Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, SE, MPH (Peneliti Divisi Mutu PKMK FKKMK UGM)

Case Management (CM) merupakan proses kolaboratif sejak pengkajian, perencanaan, fasilitas, koordinasi perawatan, evaluasi dan advokasi untuk opsi dan layanan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan komprehensif individu dan keluarga melalui komunikasi dan sumber daya yang tersedia untuk mempromosikan keselamatan pasien, kualitas perawatan, dan biaya yang efektif (CMSA, 2016). CM dapat mendorong keterlibatan klien dan komunikasi langsung antara manajer pelayanan, klien, keluarga klien atau pengasuh keluarga, dan petugas, untuk mengoptimalkan hasil kesehatan bagi semua yang berkepentingan.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa CM bermanfaat dalam fase skrining dan pengobatan kanker. Dalam pelayanan kanker, saat pengobatan selesai maka beberapa pasien mengalami kehilangan dukungan karena berkurangnya kontak dengan tenaga medis, sehingga diharapkan dengan adanya dukungan CM maka berpotensi memberikan pelayanan yang berkelanjutan dan kemudahan untuk kembali ke kehidupan normal.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Scherz et al., mengenai pengaruh CM pada peningkatan kualitas hidup pasien kanker yang dilakukan pada rentang waktu tahun 2010-2012, mengacak 95 pasien yang baru saja menyelesaikan pengobatan kanker di 11 pusat kanker di kanton Zurich, Swiss. Pasien dalam kelompok CM bertemu setidaknya tiga kali selama 12 bulan yakni pada bulan ke 3, 6, dan 12, dan hasilnya dilaporkan dengan menggunakan skala Functional Assessment of Cancer Therapy (FACT-G), Patient Assessment of Chronic Illness Care (PACIC) and skala Self-Efficacy.

Intervensi yang dilakukan yakni Lima orang CM yakni perawat yang khusus dalam pelayanan onkologi memiliki keterampilan dalam mendiskusikan masalah pasien secara empatik dan mampu menawarkan hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien, serta mampu memberikan konseling motivasi pemberdayaan diri. Selama 3 bulan pertama, bertemu dengan pasien setidaknya untuk membangun hubungan, menilai kebutuhan, dan menghasilkan sebuah rencana aksi. Melalui alat elektronik terstruktur, beberapa item kemudian ditindaklanjuti yakni: menanyakan riwayat medis sebelumnya (dalam wawancara pertama), kondisi mental saat ini, tekanan dan tantangan, faktor yang mempengaruhi, sumber daya yang dimiliki, tujuan yang diharapkan dan penilaian.

Case manager sebagai pelaksana memberikan informasi tentang layanan dan terapi yang tersedia dan membantu mengatur janji. Kemudian, pada bulan-bulan berikutnya, melakukan telepon tindak lanjut sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien. CM juga tersedia sesuai permintaan pasien selama jam pelayanan kantor. Seluruh intervensi berlangsung hingga 12 bulan dengan wawancara sebagai penutup pertemuan.

Setelah pertemuan kemudian melakukan penilaian melalui Skor FACT yakni menilai kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan pasien yang dirawat karena kanker. Jumlah skor total mulai dari nol hingga 108 poin, skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik.

Pengukuran berikutnya yakni Self-Efficacy dilakukan dengan menggunaan kuesioner Jerusalem & Schwarzer dengan hasilnya bisa berkisar antara 10 dan 40 dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan efikasi diri yang lebih (artinya memiliki keyakinan yang lebih kuat pada kompetensi seseorang untuk mengatasi berbagai macam tuntutan yang membuat stres atau menantang). Serta, Skor PACIC dapat berkisar antara satu dan lima, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan perawatan yang lebih baik dengan model perawatan kronis.

Hasil yang didapatkan bahwa terjadi perubahan FACT-G selama 12 bulan secara signifikan lebih besar pada kelompok CM dibandingkan di kelompok kontrol. Skor PACIC meningkat sebesar 0,20 di kelompok CM dan menurun sebesar 0,2 pada kelompok kontrol. Efikasi diri meningkat 3,1 poin pada kelompok CM dan 0,7 poin pada kelompok kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa CM berpotensi meningkatkan kualitas hidup, memudahkan pasien masuk kembali ke kehidupan normal dan dapat mengatasi kebutuhan untuk kesinambungan perawatan pada penderita kanker sejak dini.

Keterampilan seorang case manager dalam memahami masalah pasien secara empatik, mampu menawarkan hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien, serta mampu memberikan konseling motivasi pemberdayaan diri merupakan dasar hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang case manager dalam membantu pasien sehingga mampu mengatasi kebutuhan kesinambungan pelayanan pasien.

