Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Isu Universal Health Coverage (UHC) sebagai bentuk pemenuhan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negara menjadi salah satu topik yang banyak dibahas saat ini. Di Indonesia, Jaminan Kesehatan Nasional ini diimplementasikan dan diselenggarakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai dilaksanakan per 1 Januari 2014.

UHC dilaksanakan oleh banyak negara di belahan dunia dengan berbagai rentang waktu implementasi yang bervariasi. Di negara dengan penghasilan rendah dan menengah, dinamika yang harus dihadapi untuk mengimplementasikan UHC antara lain transisi epidemiologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan biaya kesehatan, dan pengurangan bantuan kesehatan internasional yang disebabkan karena penentuan ulang prioritas.

Respon dari beberapa negara terhadap tantangan ini berpusat pada aspek tenaga kesehatan. Kesesuaian antara kebutuhan layanan kesehatan penduduk dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten, termotivasi sesuai tujuan, terlatih merupakan dasar untuk mempercepat pencapaian UHC.

Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) menjadi salah satu aspek penting pada proses implementasi UHC. Campbell et al. menyampaikan bahwa sebagian dari keberhasilan negara-negara terletak pada fokus kebijakan terhadap tenaga kesehatan untuk memperluas cakupan populasi dan manfaat kesehatan.

  • Brazil
    Sejak ditetapkannya konstitusi pada 1988, Brazil berupaya secara progresif untuk mencapai UHC dengan mendirikan Sistema Único de Saúde (SUS) yaitu sistem pelayanan kesehatan terpadu berbasis pada penyediaan layanan masyarakat dan peningkatan akses untuk populasi yang 'kurang' terlayani.
    Beberapa program yang dilaksanakan Brazil untuk mencapai UHC, antara lain:
    • Pada tahun 1987 (sebelum SUS didirikan), Capacitação em Desenvolvimento de Re¬cursos Humanos diluncurkan untuk membangun kapasitas dalam pelatihan dan pengelolaan SDMK.
    • Pembentukan Programa de Qualificação e Estruturação da Gestão do Trabalho e da Educação no SUS (Proge¬-SUS), sebuah program untuk memperkuat SDMK dan secara umum adalah pengelolaan pelayanan kesehatan.
    • Tahun 2003 membentuk Programa de Incentivo a Mudanças Curriculares nos Cursos de Medicina (PROMED).
    • Tahun 2009 pembentukan Pro¬grama de Educação pelo Trabalho para a Saúde (PET-Saúde), sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan dan kualitas layanan untuk menjembatani kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan SDMK di bidang perawatan primer.

Pelaksanaan kebijakan dan program-program tersebut dalam kurun waktu 1990-2009 telah berhasil meningkatkan jumlah petugas kesehatan untuk perawat sebesar 500% dan dokter sebesar 66%. Antara tahun 2002 dan 2012 jumlah tim kesehatan keluarga menjadi dua kali lipat, dari 15.000 menjadi 30.000. Selain itu pada tahun 2013 akses ke unit kesehatan dasar mencapai 57% dari populasi. Selama periode yang sama angka kematian neonatal menurun dari 26,8 menjadi 9,7 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita 58 menjadi 15,6 per 1.000 kelahiran hidup.

  • Ghana
    Selama periode 1990-2009, pasokan tenaga kesehatan di Ghana meningkat pesat; bidan meningkat sebesar 185%, perawat meningkat 260%, dan dokter meningkat sebesar 1300%. Hal ini terjadi sejak adanya amandemen konstitusi di Ghana pada tahun 1992 untuk menjamin hak atas kesehatan, meningkatkan komitmen politik dan keuangan yang mendorong pasokan tenaga kesehatan, serta beberapa kebijakan yang diberlakukan pada tahun-tahun berikutnya.
    Pencapaian kesetaraan dalam akses dan penggunaan layanan menjadi tantangan penting. Sebagian besar pengeluaran belanja kesehatan nasional yakni sekitar 85% digunakan untuk gaji tenaga kerja kesehatan dan insentif, langkah-langkah yang diambil pada kurun 1990-2009 telah mengurangi gesekan tenaga kerja, meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga pelatihan kesehatan dan meningkatkan jumlah dan distribusi tenaga kesehatan.

