Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Salah satu tantangan dalam pengelolaan rumah sakit menghadapi akreditasi sistem yang baru adalah masalah keselamatan. Gerakan keselamatan pasien menjadi urat nadi sistem akreditasi rumah sakit. Walau mengadopsi sistem dari Joint Comission International (JCI), nampak bahwa Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) ingin mengedepankan mutu dan keselamatan pasien sebagai panglima dalam akreditasi rumah sakit.

Selain keselamatan pasien, kewaspadaan terhadap kebakaran dan kebencanaan adalah bagian dari sistem akreditasi dan berkaitan langsung dengan keamanan, keselamatan, pengelolaan limbah, pengelolaan sistem utilitas (listrik, air, gas, pengatur suhu, dan lain-lain), dan pengelolaan alat medis. Berbagai titik tangkap mengenai keselamatan ini menunjukkan bahwa sarana gedung, lokasi bangunan, dan sistem pendukung kebencanaan yang ada di rumah sakit sering kali belum layak. Banyak rumah sakit di Indonesia dibangun tanpa mempertimbangkan faktor keselamatan dalam rancangannya. Dalam persiapan akreditasi, rumah sakit kemudian menyiasati berbagai kekurangan ini.

Salah satu perencanaan yang komprehensif dalam hal kebencanaan sering disebut sebagai hospital disaster plan atau sering disingkat dengan HDP. Dokumen HDP sering hanya berhenti pada penyusunannya saja dan lupa diuji coba untuk melihat kelayakan penerapannya. Banyak yang lupa, bahwa perencanaan sering kali berbeda dengan kenyataan di lapangan. Simulasi bencana, dengan demikian, sebenarnya adalah bagian tidak terpisahkan dari penyusunan HDP.

Rumah Sakit Panti Rapih, tempat penulis berkarya, juga memiliki HDP. Kami menyebutnya rencana penanggulangan bencana rumah sakit, atau kami singkat sebagai RPBRS. Dokumen RPBRS ini merupakan kerja bersama seluruh unit kerja di RS Panti Rapih dikoordinasi oleh panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3) dan tim manajemen risiko. Dalam penyusunannya, tim peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP) dan komite pengendalian infeksi rumah sakit (KPIRS) juga ikut berkiprah.

Dalam menyusun RPBRS, seluruh unit kerja diminta membuat perencanaan apa yang akan dilakukan ketika terjadi bencana. Setelah perencanaan unit terkumpul, dibantu suatu draft, dokumen disusun. Penyusunan dokumen diikuti dengan rapat dan diskusi. Rapat dan diskusi menghasilkan kesepakatan bersama. Salah satu contoh kesepakatan bersama yang dicapai lewat rapat dan diskusi adalah penetapan jalur evakuasi, pembukaan titik kumpul aman, dan zona pelayanan triase. Pendek kata, RPBRS kami merupakan pemberdayaan seluruh unit.

Dokumen RPBRS mengatur perencanan sistem komando saat bencana, evakuasi pasien rawat inap, kelanjutan perawatan pasien di titik kumpul aman, pengelolaan pengunjung dan keluarga pasien, prioritisasi penanganan korban dari luar rumah sakit, aktivasi sistem pendukung pelayanan, dan asesmen bangunan dan sistem utilitas. Rencana tersebut kemudian disosialisasikan ulang kepada seluruh unit kerja, dengan dua cara. Cara pertama dilakukan di unit kerja masing-masing. Tim RPBRS berkeliling ke seluruh unit kerja untuk bicara mengenai RPBRS dan tugas secara spesifik apa yang dibebankan pada unit kerja tersebut. Cara kedua adalah dengan cara klasikal. Cara klasikal diberikan kepada para kepala unit kerja saat pertemuan dan pada karyawan baru atau baru diangkat.