Namun, dalam penelitian yang disampaikan oleh Avia I, dkk., yang dilakukan di Ruma Sakit di Jakarta bahwa masih terdapat masalah untuk mengoptimalkan case manager yaitu belum optimalnya fungsi perencanaan kompetensi case manager yang disebabkan belum ada perencanaan pengembangan kompetensi, panduan kompetensi, pengorganisasian bersifat desentralisasi, mayoritas diploma keperawatan dan belum ada pelatihan terkini, fungsi pengarahan belum berfokus pada CM, dan belum dilaksanakannya monitoring serta evaluasi. Sehingga diharapkan Rumah sakit perlu membuat perencanaan tentang kompetensi case manager dan proses kredensial case manager sesuai dengan kompetensi.

Sumber:

  • Avia, I., Handiyani, H., & Nurdiana (2019). Analisis Kompetensi Case Manager Pada Rumah Sakit di Jakarta: Studi Kasus. Jurnal Perawat Indonesia, 3(1), 16–27.
  • Scherz, N., Mettler, B,I., Chmiel, C., Senn, O., Boss, N., Bardheci, K., & Rosemann, T,. (2017) Case management to increase quality of life after cancer treatment: a randomized controlled trial. BMJ Cancer. 17:223. DOI 10.1186/s12885-017-3213-9

 

21janPKMK-Yogyakarta, telah menyelenggarakan outlook yang telah diselenggarakan pada tanggal 20 Januari 2021 yang lalu, membahas apa yang terjadi di tahun 2020, dan apa yang mungkin akan terjadi tahun 2021. Hadir sebagai salah satu narasumber dalam pertemuan tersebut yakni Dr. dr Hanevi Djasri MARS, FISQua, yang menyampaikan materi terkait Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Pandemi Covid-19.

Disampaikan oleh dr Hanevi, bahwa belajar dari tahun lalu maka bisa dikatakan Pandemi Covid-19 ini telah menjadi katalisator untuk mutu pelayanan kesehatan, yang merupakan hasil dari Forum Mutu 2020. Artinya, disamping Covid-19 berdampak negatif namun sebenarnya pandemi ini juga dapat membawa dampak positif, yakni sebagai katalis dalam konteks mutu, yakni beberapa inovasi dan upaya-upaya peningkatan mutu berjalan menjadi lebih cepat, dengan kecepatan yang lebih cepat dibandingkan sebelum Pandemi, sehingga tahun 2021 diharapkan/diramalkan bahwa Sistem Manajemen Mutu (SMM) pelayanan kesehatan terdapat 3 poin yang akan dilalui kedepannya, setidaknya hingga akhir tahun 2021 ini.

Yang pertama, Fasyankes akan menerapkan apa yang disebut sebagai balancing act. Rumah Sakit akan mulai membuat keseimbangan baru, dimana tetap memberikan pelayanan Covid, namun juga tetap menyediakan pelayanan bagi pasien umum terutama pelayanan esensial, termasuk KIA, KB penyakit kronis dsb, untuk menjaga penyakit lain tidak mengalami lonjakan.

Meskipun demikian, perlu dipastikan pelayanan covid-19 maupun non covid-19 memiliki pengelolaan manajemen risiko. Fasyankes akan menerapkan prinsip-prinsip manajemen mutu yang sebenarnya sama, meskipun nanti ada istilah-istilah baru namun sebenarnya sama karena dimulai dari membangun komitmen manajemen, melakukan pengelolaan sumber daya baik itu sarana dan prasarana, SDM dll, kemudian setelah itu merealisasikan pelayanan baik pelayanan covid-19 maupun non covid-19 serta melakukan proses monitoring dan evaluasi dan peningkatan mutu.

Langkah penerapan manajemen mutu di masa Pandemi Covid-19, dilakukan sama seperti yang dikerjakan oleh rumah sakit yakni mengadopsi ceklist dari WHO, namun jika dicermati ceklist tersebut baru langkah awal, dan jika dikaitkan dengan SMM maka baru masuk ke 2 langkah saja, yakni pada aspek leadership dan pada nomer 2-12 masuk pada langkah pengelolaan sumber daya.

Jadi, dengan menerapkan hospital readines ceklist minimal RS sudah melakukan 2 langkah dalam SMM, dan ini belum cukup dan akan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi dan monitoring. Menurut dr Hanevi, saat ini Kementerian Kesehatan sudah menerbitkan pedoman-pedoman dan ceklist untuk kesiapan RS dan diharapakan tahun ini juga diterbitkankan pedoman monitoing dan evaluasi, termasuk didalamnya melakukan clinical audit atau audit mortality, sehingga bisa dibandingkan antara pedoman dengan pelaksanaan di lapangan, apakah guidline, pedoman tata laksana covid-19 dll sudah dijalankan atau belum.

