Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Upaya menurunkan AKI masih harus melalui jalan yang terjal. Terlebih bila dikaitkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 karena waktu yang tersisa hanya tinggal satu tahun ini. Sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa dan perbaikan kualitas layanan agar dapat menekan tingginya AKI. Kualitas pelayanan bayi baru lahir tidak terlepas dari dukungan dan ketersediaan peralatan esensial neonatal care, kelengkapan obat-obatan, ketersediaan staf, pelatihan dan keterampilan staf. Sama seperti yang terjadi di negara yang berpenghasilan rendah seperti Ghana. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia terutama di wilayah sulit seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di prediksikan bahwa hanya sekitar 33,2%1 bayi yang lahir dengan akses fasilitas yang baik. Demikian pula dengan pelatihan penggunaan fasiltas pelayanan dasar yang diprediksikan hanya berdampak kecil terhadap penyediaan kualitas layanan. Artikel yang disajikan oleh Linda Vesel dkk lebih cenderung melihat bagaimana kualitas pelayanan bayi baru lahir dilihat dari pemberi layanan yang dibagi menjadi tujuh tipe yakni: Regional Hospital, RSUD, RS lainnya, RS Swasta, Puskesmas, Klinik dan rumah bersalin.

Dalam penelitiannya, tim peneliti ingin melihat apakah aspek-aspek dibawah ini tersedia pada tujuh level pelayanan yang ada di Ghana, seperti:

  1. Aspek infrastrukutur
    Pelayanan ini lebih fokus untuk melihat (1) ketersediaan air bersih, (2) Ketersediaan listrik, (3) Tempat untuk menyimpan alat kesehatan (kulkas), (4) Bak cuci dan sabun pencuci tangan. Semua indikator di atas sudah tersedia pada level Region hospital, RSUD dan RS Swasta.
    Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia khususnya di wilayah NTT. Di level RSUD masih sering ditemukan permasalahan terkait dengan ketersediaan air bersih maupun kecukupan listrik yang masih menjadi kendala. listrik yang digunakan oleh RSUD bukanlah dari gardu tersendiri sehingga ketika lampu mati pada wilayah tersebut akan langsung berpengaruh ke rumah sakit, sedangkan respon time untuk menyalakan getset terbilang masih cukup lama. hal ini akan langsung berpengaruh terhadap keawetan alat-alat kesehatan yang dimiliki. Demikian pula halnya dengan kulkas yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan alat kesehatan juga masih sering disalahgunakan oleh beberapa RSUD sebagai tempat untuk menyimpan makanan dll. Wastafel sudah mulai di modifikasi oleh pihak RSUD untuk menggunakan wastafel dari ember namun masih terkendala pada kesadaran petugas kesehatan untuk mencuci tangan untuk mencegah infeksi, hal ini terbukti dari tingginya angka sepsis di beberapa RSUD di NTT 2.

  2. Aspek kemampuan pelayanan dasar untuk bayi baru lahir untuk semua level pelayanan dibagi menjadi 3 bagian yakni:
    1. Ketersediaan pelayanan resusitasi yakni tersedianya tas dan masker, oksigen silinder dan aspirator.
    2. Pelayanan bayi BBLR dan masalah pemberian makanan yakni tersedianya inkubator, timbangan bayi dan gelas untuk mengukur air susu.
    3. Umum yakni ketersediaan cairan intravena dan setelan infus. 

      Hasil yang didapatkan dalam penelitian1 menyatakan bahwa kecuali RSUD dan RS swasta selain itu tidak memiliki tas dan penutup wajah untuk resusitasi. Berbeda halnya dengan rumah bersalin yang memiliki peralatan resusitasi yang lebih spesifik dibandingkan dengan klinik meskipun terlepas dari itu mereka sama-sama memiliki timbangan bayi BBLR. Meskipun demikian 1 dari 4 RSUD di sana tidak memiliki inkubator yang dapat berfungsi dan 2 RSUD tidak memiliki cups untuk mengukur air susu. Dan untuk ketersediaan cairan intravena dan setelan infus tersedia pada semua jenis fasilitas pelayanan yang ada.

