Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

24jun

Peran Rumah Sakit di era bisnis modern saat ini dihadapkan pada dua pilihan besar. Sosial dan Bisnis murni. Rumah Sakit Swasta jelas mempunyai orientasi Bisnis yang kental dalam industri Pelayanan Kesehatan ini karena mereka hidup dari lahan yang harus dikelola dengan mindset bisnis.

Tetapi jika kita bisa sedikit berfikir maka sebenarnya ada celah yang bisa dimanfaatkan bahwa sebenarnya Rumah Sakit sekarang tetap bisa menjalankan fungsi sosialnya atau berperan ganda (Sosial dan Bisnis). Prof. Muhammad Yunus menjelaskan dan menyebutnya dengan istilah Social bussiness yang beberapa waktu lalu meraih nobel.

CSR (Corporate Social Responsibility) adalah salah satu embrio lahirnya pemikiran tentang Social bussines. Corporate Social Responsibility di dalam perusahaan adalah sebuah terobosan yang mempunyai beberapa fungsi yang saling mendukung bagi jalannya peran ganda yang dibicarakan diatas.

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. Sedangkan kalau kita lihat dalam proses pembentukan brand image yang baik dipastikan harus melalui positioning yang tepat (Top of mind).

Sebagai Rumah Sakit yang hadir di Kota Surabaya pada April 2012 Rumah Sakit Bedah Surabaya memerankan fungsinya seperti yang tertuang dalam salah satu misinya yaitu meningkatkan kesejahteraan stakeholder tanpa meninggalkan amalan kebajikan dan perikemanusiaan dipandang penting bagi dr. Widorini Sunaryo, M.ARS (Direktur Rumah Sakit Bedah Surabaya) untuk memantabkan brand image yang baik di lingkungan sekitar.

Strategi penguatan brand Rumah Sakit Bedah Surabaya dengan terus menerus menggandeng beberapa pihak termasuk Yayasan Seribu Cinta (YSC) yang pada tanggal 22 Juni 2013 kemarin dengan menggelar acara khitanan massal yang diikuti sekurangnya 100 orang anak. Kegiatan ini adalah salah satu dari beberapa kegiatan sosial yang digelar tiap tahun diantaranya operasi katarak dan bibir sumbing gratis.

Yang menarik dari proses penguatan brand positioning sehingga terciptalah brand image adalah dipilihnya kegiatan sosial yang berkaitan dengan pembedahan (surgery). Ini menjadi khas karena memang produk unggulan di Rumah Sakit Bedah Surabaya adalah berkaitan dengan kasus pembedahan. Walaupun kasusnya terkategori jenis pembedahan ringan tetapi pembentukan brand image memang harus dimulai dari situ.

Dari sebuah strategi itu ada beberapa hal yang dapat digarisbawahi dari kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Rumah Sakit yaitu:

  1. Konsumen dapat lebih mengenal Rumah Sakit sebagai perusahaan yang selalu melakukan kegiatan yang baik bagi masyarakat (brand image);
  2. Transfer product knowledge kepada konsumen tentang produk di Rumah Sakit dapat lebih mudah dilakukan sehingga dapat menimbulkan kesadaran konsumen akan keberadaan produk rumah sakit yang dapat meningkatkan posisi brand;
  3. Rumah Sakit dapat membuka dan meningkatkan relasi yang baik dengan para pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta;
  4. Jika Corporate Social Responsibility (CSR) dilakukan sendiri oleh Rumah Sakit, maka kesempatan menonjolkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya lebih terbuka (positioning)

Dengan begitu maka peran dan eksistensi Rumah Sakit sebagai institusi sosial bisa tetap dipertahankan walaupun dalam hal ini Rumah Sakit harus tetap untung (brand image).

Oleh: Ilham Akhsanu Ridlo, S.KM., M.Kes (Praktisi Rumah Sakit)

 

 

Disarikan oleh: Armiatin SE.,MPH

Komite/lembaga penelitian kedokteran di Amerika, baru saja merilis laporan tentang strategi penjaminan mutu untuk program Medicare. Laporan ini difokuskan kepada pelayanan kesehatan yang diterima oleh para peserta Medicare dari kalangan lanjut usia (lansia). Adanya Kenaikan jumlah lansia dengan penyakit kronis dan kondisi disabilitas dianggap perlu untuk meningkatkan perawatan yang dikelola dengan baik, bermutu tinggi secara teknis dan mendukung pada dekade mendatang.

Program penjaminan mutu medicare yang sukses seharusnya mampu merespon faktor-faktor tersebut secara fleksibel. Kegiatan yang sudah dilakukan oleh medicare untuk menjamin mutu pelayanan bagi lansia adalah dengan mengadakan Program PRO (peer-review organization). Konsep dan perangkat praktis yang digunakan untuk penjaminan mutu medicare yaitu dengan menggunakan pengukuran model Donabedian.

Model Donabedian dalam Program PRO digunakan dengan menitik beratkan upaya-upaya internal yang berbasis organisasi, dipimpin secara profesional untuk memperbaiki banyak proses-proses perawatan kecil dalam siklus penelitian dan perubahan tanpa henti.

Namun demikian analisa menunjukan bahwa program tersebut tidak berjalan dengan baik. Beberapa area tantangan dalam memperbaiki program tersebut adalah: 1) metode dasar peninjauan dan penjaminan mutu, 2) aplikasi teknik-teknik penjaminan mutu dan peningkatan mutu berkelanjutan, 3) penyebaran informasi untuk meningkatkan kinerja petugas pelayanan kesehatan, 4) melatih para petugas dalam hal kompetensi melakukan riset dan dalam teknik penjaminan mutu dan peningkatan berkelanjutan.

Rekomendasi yang diberikan oleh komite penelitian untuk menghadapi persolan program peer review organization ini adalah : 1) Kongres merestrukturisasi program PRO yang sudah ada, 2) memperbaiki fungsi-fungsinya, dan 3) menjalankan program-program baru (medicare program to assure quality, atau MPAQ).

Menghadapi rendahnya akuntabilitas dan perhatian publik, lembaga/komite kedokteran juga menganjurkan kepada kongres program PRO untuk membuat dua kelompok penasehat yaitu 1). Komisi penasehat program kualitas yang mirip dengan komisi kongres pembayaran prospektif Medicare untuk pembayaran rumah sakit dan dokter, 2) Dewan nasional pada penjaminan mutu Medicare, 3) Kongres mengelola dana secara tepat untuk pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi yang telah disebutkan sebelumnya.

Referensi :

Special Report : A Strategy For Quality Assurance in Medicare. The New England Journal of Medicine.

 

Oleh: Gita Tarigan, MPH

Setiap direktur rumah sakit akan menghadapi masalah dan situasi yang berbeda. Perbedaan ini akan membuat direktur rumah sakit akan memilih jenis keputusan yang berbeda sesuai dengan masalah dan situasi yang dihadapinya. Handoko (2003) membagi dua jenis keputusan. Ada yang yang disebut keputusan yang diprogram (programmed decisions) yaitu keputusan yang dibuat menurut kebiasaan, aturan atau prosedur, dan dilakukan berulang-ulang. Sementara itu ada pula keputusan-keputusan yang tidak diprogram (non-programmed), yaitu keputusan berkenaan dengan masalah-masalah khusus, khas, atau tidak biasa. Pada jenis keputusan ini seorang pengambil keputusan perlu mempertimbangkan keputusan dengan mencari banyak informasi yang relevan dengan masalahnya.

Selama kurang lebih tiga dekade terakhir telah terjadi perkembangan informasi secara pesat. Bentuk informasi kini ditemukan sangat bervariasi. Dulu orang hanya mengenal informasi dalam bentuk lisan dan tulisan. Namun sejak tahun 1975 sudah mulai diperkenalkan informasi dalam bentuk elektronik (Verhoeven, 1999). Dalam sektor kesehatan, informasi ditemukan dalam bentuk yang sangat beragam. Sejumlah besar jurnal dan artikel menjamur di setiap bagian. Belum lagi informasi yang bisa didapat dari pertemuan ilmiah yang sering dilakukan oleh profesional. Kemajuan teknologi di sektor kesehatan juga membuat informasi dapat diakses dengan media elektronik, sehingga para pengguna informasi menjadi semakin dekat dengan isu terkini.

Sorian and Baugh (2002) melakukan sebuah penelitian pada para pengambil kebijakan di sektor kesehatan Amerika. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa para pekerja yang lebih muda menyukai informasi dalam bentuk elektronik, sementara pekerja yang lebih tua menyukai informasi dalam bentuk kertas. Para profesional di kantor pemerintah lebih memilih informasi dari sumber yang dapat dipercaya, dan menurut mereka karyawan kantor pemerintah adalah kunci dari sumber data dan informasi. Format dari informasi juga penting bagi para responden. Mereka lebih memilih informasi dengan paragraf yang pendek dan format dalam bentuk diagram atau tabel yang lebih memudahkan mereka membuat kesimpulan dan keputusan.

Pemilihan media informasi yang dipercaya akan berbeda pada setiap individu. Informasi dalam bentuk elektronik dirasa canggih dan memudahkan untuk sebagian orang, namun juga masih jarang digunakan. Hal ini disebabkan karena pengguna kesulitan mencari kata kunci untuk informasi yang dibutuhkan, atau karena tidak bisa menggunakan alat tersebut secara teknis.

Dalam kehidupan direktur rumah sakit, pengambilan keputusan menjadi hal yang sangat penting dan kerap dilakukan. Fungsinya akan semakin penting bila itu berkaitan dengan perencanaan jangka panjang atau sebuah keputusan investasi. Parker (1989) memberikan gambaran perbedaan level manajemen. Dimana setiap level memiliki tanggung jawab yang berbeda sehingga jenis keputusan yang akan diambil pun akan berbeda.

  • Upper-level management : bertanggung jawab dalam mengarahkan masa depan organisasinya. Level ini lebih berkonsentrasi pada perencanaan strategik, menetapkan tujuan, serta merencanakan rencana jangka panjang organisasi.
  • Middle-level management : mengurus perencanaan taktis organisasinya, memastikan karyawan telah mengerjakan pekerjaanya dengan maksimal, serta mengontrolnya.
  • Lower-level management : mengerjakan rencana yang sudah ditargetkan oleh level atasnya.

art-24jun-1

Gambar 1. Level Management (Parker,1989)

Pengambilan keputusan melalui sebuah proses. Sementara itu ada beragam model proses pengambilan keputusan. Dalam gambar 2, Sauerborn, (2000) menggambarkan model pengambilan keputusan yang dimulai dari pengumpulan sumber-sumber yang akan memberikan data-data melalui prosedur tertentu. Data tersebut kemudian harus ditransformasikan menjadi sebuah informasi. Selanjutnya informasi ini kemudian digunakan dalam pembuatan keputusan.

art-24jun-2

Gambar 2. Idealized relationship between data, decisions, resourches, and programmes (Sauerborn,2000)

Model lain lagi yang disebut The Knowledge-driven model oleh Van Lohuizen (1986). Langkah pertama dari proses pengambilan keputusan adalah mengumpulkan data. Melalui sebuah proses seleksi dan reduksi data tersebut akan menjadi informasi. Pemrosesan dan analisis terhadap informasi akan menghasilkan pengetahuan yang baru. Pengetahuan ini selanjutnya diproses untuk memberikan pengertian yang mendalam. Setelah melewati proses justifikasi kemudian pengertian dapat memberikan arti dalam pembuatan keputusan.

art-24jun-3

Gambar 3. The Knowledge-driven Model of Decision-making (Van Lohuizen, 1986)

Proses pembuatan keputusan model klasik oleh Lasswell (1975) mengidentifikasikan tujuh langkah yang dimulai dari adanya masalah. Model ini menekankan pada kebutuhan mendesak yang harus diselesaikan dalam masalah yang dihadapi. Kebutuhan ini dimasukkan dalam daftar. Lalu dipilih perkiraan-perkiraan solusi. Setelah dipertimbangkan keuntungan dan kerugian dari pilihan-pilihan tersebut maka selanjutnya dipilih yang terbaik. Pilihan tersebut kemudian dilakukan, dimonitor, kemudian dievaluasi.

art-24jun-4

Gambar 4. The Classical Model of the Decision-making Process (Lasswell,1975)

Beberapa model yang digambarkan di atas hanya sebagian dari model pengambilan keputusan yang dapat diadopsi oleh seorang pengambil keputusan. Pada kenyataannya yang ditemukan seringkali tidak sesederhana bahwa ketika masalah datang dan banyak informasi dikumpulkan kemudian masalah dapat terpecahkan. Banyak hal dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan. Direktur rumah sakit ketika mengambil sebuah keputusan mungkin perlu mempertimbangkan kepentingan pemberi dana bagi rumah sakitnya, komunitas di sekitar rumah sakit, atau pendapat profesional lain. Seorang direktur rumah sakit mungkin kadang juga perlu berkaca pada pengalaman masa lalu sebelum mengambil keputusan. Lain lagi dengan direktur rumah sakit pemerintah yang banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik dalam mengambil keputusan. Beragam pengaruh tersebut dapat menjadi masalah sekaligus tantangan yang menarik bagi pengambil keputusan.

Oleh: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Pemerintah Amerika sejak tahun 1981 menerapkan The DRG-Based Prospective Payment System (PPS) dan tahun 1986 telah dilakukan evaluasi efek diagnosis sehubungan The DRG-Based Prospective Payment System (PPS) terhadap kualitas perawatan untuk pasien-pasien rawat inap Medicare. Prospective Payment System (PPS) yaitu cara pembayaran kepada rumah sakit berdasarkan jumlah yang sama rata untuk per pasien masuk (dirawat) yang dihitung masing-masing sekitar 470 grup berdasarkan diagnosis. Hasil setelah diterapkanya Prospective Payment System adalah (1) lama dirawat berkurang; (2) proses pelayanan perawatan yang lebih baik (misalnya perubahan dalam dokumentasi rekam medis, kemungkinan kecil mengalami bias untuk diagnosis dan terapi); (3) para profesional dapat meningkatkan perawatan yang diberikan; (4) mutu pelayanan medis meningkat baik dari rumah sakit, dokter, dan para petugas kesehatan lainnya; (5) meningkatnya ketidakstabilan pasien saat dipulangkan yang mana berisiko kematian lebih besar dan memerlukan lebih banyak dukungan keluarga; (6) berakibat negatif pada penurunan hasil keseluruhan perawatan pasien Medicare yang dirawat di rumah sakit.

Rekomendasi yang disarankan dalam penelitian Katherine et al (1990) adalah (1) Mengintensifkan upaya perbaikan dan pemantauan klinis untuk memastikan bahwa perubahan Prospective Payment System tidak berakibat negatif terhadap hasil perkembangan pasien; (2) Melakukan peninjauan implisit terstruktur (proses penanganan oleh dokter & asuhan keperawatan, kesesuaian penggunaan layanan rumah sakit, prognosis pasien, treatment dari kondisi pasien pencegahan kematian ketika terjadi, mutu hasil dan penilauan secara keseluruhan terhadap mutu pelayanan yang diberikan selama rawat inap) sebagai metode pengukuran mutu pelayanan medis yang dinilai baik untuk diberikan kepada pasien Medicare; (3) harus ada penilaian yang lebih sistematis mengenai kondisi pasien saat meninggalkan rumah sakit dan saat mendapatkan perawatan baik rawat jalan atau rawat inap di pelayanan kesehatan

Referensi :
Katherine L (1990). A Summary of the Effects of DRG-Based Prospective Payment System on Quality of Care for Hospitalized Medicare Patients.