Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia diterapkan melalui program Kendali mutu dan kendali biaya. Program ini diamanatkan untuk mengedepankan pelayanan yang efektif dan efisien. BPJS Kesehatan bertanggung jawab memastikan hal ini melalui pembentukan tim kendali mutu dan kendali biaya (TKMKB) di rumah sakit. Pembentukan TKMKB dilegalkan melalui Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 tentang penerapan kendali mutu dan kendali biaya dalam program JKN. Regulasi tersebut menyebutkan bahwa TKMKB di rumah sakit beranggotakan komite medis, dengan tugas melakukan audit medis.

Sejak diberlakukan peraturan tersebut tahun 2016, belum pernah ada kajian tentang implementasi audit medis oleh TKMKB. Working Paper yang diterbitkan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM tahun 2018 menyebutkan implementasi audit medis mengalami kendala karena adanya TKMKB lebih bersifat sebagai auditor yang mencari kesalahan tenaga kesehatan, kesengganan sesama profesi melakukan audit, keterbatasan sumber daya manusia, ketidaktahuan tentang tugas dan ketidaktahuan cara melakukan audit.

Audit sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan melalui peninjauan sistematis pada alur tata laksana pasien. Dengan kata lain, membandingkan apa yang kita lakukan dengan apa yang harus dilakukan melalui standar nasional atau internasional (Mirzaei, 2011), sehingga keterlibatan medis memainkan peran penting dalam mendukung pencapaian budaya yang bermutu di rumah sakit untuk mendukung UHC (Atkinson, 2011).

Kajian yang dilakukan oleh penulis di enam provinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu pada tahun 2019. Melibatkan TKMKB teknis yang dibentuk oleh BPJS Kesehatan di rumah sakit dengan menggunakan pendekatan realis evaluasi. Data dianalisa melalui tiga fase, yaitu: 1) identifikasi teori program yang mendasari kebijakan kendali mutu dan kendali biaya, 2) pengujian teori program dan 3) penyempurnaan teori program. Teori program dikembangkan melalui pendapat ahli, dokumen program, diskusi formal, FGD dengan pemangku kepentingan terkait. Temuan dianalisa menurut formula realis evaluasi dalam bentuk Context, Mechanism, dan Outcome (CMO) yang menjelaskan hasilnya, dan berdasarkan temuan yang ada dilakukan penyempurnaan teori dalam meningkatkan implementasi kebijakan KMKB dengan merinci apa yang berhasi (hasil), bagaimana caranya (mekanisme) dan dalam kondisi apa (konteks).

Berikut ini hasil penelitian yang dilihat dari beberapa tahapan, yakni;

Tahap I. Identifikasi Teori Program

Kebijakan kendali mutu dan kendali biaya disusun mengacu pada quality care framework dari Donebedian yaitu standar input, proses, dan output. Komponen kebijakan audit medis mengacu pada Permenkes No.755/2011 menjelaskan bahwa, subkomite mutu profesi melakukan audit medis untuk memelihara mutu profesi staf medis komite medik. Selain itu, komponan ini juga berdasarkan pada Peraturan BPJS Kesehatan No.8/2016 menjelaskan bahwa Tim KMKB berasal dari komite medis dari setiap rumah sakit yang ada di wilayah kerja BPJS Kesehatan.

Tahap II. Pengujian Teori Program

Tabel 1. Rumusan CMO Hipotesis Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya

tb1

*didapat dari pengembangan program teori dan hasil wawancara para stakeholder yang dilaksanakan pada penelitian tahun 2019.

Tahap III. Hasil Pengujian Teori Program dan Penyempurnaan Teori Program (Result)

Secara umum tugas audit medis sudah berjalan di semua lokasi penelitian karena TKMKB berasal dari komite medis. Komite medis memiliki aspek legal melakukan audit medis, namun di Jawa Tengah audit medis belum optimal di salah satu RS karena pihak manajemen rumah sakit tidak memberikan wewenang kepada TKMKB melaksanakan tugas. Kuotasi dari provinsi:

“…Kita (TKMKB Pusat) akan kontak TKMKB teknis, mereka punya aspek legal melakukan audit…”(TKMKB Pusat).
“…Audit medis belum karena kami tidak diberi wewenang oleh direksi …” (RS Swasta).

