan kolaboratifnya terutama dibidang komunikasi, pengetahuan serta teknologi informasi.

Dalam sistem ini, CPOE ini memberikan keuntungan anatara lain 1) mengurangi tingkat keterlambaran dalam proses keperawatan, 2) mengurangi kesalahan interpretasi tulisan tangangan, 3) memungkinkan input data dariunit-unit pelayanan ataupun dari tempat lain, 4) menyediakan fasilitas pengecekan atas pemberian dosis yang tidak tepat, 5) menyederhanakan inventaris dan proses penagihan, 6) dengan penggunaan CPOE prescribing sistem sinyal dosis dan pemeriksaan interaksi terdeteksi secara otomatis, misalnya memberi tahu pengguna bahwa dosis yang digunakan terlalu tinggi dan berbahaya serta bisa juga memberi tahu pengguna bahwa obat-obat yang digunakan dapat mengganggu kesehatan. Selain itu, sistem ini juga meningkatkan efiseiensi dan keamanan dari proses pemberian obat serta mengurangi kesalahan pemberian obat oleh perawat.

Solusi teknologi informasi untuk meningkatkan proses tatacara pemberian obat dan mengurangi kejadian kesalahan pemberian obat adalah dengan Barcode Medication Administration System. Teknologi barcode secara otomatis akan melakukan cek 5 benar pada saat perawat melakukan scan tanda pengenal, dan mengidentifikasi tanda pengenal pasien (gelang pengenal) untuk mengakses profil pengobatan pasien dan memverifikasi nama obat, pasien, dosis, waktu dan cara pemberian yang tepat. Pengecekan ini dilakukan untuk satu kali pemberian obat, disamping tempat tidur pasien, sebelum obat diberikan. Proses kerja penggunaan barcode medication administration system meliputi: (1) scan tanda pengenal agar dapat mengakses sistem barcode, (2) mengambil obat di area penyimpanan, (3) cek label obat sesuai dengan BCMA, (4) scan medication barcode, (5) scan tanda pengenal pasien dipergelangan tangan, (6) memberikan obat, (7) dokumentasi.

Meskipun sistem IT menyediakan mekanisme yang jelas dan menarik untuk mengurangi kesalahan pengobatan dan meningkatkan mutu namun tantangan yang harus dihadapi adalah, hanya 10% dari rumah sakit AS yang menggunakan CPOE. Hambatan utama dalam proses adopsi adalah biaya yang tinggi dari sistem dan lingkungan, insentif sama, dimana rumah sakit dan dokter membayar untuk sistem, tetapi asuransi kesehatan meraup keuntungan finansial yang lebih besar. Salah satu mekanisme penting untuk menghapus rintangan ini adalah melalui insentif keuangan untuk organisasi kesehatan.

Oleh : Armiatin, SE., MPH.
Sumber : Medication errors: prevention using information technology systems. Agrawal, A. Journal compilation © 2009 The British Pharmacological Society.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2723209/pdf/bcp0067-0681.pdf 

Medication error atau kesalahan dalam pemberian obat merupakan hal yang banyak dijumpai di rumah sakit. Sekarang ini banyak berita dan headline yang mengupas secara tajam akan hal tersebut bahkan sampai menjadi masalah kesehatan nasional karena sudah membuat pasien kehilangan nyawa. Rumah sakit tidak lagi dipandang sebagai tempat yang aman untuk menyembuhkan penyakit, ada kekhawatiran dari masyarakat akan memburuknya kesehatan bahkan sampai kematian saat proses pengobatan berlangsung. Penelitian menunjukan bahwa medication error dan efek samping dari obat merupakan penyebab utama dari kerugian rumah sakit yang menjurus pada kecacatan dan bahkan kematian, jumlahnya mencapai 6.5% dari penerimaan rumah sakit.