      Hampir sama dengan ketersediaan alat esensial seperti Inkubator, di wilayah NTT terutama di kabupaten masih kekurangan bahkan lebih ekstrim karena ada RSUD yang menaruh 2 bayi kedalam 1 inkubator, hal ini pernah terjadi karena minimnya peralatan kesehatan. Dalam penelitian lain2 juga dikemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk menunjang pelayanan dasar ponek di RSUD yakni penyediaan alat emergency yang memadai, penyediaan CPAP/ ventilator, penyediaan inkubator, penyediaan oksigen sentral, penyediaan injeksi phenobarbital.

  3. Aspek ketersediaan obat dasar untuk bayi baru lahir yang sakit dibagi menjadi 3 bagian yakni:
    1. Manajemen sepsis yakni dengan penyediaan intramuscular ampicillin dan intramuscular gentacimicin
    2. Manajemen convulsion yakni dengan penyediaan intravenous diazepam
    3. Pencegahan permasalahan pernafasan yakni dengan penyediaan intramuscular dexametazon.

      Pada pelayanan regional hospital dan RSUD sudah menyiapkan semua jenis obat yang dibutuhkan untuk pelayanan anak namun hanya 1 RSUD saja yang tidak memiliki dexametazon. Untuk ketersediaan diazepam juga sudah di stok bahkan oleh rumah bersalin maupun klinik. Bahkan untuk pelayanan dengan fasilitas yang rendah sudah memiliki kecukupan ampicillin sebagai antibiotika namun berbeda halnya dengan di Indonesia dimana kecukupan obat masih menjadi kendala baik dari ketersediaan obat maupun cara pemeliharaan obat. Pentingnya melakukan pengawalan dalam pengadaan obat di RSUD perlu diperhatikan agar obat-obat yang sudah dipesan benar-benar digunakan dan bermanfaat bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Referensi:

  1. Linda vessel, Alexander Manu, Terhi J Lahela etc, Quality Of Newborn Care: A health facility assessment in rural Ghana using survey, vignette and surveillance data.
  2. Laksono Trisnantoro, Hanevi Djasri, Puti A Rahma, Muhammad Hardhantyo, Evaluasi Mendalam Hasil Audit Maternal Perinatal di 3 RSUD Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Penulis : Andriani Yulianti SE.,MPH

Penerapan Kartu Jakarta Sehat yang mengakibatkan lonjakan kunjungan RS di ibukota menjadi sesuatu yang menarik. Di satu sisi hal ini menjadi cerminan "keberhasilan" program ini yang membuat tidak ada lagi pihak (baca: orang miskin) yang takut datang berobat karena tingginya pembiayaan kesehatan. Tetapi di sisi lain ini juga masih menjadi gambaran buruknya sistem rujukan berjenjang. Puskesmas dianggap kurang bisa memenuhi sebagian harapan masyarakat sehingga dalam hal ini Puskesmas seakan tidak menjadi bagian penting dalam sistem pelayanan kesehatan di Jakarta. Padahal kondisi puskesmas kecamatan di DKI yang semuanya sudah meraih sertifikasi international dalam manajemen mutunya (ISO 9001:2000 maupun ISO 9001 :2008).

Bila kondisi di ibukota negara dalam penerapan KJS mempunyai masalah seperti ini, maka bagaimana gambaran saat diterapkannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di pedalaman Kalimantan, Papua, Maluku serta berbagai daerah lain yang masuk kategori daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan (DPTK)? Bagaimana kira-kira tools yang tepat dalam meng-upgrade mutu pelayanan kesehatan di tempat-tempat tersebut?

Untuk daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan masalah mutu juga tetap harus dipikirkan walaupun tentu saja agak berbeda pendekatannya. Tools yang dipakai disesuaikan dengan anggaran yang ada walaupun tentu saja input minimal juga harus dipenuhi. Dalam hal ini maka penerapan sistem 5R bisa menjadi alternatif, di samping sistem lain yang tidak terlalu butuh anggaran yang besar seperti sistem berbasis keluhan pelanggan.

Dalam hal 5R maka penulis pernah melihat secara langsung penampilan puskesmas yang menerapkan hal tersebut. Penampilan fisiknya tidak berbeda jauh dengan penampilan puskesmas yang sudah menerapkan Sistem Manajemen Mutu di sekitarnya. Pada tahun 2012, Puskesmas Gamping II serta Puskesmas Berbah di Kabupaten Sleman, provinsi DIY sudah membuktikan bahwa puskesmas yang belum menerapkan SMM pun mampu tampil sejajar dengan puskesmas lain yang sudah menerapkan SMM di sekitarnya.

Tentu saja ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan dalam hal dokumentasi antara dua model puskesmas yang sudah menerapkan SMM dan yang belum. Tetapi dalam hal kenyamanan, keteraturan ruang kerja serta lingkungan secara sekilas tidak banyak bedanya. Dalam hal 5R justru yang dibutuhkan adalah komitmen manajemen puncak dalam hal ini adalah kepala puskesmas.

Sistem 5 R

Dalam bahasa Indonesia 5R ialah Ringkas , Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. Sebenarnya 5R adalah sebuah manajemen yang mengatur dan mengurus terkait kerapian dan keteraturan rumah (housekeeping). Sebuah kaidah yang sederhana yang cukup bagus dari negeri Jepang dalam pengaturan, pemeliharaan sebuah rumah yang dapat juga dipakai untuk tempat lain maupun kantor. Dalam bahasa aslinya kaidah ini berasal dari kata-kata : Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke (yang disingkat 5 S) dengan penjelasan sebagai berikut:

  1. Ringkas (Seiri), yaitu memilah barang berdasarkan kegunaannya apakah masih layak pakai atau tidak. Menyisihkan barang yang sudah tidak layak untuk dibuang maupun disingkirkan. Pada Seiri, terdapat satu tempat untuk semua barang dan setiap barang dianggap mempunyai tempatnya masing-masing;
  2. Rapi (Seiton),Barang akan disusun berdasarkan fungsi. Semua barang harus diberi label untuk memudahkan identifikasi. Seiton juga mengharuskan barang yang dipinjam harus dikembalikan pada tempat semula;
  3. Resik / Bersih (Seiso), Pada kegiatan ini prinsipnya adalah kebersihan harus dijaga. Untuk menjaga kebersihan ini ada 3 tahap yaitu tahap pertama dimana kebersihan akan dilakukan secara menyeluruh. Pada tahap keduanya tahap pemeliharaan yaitu harian yang dikerjakan kurang lebih 5 menit dalam sehari. Tahap ketiga adalah berkala seperti mingguan (Jumat atau Minggu Bersih) atau bulanan. Pada Seiso terlihat bahwa kebersihan tempat kerja bukan hanya tangung jawab seorang petugas Cleaning Service saja. Tetapi tanggung jawab semua petugas termasuk manajemen puncak;
  4. Rawat (Seiketsu), yaitu memperbaiki dari segi visual dan juga adanya standarisasi ;
  5. Rajin (Shitsuke) yaitu pembentukan kebiasaan petugas yang berdisiplin dan taat pada ketentuan yang telah disepakati.

Beberapa negara yang mengadop kaidah ini cukup sukses dalam penerapannya, seperti di Malaysia dan Philippine. Belajar dari negara Malaysia, sistem 5 S itu menjadi standar mutu tersendiri. Di sana 5S diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu berurutan menjadi Sisih, Susun, Sapu, Seragamkan, dan Senatiasa amalkan. Di sana semua instansi kesehatan sudah mengamalkan 5 R ini bahkan pada klinik desa di tengah perkebunan sawit sekalipun maupun di pedalaman negara bagian Sabah. 5 R membuat kantor yang dari luar terlihat sederhana atau bahkan bangunan lama tetapi didalamnya justru sangat teratur, bersih, rapi dan yang jelas akan memuaskan pelanggan.

Selain menjadi bagian dari mutu tersendiri, ternyata 5R juga diperlombakan baik di tingkat negeri /negara bagian maupun tingkat Negara. Sehingga dengan adanya kompetisi tersebut akan memacu semua fasilitas kesehatan baik klinik kesehatan, rumah sakit dan kantor dinas kesehatan untuk berbenah dan mengikuti lomba dan dengan sendirinya proses 5R di instansi tersebut juga akan diusahakan untuk diterapkan.

Efeknya sungguh sangat luar biasa. Di negara tetangga semua fasilitas kesehatan di berbagai tingkatan mempunyai penampilan yang sangat standar : bersih, indah dan rapi. Sehingga tidak heran juga bahwa banyak pasien di daerah perbatasan kita lari mencari pengobatan ke negeri tetangga karena bagi sebagian pasien situasi faskes yang demikian akan menjadi sugesti tersendiri bagi kesembuhannya.

Sebaliknya di negara kita sendiri walaupun beberapa waktu yang lalu jargon 5 R banyak terlihat di fasilitas kesehatan namun entah mengapa hal ini sekarang ini seakan menjadi kata-kata biasa yang cenderung kehilangan makna. Di sisi lain banyak yang menganggap mutu layanan hanya dapat diraih dengan sertifikasi dan akreditasi. Jangankan di DPTK, upaya menjadikan world class health care juga masih banyak terkendala di RS di kota-kota besar.

Mudah dan Murah

5R adalah pekerjaan yang "ketok mata" - istilah dalam bahasa Jawa yang secara leksikal berarti "kelihatan oleh mata" - yang menggambarkan hal atau pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilakukan karena tidak ada kesulitan yang berarti. Semua tergambar dengan jelas. Sehingga sangatlah mudah untuk dilakukan. 5R juga relatif tidak memakan biaya / murah. Padahal banyak sistem penerapan mutu di lingkungan pelayanan kesehatan yang rata-rata berbiaya mahal seperti sertifikasi internasional dan akreditasi sejatinya tetap membutuhkan 5 R dalam implementasinya. Masalahnya masyarakat kita masih cenderung menghargai sesuatu yangmahal dan bergengsi. Sehingga 5R yang sesungguhnya relatif murah dan mudah penerapannya, menjadi "tidak laku".

Di samping itu mindset lama bahwa, bahwa fasilitas standar milik pemerintah dianggap sudah cukup untuk tampil seadanya dengan WC nya yang bau, ruangan yang kurang terawat serta halaman yang masih penuh dengan sampah. Kerapian, kebersihan dan kenyamanan seringkali masih ditafsirkan bahwa kondisi itu hanya menjadi hak pasien yang menikmati fasilitas mahal saja (poor quality for poor people). Dalam hal iniseringkali disebabkankurangnya komitmen petugas sendiri. Komitmen untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Dalam perjalanan menuju era JamKesNas maka mindset yang kurang pas seharusnya pelan-pelan harus dikikis. Saat JKN diterapkan maka keluhan pelanggan bisa jadi akan meningkat sebagai konsekuensi naiknya jumlah kunjungan secara drastis. Penerapan 5R setidaknya akan mengurangi keluhan pelanggan di sisi yang selalu dilihat pasien saat pertama kali datang ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain seperti kebersihan dan kerapian. Menurut hemat penulis sudah saatnya perlu dilakukan percepatan rekayasa mutu fasilitas kesehatan khususnya di DTPK. 5R bisa menjadi salah satu alternatifnya.

Penulis : Tri Astuti Sugiyatmi (Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Peneliti di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, FK UGM)

Telah terbit Keputusan Menteri Kesehatan No 455 Tahun 2013 tentang Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Dalam putusan tersebut menjelaskan bahwa Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES), Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI) merupakan Forum asosiasi fasilitas kesehatan yang akan melakukan negosisasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

Keputusan ini menjadi pembahasan seluruh organisasi profesi di Indonesi karena di dalam proses tersebut, hampir tidak melibatkan organisasi profesi dalam menyusunnya. Sehingga Organisasi profesi mempertanyakan mengapa tidak organisasi profesi yang betul-betul sudah jelas, jelas organisasinya, legalitasnya, alamatnya dari pusat sampai cabang dibandingkan organisasi tersebut yang baru di awal," Ujar Drs. Saleh Rustandi selaku wakil IAI Pusat.

Forum asosiasi fasilitas kesehatan bertugas (1) melakukan negosiasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengenai besaran pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan penyelenggara jaminan kesehatan nasional dan (2) mensosialisasikan hasil kesepakatan besaran pembayaran kepada anggota masing-masing.

Dan Forum ini mempunyai fungsi (1) memberikan masukan dan pertimbangan kepada Menteri Kesehatan tentang besaran pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan dan (2) menyelenggarakan rapat forum sesuai kebutuhan.

Dalam acara Seminar peran sektor farmasi dalam jaminan kesehatan nasional yang diadakan pada 21 Desember 2013, Drs. Bayu Tedja Muliawan, M.Farm, MM, Apt selaku Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mengatakan "permenkes 455 itu menjadi usulan juga dari Prof budi yaitu asosiasi fasilitas kesehatan dalam berdiskusi yang diajak berdiskusi adalah faskes. itu mengajak organisasi profesi. Jadi sudah agak diubah yaitu mengajak organisasi profesi dalam membuat kebijakannya". (NAS)

Keputusan Menteri Kesehatan No 455 Tahun 2013 bisa di Download disini

Kasus dr. Ayu dkk merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia karena hal ini jarang terjadi. Tidak ada satu pun dokter yang dengan sengaja ingin menyelakai pasiennya. Namun Indonesia merupakan negara hukum. Negara juga menjamin adanya prinsip persamaan di muka hukum yang artinya tidak ada satu pun warga Indonesia yang dapat kebal hukum. Namun sebenarnya prinsip equality before the law tidak berlaku mutlak yang artinya prinsip tersebut dapat dibuat pengecualian melalui peraturan perundangan-undangan." Ujar Supriyadi, SH, M.Hum

Dasar Putusan kasasi MA adalah pasal 359 KUHP yang mengandung tiga unsur yaitu barangsiapa, karena kealpaannya, menyebabkan orang lain mati dan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau 1 tahun kurungan. Maksud unsur "barangsiapa" adalah menunjuk pada orang/manusia bukan badan usaha atau korporasi. Sehingga bila yang didakwahkan adalah pasal 359 KUHP maka tidak mungkin bila rumah sakit yang ingin dipidanakan. Untuk melihat unsur "kealpaan" adalah tidak mudah dan pembuktiaannya tidak mungkin dilakukan secara fisik maupun psikis karena menyangkut sikap batin maka dilakukan secara normatif.

Pada kasus dr. Ayu dkk terjadi disparitas (perbedaan putusan) antara Pengadilan Negeri (PN) Manado dan Mahkamah Agung (MA). PN Manado memutus bebas dan MA memutus dipidana. Yang menarik dalam kasus ini adalah penuntut umum tidak menempuh upaya banding karena aturan main di KUHP, putusan bebas tidak bisa dimintakan banding. Melainkan penuntut umum menempuh kasasi langsung ke MA. Sebenarnya putusan bebas tidak bisa dimintakan kasasi (pasal 244 KUHP) tetapi praktek yang berjalan ternyata MA menerima kasasi putusan bebas. Akhirnya, pasal 244 dimintakan judicial review ke MK. Dan pada tanggal 28 Maret 2013 menyatakan putusan bebas bisa dimintakan kasasi.

Menurut Dosen Bagian Hukum Pidana FH UGM ini, upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia yaitu mendorong DPR RI untuk merevisi UU Kesehatan atau UU Praktek Kedokteran untuk memasukkan dua hal meliputi

  1. Ketentuan pasal 359 KUHP direformulasi kembali di dalam UU Praktek Kedokteran atau UU Kesehatan agar kejadian seperti kasus dr. Ayu dkk merupakan tindak pidana khusus. Harapannya agar masuk dalam peraturan perundang-undangan khusus supaya nantinya bisa ditangani oleh orang yang memang ahlinya
  2. Mengenai pengadilannya bisa menggunakan majelis khusus yaitu dengan hakim khusus yang paham tentang medis dan hukum. Sebagai contoh di UU Pemilu, tindak pidana pemilu yang mengadili adalah majelis khusus (hakim khusus yang mengetahui persoalan mengenai pemilu).

Dosen Fakultas Hukum UGM ini tidak sependapat bila dibentuk pengadilan khusus karena biayanya terlalu mahal dan prosesnya tidak mudah. Karena harus ada UU dan untuk membuat UU prosesnya tidak mudah (biaya besar dan waktu lama).

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH