Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

"Anda hanya akan mendapatkan orang yang pantas Anda dapatkan"

art-15jul-2Memilih orang yang tepat merupakan awal dari pembentukan tim yang sukses untuk suatu organisasi dan memiliki orang-orang hebat yang bekerja untuk organisasi adalah satu hal. Namun tidak bisa hanya berharap bahwa tim saja sudah cukup mengubah organisasi. Ada faktor lain yang turut berperan, salah satunya adalah kepemimpinan. Jika tim tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat maka hasilnya akan seperti supertanker yang berlayar di tengah samudera tanpa kemudi. Kepemimpinan yang kuat adalah hal yang krusial. Pemimpin yang kuat disini bukan hanya mengenai gaya kepemimpinannya melainkan kualitas kepemimpinannya. Tidak ada gaya kepemimpinan yang benar atau salah. Sehingga tidak perlu mengubah gaya kepemimpinan melainkan harus mengadaptasi gaya kepemimpinan supaya sesuai dengan situasi yang ada dan juga ketika situasi tersebut berubah.

Ciri dari seorang pemimpin yang kuat adalah semangat dan tanggungjawab. Kedua hal ini yang membedakan dari pemimpin yang biasa-biasa saja atau situasional. Orang selalu merespons dengan baik pemimpin yang memiliki semangat tentang pekerjaannya atau kehidupannya. Karena hal ini menular dan anggota tim akan menemukan bahwa dirinya termotivasi untuk melakukan yang terbaik ketika dipimpin oleh seorang pemimpin yang penuh semangat. Selain itu, pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang juga menerima tanggungjawab atas tindakan seluruh tim. Pemimpin harus mampu mengambil keputusan dengan tegas yang artinya harus menerima tanggung jawab atas keputusan yang dibuat dan konsekuensi yang ditimbulkan. Tidak hanya itu, kemampuan untuk menindaklanjuti juga berperan penting yaitu mampu melihat konsekuensi dari keputusan manajerial sampai akhir dan menerima tanggung jawab penuh untuk tim.

Perbedaan antara manager dan pemimpin adalah pemimpin menaruh minat lebih besar pada area "hati dan semangat". Sehingga pemimpin harus menciptakan orang-orang luar biasa di dalam organisasi. Selain itu harus membantu tim tumbuh sehingga organisasi dapat tumbuh. Dan perbaharui pengetahuan tim. Maka jadilah pemimpin yang hebat sehingga akan mendapatkan orang-orang yang hebat.

Referensi :

Bradley J. Sugars. 2012. Instant Team Building. Kesaint Blanc Publishing.

Oleh: Dewi Puspita Sari, SE, MPH

Isu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR) sudah cukup lama muncul di negara-negara maju. Di Indonesia, isu tersebut baru akhir-akhir ini mengalami perhatian yang cukup intens dari berbagai kalangan (perusahaan, pemerintah, akademisi, dan NGOs/LSM). Respons pemerintah terhadap pentingnya CSR ini misalnya terlihat dari dikeluarkannya Kebijakan Pemerintah melalui Kepmen. BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003, yang mengharuskan seluruh BUMN untuk menyisihkan sebagian labanya untuk pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL), yang implementasinya ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri BUMN, SE No. 433/MBU/2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Keputusan Menteri BUMN tersebut di atas (Badaruddin, 2008). Begitu juga dengan dikeluarkannya UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas yang memuat pasal mengenai tanggung jawab sosial perusahaan.

Corporate Social Responsibility didefinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Hal ini yang membuat bergesernya konsep filantropis (kedermawaan semata) menjadi konsep pemberdayaan masyarakat. Perubahan ini dipertegas dengan hasil KTT Bumi (Earth Summit) di Brazil tahun 1992 yang menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan triple bottom line harus dilakukan (Wibisono 2007)

Berdasarkan tiga aspek tersebut (ekonomi, sosial dan lingkungan) maka Wibisono memberikan contoh lingkup program CSR yang disarikan dari beberapa perusahaan terkemuka dalam dan luar negeri dimana salah satu program CSR dalam bidang sosial adalah pelayanan kesehatan (tabel 1)

Tabel 1. Ruang Lingkup Program CSR

Sosial

Ekonomi

Lingkungan

Pendidikan

Kewirausahan

Efisiensi energi

Kesehatan

Pembinaan UKM

Produksi ramah lingkungan

Kesejahteraan sosial

Agribisnis

Pengendalian polusi

Kepemudaan/Kewanitaan

Pembukaan lapangan kerja

Penghijauan

Keagamaan

Sarana & prasarana ekonomi

Pengelolaan air

Kebudayaan

 

Pelestarian alam

Penguatan kelembagaan

 

Pengembangan ekowisata

 

 

Peyehatan lingkungan

 

 

Perumahan dan pemukiman

Dalam konteks Indonesia, karena sebagian besar masyarakat di lingkungan industri kita berada dalam kondisi kemiskinan, maka program CSR direkomendasikan untuk didedikasikan pada; peningkatan pendapatan (ekonomi) atau kesejahteraan masyarakat, masalah-masalah pekerjaan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat, penguatan kelembagaan lokal serta tersedianya basic infrastruktur yang memadai (Achada, T. (2006).