Kedua, Fasyankes juga akan banyak melakukan re-design pelayanan, baik pelayanan klinis maupun non klinis. Kegiatan ini sudah mulai dilakukan. dr Hanevi menekankan re-design yang dilakukan di 2 aspek yakni; a) value base care, bagaimana cara memberikan pelayanan yang berfokus /tindakan perawatan yang benar-benar dapat meningkatkan outcome dari pasien dan sekaligus melakukan efisiensi biaya, serta tidak mengeluarkan tindakan atau biaya yang tidak diperlukan (ada keseimbangan antara mutu yang didapat dan biaya yang dikeluarkan). b) Patient center care (PCC) yakni bagaimana pelayanan dapat menghargai nilai-nilai dari individu pasien.

Terdapat 4 konsep utamanya yakni, bagaimana memberikan pelayanan bermartabat, barbagi informasi, ada partisipasi dengan keluarga, dan ada kolaborasi antar tenaga kesehatan dengan pasien dan keluarga. Juga nantinya akan banyak menggunakan teknologi informasi (TI), dimana harapannya TI dapat meningkatkan patient experience. Ditekankan juga bahwa saat ini cukup banyak iklan di media sosial, dokter online, namun yang perlu dicermati apakah aplikasi tersebut sudah menerapkan SMM yang baik atau tidak, sehingga dapat meningkatkan patient experience.

Ketiga, Fasyankes perlu menjadi Fasyankes yang smart, yakni menjadi RS atau Puskesmas pintar. Penerapan fasyankes pintar maka harus menerapkan 2 point di atas, ditambahkan dengan adanya; a) smart people, b) smart regulation, dimana regulasi dalam peningkatan mutu lebih responsif, dimana saat ini sedang ada perkembangan akreditasi tapi sebaiknya diperbaiki dengan perkembangan sertifikasi dan juga perijinan, c) smart environment, dimana lingkungan dapat mendukung, termasuk bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi, serta d) smart infrastructur.

Terakhir, berharap agar pandemi ini segera berakhir dan sambil menuggu kita dapat mempersiapkan upaya peningkatan mutu untuk menjamin mutu da keselamatan pasien di fasyankes masing-masing.

Materi

 

Oleh: Dr. dr. Aria Wibawa, SpOG (K)

pregnant

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) merupakan masalah global yang menyebabkan komplikasi jangka pendek dan jangka panjang neonatal. Penyebab PJT multifaktorial, di antaranya asupan nutrisi maternal tidak adekuat dan hambatan transfer plasenta. Penulis melakukan penelitian yang bertujuan mengetahui konsentrasi VEGF, GLUT1, sistem y+L, FATP1, glukosa, asam amino dan asam lemak plasenta di kelompok janin kecil masa kehamilan (JKMK) dan kelompok pertumbuhan janin terhambat (PJT). Data tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan model edukasi nutrisi kehamilan. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui pengaruh penerapan model edukasi nutrisi kehamilan terhadap asupan nutrisi, kadar feritin, seng, dan vitamin D serum ibu, dan laju pertumbuhan janin pada kasus PJT.

Penelitian menggunakan desain mixed method terdiri dari 3 tahap dilakukan di klinik Fetomaternal Gulardi Centre, RSUPN Cipto Mangunkusumo dan beberapa rumah sakit di Jakarta, selama periode Juli 2018–November 2020. Tahap-1 adalah studi potong lintang terhadap kelompok janin sesuai masa kehamilan (JSMK, n = 24), kelompok JKMK (n = 13), dan kelompok PJT (n = 20) pada kehamilan aterm. Pemeriksaan jaringan plasenta dilakukan dengan teknik sampel homogenat dan konsentrasi variabel yang diukur adalah VEGF, GLUT1, Sistem y+L, FATP1, glukosa asam amino, dan asam lemak. Tahap-2 adalah studi kualitatif untuk menyusun model edukasi nutrisi kehamilan dengan metode wawancara mendalam (n = 19), pendapat pakar (3 pakar), observasi perilaku, dan telaah pustaka. Tahap-3 adalah studi kuasi eksperimental Pretest-posttest design terhadap kelompok PJT (n = 15) yang mendapat perlakuan edukasi model nutrisi kehamilan dan suplementasi. Subjek dilakukan wawancara nutrisi, pemeriksan ferritin, vitamin D 25OH, seng serum maternal, dan penilaian laju pertumbuhan janin. Data dianalisis menggunakan program SPSS versi 20 dengan uji statistitik Kruskal-Wallis, Mann Whitney dan Wilcoxon-pair.

Hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan bermakna konsentrasi VEGF, sistem y+L, FATP1, asam amino total, dan asam lemak total plasenta kelompok JKMK dan PJT dibandingkan JSMK (p < 0,05). Model nutrisi 5J merupakan model nutrisi tepat guna yang dapat diterapkan pada kehamilan. Terdapat peningkatan bermakna jumlah asupan nutrisi, konsentrasi feritin, vitamin D 25-OH, dan seng serum di ibu hamil dengan PJT setelah penerapan model nutrisi. Laju pertumbuhan janin meningkat di 10 subjek (67%), sedangkan laju pertumbuhan janin tidak meningkat di 5 subjek (33%).

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada JKMK dan PJT terdapat perubahan pada sistem transpor dan bahan metabolik plasenta terutama asam amino. Penerapan edukasi model nutrisi 5J pada ibu hamil dengan kasus PJT dapat memperbaiki laju pertumbuhan janin.

ringk des

5j h   5j h 

pamf   pamf

 

Link Terkait:

 

 

 

 

Disarikan oleh: Andriani Yulianti
(Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FKKMK UGM)

Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.

Surveilans Kesehatan sangat penting bagi pengambil keputusan di bidang kesehatan dalam rangka upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk terselenggaranya Surveilans Kesehatan yang optimal diperlukan peran serta semua sektor, terutama seluruh fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah ataupun swasta dalam menjamin mutu informasi yang diberikan, baik instansi kesehatan di daerah maupun di pusat, dibutuhkan harmonisasi secara lintas program dan lintas sektor yang diperkuat dengan jejaring kerja surveilans kesehatan.

Pada masa pandemi ini Surveilans merupakan kegiatan utama dalam rangka penanganan dan dapat menjadi barisan terdepan dalam usaha pencegahan dan penanggulangan Pandemi Covid-19. Telah disampaikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada 5 Januari yang lalu bahwa beberapa hal dibawah ini menjadi strategi dalam penguatan survailance Covid-19 yakni; penguatan dari sisi tes, lacak, isolasi, & manajemen data serta pentingnya peran kepala daerah menjadi kunci keberhasilan program surveilans, diantaranya adalah:

  1. Dari sisi tes
    • Melengkapi 514 Kab/Kota dengan mesin PCR & lab BSL-2, Didahului dengan mapping lab PCR untuk pemerataan jumlah PCR di daerah.
    • Melengkapi seluruh Puskesmas dengan rapid antigen & suplai yang dibutuhkan.
    • Melakukan tes pada seluruh kontak erat, minimal dengan rapid antigen & jika (+) dilanjutkan dengan PCR. Kemudian merevisi pedoman & menerbitkan juknis penggunaan rapid antigen dengan klasifikasi produk sesuai standar WHO.
    • Mendorong surveilans genomik secara rutin di kota-kota besar di Indonesia.
  2. Lacak
    • Meningkatkan jumlah tracers hingga 80.500 orang (rasio 30 tracers/100.000 penduduk). Menggerakkan 6000 Babinsa, 60.000 Babinkamtibmas, & para kader untuk tracing.
    • Menetapkan matriks capaian daerah yaitu 30 kontak erat dilacak per 1 kasus konfirmasi.
    • Memanfaatkan teknologi digital untuk tracing.
  3. Isolasi
    • Melakukan isolasi terpusat untuk kasus konfirmasi tidak bergejala & bergejala ringan di kabupaten/kota.
    • Memberikan BLT & perlindungan terhadap PHK pada orang yang menjalankan karantina/isolasi.
    • Memperbaiki SOP, memperketat pengawasan, memberlakukan denda bagi pelanggar karantina/isolasi.
  4. Data
    • Integrasi berbagai sistem informasi surveilans yang ada di Kemenkes maupun di daerah.
    • Mendorong seluruh lab & Faskes agar terdaftar di Pusdatin dan melaporkan hasil tesnya ke dalam sistem > 48 jam sejak tes dilakukan
  5. Perubahan Perilaku
    • Bekerjasama dengan Ibu PKK/BKKBN – Program Dasa Wisma PKK (Kemendagri) untuk aktif mempromosikan Perubahan Perilaku dan Tracking & Isolasi.

Sumber:

  • Kemenkes RI (2014) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 45 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan
  • Kemenkes (Januari, 2021) Paparan Menkes, materi rapat koordinasi Gubernur Republik Indonesia bersama Menteri Kesehatan dalam penanganan covid-19 ( diakses 5 Januari 2020) terlampir