Setelah fase sosialisasi selesai, kami adakan simulasi. Simulasi besar yang diadakan 6 April 2014 yang lalu bekerja sama dengan Akademi Keperawatan Panti Rapih (memperagakan pasien internal dan eksternal) dan Detasemen Perbekalan dan Angkutan (Denbekang) IV-44-02 di bawah Pangdam IV Diponegoro. Simulasi ini bertujuan menguji RPBRS dan menetapkan perencanaan untuk perbaikan di masa depan. Pada simulasi ini, kami memilih bencana gempa dan memakai situasi gempa tahun 2006.

Dalam simulasi ini, tim manajemen risiko menempatkan evaluator-evaluator di berbagai titik penting di RS Panti Rapih dan membuat asesmen mengenai jalannya simulasi. Ada beberapa catatan penting paska simulasi yang telah dibuat, misalnya mengenai kualitas triase, waktu yang dibelanjakan untuk identifikasi pasien, alur pasien saat evakuasi, pelayanan pasien di titik kumpul aman, dan lain-lain.

Salah satu contoh masalah dalam perencanaan adalah mengenai identifikasi pasien eksternal. Kami merencanakan untuk menuliskan dua identitas (nama dan tanggal lahir) pada gelang dan memberikan label triase. Kami mengingat bahwa identifikasi yang benar adalah sasaran pertama dari keenam sasaran keselamatan pasien. Logikanya, akan lebih aman bagi pasien bila identitas tersebut telah dibereskan sebelum pasien dilayani di zona pelayanan triase merah, kuning, dan hijau.

Pada kenyataannya, sistem ini ternyata memakan waktu lama pada waktu triase. Akibatnya, aliran pasien eksternal sangat terhambat, dan pasien menumpuk banyak di zona pelayanan triase. Kami masih berupaya mencari solusi agar identifikasi dapat dilakukan dengan cepat dan sedini mungkin tanpa harus membebani zona triase dengan antrian pasien yang sedemikian panjang.

Pengalaman RS Panti Rapih dalam menyusun dan mensimulasikan RPBRS dapat menjadi pelajaran berharga bagi rumah sakit lain. Tentunya bukan demi keberhasilan akreditasi rumah sakit saja. Lebih penting untuk memastikan sistem keselamatan di rumah sakit dapat berjalan dengan baik lewat perencanaan yang matang. Ingat kata Benjamin Franklin, salah satu founding fathers negeri Paman Sam yang pernah menasihati kita, "By failing to prepare, you are preparing to fail". Gagal mematangkan rencana berarti kita merencanakan kegagalan. Salam keselamatan!

Robertus Arian Datusanantyo
Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Panti Rapih
Catatan: Tulisan ini adalah opini pribadi.

Maureen Bisognano, President and CEO Institute for Healthcare Improvement dari USA mengingatkan bahwa para pemimpin dalam bidang pelayanan kesehatan seharusnya telah menggunakan cara berpikir yang berbeda dari cara berpikir tahun 1980an, dia menjelaskan perubahan cara berpikir yang terkait dengan kepuasan pasien, keterlibatan klinisi, pengendalian biaya dan pengukuran kinerja.

21apr

Pada tahun 1980an, isu kepemimpinan di dalam pelayanan kesehatan tentang kepuasan pasien terkait dengan upaya peningkatan fasilitas dan tehnologi, kemudian bergeser ke peningkatan customer service pada tahun 1990an dan lalu tahun 200an ke peningkatan pengalaman pasien (patient experience). Sedangkan pada saat ini (tahun 2010an) mengarah ke keterlibatan pasien dan keluarga dalam pelayanan kesehatan.

Mencermati hal tersebut mau tidak mau memang diakui bahwa di Indonesia perkembangan isu kepuasan pasien masih terjadi di ke 4 area tersebut. Sebagian RS banyak yang masih dalam "era tahun 1980an" (dan memang mungkin masih memerlukan tahap tersebut), hal ini terlihat dari RS yang baru mengandalkan upaya peningkatan kepuasan pasien dengan menambah fasilitas dan juga tehnologi, misalnya memberikan fasilitas kamar super mewah bagi kelas VIP, menyediakan layanan pendaftaran melalui website ataupun telefon dan sebagainya termasuk mengadakan survey kepuasan pasien melalui kuesioner.

