Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pendahuluan
Indikator, standar, dan mutu adalah tiga hal yang berbeda. Suatu pelayanan dikatakan bermutu dalam dimensi tertentu apabila indikator pelayanan mencapai atau melampaui suatu standar tertentu. Mutu, dengan demikian tidak akan tercapai tanpa suatu perencanaan dan wawasan yang terkait dengan mutu tersebut. Dengan kata lain, bila kita menginginkan pelayanan yang bermutu di rumah sakit, maka manajemen rumah sakit perlu memperluas wawasan mengenai mutu pelayanan tersebut dan merencanakan serangkaian aksi untuk mencapai suatu tingkat/standar tertentu. Pencapaian atas aksi-aksi tersebut diukur dengan indikator.

Indikator, dengan demikian, perlu dirancang bersama dengan serangkaian proses yang akan diambil dalam upaya peningkatan mutu. Memimpin serangkaian proses ini, termasuk menyusun indikator, menjadi sangat penting. Memimpin sistem mikro klinik dalam meningkatkan mutu sudah pernah saya bahas dalam tulisan ini. Maksud tulisan ini adalah membahas beberapa hal yang sering ditanyakan para pimpinan sistem mikro klinis dalam menyusun indikator mutu pelayanan. Sebagai tambahan yaitu gagasan untuk melakukan analisis lebih lanjut dengan bantuan ilmu statistika.

Indikator Mutu
Indikator mutu klinis adalah pengukuran manajemen klinis dan/atau luaran pelayanan (Collopy 2000) dan diwujudkan dalam angka (Takaki et al. 2013). Indikator mutu, dengan demikian, selalu merupakan pengukuran kuantitatif atau semi kuantitatif yang memiliki numerator (pembilang) dan denominator (penyebut / pembagi). Umumnya, denominator adalah populasi tertentu dan numerator adalah kelompok dalam populasi yang memiliki karakteristik tertentu.

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) di Amerika Serikat mempublikasikan empat kelompok indikator mutu, yaitu prevention quality indicator, inpatient quality indicator, patient safety indicator, dan pediatric quality indicator (dapat diakses di sini). Sementara itu, Joint Commission International juga menerbitkan International Hospital Inpatient Quality Measures yang terdiri dari sepuluh kelompok indikator klinis (dapat diunduh di sini). Contoh dari kedua sumber tersebut sering dipakai bergantian dalam ceramah mengenai akreditasi rumah sakit di Indonesia.

Di Indonesia, penetapan indikator dipandu Peraturan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit. Dalam lampiran Permenkes tersebut, diatur 21 jenis pelayanan dan 107 indikator yang telah ditetapkan standar minimalnya dengan nilai tertentu. Kementrian Kesehatan menetapkan standar ini menjadi tolak ukur pelayanan rumah sakit badan layanan umum daerah.

Tabel 1. Dimensi mutu (World Health Organization 2006).

Dimensi Mutu

Maksud Dimensi Mutu

Efektif / Effective

Pelayanan kesehatan yang erat pada basis bukti dan berhasil dalam meningkatkan luaran kesehatan individu atau komunitas berdasarkan kebutuhan.

Efisiensi / Efficient

Pelayanan kesehatan yang memaksimalkan sumber daya dan menghindari pemborosan.

Mudah diakses / Accessible

Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, wajar secara geografis, dan disediakan dalam kerangka yang tepat dari sisi keterampilan dan sumber daya untuk memeuhi kebutuhan.

Diterima / Accepted (Patient-centred)

Pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan pilihan dan aspirasi individu pengguna layanan dan budaya komunitasnya.

Tidak berpihak / Equity

Pelayanan kesehatan yang tidak berbeda dalam kualitas karena karakteristik personal seperti gender, ras, etnis, lokasi geografis, dan status sosio ekonomi.

Aman / Safe

Pelayanan kesehatan yang meminimalisasi resiko dan harm.

Terlepas dari beberapa nilai standar dalam SPM tersebut yang tidak dapat dilampaui, acuan tersebut memberikan sistematika yang baik dalam membuat indikator. Setiap indikator dijelaskan dengan beberapa aspek seperti judul indikator, definisi operasional, tujuan, dimensi mutu, numerator, denominator, frekuensi pengukuran, sumber data, dan penanggung jawab pengumpulan data.

Pengukuran dapat dilakukan bila tahu apa yang diukur. Dengan demikian, judul dan definisi operasional indikator telah jelas. Definisi operasional yang dimaksud di sini termasuk definisi operasional numerator dan denominator. Dimensi mutu sesuai permenkes mengacu pada dimensi mutu World Health Organization (WHO), yaitu efektif, efisien, mudah diakses, diterima/berpusat pada pasien, tidak berpihak, dan aman (World Health Organization 2006). Maksud masing-masing dimensi mutu disajikan dalam tabel 1.

Merancang Pengumpulan Data Indikator
Mengumpulkan data adalah proses yang mungkin paling melelahkan dalam petualangan menguak mutu pelayanan lewat indikator mutu pelayanan. Salah satu penyebabnya adalah pengumpulan data kurang dipertimbangkan secara matang ketika indikator mutu disusun. Cara pengumpulan data berkaitan erat dengan tujuan indikator dan aspek-aspek lain dalam indikator. Mari kita ambil contoh indikator kejadian infeksi pascaoperasi pada standar pelayanan minimal rawat inap dalam permenkes di atas.

Dalam Permenkes disebut bahwa numerator adalah jumlah pasien yang mengalami infeksi dalam satu bulan. Selanjutnya, denominator dalam lampiran tersebut tidak jelas disebutkan namun kemungkinan adalah jumlah pasien yang dioperasi dalam satu bulan. Di sini jelas, bahwa angka yang dimaksud dalam permenkes ini adalah angka insidensi. Menilik keterangannya, muncul beberapa pertanyaan misalnya: Apakah ini dihitung untuk seluruh rumah sakit atau untuk satu bangsal tertentu? Data ini menunjukkan mutu pelayanan rawat inap atau menunjukkan mutu layanan sterilisasi atau menunjukkan mutu layanan pembedahan?

Infeksi pasca operasi saat ini lebih sering disebut sebagai infeksi daerah operasi (IDO) atau surgical site infection (SSI). Infeksi ini lebih sering didiagnosis setelah pasien pulang dan merupakan hasil kontaminasi pada daerah luka operasi pada akhir pembedahan (National Collaborating Centre for Women's and Children's Health 2008). Bila mengikuti panduan permenkes tersebut, rumah sakit perlu menyediakan dua sarana pengumpulan data, satu untuk mengumpulkan IDO yang baru ditemukan dan satu untuk mengumpulkan jumlah pasien yang menjalani operasi pada bulan tersebut.

Dalam kerangka berpikir, indikator mutu pelayanan rawat inap, pimpinan ruang rawat inap bedah dapat memodifikasi indikator ini untuk mendapatkan manfaat lebih. Mari kita simak tabel berikut.

Tabel 2. Contoh modifikasi indikator SPM.

 

Sesuai Permenkes

Modifikasi

Numerator

Jumlah pasien yang mengalami infeksi dalam satu bulan.

Jumlah hari rawat dengan IDO.

Denominator

Jumlah pasien yang dioperasi dalam satu bulan.

Jumlah hari rawat pasien pascaoperasi.

Dengan modifikasi ini, pimpinan ruang rawat inap bedah memudahkan tim untuk mengumpulkan data karena setiap hari cukup mendata ada berapa pasien pasca operasi yang dirawat dan ada berapa pasien yang mengalami IDO. Jumlah tersebut ditambahkan mulai tanggal satu sampai akhir bulan dan dimasukkan ke dalam rumus. Sekarang, rumah sakit tahu prevalensi IDO bulan tersebut dan sebagai bonus, pimpinan ruang rawat inap bedah bisa menghitung berapa banyak sumber daya yang dipakai untuk mengurus IDO dan apakah prevalensi ini menurun atau tidak dari bulan ke bulan (menunjukkan mutu layanan luka pascaoperasi di ruang rawat inap bedah).

Merancang Analisis Data Indikator
Analisis yang diminta dalam akreditasi versi lama maupun baru seringkali terbatas pada pembuatan grafik indikator berbanding waktu dan penjelasan mengenai analisis penyebab. Dengan kerangka berpikir seperti audit medis dan audit klinis, sebenarnya pimpinan sistem mikro klinis di rumah sakit dapat memanfaatkan uji beda dalam statistika untuk melihat peningkatan mutu di unitnya.

Statistika dapat membantu pimpinan rumah sakit untuk melihat apakah ada beda bermakna pada ruang perawatan satu dengan yang lain pada indikator yang sesuai. Selain itu, pimpinan rumah sakit dapat mengevaluasi juga apakah benar ada perubahan yang bermakna setelah intervensi perbaikan mutu dilakukan di suatu unit kerja. Pengujian dengan statistika lebih lanjut dapat juga mengungkap apakah benar suatu perlakukan meningkatkan mutu pelayanan tertentu.

Namun sebelum melakukan analisis tersebut, perlu dilakukan pemilihan uji statistik yang sesuai. Untuk itu pada saat merancang indikator mutu perlu dipikirkan mengenai uji statistik tersebut. Mulai dari apakah data yang dikumpulkan menggunakan sampel atau populasi. Populasi berarti semua dihitung. Contoh IDO di atas memanfaatkan data populasi. Semua pasien yang menjalani operasi dihitung sebagai denominator. Ada keuntungan dan kerugian masing-masing dalam memakai populasi atau sampel. Bila populasinya tidak banyak, menggunakan sampel tentu tidak bijaksana.

Persiapan lainnya adalah menentukan tipe data. Apakah data tersebut merupakan data nominal, ordinal, interval, atau rasio. Tipe data tertentu dapat memerlukan uji statistik yang berbeda dengan tipe data lainnya untuk melihat hal yang sama.

Dengan penghitungan indikator yang telah dirancang dengan hati-hati ditambah dengan uji statistik yang sesuai, pimpinan rumah sakit dan pimpinan unit kerja dapat menarik kesimpulan mengenai mutu pelayanan. Tentu penarikan kesimpulan ini perlu kehati-hatian. Penurunan secara signifikan waktu respon triase merah di instalasi gawat darurat tidak lantas disimpulkan bahwa ada perbaikan pelayanan gawat darurat. Hasil ini dapat saja murni merupakan hasil modifikasi akses masuk pasien saja dan tidak berhubungan sama sekali dengan mutu pelayanan instalasi gawat darurat secara umum.

Penutup
Indikator mutu rumah sakit adalah ukuran kuantitatif yang diukur untuk lebih memahami mutu pelayanan di rumah sakit. Indikator perlu dirancang dengan seksama dengan mempertimbangkan dimensi mutu yang ingin diukur, cara pengumpulan data, dan strategi analisisnya. Dengan hati-hati merancang indikator mutu pelayanan, sumber daya bisa dihemat, hasil lebih akurat, dan pengambilan keputusan di tingkat sistem mikro maupun sistem makro bisa lebih strategis.

Bahan Bacaan

Collopy, BT 2000, 'Clinical indicators in accreditation: an effective stimulus to improve patient care', International Journal for Quality in Health Care, vol 12, no. 3, pp. 211-216.
Takaki, O, Takeuki, I, Takahashi, K, Izumi, N, Murata, K, Ikeda, M & Hasida, K 2013, 'Graphical representation of quality indicators based on medical service ontology', Springer Plus, vol 2, no. 274, pp. 1-20.
World Health Organization 2006, Quality of care : a process for making strategic choices in health systems , World Health Organization, Geneve, Switzerland.
National Collaborating Centre for Women's and Children's Health 2008, Surgical site infection: prevention and treatment of surgical site infection, RCOG Press at the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, London.

Penulis
Artikel ini ditulis dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., alumni pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan minat Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Saat ini penulis sedang melanjutkan pendidikan dokter spesialis di Universitas Airlangga. Tulisan ini merupakan opini pribadi.

Isu ketenagaan merupakan salah satu isu yang masih belum terpecahkan sampai sekarang di Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya, jumlah tenaga yang sangat minim dan penyebaran yang tidak merata merupakan hal yang masih sering dijumpai. Apalagi di era JKN sekarang ini, isu ini diprediksi akan memperburuk pelayanan kesehatan dan memperbesar gap antara daerah yang maju dan daerah tertinggal dalam pelayanan kesehatan. Terlepas dari isu tersebut pernahkan kita bertanya, bagaimana kualitas kompetensi dari tenaga yang ada sekarang ini? Apakah berkualitas atau hanya sekedar "ada" saja? Apabila jawabannya tidak maka hal ini merupakan masalah yang serius karena akan berefek domino, sudah tenaganya kurang yang ada pun belum tentu berkualitas.

Salah satu jenis tenaga yang mendapat perhatian penting adalah bidan. Hal ini karena bidan mempunyai peranan penting dalam sistem pelayanan kesehatan, selain bertanggungjawab menyelamatkan ibu dalam proses kelahiran bidan juga harus memastikan anak yang dilahirkan selamat dan sehat tanpa komplikasi apapun, ada 2 nyawa yang menjadi tanggung jawab bidan, yakni ibu dan bayinya. Selain itu untuk daerah-daerah terpencil (desa) bahkan masih terjadi di perkotaan, bidan merupakan orang pertama yang dicari untuk mendapat pengobatan dasar, biasanya setelah pelayanan dari bidan tidak berhasil barulah masyarakat pergi ke dokter atau puskesmas. Menurut Morolong & Chabeli, untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan yang baik, sistem kesehatan membutuhkan bidan dan perawat yang kompeten.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang apakah bidan-bidan kita sekarang ini sudah kompetent? Untuk menjawab hal ini salah satu penelitian dari Seani A, dkk bisa menjadi bahan pertimbangan yang menarik untuk kita memperbaiki mutu pelayanan bidan kita. Seani, dkk melakukan pengukuran kompetensi bidan-bidan terkait pencegahan low Apgar Score pada neonatus di Afrika Selatan, tepatnya pada 130 orang bidan di 3 rumah sakit daerah di Distrik Vhembe, Propinsi Limpopo. Dari 130 orang bidan yang ikut sebagai responden 70,5% diantaranya berusia kurang dari 40 tahun, hal ini menurut Seani, dkk merupakan hal yang baik karena bidan-bidan muda biasanya lebih fresh dan punya banyak pengetahuan baru yang membantu dalam memberikan pelayanan. Namun bukan berarti bidan senior (yang berusia lebih tua) tidak diperlukan, mereka sangat diperlukan untuk mentoring dan sharing experience kepada junior atau adik-adik mereka yang lebih muda.
Seani, dkk membagikan angket berupa daftar skill atau kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang bidan dan responden harus menjawab sesuai dengan persepsi mereka apakah mereka merasa punya kompetensi yang baik untuk setiap skill tersebut atau tidak. Hasilnya cukup mengejutkan karena lebih dari 50% bidan-bidan tidak merasa berkompeten untuk beberapa skill seperti mengukur tekanan darah dengan benar, mengukur diameter kepala bayi, managemen efek dari Demerol, persalinan sungsang, persalinan vakum dan vorsep, distosia bahu, interpretasi CTG, dan pengukuran pada kasus Caput 2++. Skilll-skill tersebut merupakan skill minimal yang harus dimiliki seorang bidan untuk menjamin ibu dan bayi yang dilahirkan sehat tanpa komplikasi (Apgar Skor kurang dari 10/10). Seani, dkk menelusuri lebih lanjut ternyata skill-skill tersebut sudah diberikan atau diajarkan pada saat pendidikan bidan dulu, dan bahkan ada juga yang dilatih kembali pada saat capacity building di rumah sakit.

Oleh karena itu Seani, dkk memberikan rekomendasi sebagai berikut :

  1. Mentoring secara berkelanjutan untuk bidan-bidan muda atau yang baru lulus dan baru bekerja di rumah sakit oleh bidan senior yang bertanggung jawab di unit maternitas atau bisa juga melibatkan dosen atau pembimbing dari organisasi pendidikan bidan yang kompeten.
  2. Kebijakan, norma, manual, dan SOP yang berkaitan dengan pelayanan kebidanan harus terus direview, diperbaharui dan disosialisasikan kepada seluruh bidan untuk menjadi perhatian.
  3. In-service Education kepada semua bidan yang terlibat dalam pelayanan dalam bentuk workshop, symposium, short course, dan sebagainya. Hal ini harus dilakukan secara terus menerus selain untuk meningkatkan kompetensi bidan hal ini juga sebagai refreshing pengetahuan bagi mereka.

Terkait dengan masalah kekurangan tenaga yang masih menjadi prioritas kita di Indonesia, menurut Hoope-Bender, dkk dalam pemenuhan tenaga kesehatan, investasi di bidang pendidikan saja tidak akan berhasil tanpa adanya perbaikan regulasi, manajemen SDM, dan lingkungan tempat tenaga tersebut akan bekerja. Apabila 3 komponen ini berjalan baik maka tidak hanya jumlah tenaga saja yang terpenuhi namun juga menjamin mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dalam konteks pemenuhan tenaga bidan, hal ini ditegaskan oleh Renfreu, dkk yang menyatakan bahwa pelayanan kebidanan yang bermutu berhubungan dengan penggunaan sumber daya yang efektif dan efisien, hal ini hanya bisa tercapai apabila dikerjakan oleh bidan yang berpendidikan, terlatih, berlisensi, dan diatur dengan aturan yang jelas. Semua itu harus terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan, yakni dalam hal kerjasama tim yang efektif, sistem rujukan, dan sumber daya kesehatan yang mencukupi.

Hal ini bisa menjadi masukan yang baik bagi kita untuk menyempurnakan sistem pelayanan kesehatan kita demi menjamin mutu kesehatan yang merata untuk seluruh rakyat Indonesia.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran-UNDANA
Sumber : Seani. A, et all. 2013. Competence of Midwives with Regard to The Prevention of Low Apgar Scores among Neonates. International Journal of Research in Medical and Health Sciences (IJRMHS) Nov. 2013, Vol. 3, No. 3, ISSN : 2307-2083. http://www.ijsk.org/uploads/3/1/1/7/3117743/1_nursing.pdf 

Renfreu, J. Mary, et all. 2014. Midwifery and quality care: findings from a new evidence-informed framework for maternal and newborn care. Lancet; 384: 1129–45.
http://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-6736(14)60789-3.pdf 

 

Proses persalinan membutuhkan perhatian dan perawatan optimal dan intensif terutama pada saat menangani ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi tinggi. Perhatian dan perawatan optimal diberikan bukan hanya pada saat proses persalinan namun diberikan juga pada fase kehamilan, dan postpartum awal. Fase-fase ini sangat berisiko dan memerlukan penanganan optimal. Risiko tinggi akan terus meningkat jika wanita menjalani kehamilan tanpa ada perencanaan sehingga tidak bisa dikontrol sesuai prosedur layanan kesehatan.

Pada tahun 2001 WHO menyatakan proporsi kehamilan normal kurang dari 10% dari total ibu hamil di seluruh dunia dan berglund dan Lindmark tahun 2000 di Swiss menemukan hanya sebagian wanita saja memiliki kehamilan normal misalnya kehamilan tanpa nyeri sedangkan sebagian besarnya berisiko tinggi untuk terkena dan rentan terhadap penyakit karna secara emosional ibu hamil lebih cemas, takut, ambivalen terhadap kehamilan dan perasaan gagal melahirkan. Hal ini bisa dicegah dengan meningkatkan perhatian intensif pada masa kehamilan, mengurangi kecemasan ibu hamil akan hal-hal terkait proses persalinan dan pendampingan dari tenaga kesehatan untuk mendukung persiapan persalinan.

Perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan membatasi ruang gerak bidan, bidan bertanggungjwab pada persalinan normal sedangkan dokter bertanggungjawab pada persalinan dengan risiko tinggi. Ini dapat menimbulkan rasa ketidakmiliki dan perhatian terhadap keamanan dan keselamatan pasien ketika dalam fase kehamilan, persalinan dan post partum awal.

Genuine caring dicapai dengan melakukan 3 hal antara lain:

  • Membangun protective relationship
    Komponen ini sangat penting bagi wanita hamil yang berisiko tinggi untuk melindungi martabat wanita dimana setiap wanita hamil diperlakukan secara baik sebagai pribadi yang unik, perlu hubungan mutualitas atau hubungan timbal balik dari bidan dan ibu hamil secara terbuka, memiliki hubungan saling membutuhkan dan saling percaya. 5 komponen untuk membangun protective relationship antara lain:
    • Mutuality
      Dibutuhkan saling pengertian antara bidan dan ibu hamil dan saling terbuka bukan hanya pada masalah proses persalinan namun sampai pada pembayaran. Hal ini mengurangi stress, mencegah ketidaknyamanan dan ketidakpuasan. Mutuality diperlukan hubungan yang simetris karena mempertemukan 2 orang yang siap 'memberi dan menerima'
    • Trust
      Bidan harus percaya pada keluhan ibu hamil. Feeling, penafsiran kelahiran dan kemampuan layaknya seorang ibu mengasuh anaknya. Sebaliknya bidan membutuhkan kepercayaan akan profesional dan tugasnya dari ibu hamil
    • Ongoing dialog
      Membangun hubungan yang erat diperlukan komunikasi yang terus menerus, ini cara menunjukan respect ibu hamil dan tanggung jawab bidan mendampingi ibu hamil, komunikasi yang dibangun juga untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya, dan ibu hamil siap menghadapi situasi itu
    • Shared responsibility
      Karena ibu hamil berisiko tinggi maka perlu share keadaan dan kondisi yang terjadi ke bidan yang mendampingi dan bidan yang mendampingi memberikan respon untuk keselamatan ibu dan janin yang ada dalam kandungan.
    • Presence
      Bidan perlu menemani ibu hamil, hal ini membutuhkan kedekatan secara emosional dan fisik. Membantu meminimalizir risiko tinggi yang kemungkinan terjadi pada saat kehamilan dan persalinan, hal ini membutuhkan waktu dan tenaga.