  • Meksiko
    Kebijakan dan program yang dijalankan di Meksiko menghasilkan peningkatan tenaga kesehatan yang besar. Hal ini dimulai dengan reformasi sektor kesehatan pada 1995 (kurun waktu 1995-2000) dengan didirikannya lembaga pendidikan untuk pelatihan sumber daya manusia dan meningkatkan jumlah tenaga kesehatan nasional.
    Program perluasan cakupan dimulai tahun 1996 dengan penanganan akses bagi ribuan tenaga kesehatan untuk melayani daerah yang belum terlayani, remunerasi bagi staf diawal program mendapat bantuan dari American Development Bank, namun pada fase selanjutnya dialokasikan dari program.
    Berbagai program juga dicanangkan untuk mencapai UHC, diantaranya pada tahun 2003, dibentuk Sistema de Protección Social en Salud (Sistem Perlindungan Sosial dan Kesehatan) dan Seguro Popular de Salud (Asuransi Kesehatan Popular) dengan hasil yang menggembirakan di semua domain yakni availability, accessbility, acceptibility, dan quality.
    Jumlah perawat dan dokter meningkat selama kurun waktu 1990-2009 dan pada periode yang sama, angka kematian bayi dan kematian balita mengalami penurunan lebih dari setengahnya: 32,6-14,6 per 1.000 kelahiran hidup dan 41-17,8 per 1.000 kelahiran hidup, namun angka kematian ibu berfluktuasi selama periode tersebut tetapi secara keseluruhan berkurang lebih dari 50%.

  • Thailand
    Di Thailand berbagai kebijakan dan program terkait SDMK selama kurun waktu 1990-2009 menjadi tonggak yang memiliki pengaruh nyata pada kesuksesan Thailand. Berbagai kebijakan yang terpengaruh oleh keputusan penting yang dibuat pada tahun 1970-an antara lain; kebijakan tentang penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin, pelayanan kesehatan dasar di tingkat distrik yang dapat dilaksanakan karena adanya kebijakan tenaga kesehatan yang komperehensif di tahun 1995, serta berbagai revisi kebijakan pada tahun 1997 dan 2005.
    Beberapa kebijakan yang diadopsi pada tahun 1994-2009, menekankan pada refleksi dan perbaikan berkelanjutan, peningkatan kualitas: pengembangan dan penguatan konsil profesi, regulasi terhadap kurikulum yang standar dan kualitas lembaga pelatihan, lisensi dan re-lisensi petugas.
    Pada 1991-2009 peningkatan secara menyeluruh untuk perawat (210%) dan dokter (186%) melampaui pertumbuhan penduduk (13%), dan dimensi aksesibilitas lebih meningkat.

Pengalaman di empat negara (Brazil, Ghana, Meksiko, dan Thailand) dalam upaya pencapaian UHC dilakukan melalui penerapan kebijakan dan program yang beragam. Campbell et al., menginformasikan bahwa pengambilan keputusan pada aspek SDMK telah mendukung UHC seperti :

  • Keberhasilan dalam pemberian prioritas yang memadai untuk SDMK tergantung pada kepemimpinan politik dan komitmen multisektoral, perundangan dan regulasi, melalui instrumen pemerintahan yang masuk akal dan konsisten
  • Strategi dan tindakan di setiap dimensi availability (misal: persediaan, produksi), accessbility (misal: spasial, temporal, dimensi keuangan), acceptability (misalnya: gender, sosial budaya), dan quality (misalnya: kompetensi, regulasi) dari SDMK telah membawa perbaikan dalam kualitas pelayanan dan jangkauan yang efektif dan ini telah memberikan hasil pelayanan kesehatan yang lebih baik
  • Keberhasilan yang dicapai oleh empat negara (Brazil, Ghana, Meksiko, Thailand) menggambarkan pencapaian yang dapat direalisasikan melalui kemitraan, baik dari dalam maupun luar sektor kesehatan: lembaga publik dan swasta, pendidikan, tenaga kerja dan keuangan; pemerintah dan mitra pengembangan, pemerintah federal, negara bagian dan distrik; kesehatan pekerja dan konsumen; asosiasi profesional dan tenaga kesehatan

Sumber:

  1. Campbell, James et al. (2013). Human Resources for Health and Universal Health Coverage: Fostering Equity and Effective Coverage. Bull World Health Organ 2013;91:853–863
  2. Pusat Komunikasi Publik. (2012). Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.