Sangat sedikit RS yang telah berupaya meningkatkan pengalaman pasien saat mendapatkan layanan kesehatan, hal ini tercermin dari sedikitnya RS yang menggali pengalaman pasien sesaat akan pulang atau sesaat setelah mendapatkan layanan. RS sering menganggap pelayanan yang diberikan telah berjalan dengan baik karena menggunakan sudut pandang manajemen/klinisi RS bukan sudut pandang pasien.

Melibatkan pasien dalam pelayanan kesehatan bahkan lebih jarang lagi dilakukan oleh RS di Indonesia. Pengelola RS dan klinisi sering berpendapat bahwa pasien dan keluarga sulit memahami dan terlibat aktif dalam pelayanan kesehatan, sehingga nuansa "paternalistik" masih cukup kental terasa. RS Indonesia yang bercita-cita menjadi world class hospital (bukan hanya sekedar terakreditasi internasional) perlu benar-benar berupaya memberdayakan pasien/keluarga serta melibatkan mereka dalam pelayanan kesehatan.

Perubahan mental model kedua dalam peningkatan mutu terkait dengan keterlibatan klinisi. Kalau dulu tahun 1980an klinisi sering hanya dianggap sebagai pelanggan (bahkan sering dikatakan bahwa pelanggan ekternal RS ada 2, yaitu pasien dan dokter) kemudian bergeser menjadi klinisi sebagai partner bekerja (sehingga ada MOU antara RS dengan dokter) lalu bergeser lagi pada tahun 2000an kearah upaya meningkatkan engagement para klinisi (ini antara lain dengan melibatkan klinisi dalam penyusunan rencana stratejik RS hingga pengaturan remunerasi para dokter). Pada era 2010an maka isu tersebut bergeser kearah kepemimpinan klinisi.

Clinical leadership meski sudah sering diungkapkan dalam pertemuan/seminar RS di Indonesia, namun semuanya masih dalam tataran konsep, sangat jarang berbagai hal tehnis clinical leadership yang dibahas di pertemuan-pertemuan tersebut telah diterapkan, misalnya penyusunan rencana stratejik RS (termasuk rencana stratejik peningkatan mutu) lebih sering diarahkan oleh manajemen RS (bahkan sering hanya diarahkan oleh isu/aspek keuangan) tidak diarahkan dari visi para klinisi tentang perkembangan dunia kedokteran/keperawatan.

Menjamurnya RS dengan pusat-pusat keunggulan di RS baik RS khusus maupun RS umum ternyata hanya sebatas jargon, tidak benar-benar diarahkan menjadi pusat unggulan. Hal ini sedikit banyak karena hanya mendapatkan arahan dari sisi manajemen RS tidak dari para klinisi. Kadang hal ini sudah disadari oleh manajemen RS namun ternyata untuk mendapatkan perhatian dan keterlibatan klinisi sebagai leader yang juga menentukan arah perkembangan RS juga sulit (sering dengan dalih tidak punya waktu).

Perubahan mental model ketiga terkait dengan upaya pengandalian biaya, sering dikatakan bahwa meningkatkan mutu otomatis akan menurunkan biaya (yang tidak perlu), pada era tahun 1980an upaya pengendalian biaya dilakukan dengan mengelola sumber daya yang dimiliki (SDM, sarana-prasarana, keuangan dsb), kemudian tahun 1990an bergeser ke pengelolaan Length of Stay lalu bergeser lagi menjadi pengelolaan waste (misalnya dengan menerapkan green hospital ataupun lean hospital), pada tahun 2010an isu pengelolaan biaya bergeser kearah redesain pelayanan (redesign care).

Berbagai RS yang telah mempersiapkan akreditasi JCI ataupun KARS versi 2012 tentu telah mengenal cara melakukan redesign pelayanan dengan melakukan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), ini dilakukan untuk meningkatkan keselamatan pasien, namun sebenarnya pada era tahun 2010an seharusnya RS sudah mampu melakukan redesign untuk mengendalikan biaya.

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per tanggal 1 Januari 2014 lalu ternyata tidak disikapi oleh RS dengan merubah/meredesign pelayanannya, pelayanan yang diberikan secara umum masih sama (bahkan sering dikatakakan hanya berganti nama dari pelayanan untuk peserta Askes atau Jamkesmas menjadi untuk peserta BPJS). Padahal seharusnya berlakunya JKN harus membuat RS melakukan perubahan fundamental dalam pelayanan kesehatanya, misalnya memberlakukan sistem remunerasi dokter berdasarkan kinerja (pay per performance) tidak lagi berdasarkan fee for service, mengembangkan manual rujukan antara RS dengan PPK I yang ada diareanya, membuat sistem reminder bagi pasien dan juga klinisi agar tetap dapat mematuhi standar pelayanan klinisi yang telah ditetapkan dan sebagainya.

Perubahan mental model terakhir menurut Bisognano adalah terkait dengan pengukuran kinerja, kalau dulu pada tahun 1980an kinerja hanya diukur sebatas kepatuhan terhadap standar akreditasi (sayangnya di Indonesia masih pada era ini), maka pada tahun 1990an sudah bergeser kepada pelaporan kinerja RS bagi publik termasuk pengukuran kepatuhan terhadap berbagai regulasi, lalu pada tahun 200an bergeser ke penggunaan data sebagai upaya peningkatan mutu (ini sudah dimulai di Indonesia dengan sistem akreditasi yang baru), serta pada tahun 2010an dengan mengkaitkan antara besarnya pembayaran dengan mutu yang dicapai.

Indonesia masih tertinggal jauh untuk isu pengukuran kinerja, seperti disebutkan diatas, kita masih seperti pada era tahun 1980an dimana kinerja RS seperti hanya dinilai dari memenuhi atau tidak standar akreditasi. Meski ada regulasi terkait dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan juga ada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit namun laporan-laporan tersebut tidak dapat diakses oleh masyarakat, bahkan dewan pengawas RS sebagai wakil dari pemilik RS sering kesulitan membaca laporan tahunan RS karena minimnya telaah dari berbagai data yang disajikan. Mengkaitkan antara besarnya pembayaran dengan mutu yang dicapai juga sama sekali belum dilakukan, sebagai contoh tarif INA-CBGs ditentukan berdasarkan regional dan kelas RS yang tidak mencerminkan mutu RS, sehingga RS yang bermutu belum tentu mendapatkan tarif yang lebih tinggi dari pada RS yang tidak bermutu.

Meskipun berbagai contoh yang diungkapkan diatas lebih banyak diambil dari RS namun sebenarnya semua hal tersebut diatas juga berlaku untuk sarana pelayanan kesehatan lain, seperti Puskesmas, praktek dokter mandiri, rumah-bersalin, apotik, laboratorium dan sebagainya.

Berbagai perkembangan mental model tersebut direkam oleh Bisognano selama menjalani kariernya sebagai pengelola RS dan juga saat ini sebagai konsultan RS, meski diambil dari pengalaman negara maju namun setidaknya bagi RS Indonesia yang ingin benar-benar menjadi world class hospital berbagai perkembangan tersebut perlu dicermati, perlu dilakukan lompatan jauh kedepan (quantum leap) bagi RS yang ingin mengejar ketertinggalannya dari era 1980an menjadi ke era 2010an. Selamat ber-quantum leap.

(Hanevi Djasri, Paris 9 April 2014)

John Moxham dan James Mountford, keduanya dari Inggris, mengatakan pada konfrensi internasional BMJ baru lalu bahwa pada saat ini pelayanan kesehatan dituntut tidak saja dapat memberikan pelayanan yang efektif, aman dan efisien, namun juga pelayanan kesehatan yang sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan oleh pasien.

art5mei1

Value dalam pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai outcome pelayanan kesehatan (baik outcome klinis dan kepuasan pasien) dibagi dengan biaya untuk menyedikan pelayanan tersebut.

Pada saat ini sarana pelayanan kesehatan tidak memiliki data yang memadai terkait dengan outcome dan biaya pelayanan yang diberikan. Disisi lain juga tidak ada dorongan dari sistem pembiayaan kesehatan untuk mendorong sarana pelayanan kesehatan meningkatkan nilai yang didapatkan oleh pasien.

Seperti banyak dilakukan oleh RS kita dalam menghadapi JKN, maka pengendalian biaya yang sering dilakukan adalah dalam bentuk penghematan biaya, namun perlu dipahami bahwa menurut rumus diatas pengehematan biaya hanyalah merupakan sebagian dari upaya meningkatkan value.

Pemotongan biaya (cost-cutting) selain sulit dilakukan juga sering justru menurunkan value. Kegiatan cost-cutting juga sering bertolak belakang dengan kegiatan untuk melakukan inovasi dan meningkatkan outcome dan value.

Disisi lain meningkatkan outcome sering sekaligus menurunkan biaya, misalnya memberikan pelayanan yang tepat sejak awal atau melakukan upaya deteksi dini sehingga tatalaksana yang baik sering sekali lebih murah dari pada tatalaksana yang tidak tepat.

Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Prof. Michael Potter dari Havard: "The most powerful way to drive costs down is to improve outcomes (early and correct diagnosis and treatment, fewer complications, faster and sustained recovery)"

Bagaimana menggabungkan indikator mutu dengan indikator biaya?

Cleveland Clinic di USA memberikan contoh bagaimana mereka menggabungkan kedua indikator tersebut untuk menggasilkan indikator value. Pertama mereka menetapkan dahulu indikator outcome berdasarkan apa yang mereka anggap penting bagi pasien. Penetapan indikator outcome tersebut mereka gali dari review literatur, diskusi kelompok terarah dan survey yang melibatkan pasien sebelum masuk kedalam pembahasan oleh sekelompok klinisi untuk menghasilkan indikator outcome. Secara umum indikator outcome yang mereka gunakan terdiri dari: survival, recovery, time to recovery, sustainability of recovery dan long-term consequences of therapy.

art5mei1

Untuk penyusunan indikator biaya lebih sulit karena secara tradisional data biaya yang ada di RS umumnya terkait dengan biaya pelayanan yang hanya digunakan/diperlukan oleh manajer RS dan sering klinisi tidak merasa memiliki atau mempercayai data biaya tersebut. Atas dasar ini maka Claveland Clinic berusaha untuk membahas indikator biaya ini bersama klinisi dengan menggunakan pengertian bahwa biaya adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk seluruh 'cycle of care' dan berdasarkan pada 'particular medical condition'.

Berdasarkan pendekatan tersebut maka didapatkan bahwa klinisi kemudian dapat mempercayai data biaya, memandang bahwa data biaya terkait dengan aspek klinis serta mereka dapat mengidentifikasi upaya efiensi biaya dari sisi pelayanan klinis.
Langkah terakhir adalah menggabungkan antara indikator outcome dengan indikator biaya untuk menghasilkan indikator value

art5mei1

Contoh yang mereka tunjukan adalah value yang didapat dari indikator outcome dan biaya dari penatalaksanaan endokarditis yang membandingkan antara biaya rata-rata penatalaksanaan endokarditis dengan LOS, serta antara breakdown biaya penatalaksanaan endokarditis dengan waktu tunggu operasi, sebagai berikut:

Mudah-mudahan ada RS di Indonesia yang dapat memulai mengukur value pelayanan kesehatan yang mereka berikan seperti di Cleveland Clinic ini.

Dilaporkan oleh: Hanevi Djasri dari BMJ International Forum for Quality and Safety, Paris.

Maureen Bisognano, President and CEO Institute for Healthcare Improvement dari USA menggunakan istilah "Escape Velocity" untuk menggambarkan upaya yang diperlukan agar tingkat mutu pelayanan kesehatan dapat melejit tinggi tidak hanya sekedar naik secara bertahap. Istilah tersebut diambil dari penerbangan roket di luar angksa, yaitu batas kecepatan yang dibutuhkan sebuah roket untuk dapat keluar dari orbitnya.