      art-11jul

      Model penanganan ibu hamil dengan risiko tinggi: Genuine caring in caring for the genuine

  • Update knowledge
    Genuine care kedua yang bisa diidentifikasi adalah update knowledge, penangangan ibu hamil perlu berfokus pada knowledge terintegrasi, selain itu ibu hamil dapat menjadi pelajaran buat bidan, satu ibu hamil satu pelajaran karena setiap ibu hamil memiliki kebutuhan dan keluhan yang bermacam-macam. Bidan mengintegrasikan dengan knowledge yang dimiliki sehingga meningkatkan kemampuan bidan menangani ibu hamil.
    Update knowledge terdiri dari dari 5 elemen antara lain
    • Genuineness towards oneself
      Ibu hamil menerima keadaannya untuk bersalin tanpa rasa takut, ketika emosi ibu hamil tidak stabil maka bidan mengobservasi dan mengukur tekanan darah.
    • Intuitive dan reflective knowledge
      Peran bidan memberikan security dan safety bagi ibu hamil, terutama risiko tinggi, membutuhkan praktik dan banyak pengalaman, perlu membagi dan sharing pengalaman antar sesama bidan dengan tujuan dapat saling mensupport dan mencari jalan keluar jika menemukan masalah yang sulit untuk diatasi sendiri.
    • Balancing natural dan medical perspective
      Menyeimbangkan alami dan modern meningkatkan sensitifitas kepedulian.
    • Supporting normalcy
      Ibu hamil berisiko mau diperlakukan secara normal, bidan menggunakan teknik dan skill untuk mempromosikan dan menangani persalinannya demi keselamatan ibu dan anak.
    • Exhibiting sensitivity for the genuine
      Genuine sensifitas meningkatkan proteksi dengan meningkatkan kepedulian yang lebih misalnya menganggap komplikasi bukan hanya komplikasi tapi lebih dari sekedar komplikasi, selain itu ibu hamil dengan penyakit tertentu mendapatkan perlakuan lebih misalnya ibu hamil dengan diabetes diperiksa level gula darahnya dll

Pendampingan ibu hamil bukan saja pada keadaan fisik namun pendampingan juga secara psikologis, perlu persiapan persalinan dan memperkuat emosi ibu serta memberikan konseling mempersiapkan diri menjadi parents. Penelitian terkait hubungan ibu hamil dan bidan perlu ditingkatkan supaya dipakai sebagai evaluasi perbaikan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak setiap saat. Hubungan yang dibangun bukan hubungan ibu hamil dan pasien namun hubungan yang lebih dari itu yakni hubungan rela "memberi dan menerima".

Oleh : Dedison Asanab, S.KM (Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana)

Sumber: Marie Berg, 2005. A Midwifery Model Of Care For Childbearing Women At High Risk: Genuine Caring In Caring For The Genuine. The Journal of Perinatal Education | Winter 2005, Volume 14, Number 1.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1595225/pdf/JPE140009.pdf 

 

Fokus pembangunan kesehatan terhadap tingginya angka kematian ibu dan bayi masih terus menjadi perhatian yang sangat besar bagi pemerintah karena penurunan AKI dan AKB merupakan salah satu indikator pembangunan sebuah bangsa. Ujung tombak penurunan kematian ibu (AKI) adalah tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah bidan. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang teraktreditasi, memenuhi kualifikasi untuk didaftarkan, disertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk praktek kebidanan. Bidan diakui sebagai sebagai seorang profesional yang bertanggungjawab dan akuntabel, bermitra dengan perempuan dalam memberikan dukungan, informasi berdasarkan bukti, asuhan dan nasihat yang diperlukan selama masa kehamilan, persalinan dan nifas, memfasilitasi kelahiran atas tanggung jawabnya sendiri serta memberikan asuhan kepada bayi baru lahir dan anak.

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu dan bayi adalah faktor pelayanan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan keteranpilan tenaga kesehatan sebagai penolong pertama pada persalinan tersebut, dimana setiap persalinan hendaknya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Namun sayangnya sampai saat ini di wilayah indonesia masih banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi yang masih mengggunakan cara-cara tradisional sehingga banyak peluang merugikan dan membahayakan keselamatan ibu dan bayi baru lahir. Di beberapa daerah, keberadaan dukun bayi sebagai orang kepercayaan dalam menolong persalinan, sosok yang dihormati dan berpengalaman, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Keberadaannya berbeda dengan keberadaan bidan yang rata-rata masih muda dan belum seluruhnya mendapat kepercayaaan dari masyarakat.

Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara seperti Nigeria dukun bayi melakukan pertolongan persalinan, pada tahun 2008 tercatat ada sekitar 22% atau sekitar 1, 35 juta persalinan ditolong oleh dukun bayi setiap tahunnya. Sejak tahun 1979, pemerintah Nigeria  telah melakukan terobosan dengan mengintegrasikan ke dalam sistem perawatan kesehatan dengan meningkatkan keterampilan dukun bayi. Sementara, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan upaya dengan menyelenggarakan kegiatan yang saling menguntungkan antara bidan dan dukun bayi, dengan harapan pertolongan persalinan akan berpindah dari dukun bayi ke bidan. Dengan demikian, kematian ibu dan bayi diharapkan dapat diturunkan dengan mengurangi resiko yang mungkin terjadi bila persalinan tidak ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten dengan menggunakan kemitraan bidan dan dukun. Dalam pola ini kemitraan bidan dengan dukun sebagai elemen masyarakat yang ada dilibatkan sebagai unsur untuk dapat memberikan dukungan kesuksesan kegiatan ini.

Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) perlu peningkatan standar dalam menjaga mutu pelayanan kebidanan. Untuk itu, pelayanan kebidanan harus mengupayakan peningkatan mutu dan memberi pelayanan sesuai standar yang mengacu pada semua persyaratan kualitas pelayanan dan peralatan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Demi memenuhi pelayanan berkualitas, pemerintah Nigeria mewajibkan bidan untuk tinggal di desa selama setahun. Kebijakan dari pemerintah ini tidak bertahan lama karena pada tahun 2008 dilaporkan sangat sedikit petugas kesehatan/bidan yang mampu bertahan mau tinggal dan bekerja di daerah pedesaan. Beberapa faktor pemicunya ialah karena miskin, prospek untuk kemajuan karir dan pekerjaan yang buruk serta tidak adanya prospek pendidikan bagi keluarga mereka. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2009 pemerintah Nigeria meluncurkan program MSS. MSS adalah inisiatif bersama antara tiga tingkatan pemerintah di Nigeria yang bertugas memobiliasi bidan, termasuk bidan yang masih menganggur dan pensiun untuk bekerja di daerah yang kurang terlayani. Sejak diluncurkan hingga bulan Juli 2010, program ini telah melibatkan 2.622 bidan yang dipekerjakan di fasilitas perawatan kesehatan primer di daerah pedesaan.

Pendidikan bidan sebagian besar berada di bawah standar ICM, ICM merekomendasikan minimum teori 40% dan minimum 50% praktek. Rumah sakit dan klinik terutama di daerah pedesaan kekurangan alat dan fasilitas untuk berlatih asuhan kebidanan yang mengarah kekurangan perawatan berbasis bukti dan kemampuan untuk berlatih keterampilan yang diperoleh. ICM merekomendasikan bidan perlu refreshing ilmu melalui pelatihan yang upto-date dan berlatih terus-menerus jika menemukan kasus yang belum pernah dialami. Pelatihan, kualitas kontrol dan pengawasan sangat penting untuk menghasilkan bidan yang berkualitas untuk peningkatan derajat kesehatan.

Oleh: Armiatin, SE., MPH.

Sumber: Oyetunde et al., Quality Issuses in Midwifery: A Critical Analysis of Midwifery in Nigeria Within The Context of The International Confederation of Midwives (ICM) Global Standards. Academic Journals. Vol. 6(3), pp. 40-48, July 2014.

http://www.academicjournals.org/article/article1406126983_Oyetunde%20and%20%20Nkwonta.pdf