Oleh : Lucia Evi Indriarini, SE (Peneliti Divisi Mutu PKMK FK UGM)

Memberikan peningkatan kualitas dan keamanan kesehatan selalu menjadi tantangan dunia internasional. Dunia internasional telah menggunakan metode PDSA sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas mutu kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya artikel yang telah dipublikasikan beberapa negara maju dan berkembang yang menggunakan PDSA untuk menyelesaikan masalah kesehatan.

Metode PDSA ini dikembangkan oleh Deming dan Shewart tahun 1986 dari industri manufaktur yang dikenal dengan metode plan-do-check-action (PDCA). Pada 1996, Langley mengembangkan metode PDCA sebagai metode yang bisa digunakan dalam konteks kesehatan. Sekarang PDCA telah menjadi metodologi ilmiah yang diperkenalkan oleh Speroff dan O'Connor tahun 2004 dengan nama metode plan-do-study-action (PDSA). PDCA dan PDSA memiliki siklus yang berbeda, seperti pada tabel dibawah ini:

gb-13-1

Siklus PDSA menggunakan empat tahap pendekatan. 1). Plan adalah mengidentifikasi tahap perubahan untuk perbaikan; 2). Do adalah tahap menguji perubahan yang telah dilakukan; 3). Study adalah tahap meneliti keberhasilan perubahan; 4). Act adalah tahap mengidentifikasi adaptasi dan menginformasikan siklus baru.

Perlu dipahami bahwa penggunaan Siklus PDSA mempunyai intervensi yang kompleks dan dipengaruhi oleh konteks lokal. Intervensi yang kompleks menyebabkan pelaporan atau dokumentasi yang dilakukan tidak lengkap. Hasil sistematika review jurnal menunjukkan bahwa dari 73 artikel yang masuk kriteria inklusi sebanyak 47 artikel yang melaporkan siklus PDSAnya secara rinci, kurang dari 20% artikel yang melaporkan penggunaan siklus berulang, dan 15% yang melaporkan perkembangan penggunaan siklus PDSA. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kerangka teoritis yang dikembangkan oleh Michael dan tim untuk menilai penerapan siklus PDSA seperti pada tabel dibawah ini:

gb-13-1

Saat ini belum ada kriteria formal untuk mengevaluai aplikasi atau pelaporan siklus PDSA yang ada. Oleh karena itu, pedoman pelaporan perlu dibuat untuk mendukung pelaporan yang sistematis dan penggunaan PDSA yang tepat. Pedoman pelaporan PDSA dapat meningkatkan legitimasi ilmiah.

Pedoman pelaporan memungkinkan transparansi mengenai isu-isu kesehatan sehingga dapat membangun pengetahuan tentang bagaimana menggunakan metode PDSA efektif dan prinsip-prinsip untuk meningkatkan peluang keberhasilan. Metode PDSA diharapkan dapat diterapkan sesuai dengan pedoman siklus yang disusun oleh pendiri, metode PDSA harus diterapkan dengan konsistensi yang lebih besar dan lebih besar.

Sumber : Michael J.Taylor, dkk. 2013. Systematic review of the application of the plan-do-study-act method to improve quality in healthcare. BMJ Quality and Safety Online.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH (Peneliti Divisi Mutu PKMK FK UGM)

Akses ke pelayanan kesehatan merupakan pusat dari penyelenggaraan sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Hal ini penting karena pengukuran kegunaan dan akses dalam pemberian pelayanan merupakan bagian dari sistem kebijakan kesehatan yang ada. Meskipun demikian, akses masih dianggap gagasan yang kompleks dimana ada beragam interpretasi dari banyak ahli.

Dalam pelayanan kesehatan, akses biasanya didefinisikan sebagai akses ke pelayanan, provider dan institusi. Menurut beberapa ahl,i akses lebih daripada pelengkap dari pelayanan kesehatan karena pelayanan dapat dijangkau apabila tersedia akses pelayanan yang baik. Sementara umumnya para ahli menyadari bahwa karakteristik pengguna mempengaruhi karakteristik provider dalam memberikan pelayanan. Atau dengan kata lain, akses ke pelayanan terbentuk dari hubungan antara pengguna dan sumber daya pelayanan kesehatan.

Akses bisa dilihat dari sumber daya dan karakteristik pengguna. Namun, dalam rangka meningkatkan pelayanan jangka pendek, sumber daya yang memegang peranan penting. Pada umumnya, permasalahan harga, waktu transportasi dan waktu tunggu lebih direspon secara spesifik daripada permasalahan karakteristik sosial ekonomi masyarakat seperti pendapatan, sarana transportasi dan waktu luang. Akses merupakan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Akses bisa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan, mencari dan mendapatkan sumber daya dan menawarkan pelayanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Dari sisi provider, terdapat lima dimensi dari akses yaitu :

  1. Kedekatan, pengguna mendapatkan pelayanan kesehatan yang bisa diidentifikasi dalam bentuk keberadaan pelayanan, bisa dijangkau dan berdampak pada kesehatan pengguna.
  2. Kemampuan menerima, berhubungan dengan faktor sosial budaya yang memungkinkan masyarakat menerima pelayanan yang ditawarkan.
  3. Ketersediaan, mengacu pada pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau kapanpun dan dimanapun. Ketersediaan tidak hanya secara fisik, namun secara sumber daya mampu memberikan pelayanan sesuai kemampuan.
  4. Kesangguapan pengguna, mengacu pada kemampuan dari pengguna untuk menggunakan fasilitas kesehatan secara ekonomi maupun sosial,
  5. Kesesuaian, mengacu pada kesesuaian antara pelayanan yang diberikan dan kebutuhan dari pengguna.

Selain itu, akses ke pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh kemampuan pengguna diantaranya:

  1. Kemampuan menerima (kepercayaan dan harapan)
  2. Kemampuan mencari (nilai sosial, budaya dan gender)
  3. Kemampuan menjangkau (lingkungan tempat tinggal, transportasi dan dukungan sosial)
  4. Kemampuan membayar (pendapatan, asset dan asuransi)
  5. Kemampuan ikut serta (ketaatan, support)

Seluruh kemampuan itu saling berhubungan baik dari provider maupun pengguna, sehingga bisa dikatakan akses merupakan keterkaitan dari faktor-faktor tersebut. Provider sebagai penyedia layanan harus mempertimbangkan karakteristik dari calon pengguna misalnya pendapatan, kemampuan membayar, lokasi tempat tinggal dan lain-lain. Karakteristik pengguna dipengaruhi oleh hal yang lebih luas misalnya nilai-nilai dalam keluarga, nilai-nilai dalam organisasi, nilai-nilai budaya dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Meskipun pengguna memiliki pengetahuan yang benar tentang pelayanan kesehatan, tidak dipungkiri nilai-nilai tersebut juga memberikan sedikit dampak kepada pengguna dalam mengambil keputusan menggunakan pelayanan kesehatan. Nilai-nilai tersebut bisa berasal dari rumah tangga dan lingkungan tempat tinggal.

Pelayanan kesehatan yang dinikmati oleh masyarakat sebenarnya merupakan cerminan karakteristik demografi, sosial dan ekonomi maupun karakteristik sistem kesehatan dan lingkungan dimana mereka tinggal.

Bagaimana di Indonesia? Indonesia merupakan negara kepulauan dengan masyarakat yang heterogen, sehingga layanan kesehatan yang disediakan oleh provider seharusnya mempertimbangkan keadaan ini. Dengan kondisi geografis yang beragam dan penyebaran fasilitas kesehatan yang tidak merata tentunya masalah akses merupakan hal yang penting untuk diselesaikan demi memberikan pelayanan yang bermutu bagi seluruh masyarakat.

Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah akses, perlu kombinasi dari karakteristik pelayanan, provider dan sistem yang sejalan dengan karakteristik pengguna, rumah tangga dan kemampuan dari masyarakat.

Sumber: Levesque, J,., Harris, M., & Russell, G. 2013. Patient-centred Access To Health Care: Conceptualising Access at The Interface of Health Systems and Population. International Journal for Equity in Health.