Penelitian lain dengan metode observasi langsung kepada pemberi layanan pengobatan menunjukan bahwa proses pengemasan dan administrasi merupakan proses yang paling rentan menimbulkan kesalahan pemberian obat pada pasien, dengan kontribusi hampir 20%. Bates, dkk mendefinisikan medication error sebagai sebuah kesalahan dalam proses pengobatan yang mencakup pemesanan, transkripsi, pengemasan, administrasi, termasuk cacatan pemulangan pasien. Dean, dkk lebih lanjut membagi proses peresepan obat menjadi 2 yakni intelektual proses/pengambilan keputusan yang mencakup pengetahuan akan diagnosis, interaksi, dan kontradiksi; dan technical proses yang mencakup komunikasi seperti nama obat, dosis dan form administrasi.

Sebuah study oleh Lisby, dkk di Denmark yang berfokus pada technical proses, melakukan pengumpulan data pada ruang perawatan medis dan bangsal operasi pada 2005 menemukan ada 2467 kemungkinan error dan 43% atau 1067 diantaranya terindikasi sebagai medication error. Kesalahan pemberian dosis dan peresepan adalah kesalahan yang paling banyak dilakukan yakni mencapai 1209 di ruang perawatan dan 1258 di bangsal operasi. Secara statistik tidak ada perbedaan tingkat kesalahan yang terjadi di ruang perawatan dan bangsal operasi.

Lisby, dkk juga menganalisis medication error berdasarkan proses peresepan sampai dengan proses pencatatan pasien pulang. Lisby, dkk menemukan ada perbedaan jumlah error pada proses pemesanan dan transkripsi, hal ini disebabkan karena ada obat-obat yang tidak dipesan tetapi dimasukan dalam medication chart. Selain itu ada juga perbedaan pada proses pengemasan dan administrasi, hal ini disebabkan karena proses administrasi pasien yang kurang baik pada pemeriksaan medis. Kesalahan pada proses administrasi ini diantaranya adalah kurangnya kontrol terhadap identitas pasien, kesalahan waktu pemberian, dan kesalahan distribusi obat; hal ini sangat merugikan pasien karena bisa saja pasien menerima obat dengan dosis yang tidak sesuai.

Berdasarkan pada temuan-temuan tersebut, Lisby, dkk menyarankan beberapa hal diantaranya :

  1. Pada proses pemesanan dan transkripsi diperlukan suatu sistem yang baku, yang mengatur proses pemesanan dan transkripsi. Medication chart, paper, ataupun dalam bentuk elektronik harus menjabarkan secara jelas komponen yang diperlukan adar tidak menimbulkan keraguan pada peresepan, terutama terkait bentuk obat dan rutenya. Hal ini sangat penting karena seringkali perawat salah menginterpretasikan resep dan formulasi obat pada rekam medis.
  2. Kesalahan yang paling banyak terjadi pada proses pengemasan adalah pengurangan/penghilangan dosis, sedangkan pada proses administrasi adalah kurangnya kontrol terhadap identitas pasien dan kesalah waktu pemberian obat. Oleh karena itu hal ini menjadi sangat penting untuk diselsaikan, Lisby, dkk menyarankan untuk mengembangkan teknologi baru untuk mengontrol ketepatan identitas pasien seperti bar code medication untuk memastikan identitas pasien. Namun demikian teknologi ini harus betul-betul dipertimbangkan dalam proses peresepan obat.
  3. Untuk proses pencatatan pasien pulang, Lisby, dkk menyarankan suatu guideline yang baku dan tidak menimbulkan keraguan dalam pencatatan resep. Hal ini didasarkan pada temuan mereka yakni dua per tiga error pada pencatatan pasien pulang terjadi karena kesalahan memasukan resep yang tidak memenuhi syarat pada pencatatan tersebut.

Rekomendasi dari Lisby, dkk bisa jadi merupakan solusi untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, terutama mutu peresepan. Agar ke depannya tidak ada lagi pasien yang dirugikan dan rumah sakit tidak dianggap sebagai tempat yang menakutkan ketelitian dalam setiap proses peresepan sangat dibutuhkan.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran UNDANA

Sumber : Lisby, et all. 2005. Errors in the medication process: frequency, type, and potential. International Journal for Quality in Health Care, Vol. 17, Number I : pp. 15-22
http://intqhc.oxfordjournals.org/content/intqhc/17/1/15.full.pdf 

Keliru mengidentifikasi pasien terjadi hampir di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Pemberian obat menjadi salah satu tugas seorang perawat yang paling penting karena perawat adalah mata rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien. Peran ini sering dilalaikan oleh perawat.