Hasil penelitian tentang implementasi CSR belum banyak dilakukan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan potensi modal sosial komunitas lokal. Riset yang dilakukan antara lain dilakukan oleh Saidi (2002); Widiyanarti (2004); Nursahid (2006); Jahya (2006); dan Suprapto(2006). Dari beberapa hasil riset tersebut secara umum dapat disimpulkan antara lain: pertama, bahwa pebisnis umumnya melihat praktik CSR sebagai kegiatan yang memiliki makna sosial dan bisnis sekaligus. Artinya, praktik CSR masih dikaitkan dengan peningkatan citra corporate di mata masyarakat; kedua, praktik CSR yang dilakukan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan dalam arti pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh kebijakan program yang terlalu kaku, implementasi yang salah, dan belum siapnya masyarakat calon penerima bantuan.

Temuan-temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih perlu adanya networking yang baik antara perusahaan yang memiliki program CSR dengan penerima manfaat CSR. Untuk membangun networking tersebut perlu ada proses mengidentifikasi mitra, proses memahami bersama dan proses melakukan kegiatan atau inovasi bersama. Melalui ketiga proses inilah akan terbangun kerjasama dan rasa percaya yang kuat dalam pelaksanaan CSR  (Svendsen, Ann & Laberge, M, 2005).

Strategi Marketing untuk Menggali Dana CSR bagi Pelayanan Kesehatan di RS

Contoh-contoh keberhasilan penggalian dana sosial bagi rumah sakit sudah banyak didapat, baik di dalam maupun terutama di luar negeri. Diantaranya MGH (Massachussets General Hospital) rumah sakit terkemuka di Boston, memberi kesempatan masyarakat untuk menyumbang rumah sakit sesuai minat dan keinginan masing-masing. Anggota masyarakat yang membayar US$ 100 akan diberi undangan ikut serta dalam kuliah masyarakat ilmiah Bulfinch sementara yang membayar US$ 25.000 dapat memberikan namanya untuk dikenang di rumah sakit. Bentuk sumbangan lain MGH  dapat berupa untuk mendukung penelitian dan pengembangan fasilitas pendidikan dengan memilih macam penyakit yang diinginkan untuk menyumbang dan juga berupa mewariskan hartanya untuk rumah sakit. RS Tabanan, Bali dan RSUD Syamsudin di Sukabumi, salah satu RS anggota Yakkum di Solo, berhasil menarik dana dari pengusaha atau donatur untuk mendirikan bangunan bangsal maupun pembangunan fisik (Trisnantoro, 2005)

Untuk dapat berhasil menggali sumber dana-dana sosial, rumah sakit harus menggunakan perencanaan strategi. Menurut Kotler (2000, cit Tjiptono 2004)  perencanaan strategi yang berorientasi pasar adalah proses manajerial untuk mengembangkan dan menjaga supaya tujuan, keahlian dan sumber daya organisasi sesuai dengan peluang pasar yang terus berubah, tujuan dari perencanaan ini adalah untuk membentuk dan menyempurnakan usaha bisnis dan produk perusahaan agar mencapai target laba dan pertumbuhan.

Pemasaran strategis terkait dengan tahap-tahap perancangan produk,  penjualan dan pemasaran. Pada tahap perancangan produk, rumah sakit diharapkan untuk menunjukan bahwa rumah sakit memang memberikan pelayanan sosial pada masyarakat miskin sehingga penyumbang akan memberi sumbangan pada rumah sakit. Pada tahap penjualan, rumah sakit akan menunjukkan kepada  banyak orang yang mau menyumbang bahwa rumah sakit memang membutuhkan dana-dana sosial tersebut. Pada tahap pemasaran, rumah sakit menganalisa posisinya pada pasar donor sehingga rumah sakit dapat memahami apa yang diinginkan oleh calon donatur, (Trisnantoro, 2005).

Dalam melakukan pengembangan produk harus berfokus pada pelanggan karena apapun yang dilakukan manajemen tidak akan ada gunanya bila tidak berdampak pada peningkatan kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, pengembangan produk dengan fokus kebutuhan pelanggan akan menjadi salah satu strategi untuk memenangkan persaingan (Tjiptono, 2004). Demikian juga yang dinyatakan oleh Ulrich (2001, cit Dwiningsih N., 2005), bahwa pengembangan produk sebaiknya menggunakan metode yang terstruktur, dimulai dari identifikasi kebutuhan pelanggan. Proses identifikasi kebutuhan pelanggan bertujuan untuk mengetahui atribut-atribut yang penting dan berhubungan dengan kepuasan pelanggan sebagai dasar dalam langkah pengembangan produk selanjutnya. Kotler (2000, cit Tjiptono 2004) dan  Trisnantoro (2007) juga mengatakan bahwa untuk mengetahui dengan baik calon donor merupakan awal dari langkah dalam mengelola ataupun menggali dana kemanusiaan.

Pengembangan produk dalam bentuk jasa seperti pelayanan rumah-sakit, perbankan, keuangan, asuransi, transportasi, komunikasi, dan jasa lainnya memiliki tantangan tersendiri karena karakteristiknya unik, antara lain karena desain produk jasa harus memasukkan unsur interaksi konsumen, seperti: Spesifikasi desain produk yang diharapkan, seperti hasil operasi plastik, tataruang rawat inap dan sebagainya; Proses realisasi jasa seperti proses pengukuran tekanan darah atau proses visitasi dokter. Kesulitan ini juga terkait dengan karakteristik produk jasa, yang menurut Kotler (2001, cit Paramita 2007) mempunyai 4 karakter utama yang mempengaruhi rancangan program pemasaran yaitu intangibility (tidak berwujud), inseparability (tidak terpisahkan), variability (bervariasi) dan perishibilit (mudah lenyap)

Untuk dapat mengembangkan produk RS yang dapat menjadi realisasi program CSR di RS maka diperlukan tahapan pengembangan produk sebagaimana yang ditulis oleh Tjiptono (2002):

  1. Perumusan ide, yang dapat bersumber dari dalam perusahaan misalnya bagian Riset dan Pengembangan dan dari luar melalui pemahaman perilaku konsumen, persaingan, peraturan, teknologi, pekerja, persediaan.
  2. Pengerahan kemampuan yang dimiliki perusahaan untuk merealisasikan ide, yaitu dengan melakukan koordinasi dengan berbagai bagian yang terkait di perusahaan yang bersangkutan.
  3. Mengidentifikasi posisi dan manfaat produk yang diinginkan konsumen melalui atribut tentang produk.
  4. Menetapkan spesifikasi fungsional, melalui identifikasi karakteristik engineering produk, kemungkinan dibandingkan dengan produk dari pesaing, mekanisme produk dibuat, menetapkan seperti ukuran dan dimensi fisik lain.
  5. Melakukan review desain, untuk menganalisa apakah spesifikasi produk sudah yang terbaik dalam memenuhi kebutuhan konsumen
  6. Melakukan tes pasar untuk melihat apakah produk memenuhi harapan konsumen dan untuk memastikan keberhasilan prospek ke depannya.
  7. Proses perkenalan di pasar dan memproduksi secara masal untuk dipasarkan.
  8. Proses evaluasi dilakukan untuk mengukur sukses atau gagal

Oleh: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

“Karyawan adalah aset terbaik bagi organisasi”

art-15julDalam suatu jajak pendapat baru-baru ini di Australia, sekitar 85 % dari semua pekerja mengatakan bahwa mereka merasa tertindas di tempat kerja. Lalu bagaimana dampaknya pada produktivitas kerja dan motivasi? Sehingga kinerja seorang pekerja akan menjadi lebih baik jika pekerja merasa nyaman saat bekerja. Ibarat gunung es yang mengapung di suatu lingkungan, jika mengapung di lautan yang hangat, gunung es itu akan mencair tetapi jika suhu laut sangat dingin, maka gunung es akan bertambah besar. Gunung es itu juga dapat mempengaruhi suhu laut di sekelilingnya dengan menurunkan suhu di sekelilingnya. Hal yang sama juga terjadi di dalam organisasi. Setiap orang pasti mampu mempengaruhi lingkungan organisasi dan pada akhirnya akan mempengaruhi anggota yang lain. Sehingga dalam hal ini budaya ikut bermain misalnya dengan belajar membiarkan dan mempercayai anggota tim, cara berinteraksi dengan orang lain, dan membuat "katup keselamatan". Tim dapat menyukseskan atau menghancurkan organisasi. Sehingga perlu untuk mengatur semangat tim dan memiliki waktu untuk mengutarakan uneg-uneg tanpa takut balasan orang lain. Hal tersebut merupakan "katup keselamatan" yang sangat kuat dan berfungsi dengan sangat baik.

Untuk membuat lingkungan kerja menjadi lebih nyaman dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan seperti pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan anggota tim karena organisasi akan tumbuh jika anggota tim tumbuh sehingga perlu adanya rancangan sistem pelatihan berkelanjutan untuk memastikan anggota tim selalu mendapat pengetahuan baru seperti (1) mengadakan sesi tim berbasis keterampilan, (2) mengembangkan klub komunitas, (3) berlangganan majalah sesuai bidang organisasi sehingga membuat anggota tim memahami perkembangan dan membuat mereka merasa mendapat informasi, (4) membuat program pelatihan penerimaan untuk anggota baru, (5) menjalankan program pelatihan pembangunan tim, (6) menciptakan perencanaan karier di dalam organisasi, (7) menetapkan tujuan organisasi dan setiap anggota tim, (8) mengadakan pelatihan manajemen waktu.

Referensi :

Bradley J. Sugars. 2012. Instant Team Building. Kesaint Blanc Publishing.

Disarikan oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.kep., MPH dan dr.Hanevi Djasri, MARS

Selama 25 tahun terakhir, telah diterbitkan ratusan penelitian medis yang menggunakan data klaim. Data klaim sering disebut juga sebagai data administrasi atau "data tagihan" yang berisi catatan yang terjadi antara pasien dengan penyedia pelayanan kesehatan.

Ferver et al melakukan penelitian tentang penggunaan data klaim untuk mengetahui: (1) Seberapa luas studi yang memanfaatkan data klaim, (2) Area pelayanan kesehatan apa yang dapat menggunakan data klaim, (3) Apakah penggunaan data klaim meningkat, dan (4) Apakah peneliti menginformasikan para pembaca mengenai kelemahan data. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil 1.956 penelitian yang diterbitkan antara tahun 2000-2005 di New England Journal of Medicine, The American Journal of Medicine, The American journal of Medical Quality, Medical Care, Medical Care Research and Review, and Health Care Financing Review selama enam tahun. Peneliti mencatat informasi dasar dari setiap studi yaitu: judul, penulis, jurnal, nomor volume, tahun dan nomor halaman, deskripsi tertulis untuk tipe data, bidang medis, apakah penulis mengakui keterbatasan data.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan data klaim lebih sedikit dibandingkan dengan sumber-sumber lain (uji coba klinis, survei dan wawancara, rekam medis, dan lain-lain), secara keseluruhan data klaim digunakan sebanyak 7,3% dari seluruh penelitian yang diterbitkan dalam lima jurnal.

Penelitian ini juga menunjukan bahwa data klaim umumnya digunakan untuk menilai Akses (49,0%) dan Mutu pelayanan medis (23,8%). Hanya 9,1% data klaim yang digunakan untuk mempelajari morbiditas seperti pola diagnosis, tingkat rawat inap, tingkat kelangsungan hidup, dan langkah-langkah skala besar lain yang berkaitan dengan morbiditas dan kematian. Data klaim juga hanya sedikit digunakan untuk menilai proses pengobatan (12,6%) dan pencegahan (5,6%).

Jumlah penelitian yang menggunakan data klaim setiap tahun juga tidak menunjukan adanya tren peningkatan, perbandingan penelitian penggunaan data klaim antara tahun 2000-2002 dengan tahun 2003-2005 tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Penelitian ini lebih lanjut menyarankan agar frekuensi dan pertumbuhan studi penelitian dengan menggunakan data klaim harus dapat ditingkatkan karena hasil penelitian dapat memepengaruhi kebijakan kesehatan.

Penelitian dengan menggunakan data klaim memberikan banyak keuntungan, data klaim bersifat anonim, berlimpah (plentiful), inexpensive, dan tersedia luas dalam format elektronik/ sebagai pengganti catatan medis. Meskipun demikian penelitian yang akan menggunakan data klaim juga harus memperhatikan beberapa kekurangan, yaitu: (1) sistem kode (coding) yang bisa memberikan informasi yang tidak akurat, (2) prosedur rutin rumah sakit yang biasanya terkait dengan diagnosis tertentu mungkin kurang dicatat pada formulir klaim, (3) kegiatan non-operasional sering tidak dicatat, (4) asumsi bahwa individu dengan diagnosa yang sama rata-rata akan membutuhkan prosedur yang sama dan perawatan.

Referensi :

Ferver Kari, Bryan Burton and Paul Jesilow. 2009. The Use of Claims Data in Healthcare Research. The Open Public Health Journal, 2009, 2, 11-24.