Oleh : Dedison Asanab, S.KM (Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana)

Seiring perkembangan dunia kesehatan yang semakin pesat dan kebutuhan akan pelayanan yang aman serta bermutu, banyak pemerintah di dunia mulai menempatkan mutu pelayanan kesehatan sebagai hal yang vital. Dua isu utama yang sering menjadi fokus ialah keselamatan pasien dan efektivitas pelayanan. Maka, diperlukan dewan/board khusus di sektor kesehatan sebagai penentu atau pencetus peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Banyak hasil penelitian menunjukan bahwa RS dengan dewan kesehatan yang aktif dalam mengagendakan program-program peningkatan mutu memiliki quality improvement yang tepat sasaran dengan hasil yang baik di banyak indikator. Sebaliknya, dewan yang tidak aktif, diidentifikasikan menjadi salah satu penyebab kegagalan dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Seperti penelitian di Inggris dan Australia yang menunjukan bahwa dewan kesehatan memiliki peranan penting dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Saat ini, penelitian maupun project peningkatan mutu lebih banyak menitikberatkan pada klinisi dan staf management sedangkan dewan kesehatan diabaikan. Kemudian, dewan kesehatan di beberapa negara merasa kurang diberi pengetahuan mengenai quality improvement dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, beberapa negara sudah membuat dokumen guideline khusus untuk mengatasi masalah tersebut.

Sebuah studi kualitatif di Victoria, Australia bisa menjadi contoh bagi kita. Di Victoria, Australia terdapat 85 unit pelayanan kesehatan masyarakat yang semuanya memiliki dewan kesehatan. Para dewan kesehatan ini bertugas untuk memastikan efektifitas dan akuntabilitas sistem pelayanan dan mengidentifikasi berbagai masalah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Setiap dewan memiliki 6-12 anggota yang bersifat independen, ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan dengan kontrak 3 tahun kerja dan kemungkinan untuk diperpanjang pada periode selanjutnya. Anggota dewan yang bertugas di daerah metropolitan dan regional yang luas mendapatkan gaji sedangkan di daerah subregional dan rural bekerja sebagai volunteer. Masing-masing dewan diharuskan untuk membentuk komite mutu, seperti komite penanganan resiko dan komite audit.

Selama 10 tahun terakhir banyak perubahan pada dewan kesehatan ini. Pada awalnya mereka tidak begitu peduli dengan isu peningkatan mutu namun seiring dengan berjalannya waktu kini mereka lebih memperhatikan tentang peningkatan mutu. Mereka berpendapat bahwa mutu pelayanan merupakan suatu proses yang terus berkembang. Menetapkan prioritas menjadi hal yang harus dilakukan untuk memastikan arah dari peningkatan mutu pelayanan. Selain itu, pengukuran dan monitoring yang efektif juga menjadi critical factor disamping memastikan akuntabilitas dari para pelaku pelayanan kesehatan serta budaya kerja yang terbuka dan transparan.

Dalam perjalanannya, ada beberapa masalah yang sering dihadapi oleh para dewan kesehatan. Beberapa diantaranya adalah sumber daya yang dirasa kurang dan kebutuhan akan networking antara sesama anggota dewan untuk berdiskusi dan berbagi masih minim. Beberapa anggota dewan kesehatan merasa topik tentang mutu jarang diangkat pada pertemuan antara sesama anggota. Selain itu, masalah skill dan pengalaman juga menjadi perhatian utama. Banyak anggota dewan kesehatan yang kurang mendapat pelatihan mengenai mutu yang bisa diakses oleh semua anggota. Serta masalah akses informasi dan beberapa regulasi eksternal yang dinilai membebani dan tidak sejalan dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Dewan kesehatan memegang peranan penting dalam membentuk kepemimpinan, akuntabilitas, dan budaya organisasi agar staf atau pelaku pelayanan dapat menyediakan pelayanan yang efektif dan efisien serta bermutu. Oleh karenanya perhatian untuk dewan kesehatan perlu ditingkatkan. Pelatihan mengenai isu-isu mutu terkini harus diberikan dan bisa diakses oleh semua anggota dewan kesehatan. Selain itu, untuk menemukan masalah dan menjamin terselenggaranya pelayanan yang bermutu perlu monitoring dan evaluasi dengan pengukuran yang continue, akurat, dan relevan. Kemudian perlu juga koordinasi yang baik antara pusat dan daerah baik itu akses data, regulasi, dan lain sebagainya.

Dewan kesehatan mempunyai tugas untuk memastikan penyelenggaraan sistem pelayanan kesehatan yang efektif demi terselenggaranya pelayanan yang bermutu. Sehingga sangat penting untuk mendukung tugas dari para dewan ini untuk terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu.

Sumber : Bismark, M and Studdert, D. 2013. Governance of Quality of Care : A Qualitative Study of Health Service Boards in Victoria, Australia. BMJ Quality and Safety Online.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe., SKM (Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana)