Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Fokus pembangunan kesehatan terhadap tingginya angka kematian ibu dan bayi masih terus menjadi perhatian yang sangat besar bagi pemerintah karena penurunan AKI dan AKB merupakan salah satu indikator pembangunan sebuah bangsa. Ujung tombak penurunan kematian ibu (AKI) adalah tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah bidan. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang teraktreditasi, memenuhi kualifikasi untuk didaftarkan, disertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk praktek kebidanan. Bidan diakui sebagai sebagai seorang profesional yang bertanggungjawab dan akuntabel, bermitra dengan perempuan dalam memberikan dukungan, informasi berdasarkan bukti, asuhan dan nasihat yang diperlukan selama masa kehamilan, persalinan dan nifas, memfasilitasi kelahiran atas tanggung jawabnya sendiri serta memberikan asuhan kepada bayi baru lahir dan anak.

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu dan bayi adalah faktor pelayanan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan keteranpilan tenaga kesehatan sebagai penolong pertama pada persalinan tersebut, dimana setiap persalinan hendaknya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Namun sayangnya sampai saat ini di wilayah indonesia masih banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi yang masih mengggunakan cara-cara tradisional sehingga banyak peluang merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Di beberapa daerah, keberadaan dukun bayi sebagai orang kepercayaan dalam menolong persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Keberadaannya berbeda dengan keberadaan bidan yang rata-rata masih muda dan belum seluruhnya mendapat kepercayaaan dari masyarakat.

Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara seperti Nigeria dukun bayi melakukan pertolongan persalinan, pada tahun 2008 tercatat ada sekitar 22% atau sekitar 1, 35 juta persalinan ditolong oleh dukun bayi setiap tahunnya. Sejak tahun 1979, pemerintah Nigeria  telah melakukan terobosan dengan mengintegrasikan ke dalam sistem perawatan kesehatan dengan meningkatkan keterampilan dukun bayi. Sementara, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya dengan menyelenggarakan kegiatan yang saling menguntungkan antara bidan dan dukun bayi, dengan harapan pertolongan persalinan akan berpindah dari dukun bayi ke bidan. Dengan demikian, kematian ibu dan bayi diharapkan dapat diturunkan dengan mengurangi resiko yang mungkin terjadi bila persalinan tidak ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten dengan menggunakan kemitraan bidan dan dukun. Dalam pola ini kemitraan bidan dengan dukun sebagai elemen masyarakat yang ada dilibatkan sebagai unsur untuk dapat memberikan dukungan kesuksesan kegiatan ini.

Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) perlu peningkatan standar dalam menjaga mutu pelayanan kebidanan. Untuk itu, pelayanan kebidanan harus mengupayakan peningkatan mutu dan memberi pelayanan sesuai standar yang mengacu pada semua persyaratan kualitas pelayanan dan peralatan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Demi memenuhi pelayanan berkualitas, pemerintah Nigeria mewajibkan bidan untuk tinggal di desa selama setahun. Kebijakan dari pemerintah ini tidak bertahan lama karena pada tahun 2008 dilaporkan sangat sedikit petugas kesehatan/bidan yang mampu bertahan mau tinggal dan bekerja di daerah pedesaan. Beberapa faktor pemicunya ialah karena miskin, prospek untuk kemajuan karir dan pekerjaan yang buruk serta tidak adanya prospek pendidikan bagi keluarga mereka. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2009 pemerintah Nigeria meluncurkan program MSS. MSS adalah inisiatif bersama antara tiga tingkatan pemerintah di Nigeria yang bertugas memobiliasi bidan, termasuk bidan yang masih menganggur dan pensiun untuk bekerja di daerah yang kurang terlayani. Sejak diluncurkan hingga bulan Juli 2010, program ini telah melibatkan 2.622 bidan yang dipekerjakan di fasilitas perawatan kesehatan primer di daerah pedesaan.

Pendidikan bidan sebagian besar berada di bawah standar ICM, ICM merekomendasikan minimum teori 40% dan minimum 50% praktek. Rumah sakit dan klinik terutama di daerah pedesaan kekurangan alat dan fasilitas untuk berlatih asuhan kebidanan yang mengarah kekurangan perawatan berbasis bukti dan kemampuan untuk berlatih keterampilan yang diperoleh. ICM merekomendasikan bidan perlu refreshing ilmu melalui pelatihan yang upto-date dan berlatih terus-menerus jika menemukan kasus yang belum pernah dialami. Pelatihan, kualitas kontrol dan pengawasan sangat penting untuk menghasilkan bidan yang berkualitas untuk peningkatan derajat kesehatan.

Oleh: Armiatin, SE., MPH.

Sumber: Oyetunde et al., Quality Issuses in Midwifery: A Critical Analysis of Midwifery in Nigeria Within The Context of The International Confederation of Midwives (ICM) Global Standards. Academic Journals. Vol. 6(3), pp. 40-48, July 2014.

http://www.academicjournals.org/article/article1406126983_Oyetunde%20and%20%20Nkwonta.pdf

Kematian ibu dan bayi menjadi tema tersendiri bila dibahas dalam masalah kesehatan. Menurut data WHO di Indonesia angka kematian ibu dan bayi mencapai 35 per 1.000 kelahiran pada tahun 2012. Padahal target MDGs untuk angka kematian Bayi (AKB) tahun 2015 ini adalah 23 per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini berarti Indonesia perlu bekerja keras untuk menangani kasus kematian ibu dan bayi.

Salah satu cara untuk megurangi angka kematian ibu adan bayi adalah dengan cara peningkatan pelayanan kesehatan khususnya di Rumah sakit. Dalam penelitian ini mengadopsi form penilaian kualitas pelayanan untuk ibu dan bayi di rumah sakit. Standar form acuan ini adalah WHO Integrated Management of pregnancy and Chilhood (IMPAC). Tenaga kesehatan yang bertugas dinilai apakah mereka secara profesional memberikan pelayanan khususnya kepada kasus wanita hamil, persalinan dan perawatan bayi baru lahir.

Penelitian ini dilaksanakan pada empat rumah sakit di Albania. Tiga rumah sakit daerah dan satu rumah sakit bersalin rujukan. Dengan menggunakan form yang diadopsi dari Who dimulai tahun 2009 dan dievaluasi kembali tahun 2011. Beberapa tahapan harus dilakukan dalam mengadopsi form ini, sehingga bisa digunakan dengan baik. Penilaian dilakukan pada beberapa aspek, diantaranya fasilitas perawatan, manajemen perawatan, monitoring evaliasi pasien dan komunikasi antara tenaga pelayanan kesehatan kepada pasien dan keluarga.

25jun

Dari gambar diatas menjelaskan bahwa terdapat peningkatan dibeberapa aspek pelayanan kesehatan di empat rumah sakit. Dimulai tahun 2009 dan dievaluasi kembali pada tahun 2011. Pelayanan perawatan bayi baru lahir menduduki angka kenaikan yang paling tinggi, kemudian diikuti dengan. Data yang didapat kan dari hasil wawancara kepada tenaga medis, bahwa diperlukan form atau acuan yang terstandar dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak.

Dengan demikian, adaptasi form WHO untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir sangat berguna untuk digunakan di sistem pelayanan kesehatan rumah sakit di Albania. Dengan menggunakan form yang diadopsi dari WHO merupakan salah satu cara yang efektif untuk memantau kualitas pelayanan ibu dan bayi di rumah sakit. Diharapkan form ini juga bisa digunakan sebagai acuan di beberapa negara berkembang lainnya.

Oleh : Elisa Sulistyaningrum, S.Gz, Dietisien, MPH
Sumber: Mersini et al. (2012) Adopt ion of the WHO Assesment Tool on the Quality of Hospital Care for Mothers and Newborns in Albania. ACTA INFOR M MED. 2012 Dec ; 20(4): 226-234
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3558291/pdf/AIM-20-226.pdf 

BidanBbelanda adalah praktisi medis otonom. Bidan berhak memberikan perawatan bersalin pada semua perempuan yang hamil dan melahirkan mulai dari prenatal, intrapartum, dan posnatal.

Untuk menjadi seorang bidan di Belanda, seorang perempuan harus menyelesaikan studi selama empat tahun di salah satu dari empat perguruan tinggi kebidanan yang ada di Belanda. Mereka juga dapat memilih mengikuti program kebidanan guru.

Data tahun 2009 menyatakan 2.444 bidan di Belanda terdaftar dan terlatih. Sekitar 175 ribu kelahiran terjadi setiap tahun dan 33% perempuan melahirkan di bawah pengawasan bidan perawatan primer.

Hingga kini, penelitian ilmiah yang mendukung praktik berbasis bukti dalam bidang kebidanan perawatan primer masih jarang. Sementara hal ini penting untuk mengevaluasi sistem pelayanan bersalin dan praktik untuk perbaikan kualitas pelayanan. Oleh karena itu, akademi kebidanan Amsterdam-Groningen (AVAG), NIVEL, dan EMGO dan VU University Medical Centre memprakarsai deliver study. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kualitas pelayanan, organisasi dan kemudahan akses perawatan di Belanda dengan menggunakan desain penelitian prospektif multidisplin.

Multicenter Deliver study merupakan studi pertama yang mengevaluasi kualitas kebidanan perawatan primer di Belanda. Beberapa negara berkiblat kepada sistem bidan di Belanda, jadi hasil penelitian ini penting untuk diinformasikan pada dunia internasional tentang kelebihan dan kekurangan sistem bidan di Belanda.

Studi ini menyediakan database tentang kebidanan perawatan primer berskala nasional. Data diambil melalui kuesioner, buku harian, dan wawancara. Data dikumpulkan pada September 2009 hingga April 2011.

Deliver study dirancang sebagai studi kohort prospektif dinamis dan multicenter. Sistem perawatan dinilai dari perspektif klien serta dari perspektiif bidan dan penyedia layanan lain yang terlibat. Kohort dinamis terdiri dari; 1) klien yang menyelesaikan sampai tiga kuisioner yakni kuesioner satu diberikan sebelum 35 minggu kehamilan, kuisioner dua diberikan antara 35 minggu kehamilan dan kelahiran, kuisioner tiga diberikan sekitar enam minggu setelah kelahiran. Kuesioner ini digunakan untuk menilai harapan dan pengalaman klien tentang perawatan kebidanan, 2) registry Belanda perinatal nasional, dan 3) catatan klien dalam bentuk elektronik yang disimpan oleh bidan.

Dari tiga fokus data yang dikumpulkan oleh deliver study, deliver study dapat memberikan data tentang:

  1. organisasi perawatan
    deliver study bertujuan untuk memberikan bukti tentang sistem rujukan, peran dan tanggung jawab bidan, kerjasama bidan dengan penyedia layanan. Analiisa deskriptif menggunakan data dari buku harian bidan.
  2. Aksesiblitas asuhan kebidanan
    Peneliitian ini akan menilai penyerapan keperawatan (misalnya jumlah scan ultrasound, perawatan bersalin postnatal), jumlah perempuan minoritas dan perempuan yang tidak tercatat di bawah perawatan bidan, ketersediaan berkonsultasi di luar jam kantor dan aksesibilitas praktik.
  3. Kualitas kebidanan perawatn primer di Belanda
    Penelitian ini dinilai dengan cara menggambarkan komunikasi dan penyedia informasi kesehatan (misalnya, informasi tentang skrining prenatal, gaya hidup, manajemen nyeri, tempat lahir, posisi tenaga kerja), kepatuhan terhadap standar dan pedoman, pelatihan dan pendidikan mahasiswa bidan, pengalaman dan kepuasan klien, dan hasil kehamilan

Berikut hasil deliver study:

29jun

Paper ini, mengajak peneliti untuk berpikir kritis dan memberikan kritik untuk meninjau kualitas metodologi penelitian ini. Untuk saat ini, data belum semua dianalisis sehingga data mengenai kualitas, organisasi dan asksesibilitas ke bidan perawatan primer tidak bisa diberikan. Harapan penulis pada hari kebidanan ini, agar bidan Indonesia dapat membuat sistem data yang akan menjadi ladang penelittian untuk perbaikan sistem kebidanan di Indonesia.

Oleh Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH
Sumber: Manniën et al. Evaluation of primary care midwifery in the Netherlands: design and rationale of a dynamic cohort study (DELIVER). BMC Health Services Research 2012, 12:69

http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1472-6963-12-69.pdf

Bidan belum menjadi pilihan utama masyarakat untuk memberi pelayanan kebidanan. Di perkotaan, masyarakat lebih memilih dilayani dokter spesialis. Bidan bisa terus kalah saing bila tidak memperbaiki mutu layanan.

Padahal, bidan merupakan salah satu ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Pelayanan bidan tidak hanya terbatas pada membantu proses persalinan, tetapi juga dalam menjaga kesehatan umum dan reproduksi. Bidan dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai dalam menjalankan fungsinya. Tuntutan ini tidak hanya muncul dari kebutuhan pasien tetapi juga sebagai dampak program Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dimulai 2015 ini. MEA menciptakan suasana persaingan dalam sektor ekonomi yang merambah ke sektor kesehatan.

Bidan juga harus siap meningkatkan mutu layanan agar dapat bersaing dengan tenaga kesehatan lainnya. Dalam proses peningkatan mutu ini, kualitas layanan bidan harus selalu terukur dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Perlu indikator-indikator tepat sebagai alat ukur untuk menghasilkan penilaian mutu yang objektif.

Mieneke De Bruin-Kooistra dkk., melakukan penelitian untuk mengidentifikasi indikator mutu layanan bidan. Tim peneliti menganalisis berbagai indikator potensial dari literatur, pedoman nasional, dan pendapat ahli. Penelitian menghasilkan 26 indikator sebagai alat ukur relevan untuk layanan bidan (tabel 1). Dua puluh enam indikator ini terbagi menjadi delapan item indikator struktur, 12 indikator proses, dan 6 indikator outcome. Indikator-indikator ini telah melalui uji kriteria instrumen Appraisal of Indicators through Research and Evaluation (AIRE) dan dikritisi lebih lanjut oleh panel Delphi.

Tabel 1. Indikator Mutu Terpilih untuk Monitoring dan Evaluasi Layanan Bidan

22jun

Dua puluh enam indikator ini dibagi dalam kategori keselamatan pasien, keterpusatan pada pasien, akses terhadap pelayanan, dan efektivitas layanan. Seluruh indikator juga telah ditetapkan tingkat pengukurannya yaitu nasional, regional, serta bidan/dokter praktek umum. Daftar indikator ini juga dilengkapi detil spesifikasi yang mencakup domain kritis, definisi operasional, hingga cara pengukurannya. Indikator ini dikembangkan untuk menilai layanan bidan pada pasien-pasien resiko rendah.

Pelayanan maternal adalah contoh pelayanan yang berorientasi outcome dengan tujuan utama yaitu ibu dan bayi yang sehat. Namun, mengapa indikator outcome dalam daftar ini justru menempati porsi kecil? Peneliti berasumsi bahwa outcome yang baik hanya akan tercapai dengan proses pelayanan bermutu dan sesuai protokol yang disepakati. Contohnya adalah Apgar score yang merupakan alat ukur keluaran neonatal (indikator outcome). Dalam rentang 1-10, skor di bawah 7 (5 menit setelah lahir) dianggap sebagai keluaran yang buruk sebagai hasil pelayanan substandar.

Untuk mencegah hal ini, ibu hamil harus mengakses pelayanan kebidanan pada masa awal kehamilan agar mendapat pelayanan antenatal yang optimal (indikator proses 9). Agar dapat memberi pelayanan bermutu tinggi, bidan harus memiliki kompetensi baik (indikator struktur). Bidan juga harus melaksanakan pelayanan 24 jam/7 hari seminggu (indikator struktur) untuk mencegah kelahiran tanpa pendamping (indikator proses). Kaitan antar indikator ini menunjukkan satu indikator outcome dapat dipengaruhi oleh lebih dari satu indikator struktur dan proses.

Indikator yang direkomendasikan de Bruin-Kooistra mungkin masih perlu penyesuaian untuk kondisi Indonesia. Alasannya, pemilihan indikator yang tepat merupakan kunci dalam proses monitoring dan evaluasi mutu layanan bidan Indonesia. Indikator yang tepat dapat menghasilkan penilaian mutu layanan bidan yang akurat untuk menyusun program selanjutnya. Jika ternyata mutu bidan sudah baik, perlu upaya menjaga mutu. Sebaliknya, bjika mutu layanan bidan masih buruk, perlu program peningkatan mutu misalnya dengan peningkatan kompetensi bidan.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH
Sumber: Mieneke de Bruin-Kooistra, Marianne P. Amelink-Verburg, Simone E. Buitendijk, and Gert P. Westert, Finding the right indicators for assessing quality midwifery care, International Journal for Quality in Health Care 2012; volume 24, number 3: pp. 301–310.

http://intqhc.oxfordjournals.org/content/intqhc/24/3/301.full.pdf