Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Melihat dilema yang dihadapi perumahsakitan di Negeri ini dengan diberlakukan JKN melalui BPJS awal Januari 2014, banyak Rumah sakit yang akan dijual dan RS pemerintah yang bakal bangkrut. "Perubahan dunia luar dengan diberlakukan JKN sangat cepat,"ujar DR Hana permana Subanegara, MARS pada acara rakernas ARSADA pada 11 Juni 2014 yang lalu.

Sekarang ini perumahsakitan Nasional tengah memasuki masa transisi ada perubahan paradigma antara retrospective payment dengan prospective payment di dalam jasa pelayanan kesehatan. Para dokter di tekan dari berbagai penjuru, para direktur RS pemerintah maupun swasta mitra BPJS juga terbebani harus bisa untung dengan kondisi pembayaran klaim yang minim dan tersendat.

Sembari bergurau, Dewan Penasehat ARSADA Pusat itu menuding para anggota ARSADA itu orang-orang yang menderita dan tertekan. Namun demikian dia juga menghibur dengan melontarkan kata bijak,"Barangsiapa yang paling tertekan dan mampu bertahan dia akan menang," selorohnya, yang disambut gelak tawa pesera seminar.

Kondisi yang gonjang-ganjing yang dialami komunitas perumahsakitan, menurut Hana, akan membuat peta organisasi perumahsakitan menjadi tiga zona, antara lain: comfort zone (karyawan yang menikmati kondisi saat ini, sulit berubah dan tak mau bertransisi), disconfort zone (karyawan yang tidak pasti, ingin berubah, menjadi pembelajar) dan panic zone (karyawan yang sudah beku panik, tidak bisa belajar lagi).

Untuk mereka yang ingin berubah dan mau belajar, Hana selaku konsultan manajemen RS menyarankan agar pihak rumah sakit –salahsatunya melakukan penghematan- efisiensi di semua bidang, mulai dari menekan biaya operasional, misal mengurangi penggunaan listrik, menekan biaya pembelian obat dan alat yang berlebihan- misal membeli semua barang hanya satu merk, dll.

Sedangkan komunitas perumahsakitan yang enggan berubah –menerima JKN, menurut mantan Direktur RS Swasta itu, dikarenakan sejumlah alasan, antara lain: sulit bertransisi terhadap perubahan, sulit meninggalkan masa lalu, khawatir rugi (manajemen), khawatir jasa medis menurun (tenaga medis).

Padahal kebijakan JKN sudah diberlakukan, penilaian Hana, kita harus melihat kedepan – we can return, jadi pilihannya melakukan transformasi perubahan atau terlindas oleh perubahan. Untuk melakukan transformasi, jelas Dosen FKM UI itu, harus dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan tranformasi mental, kemudian transformasi system, diikuti tranformasi aplikasi, baru yang terakhir transformasi aturan main.

Di akhir persentasinya Hana mengutip kata bijak ilmuwan kondang Albert Einstein,"Menginginkan hasil yang berbeda, dengan melakukan cara-cara yang sama adalah tindakan orang gila".

Seorang direksi RSUD Jombang, dr.Puji setuju dengan langkah perumahsakitan menghadapi era kebijakan JKN dengan melakukan serangkaian transformasi tersebut, hanya saja ia mohon saran –TIPS untuk mensosialisasikan perubahan itu agar bisa berjalan baik- diterima oleh para dokter di RS.

"Lakukan pendekatan secara pribadi dengan si dokter, jangan secara institusional," Kata Hana mengakhiri.

Sumber: Jurnal Rakernas ARSADA, 11 Juni 2014 

Banyak ahli mengemukakan bahwa Primary Care merupakan tulang punggung dari system pelayanan kesehatan. Tidak hanya sebagai "pintu" masuk pasien/masyarakat untuk menerima pelayanan kesehatan (kuratif), Primary Care juga mengemban fungsi preventif demi menjamin status kesehatan masyarakat. Sebagai level pertama dari pelayanan kesehatan, primary care harus mampu menjadi gatekeeping/filter bagi pasien untuk menemukan pelayanan kesehatan yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dengan mengoptimalkan fungsi Primary Care sebagai gatekeeping, biaya pelayanan kesehatan bisa ditekan menjadi lebih rendah dengan mengurangi angka patient self-referred. Dengan begitu biaya yang tidak perlu bisa diminimalisir. Selain itu fungsi gatekeeping juga bisa menjadi semacam control untuk mengurangi demand kepada spesialis. Forest membandingkan 2 negara dengan kualitas Primary Care yang berbeda yakni United Kingdom (UK) dan United States of America (USA), dimana UK dengan penyebaran spesialis yang masih relatif minim namun mempunyai Primary Care yang kuat dan USA yang punya banyak spesialis dengan Primary Care yang lemah.

Forest menemukan bahwa Primary Care merupakan salah satu cara yang sangat tepat untuk mengatasi kelangkaan dokter spesialis di sebuah wilayah dimana Primary Care berfungsi sebagai gatekeeping, seperti yang terjadi di UK. Sedangkan untuk Negara dengan jumlah spesialis yang melimpah fungsi gatekeeping ini tidak bisa berjalan dengan baik, kebanyakan pasien dengan kemampuan membayar (ability to pay) yang tinggi biasanya langsung melakukan self-referred ke spesialis sehingga demand untuk spesialis menjadi tinggi, hal ini akan berdampak pada mekanisme dari Sistem Kesehatan Nasional (National Health System) untuk menyediakan demand tersebut yang tentu saja berdampak pada biaya.

Dalam penelitiannya Forest menemukan bahwa jumlah kunjungan ke spesialis di USA 2 kali lebih tinggi daripada di UK dalam periode 12 bulan, hal ini disebabkan karena tingginya angka self-referred dari pasien itu sendiri walaupun telah tersedia Primary Care dengan fungsi gatekeeping-nya dan bahkan dengan langsung mengunjungi spesialis mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk membayar pelayanan yang mungkin saja tidak mereka butuhkan. Dengan kemampuan membayar yang tinggi memang bukan menjadi masalah di USA, oleh karena itu Forest menekankan bahwa mengoptimalkan kualitas Primary Care sangat membantu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terutama di Negara berkembang dengan ketersediaan/penyebaran spesialis yang tidak merata. Apakah hal ini bisa menjadi salah satu solusi bagi Indonesia?

Lebih jauh lagi Kringos, dkk melalui project Primary Health Care Activity di 31 negara di Eropa, menemukan bahwa Primary Care yang kuat di negara-negara Eropa berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Negara dengan Primary Care yang kuat mempunyai trend kenaikan pengeluaran yang lebih lambat, namun yang menarik ada studi lain yang menyebutkan bahwa untuk memperkuat Primary Care memerlukan biaya yang cukup tinggi. Hal ini bisa dimaklumi karena penguatan Primary Care memerlukan pengembangan kebijakan, program perlindungan pasien, implementasi manajemen keuangan yang tepat, serta pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan yang terlibat yang mana memerlukan dukungan dana yang tidak sedikit.

Selain itu Kringos, dkk juga membuktikan bahwa dengan keberadaan layanan Primary Care yang kuat mencakup struktur, akses, koordinasi, dan kelengkapan mampu mengurangi kejadian rawat inap yang tidak perlu. Dengan kualitas layanan yang memadai sebagian besar pasien mampu ditangani di Primary Care sehingga bisa mengurangi beban RS sekaligus menekan biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien. Lebih jauh lagi Kringos, dkk mengemukakan bahwa hubungan yang baik antara pasien dengan Primary Care Provider memberikan akses yang baik untuk penyebaran informasi kesehatan. Dengan hubungan yang baik ini pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sehingga bisa menekan angka kesenjangan social ekonomi.

Dari paparan diatas bisa dikatakan bahwa Primary Care merupakan salah satu cara yang tepat untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya di negara dengan penyebaran sumberdaya kesehatan yang tidak merata seperti Indonesia. Namun begitu pembangunan layanan Primary Care yang kuat membutuhkan banyak dukungan secara continue baik itu dari segi kebijakan, akses, pengelolaan keuangan, koordinasi lintas sector, sistem informasi, dan masih banyak lagi.

Sumber :

Forest, Christopher B. 2003. Primary Care Gatekeeping and Referrals : Effective Filter or Failed Experiments?. British Medical Journal.

Kringos, Dionne S, et all. 2013. Europe's Strong Primary Care Systems Are Linked to Better Population Health But Also to Higher Health Spending. Health Affairs, No. 4

Oleh: Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran

"Ada JKN atau tidak, pasien harus selamat," tandas Dr. Adip Abdullah Yahya, MARS mengawali presentasinya atas makalahnya yang mengangkat tema "keselamatan pasien dalam implementasi JKN", yang dipaparkan dalam seminar hari pertama, Rabu 11 Juni 2014, dengan judul "Heboh JKN: Kendali Mutu & Biaya, Peluang Atau Bencana?" di Humaya Tower Hotel – Semarang.

Keselamatan pasien yang dimaksud Direktur RS MMC yang juga purnawiraan Brigadir Jenderal TNI AD itu adalah proses di dalam rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di dalamnya antara lain asesmen resiko, identifikasi, manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk menindaklanjuti insiden, serta menerapkan solusi untuk mengurangi timbulnya resiko –sesuai bunyi pasal 43 UU No 44 tentang RS.

Sedangkan versi WHO, jelas mantan Direktur RSGS itu, definisi yang simpel dari keselamatan pasien adalah melindungi dari error –kesalahan dan efek yang ditimbulkan yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan. "sejak dulu kala keselamatan pasien itu sudah diingatkan oleh filosuf kondang Hypocrates agar dalam praktiknya dokter tidak boleh menceredai pasien, "jelas Adip lagi.

Di dalam interaksi dokter dan pasien sehubungan pelayanan kesehatan pasien harus selamat / safety dan dokter juga harus selamat. "untuk itu perlunya dibangun system yang akan membuat asuhan pasien menjadi aman, karena ada pengakuan dokter itu bisa salah," tegas mantan Direktur Kesehatan – TNI AD.

Di dalam catatan sejarah, tutur Adib lagi, rumah sakit itu bukan tempat yang aman. Dari hasil penelitian Donaldson, Corrigan, Kohn asal US Institute Medicine, tahun 2000, diketahui jumlah kematian karena kelalaian dokter di Rumah sakit di AS jumlahnya mencapai 98 ribu / per tahunnya, lebih banyak ketimbang kematian disebabkan oleh AIDS (16 ribu/tahun), Kanker payudara (42 ribu/tahun), dan kecelakaan lalulintas (43,5 ribu/tahun).

Di Negara maju saja, diketahui keselamatan pasien saja tidak terjaga dengan baik –banyak korban akibat kesalahan dokter saat memberikan pelayanan kesehatan. Apalagi di Indonesia, ungkap mantan Direktur RSGS itu, banyak sekali kasus salah bedah, kasus salah mengobati, kasus-kasus human error si dokter- akibatnya kelalaiannya menyebabkan kematian.

Implementasi keselamatan di Rumah sakit, menurut Eks Ketua Umum PERSI itu, memiliki dasar hukum, yang memayungi standar keselamatan pasien, tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit, serta sasaran keselamatan pasien rumah sakit.

Menutup presentasinya Adip mengutip kata bijak yang perlu dicamkan oleh para dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. "Kesembuhan pasien ada di tangan Allah tetapi keselamatan pasien ada di tangan kita," Kata mantan Presiden Rumah Sakit Se-Asia itu mengakhiri.

Sumber: Jurnal Rakernas Arsada, 11 Juni 2014

Sektor pelayanan penting dalam perubahan ekonomi dunia. Pelayanan suatu organisasi menentukan kualitas organisasi, baik kualitas interpersonal maupun intrapersonal. Kualitas interpersonal antara lain skill, leadership, problem solving dll. Sedangkan kualitas intrapersonal berhubungan dengan bagaimana organisasi itu mengelola sistem agar berjalan dengan baik. Kualitas sistem manajemen dapat diukur dengan standar internasional antara lain keuntungan produksi, banyaknya pengguna, banyaknya konsumen dan peran regulator. Semuanya itu dapat dicapai jika organisasi menggunakan tolok ukur ISO 9000.

Di Lithuania, pada akhir Juli 2010, ISO 9001 mendekati 1.022 sertifikat pada semua sektor produksi, pelayanan dan pemerintahan. Hal ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Meskipun terbilang sukses, namun sertifikat ISO 9000 banyak di kritik, diantaranya sertifikat ISO 9000 tidak memberikan peningkatan jaminan hasil baik secara implisit maupun eksplisit, misalnya lebih mahal, banyak waktu yang digunakan, tidak mengenal orang tertentu dan implementasi harga lebih tinggi daripada keuntungan yang didapat.

Karena implementasi kualitas sistem manajemen adalah sebuah proses sukarela yang didukung oleh strategi organisasi, motivasi, kebijakan dan tujuan. Maka sertifikat ISO 9000 memberikan kualitas sistem manajemen yang lebih baik, strategi organisasi yang lebih baik, ukuran dan struktur organisasi yang lebih ramping dan handal, lingkungan organisasi yang mendukung, perubahan organisasi kearah yang lebih baik.

Organisasi yang bersertifikat ISO memiliki kesempatan untuk memperbaiki proses internal dan sistemnya. Selain itu terbukti organisasi yang bersertifikat lebih kuat, lebih untung, lebih nyata dampaknya dan lebih jelas prosedur kerja dan pertanggung jawabannya.

White et al (2009) menyimpulkan hasil penelitiannya tentang rasionalisasi penetapan kualitas sistem manejemen yang bersertifikat ISO 9000 pada organisasi non profit kecil sampai medium di UK terlihat dari kualitas sistem manajemen organisasi yang bisa menghasilkan bottom line saving dan perbaikan bussiness performance. selain itu proses persiapan sertifikasi juga berdampak pada perkembangan kualitas sistem manajemen sebagai bagian dari hubungan inisiasi, kemajuan pelayanan yang terjangkau.

Organisasi yang bersertifikasi memiliki bobot kualitas sistem manajemen yang berbeda-beda. Hal ini tergantung dari cara implementasinya, dan dapat dicapai bila gaya kepemimpinan mengutamakan kualitas pelayanan organisasi, memotivasi staff mengupdate ilmu pengetahuan terkini dan selalu mengambil keputusan memberikan keuntungan organisasi.

Implementasi kualitas sistem manajemen yang bersertifikasi memberikan keuntungan yang intangible (tidak bisa diraba) misalnya perubahan tanggung jawab, kewajiban staff, komunikasi yang lebih baik dan peningkatan efisiensi.

Ada 2 dimensi yang menyokong standar ISO 9000 yakni dimensi kontrol dan dimensi kreatifitas. Kedua dimensi ini sangat berpengaruh dalam menyokong strategi manajemen organisasi. Dimensi kontrol tidak berbeda dengan sistem birokrasi yakni organisasi sebagai pusat, banyak rumus, downward komunikasi, menggunakan proses orientasi strategi, disiplin yang tinggi dan mengerjakan sesuatu secara struktural (perintah atasan). Standar yang dipakai untuk mengukur dimensi control antara lain dokumen (manual, prosedur, instruksi, protokol dll) dan sistimatika (hirarki, kerapian, keteraturan, proses interaksi dll).

Dimensi kreatifitas menggunakan cross-hierarchical artinya mengutamakan fleksibilitas dan mengutamakan kerjasama tim. Ciri-cirinya adalah sedikit rumus, sistem komunikasi yang upward dan downward, selalu mencari peluang pasar dan yang paling utama adalah struktur yang fleksibel dan berpengalaman.

Bagaimana dengan biaya kualitas sistem manajemen pasca sertifikasi? Organisasi melakukan perubahan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan zaman dan selalu mendapat keuntungan dari kualitas perubahan manajemen. Pasca sertifikasi kualitas sistem manajemen menjadi lebih baik dan aktifitas seperti proses manajemen, perbaikan manajemen, audit internal dan eksternal, pengumpulan dan analisis data, pengukuran dan perbaikan secara terus menerus menjadi lebih baik dan merupakan kunci pasca sertifikat. Hal ini perlu kerja sama dari semua tim manajemen (top management dan employee management), dalam memberikan keuntungan organisasi.

Menurut terziovski dan power (2007), efektifitas kualitas sistem organisasi dapat dicapai secara terus menerus jika organisasi itu sudah memiliki sertifikat ISO 9000. Proses manajemen selalu diukur, audit internal dan eksternal membantu meningkatkan kualitas manajemen dan meningkatkan motivasi kualitas kerja, serta kualitas auditor dalam mengumpulkan dan menganalisis data memegang peranan penting dalam meningkatkan nilai kualitas sistem manajemen.

Bagaimana di Indonesia? Peraturan pemerintah No. 72 tahun 2012 pada poin 2 mengatakan bahwa: "Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan dilakukan secara berjenjang melalui standarisasi, sertifikasi, lisensi, akreditasi dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan profesi dan masyarakat". Hal ini harus dilakukan karena pemerintah berkewajiban dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat, selain itu puskesmas sebagai ujung tombak dan pilar dasar dalam bidang kesehatan belum mampu menjawab tuntutan reformasi birokrasi, serta penilaian kualitas pelayanan di puskesmas belum mampu memberikan kualitas yang baik dengan menggunakan tolok ukur target penurunan AKI dan AKB, hal ini mungkin dipengaruhi oleh proses yang tidak diukur dengan baik, tidak dimonitor dengan baik, tidak dikendalikan dengan baik, bahkan tidak selalu mengikuti arus perubahan zaman yang serba modern, selain itu persaingan fasilitas pemerintah (puskesmas ) dan fasilitas swasta (klinik) tidak seimbang, fasilitas pemerintah mengikuti arus birokrasi yang ada sedangkan fasilitas swasta mencari strategi manajemen untuk menangkap peluang pasar, dan memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasar.

Belajar dari kualitas sistem manajemen di Lithuania dengan menjangkau tujuan dari organisasi pelayanan terutama di sektor public, puskesmas harus memberikan perspektif strategi, mengutamakan kualitas pelayanan, mengutamakan kepuasan pasien dan kualitas sistem manajemen kesehatan di tingkat dasar dengan tolok ukur standar ISO 9000. Jika puskesmas sudah berstandar ISO 9000, dengan sendirinya puskesmas akan termotivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan untuk meningkatkan pendapatan, selain itu puskesmas akan selalu merubah kualitas pelayanan sesuai dengan tuntutan zaman sebagai reaksi dari tuntutan pelanggan, proses manajemen akan lebih baik, perbaikan performance akan dilakukan secara terus menerus, audit internal , audit eksternal, pengumpulan data, analisis data dan evaluasi pelayanan juga akan dilakukan secara terus menerus.

Sumber : Adolfas Kaziliunas. 2010 The implementation of quality management systems in service organization. Ateities 20, LT-08303 Vilnius, Lituania ISSN 2029-2872.

Oleh: Dedison Asanab, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana

artikel