Uraian kuotasi di atas, kemudian dihimpun untuk diidentifikasi CMO alternatif yang muncul pada pengumpulan data, hasil disajikan sebagai berikut:

Tabel Konfigurasi CMO Hasil Penelitian (Alternatif) Kebijakan KMKB

tb3

Ross et al (2017) menyebutkan bahwa sebelum melakukan audit, tenaga kesehatan mempunyai anggapan yang tidak baik tentang audit seperti audit mengancam kinerja, tidak dapat sharing pengetahuan, dan tidak mempunyai tujuan jelas. Namun setelah mereka terpapar audit, ada perubahan pemahaman. Mereka mempunyai beberapa pemahaman bahwa Audit Klinis dapat meningkatkan pelaporan, validasi kompetensi profesional, tujuan audit jelas, umpan balik auditor bermanfaat ketika berdiskusi membahas temuan audit, media sharing pengetahuan, memperbaiki kepribadian dan prilaku, dapat mewakili kebutuhan tenaga medis. Pemahaman tidak baik tentang audit medis juga terjadi di lokasi penelitian, TKMKB tidak melakukan audit medis karena pihak manajemen tidak mempunyai pemahaman yang cukup tentang audit medis.

Audit medis bukan satu-satunya upaya Kendali mutu dan kendali biaya yang dilakukan RS di Indonesia saat ini, ada yang lain seperti peyusunan, penerapan dan impelemnetasi clinical pathaywas, seperti menurut Mukti (2007) bahwa beberapa aktifitas yang dapat dilakukan untuk pencapaian mutu antara lain utilization review (UR), audit medis, clinical pathway, peer review dan algoritma.

TKMKB di rumah sakit mempunyai akses data di setiap rumah sakitnya masing-masing. Menurut WHO, akses terhadap data dan kemampuan analisa data UHC di tingkat nasional maupun regional sangat penting untuk monitoring keberhasilan UHC (Tracking Universal Health Coverage: First Global Monitoring Report, World Health Organization 21 Jul 2015). Hal ini tidak terjadi di lokasi penelitian, kegiatan akses dan pengolahan data untuk audit medis dilakukan oleh TKMKB di rumah sakit berdasarkan temuan BPJS Kesehatan, sehingga hasil audit TKMKB di rumah sakit dgunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk perbaikan. Kompetensi olah data dapat didukung oleh aplikasi pengolah data, seperti aplikasi yang dapat memvisualisasikan hasil olah data mulai dari proses pengumpulan, cleaning, analisis, dan berbagi data (Inseok, 2017).

Pelaksanaan audit medis dilakukan oleh TKMKB yang sebagian besar merupakan anggota komite medis di rumah sakit yaitu dokter, mereka merasa mempunyai kemampuan melakukan audit medis karena ada aspek legal yang mengatur. Sehingga peraturan BPJS Kesehatan nomor 8 tahun 2016 yang menyatakan bahwa TKMKB berasal dari komite medis merupakan hal yang tepat karena mereka memiliki kemampuan melakukan AM. Dokter memegang peranan penting dalam peningkatan mutu pelayanan. Kepemimpinan yang dimiliki oleh dokter merupakan kontribusi penting tetapi tidak eksklusif untuk memimpin peningkatan kualitas dalam perawatan kesehatan. Tetapi ada juga pengaruh dari budaya organisasi, pengembangan tim dan mikrosistem dan teknologi informasi (Dickinson, 2013).