Perawat mengantarkan obat pasien ke kamar setelah menerima obat dari bagian farmasi. Tugas perawat bukan hanya sekedar memberikan injeksi, pil dan memperhitungkan jumlah tetes infus, tapi perawat harus memastika bahwa obat yang diberikan enam benar yaitu benar pasien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu dan benar dokumentasi.

Sering kali dalam proses pengobatan menimbulkan kekeliruan maupun kesalahan. Ada beberapa kesalahan pengobatan yang terjadi karena salah pasien yaitu 1) kesalahan yang salah pasien selama administrasi; 2) kesalahan slah pasien selama penulisan; 3) kesalahan yang salah pasien selama peresepan; dan 4) kesalahan yang salah pasien selama pemberian obat. Insulin, heparin, dan vankomisin adalah tiga obat yang paling umum terlibat dalam kesalahan yang salah-pasien.

Hasil penelitian dari Pennsylvania Patient Safety Advisory yang dilakukan tahun 2011 menunjukkan bahwa kesalahan obat paling banyak teradi pada proses administrasi. Dari 123 laporan administration error yang diterima, 108 (88%) memenuhi kriteria administration error. Administration error yang paling sering dilaporkan adalah obat yang tidak tepat, dosis yang tidak tepat dan kelalaian dosis.

24mar

Berbagai langkah yang direkomendasikan oleh Pennsylvania Patient Safety Advisory untuk mengatasi kesalahan salah pasien dalam proses pengobatan yaitu meningkatkan verifikasi pasien, pastikan penyimpanan obat dan dokumen spesifik yang tepat, gunakan tekhnologi kesehatan dengan benar misalnya menggunakan computerized prescriber order entry (CPOE), batasi penggunaan pesan verbal dan memberdayakan pasien untuk mencegah dan mendeteksi kesalahan.

Solusi mengatasi kesalahan pasien dalam proses pengobatan ini dapat menjadi referensi bagi rumah sakit di Indonesia untuk memenuhi syarat akreditasi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) 2012. Sebagaimana pada Sasaran keselamatan pasien rumah sakit, salah satunya sasaran ketepatan indentifikasi pasien. Selain itu World Health Organization (WHO) juga mendorong pasien dan keluarga untuk menjadi peserta aktif dalam melakukan identifikasi pasien.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH
Sumber : Pennsylvania Patient Safety Advisory. 2013. Wrong-Patient Medication Errors: An Analysis of Event Reports in Pennsylvania and Strategies for Prevention
http://www.patientsafetyauthority.org/ADVISORIES/AdvisoryLibrary/2013/Jun;10%282%29/documents/41.pdf 

Medical error berbeda dengan Malpraktik, medical error adalah tenaga kesehatan atau dokter yang memberikan terapi atau tindakan yang tidak seharusnya dilakukan sedangkan malpraktikadalah suatu hal yang tidak seharusnya boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan . Keduanya seringkali dianggap sama menjadi bulan-bulanan media dan dituliskan dalam judul besar yang tendensius, "Apakah dokter XX melakukan malpraktik?" meskipun pada saat penyelidikan tidak ditemukan adanya kejadian malpraktik, namun bola salju yang digulirkan semakin besar sehingga menimbulkan isu tidak sedap dikalangan rumah sakit. Medical error merupakan sesuatu yang humanis, satu kesalahan dari ribuan tindakan, tetapi sedapat rumah sakit mencegah kejadian ini hingga mendekati angka 0%.

Dampak dari medical error sangatlah merugikanpasien akan menjalani hari rawat yang lebih lama serta peningkatan angka kecacatan serta kematian . Terdapat 7 teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya medical error di lingkungan rumah sakit.