Dalam mutu pelayanan kesehatan, pendekatan tersebut digunakan untuk mencari upaya yang dapat membuat tingkat mutu melejit keluar orbit yang biasa-biasa saja menjadi excelent, sebuah peningkatan mutu yang bukan sekedar naik 10% namun peningkatan mutu yang bisa mencapai 10 x lipat.

Bagaimana cara mendapatkan escape velocity? Berikut usulan dari Bisognano:

Upaya luar biasa untuk melejitkan mutu pelayanan kesehatan memerlukan ide-ide baru, inspirasi dan kerjasama kolektif dari semua komponen dalam sistem pelayanan kesehatan. Kita harus sama-sama berani menatap langit (maksudnya berani menetapkan standar tertinggi dan bertekad bulat mencapainya).

Keberanian dan kebulatan tekad tersebut akan mempercepat perubahan, mendorong kerjasama antar masyarakat untuk membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Hal ini diperlukan karena banyak hal yang membuat kita tetap pada "orbit" yang sama, seperti permainan atau kebuntuan politis, keterbatasan pemikiran, tarik menarik antara peningkatan volume dengan value, dan berbagai tantangan kompleks lainnya.

Contoh keberanian dan kebulatan tekad dari IHI adalah untuk: 1) Menciptakan suatu kontrak sosial tentang kesehatan yang dapat menjadi pedoman pengambil keputusan dalam setiap sektor dalam masyarakat. 2) Mendorong bergesernya anggaran kesehatan ke pelayanan kesehatan primer/masyarakat sebesar 20% pada tahun 2020. 3) Membuat 100 juta penduduk miskin dan tidak berdaya dapat kembali sehat dan sejahtera. 4) Menciptakan 10.000 komunitas yang dapat meng-eliminasi masalah kesehatan yang dapat dicegah (preventable health).

Dalam konteks di Indonesia jika kita ingin melejitkan mutu pelayanan kesehatan, maka terlebih dahulu perlu ditetapkan lompatan mutu pelayanan kesehatan seperti apa yang diinginkan dan standar setinggi apa yang dicapai. Menggunakan berbagai dimensi mutu, maka standar mutu tersebut dapat ditetapkan seperti: Membuat seluruh masyarakat di Indonesia terjamin akses kepada pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier; Menyediakan pelayanan world class untuk 10 penyakit terbanyak (dibuktikan dengan tercapainya indikator klinis baik proses maupun outcome); Menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan; Membuat keseimbangan antara biaya kuratif dengan biaya perventif dan promotif; dan sebagainya.

Setelah itu perlu ditetapkan 4-5 strategi yang dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, menyebarluaskan visi tentang lompatan mutu tersebut, lalu menghimpun para "pemain" yang tepat yang dapat mengatasi masalah.

Pertanyaan utama bila ini akan diterapkan di Indonesia adalah: Siapa yang akan memulai? Dan mungkin yang terpenting adalah siapa yang akan menjadi follower awal?

Pertanyaan tersebut penting karena sering sekali berbagai inovasi untuk melejitkan mutu pelayanan kesehatan telah dimulai namun sayangnya tidak dilanjutkan oleh barisan follower, misalnya program Sister Hospital yang bertujuan untuk melejitkan mutu pelayanan obstetri dan neonatal emergency komprehensif (PONEK) telah dimulai oleh FK-UGM dan telah diikuti (dalam bentuk kerjasama) oleh berbagai sentra pendidikan kedokteran lain, namun saat ini belum menjadi gerakan masal dimana sentra pendidikan kedokteran ataupun RS besar dapat melakukan kegiatan ini secara mandiri.

Contoh lain adalah penyusunan manual rujukan KIA yang telah dimulai di Provinsi NTT dan DIY yang bertujuan untuk menata agar rujukan ibu dan bayi dapat terselenggara dengan mulus dan dapat memberikan dampak penurunan kematian ibu dan bayi karena keterlambatan atau ketidaktepatan merujuk.

(Hanevi Djasri, Paris 9 April 2014)