Audit medis memberi manfaat banyak, antara lain: mengidentifikasi dan mengukur area risiko dalam pelayanan, menilai mutu layanan yang diberikan kepada pasien, memberikan peluang untuk meningkatkan kepuasan kerja, menciptakan budaya peningkatan mutu klinis, meningkatkan kualitas dan efektifitas layanan kesehatan (Quality and Patient Safety Directorate, 2017). Data audit medik juga digunakan untuk utilisasi penggunaan obat per penyakit sehingga dapat mengurangi penyalahgunaan antibiotik dan penggunaan berlebihan (FarooquiI et al, 2019).

Referensi

  • Atkinson, S., Spurgeon, P., Clark, J., and Armit, K. (2011). Engaging Doctors: What Can We Learn From Trusts With High Levels of Medical Engagement? UK: NHS Institute for Innovation and Improvement and Academy ofMedical Royal Colleges.
  • BPJS Kesehatan. (2016). Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun Tentang Penerapan Kendali Mutu Dan Kendali Biaya Pada Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
  • Dickinson, H., Ham, C., Snelling, I., and Spurgeon, P. (2013). Are We There Yet? Models of Leadership and Their Effectiveness: An Exploratory Study. London: NHS National Institute for Health Research.
  • FarooquiI, H.H., Mehta, A., Selvaraj, S. (2019). Outpatient Antibiotic Prescription Rate and Pattern in The Private Sector in India: Evidence From Medical Audit Data. PLOS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0224848 November 13, 2019 1 / 11
  • Inseok Ko, M. S., and Hyejung, C. (2017). Interactive Visualization of Healthcare Data Using Tableu. Health Inform Res. Published online October 31. https://doi.org/10.4258/hir.2017.23.4.349.
  • Mirzaei, S., Maffioli, L., and Hilson, A. Clinical Audit in Nuclear Medicine. Eur J Nucl Med Mol Imag 2011. DOI 10.1007/s00259-010-1605-z.
  • Mukti, G. A. (2007). Good Governance dalam Pembiayaan Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Manajemen Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan UGM.
  • Tezuka K. Physicians and Professional Autonomy. (2014). Japan Medical Association Journal. Vol.57, No.3.
  • TKMKB Nasional. (2015). Buku Petunjuk Teknis Kendali Mutu dan Kendali Biaya Program JKN. Jakarta: BPJS Kesehatan.
  • Quality and Patient Safety. (2017). Practical Guide To Clinical Audit. Irlandia: Quality and Patient Safety
  • Ross, P., Hubert, J., and Wong, W.L. (2017). Reducing The Blame Culture Through Clinical Audit
    in Nuclear Medicine: A Mixed Methods Study. Journal of the Royal Society of Medicine Open; 8(2) 1–11. DOI: 10.1177/2054270416681433
  • WHO. (2015). Tracking Universal Health Coverage: First Global Monitoring Report. World Health Organization. ISBN 9241564970, 9789241564977

 

Hanevi Djasri

Direksi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan periode 2021-2026 telah resmi dilantik. Berbagai tantangan dan tugas baru menanti para Direksi. Salah satunya adalah mengukur dan meningkatkan cakupan efektif dari Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia, hampir sepuluh tahun lalu, sudah memperingatkan seluruh negara, bahwa tidak ada gunanya penduduk memiliki jaminan kesehatan, apabila pelayanan kesehatan yang mereka terima tidak bermutu, atau bahkan membahayakan.

Namun hingga kini, kita di Indonesia lebih banyak membahas kinerja JKN dari aspek jumlah peserta, jumlah iuran yang dihimpun, dan jumlah pembiayaan kesehatan yang telah dikeluarkan, berikut dengan jumlah defisit atau surplus dana jaminan sosial kesehatan, terlalu berorientasi keuangan. Orientasi ini menjadi fokus pada konferensi pers Public Expose Tahunan Direksi BPJS Kesehatan, 8 Februari 2021 yang juga diliput Koran Tempo. Tidak banyak aspek kinerja mutu pelayanan kesehatan yang dilaporkan, kalaupun ada hanya mutu kepuasan peserta, tidak ada tentang cakupan efektif.

Cakupan efektif dalam JKN adalah ukuran seberapa banyak penduduk di Indonesia yang sudah menjadi peserta JKN dan sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukan, dengan mutu yang baik.

Mutu menjadi kata kunci. Tidak hanya petugas yang ramah, antrian singkat, ruangan tunggu nyaman, dan ukuran kepuasan pasien lainnya. Mutu yang dimaksud adalah hasil atau luaran (output) layanan kesehatan, suatu keberhasilan dalam menangani penyakit. Sebagai contoh, untuk penderita kencing manis adalah terkendalinya kadar gula darah, penderita katarak adalah kembalinya tajam penglihatan, penderita stroke adalah terhindarnya dari kelumpuhan atau bahkan meninggal dunia.

Pentingnya Cakupan Efektif

Hasil pemantauan Badan Kesehatan Dunia dan Bank Dunia terhadap program JKN di berbagai negara menunjukkan, bahwa negara-negara tersebut telah dapat memberikan data cakupan pelayanan kesehatan dan perlindungan keuangan, namun masih belum dapat memberikan data terkait dengan mutu pelayanan kesehatan, termasuk cakupan efektif program JKN.

Cakupan efektif tidak sekedar mengukur seberapa banyak penduduk yang telah menjadi peserta JKN, hal ini disebut sebagai cakupan kepesertaan. Tidak juga hanya mengukur seberapa banyak penduduk telah mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes), ini disebut sebagai cakupan pelayanan. Cakupan efektif mengukur luaran utama yang diharapkan oleh penderita, yaitu kesembuhan.

Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh penulis di sebuah kabupaten di Pulau Jawa pada tahun 2019, menunjukan dari hampir 400 penderita darah tinggi (hipertensi) di 60 lebih Fasyankes, 87% diantaranya telah menjadi peserta JKN, dan 84% telah berobat ke Fasyankes. Ini menunjukkan cakupan kepesertaan dan cakupan pelayanan sudah cukup baik. Namun kemudian hanya ada 24% penderita yang tekanan darahnya terkontrol setelah beberapa kali mendapatkan pelayanan kesehatan, ini adalah capaian cakupan efektif.

Cakupan efektif penderita hipertensi sebesar itu relatif rendah. Apalagi kabupaten tersebut merupakan kabupaten tanpa kesulitan akses geografis, memiliki banyak Fasyankes, dengan tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat yang cukup tinggi. Pada hipertensi, berbagai penelitian menunjukan umumnya setengah dari penderita yang telah berobat dapat terkontrol tekanan darahnya, maka kabupaten tersebut seharusnya dapat mencapai cakupan efektif sebesar 42%, hampir dua kali lipat dari yang dicapai pada saat itu.

Bagi penderita hipertensi, terkontrolnya tekanan darah merupakan indikator keberhasilan pelayanan kesehatan terpenting. Indikator ini digunakan oleh banyak negara dan para peneliti untuk menilai baik buruknya pelayanan kesehatan yang diterima penderita hipertensi. Tekanan darah yang terkontrol dapat mencegah penderita hipertensi mengalami komplikasi atau penyakit lain seperti stroke, jantung dan gagal ginjal.

Komplikasi dan penyakit tersebut disamping membuat kualitas hidup penderita menurun, juga sering menyebabkan kematian. Beban dan biaya perawatan kesehatan juga melambung tinggi. Secara menyeluruh indikator ini menjadi penting bagi semua pihak, baik pemerintah, pengelola Fasyankes, dan para tenaga kesehatan. Contoh cakupan efektif hipertensi ini juga berlaku untuk berbagai penyakit lain.

Cara Mengukur Cakupan Efektif

Pengukuran cakupan efektif perlu dilakukan untuk berbagai penyakit prioritas nasional, baik penyakit menular seperti tuberkulosis, malaria, HIV, dan termasuk saat ini Covid-19; penyakit tidak menular seperti kencing manis, jantung, ginjal, dan kanker; serta penyakit terkait kesehatan ibu dan anak, termasuk stunting.

Pengukuran dilakukan dengan membangun komitmen bersama, bahwa cakupan efektif penting diukur dan ditingkatkan. Komitmen dibangun antara pihak pemerintah yaitu kementerian kesehatan, BPJS Kesehatan, kementerian dalam negeri, dan pemerintah daerah, dengan para pengelola Fasyankes, organisasi profesi, serta perwakilan pasien, serta wakil rakyat.

Berikutnya adalah menetapkan sumber data. Data harus berasal dari gabungan data JKN, data pelayanan di Fasyankes, dan data dari berbagai survei seperti Survei Kesehatan Nasional. Hasil analisa dari seluruh data tersebut menjadi dasar untuk penyusunan rencana peningkatan cakupan efektif, tingkat nasional maupun daerah.

Harapan bersama

Direksi baru BPJS Kesehatan diharapkan tidak hanya berkutat pada pembahasan jumlah peserta, iuran dan dana yang terkumpul, serta jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan dan biaya yang dikeluarkan, namun juga perlu membahas dan menetapkan strategi untuk meningkatkan cakupan efektif.

Direksi baru BPJS Kesehatan seperti kita semua, meskipun tidak berharap, namun suatu ketika kita dapat saja mendapati diri membutuhkan jaminan kesehatan, saat itu, saat kita mengeluarkan kartu JKN, kita ingin bisa tersenyum.

Tersenyum, karena disamping mendapatkan jaminan pembiayaan dan jaminan pelayanan, kita juga yakin akan mendapatkan jaminan mutu pelayanan kesehatan. Semoga.

 

 

Kementerian kesehatan pada tahun 2017 telah mengeluarkan Permenkes No 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di fasilitas layanan kesehatan, Permenkes tersebut ditujukan untuk seluruh fasilitas layanan kesehatan baik FKTP maupun Rumah Sakit, tanpa terkecuali milik pemerintah maupun swasta. Pada pasal 3 ayat (4) Permenkes tahun 2017 menyebutkan bahwa PPI mencakup infeksi terkait pelayanan kesehatan (HAIs) dan infeksi yang bersumber dari masyarakat. Meskipun PPI yang terkait dengan HAIs cukup detil, namun belum dibedakan antara FKTP dan Rumah Sakit. Sementara itu, PPI yang bersumber dari masyarakat belum diatur secara rinci baik bentuk program maupun kegiatannya.

Seperti yang diketahui bahwa Prinsip penerapan PPI di fasilitas pelayanan kesehatan berlaku sama, namun karena adanya perbedaan ketersediaan sumber daya manusia, kompetensi dan kewenangan, ketersediaan alat kesehatan, sarana dan prasarana, pembiayaan, lingkungan, sasaran maupun pelaksanaan kegiatan maka penatalaksanaannya perlu penyesuaian, oleh karena itu dalam pedoman teknis PPI ini, aspek tersebut akan di bahas secara detil agar dapat menjadi acuan kegiatan bagi FKTP, khususnya puskesmas yang pelayanannya bukan hanya fasilitas layanan kesehatan (dalam gedung) tapi juga memberikan pelayanan di fasilitas luar gedung, atau langsung di masyarakat.

Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, maka direktorat mutu dan Akreditasi pelayanan kesehatan, kementeria kesehatan bekerjasama dengan para pakar pencegahan danpengendalian infeksi, lintas program terkait menganggap penting untuk menyusun pedoman teknis pencegahan danpengendalian infeksi di FKTP. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua FKTP dalam menerapkan PPI sebagai bagian dalam upaya memberikan pelayanan yang bermutu, sesuai standar, mengutamakan keselamatan pasien, petugas dan masyarakat menuju terwujudnya UHC yang bermutu di 2030

file buku pedoman

 

 

(Studi kasus di Sumatera Utara, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur)

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Mutu, PKMK FK-KMK-UGM)

Pentingnya akses dalam pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan, tidak terkecuali untuk pelayanan pasien dengan penyakit langka dan penyakit lainnya. Bagi sebagian besar pasien, terdapat hambatan yang cukup besar dalam hal akses ke pelayanan yang tepat, diagnosis tertunda dan pilihan pengobatan yang terbatas atau bahkan tidak tersedia. Di Indonesia, untuk meningkatkan akses, pemerintah telah menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu suatu skema asuransi sosial kesehatan pada tahun 2014 dengan maksud untuk mencapai universal health coverage (UHC) pada tahun 2019.

Selain itu, strategi akses dimaksudkan untuk memberikan dampak positif bagi pasien dengan penyakit langka dan mereka yang membutuhkan terapi turunan plasma untuk kondisi mereka. Sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Djasri et al., telah melakukan evaluasi kesenjangan pelayanan kesehatan di area penyakit gastrointestinal, kanker, penyakit langka, dan terapi plasma dari sudut pandang sistem kesehatan Indonesia, di 3 wilayah di Indonesia yakni Sumatera Utara, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur, yang mewakili wilayah perkotaan, pedesaan, dan campuran perkotaan-pedesaan.

Di setiap lokasi dipilih 2 wilayah (kota/kabupaten) yang merupakan ibu kota dan wilayah terjauh dari ibu kota. Tujuan penelitian ini untuk memahami bagaimana kesenjangan sistem kesehatan untuk memperkuat sistem kesehatan, mendukung pemberian pelayanan kepada pasien di sepanjang rangkaian perawatan khusus berkaitan dengan area penyakit yang diuraikan dalam pernyataan masalah.

Studi ini mendukung penyelarasan upaya yang dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan, yang bekerja dengan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pemberian layanan kesehatan. Desain penelitian menggunakan studi cross-sectional yang dirancang untuk mengevaluasi kesenjangan sistem perawatan kesehatan dengan fokus pada Inflamatory Bowel Diseases (IBD), kanker, penyakit langka dan perawatan terapi plasma di Indonesia serta menggabungkan metode analisis kuantitatif dan kualitatif dari para pemangku kepentingan yang bekerja di bidang yang sama termasuk LSM, perusahaan farmasi mitra dan otoritas pemerintah serta evaluasi dan analisis studi kasus di tingkat lapangan.

Hasil dari evaluasi di 3 provinsi terpilih di Indonesia ini telah memberikan gambaran yang jelas tentang sistem kesehatan Indonesia dalam mengelola 4 wilayah penyakit tersebut. Penerapan program JKN pada tahun 2014 sedikit banyak telah menghilangkan hambatan finansial untuk perawatan kesehatan. Meski demikian, ketimpangan masih terjadi akibat distribusi sumber daya kesehatan yang tidak seimbang.

Adanya ketimpangan antar wilayah menyebabkan aksesibilitas pelayanan menjadi masalah utama bagi keempat wilayah penyakit tersebut. Kurangnya dukungan kebijakan dari Pemerintah Indonesia berpotensi menyebabkan buruknya penyediaan layanan kesehatan untuk 4 bidang penyakit tersebut. Ini akan berdampak pada komunitas dan pengguna layanan. Pendataan pasien sangat penting untuk pengelolaan penyakit ini.

Kurangnya pendataan di IBD dan penyakit langka berpotensi menghasilkan data prevalensi kedua penyakit yang tidak lengkap. Karena biaya untuk kedua penyakit ini tinggi dan sumber daya terbatas, rendahnya angka prevalensi tidak akan menarik perhatian alokasi dana dari pemerintah. Selain itu, Indonesia memiliki ruang fiskal yang ketat untuk program kesehatan karena lebih banyak fokus diberikan pada perawatan primer dan preventif, perawatan akut, dan penyakit lain dengan beban epidemiologi yang tinggi untuk mendukung jaminan kesehatan universal.

Pada pertemuan sosialisasi dengan stakeholder yang diundang dan kelompok dukungan pasien menemukan bahwa sistem informasi untuk penyakit tersebut masih lemah. Misalnya HMHI meskipun aplikasi haemophily-nya telah mencatat 2.000 kasus hingga tahun 2020, namun prediksi epidemiolic untuk hemophily di Indonesia adalah sekitar 20.000 kasus.

Kesenjangan sistem informasi cukup lebar di sini. Kemenkes sebagai regulator di bidang kesehatan perlu meningkatkan dan mempersiapkan sistem informasi yang komprehensif, tidak hanya untuk penyakit hemofilia secara spesifik tetapi juga penyakit lain untuk mendapatkan informasi yang lebih baik yang dapat mendukung proses pengambilan keputusan untuk pengelolaan penyakit yang efektif dan alokasi sumber daya.

Meskipun peran pemerintah sangat penting dalam mengembangkan sistem perawatan kesehatan yang efektif, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam hal ini. Kelompok pendukung pasien, LSM, sektor swasta termasuk perusahaan farmasi harus dilibatkan dalam inisiatif ini. Pelajaran dari Filipina dapat menjadi contoh yang baik karena negara tersebut telah menyetujui Undang-Undang Penyakit Langka pada bulan September 2015 didukung oleh kelompok dukungan pasien yang melakukan langkah-langkah penting dalam memetakan strategi nasional.

Penguatan kelompok pendukung pasien dan LSM yang ada di Indonesia sangat penting untuk dapat mendorong pengembangan kebijakan IBD, kanker, dan penyakit langka baik di tingkat nasional maupun provinsi / kabupaten / kota. Kebijakan khusus untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi penyakit-penyakit tersebut sangat diperlukan untuk memastikan pasien mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.

Studi ini dapat menjadi titik awal untuk melakukan studi lebih lanjut di bidang IBD, kanker, penyakit langka dan terapi turunan plasma. Situasi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia belum siap merespon meningkatnya jumlah penyakit tersebut. Banyak tantangan yang perlu dijawab oleh Pemerintah Indonesia sebagai aktor utama dalam reformasi sistem kesehatan.

Tantangan-tantangan tersebut adalah kurangnya kebijakan/pedoman/strategi nasional, sistem informasi kesehatan yang lemah, kesenjangan ketimpangan yang besar dalam pelayanan kesehatan, distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, dll. Selain itu, masih terbatasnya kelompok pendukung pasien yang dapat dilibatkan dalam penanganan penyakit. Alokasi anggaran yang substansial sangat penting berdasarkan penilaian kebutuhan yang komprehensif untuk keempat bidang penyakit tersebut.

Beberapa rekomendasi dihasilkan dari studi evaluasi ini, antara lain; Kementerian Kesehatan Indonesia perlu mengembangkan kebijakan khusus untuk tiga bidang penelitian: kebijakan IBD, kebijakan penyakit langka, dan kebijakan terapi derivatif plasma; Kementerian Kesehatan RI perlu lebih mensosialisasikan kebijakan kankernya ke tingkat provinsi dan kabupaten / kota, khususnya untuk penanganan kanker tidak umum, seperti Limfoma Hodkin dan Milenoma Ganda; Kebijakan di atas harus mencakup tanggung jawab pemerintah provinsi untuk memastikan ketersediaan layanan kesehatan untuk 4 wilayah penyakit, termasuk sistem pemantauan dan evaluasi; Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi perlu mengidentifikasi berbagai lembaga mitra (kelompok pendukung pasien, LSM dan organisasi kemasyarakatan dan sosial) yang dapat berperan serta meningkatkan sistem pelayanan kesehatan di 4 wilayah penyakit; Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dan tingkat pasien untuk menggali lebih dalam tentang pengelolaan penyakit tersebut dari bawah ke atas.

Sumber:

  • Djasri, H., Nappoe, A., Nursetyo, A., Rahma, A. (2020), Evaluasi Kesenjangan Pelayanan Kesehatan di Area Penyakit Gastrointestinal, Kanker, Penyakit Langka, dan Terapi Plasma: Sudut Pandang Sistem Kesehatan Indonesia. Jogjakarta: A Health System Assessment Final Report. CHPM, UGM.