Tabel 1. Metode Deteksi dan Investigasi Medical Error

Metode

Keunggulan

Kelemahan

Efikasi

Biaya

Chart Review

Retroaktif, data dapat dihapus dan kriteria standar

Kesalahan latent tidak terungkap, sulit dilakukan, membutuhkan waktu serta indikator yang sulit

Standar emas untuk mendeteksi kejadian tidak diharapkan,

Pelatihan pada reviewer

Claim Data

Data lokal, dapat menangkap kesalahan yang sering terjadi

Implikasi hukum sulit dihindarkan

Dapat mendeteksi kejadian tidak diharapkan

Membutuhkan pelatihan pada reviewer

Laporan Insidental

Data yang dikumpulkan berkualitas

Hanya mendeteksi kejadian yang berat dan menimbulkan kematian, budaya menyalahkan dan mempermalukan

Medical error mudah untuk terdeteksi, dapat segera membuat rencana koreksi

Root cause analisis

Pemeriksaan Administratif

Data retroaktif dan terstandar

Absennya data-data klinis

Membuat data-data statistik

Evaluasi rutin

Monitoring komputer

Integrasi berbagai sumber data, real time

Software yang buruk, SDM yang kurang handal

Kesalahan penulisan resep dan kesalahan saat dispensing

Membutuhkan software canggih dan implementasi yang baik

Peninjauan Langsung

Akurat

Membutuhkan waktu, pelatihan yang sulit

untuk melaporkan kesalahan administrasi

Pelatihan Perawat

Monitoring pasien

Data dari pasien yang telah pulan

Tidak memiliki tools yang standar

Pengembangan masa depan

Pelatihan Perawat

Selain teknik diatas, interview dengan pasien dapat dikerjakan untuk dapat melihat secara langsung kualitas pelayanan keperawatan dan tindakan medis yang dilakukan, menggunakan form kepuasan pasien, atau format yang telah disusun sebelumnya. Cara ini efektif untuk dilakukan, mengingat medical error biasanya terjadi karena komunikasi yang buruk dengan pasien.

Penyusunan panitia audit medik internal dapat menemukan akar masalah kesalahan secara objective tanpa adanya implikasi hukum. Audit tidak dapat memastikan bahwa outcome pasien akan selalu baik, tetapi dapat memastikan apakah proses pengobatan telah dilakukan dengan baik sesuai dengan guideline yang ada. Tetapi audit medik memiliki kekurangan, yakni membutuhkan waktu dan usaha lebih serta fasilitator yang mengerjakan harus terlatih untuk tidak saling menyalahkan atau mempermalukan. Untuk membangun budaya proaktif didalam lingkungan organisasi penggunaan form FMEA atau Failure, Mode, Effect and Critical Analysis sangat direkomendasikan sebagai tindakan analisis poin-poin pelayanan yang kritis dan sensitif, seperti misalnya pemberian infus kalium klorida atau kemoterapi pasien kanker. Analisa resiko dapat dihitung dengan formulasi resiko prioritas dimana tingkat keparahan dikali tingkat kejadian dikali potensi deteksi. Formulasi resiko prioritas tertinggi akan menjadi prioritas utama tindakan pencegahan. Contoh aplikasi FMEA di rumah sakit dapat dilihat pada link berikut ini.

Dalam rangka pembentukan sebuah sistem yang aman dari medical error, penting untuk dilakukan setiap organisasi kesehatan adalah rencana pembelajaran dari kasus yang pernah terjadi sebelumnya serta deteksi dini potensi medical error melalui pertemuan pembahasan reportase kasus maupun data-data hasil penelitian yang pernah dilakukan. Berbagai rekomendasi pencegahan teknis telah dikeluarkan oleh berbagai organisasi, diantaranya, FDA (Food and Drug Administration, UK-NHS (National Health Service), dll.

Oleh : dr. M. Hardhantyo Puspowardoyo

Sumber :
Grober E., Bohnen J., 2005.Defining medical error. Can J Surg. 48(1): 39–44 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3211566/pdf/20050200s00009p39.pdf 
Undang-undang no. 23 Tahun 1992 tentang tenaga kesehatan.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_92.htm 

deVries EN, Ramrattan MA, Smorenburg SM, Gouma DJ,Boermeester MA. 2008. The incidence and nature of in-hospitaladverse events: a systematic review. Qual Saf Health Care 17: 216–23.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2723204/pdf/bcp0067-0651.pdf 
Montesi G., Lechi A., 2009. Prevention of medication errors: detection and audit. British Journal of Clinical Pharmacology. 67:651-655
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2569153/pdf/QHE-17-03-0216.pdf