Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Banyak rumah sakit menggunakan banyak strategi untuk meningkatkan mutu rumah sakitnya. Pendekatan yang dilakukan rumah sakit untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien seperti (1) di beberapa rumah sakit di Eropa menggunakan ISO untuk merancang sistem manajemen mutu, (2) dalam menegakkan standar untuk penyedia layanan kesehatan biasanya menggunakan clinical pathways dan audit klinik (3) akreditasi sebagai penilaian mutu dari organisasi ekternal atau pemerintah.

Dari strategi yang dilakukan rumah sakit untuk meningkatkan mutu, Ovretveit (2003) menyatakan bahwa tidak ada strategi yang dapat direkomendasikan baik itu efektivitas, kemudahan pelaksanaan atau biaya. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti yang sangat kuat untuk dijadikan temuan. Ada beberapa survey yang telah dilakukan oleh pemberi pelayanan mengenai harapan dan persepsi terhadap hasil dan bukti secara deskriptif mengenai strategi walaupun kebanyakan laporan dibuat untuk kalangan pribadi namun terdapat perbedaan tipe untuk masing-masing strategi. Selain itu kebanyakan laporan dibuat oleh praktisi untuk menguatkan beberapa bukti tetapi bukan bukti yang dapat secara kuat untuk dijadikan sebagai pembelajaran ilmiah. Sebagai contoh dalam sistematik review, tidak ada yang secara sistematis membahas mengenai bagaimana strategi mutu rumah sakit dilakukan melainkan review yang terkait dengan intervensi yang dilakukan sebagai bagian dari strategi tersebut seperti memberikan pendidikan pada profesional hanya berdampak sedikit namun penelitian lain menyatakan bahwa akan lebih efektif jika dipadukan dengan audit.

Pengambil keputusan harus menyadari bahwa strategi yang sama bila diterapkan di lokasi yang berbeda dapat mengasilkan hasil yang berbeda bahkan jika semuanya dilaksanakan dengan cara yang sama persis. Sehingga suatu strategi mutu yang dipilih harus ditinjau secara berkala dan disesuaikan dengan situasi rumah sakit. Selain itu strategi mutu rumah sakit harus mencakup peningkatan antar layanan bermutu untuk kelompok pasien yang berbeda.

Daftar Pustaka :
Ovretveit, John (2003). What are the best strategies for ensuring quality in hospital?. WHO Regional Office for Europe's Health Evidence Network (HEN).

Bila pertanyaan tersebut kita ajukan pada manajer dan direktur rumah sakit, semua akan menjawab: "perlu". Di Indonesia, orang akan merujuk pada persyaratan perijinan rumah sakit, undang-undang, dan regulasi lain. Di forum diskusi, khalayak akan menyinggung soal mutu dan keselamatan pasien. Para pemilik rumah sakit swasta, berharap cemas akan ada perubahan perilaku dokter dan karyawan lain. Selain mengikuti regulasi, apakah benar bahwa akreditasi rumah sakit diperlukan? Mari kita simak fakta-fakta yang kita temukan.

Menilik Publikasi Ilmiah

Greenfield dan Braithwaite (2009) menulis dalam sebuah editorial mengenai perlunya transparansi bukti ilmiah manfaat akreditasi rumah sakit. Organisasi yang melakukan akreditasi terus menerus memperbaiki standar akreditasi yang dimiliki namun sangat sedikit publikasi yang bisa membuktikan efikasi standar tersebut. Walau secara umum diakui bahwa akreditasi meningkatkan kualitas dan keselamatan, namun bukti yang secara tegas mendukungnya belum berkembang dengan baik. Enam tahun sebelumnya, Shaw (2003) pernah pula menulis dalam sebuah editorial mengomentari review WHO terhadap akreditasi di 36 negara. Shaw (2003) menilai ada banyak variasi yang mempengaruhi akreditasi sehingga pemahaman bersama terhadap manfaat akreditasi perlu dibangun.

Sebuah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Pomey dkk (2010) menemukan fakta bahwa akreditasi bermanfaat dalam memulai peningkatan mutu berkelanjutan, kepemimpinan dalam peningkatan mutu, dan memberi kesempatan staf mengembangkan berbagai peluang. Namun penelitian ini kembali mempertanyakan manfaat akreditasi pada periode waktu setelah akreditasi yang pertama. Tantangan yang mulai kurang dirasakan diperkirakan menjadi penyebab utamanya.

Penelitian Tehewy dkk (2009) di Mesir adalah satu di antara sedikit yang menemukan hubungan akreditasi dengan kepuasan pasien. Tiga puluh institusi kesehatan yang telah terakreditasi dibandingkan dengan unit sepadan yang belum terprogram akreditasi. Walau kepuasan pasien dikaji dengan skala yang cukup populer, namun hubungan ini patut diduga bukan hubungan kausatif langsung. Unit yang secara sadar turut dalam akreditasi cenderung berorientasi pada mutu dan pelanggan. Sangat mungkin terjadi, kepuasan pasien adalah bagian dari orientasi dasar unit-unit ini.

Nicklin (2014) menerbitkan sebuah laporan bagi kepentingan akreditasi di Kanada. Laporannya menyebutkan bermacam manfaat akreditasi sesuai literatur yang dikumpulkannya. Sebagian besar manfaat yang disebut berhubungan dengan proses layanan, dan secara tegas disampaikan perlunya investigasi lebih lanjut untuk membuktikan hubungan kuat antara akreditasi dan outcome pasien. Laporan ini sejalan dengan laporan Salmon dkk (2003) yang meneliti rumah sakit terakreditasi di salah satu provinsi di Afrika Selatan bahwa perlu penyelidikan lebih teliti mengenai hubungan perbaikan standar struktur dan proses akibat akreditasi dengan outcome.

Tak kurang, Alkhenizan dan Shaw (2011) mengutip salah satu penelitian besar yang melibatkan 742 rumah sakit yang mempergunakan standar JCAHO (Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara performa rumah sakit sesuai standar JCAHO terhadap ¬outcome (Catatan: penulis tidak dapat menemukan naskah lengkap publikasi asli penelitian ini.) Mirip dengan penelitian Braithwaithe dkk (2009) yang hanya menemukan kecenderungan antara akreditasi dan ¬outcome klinis.

Akreditasi di Indonesia

Setelah lebih dari satu dasawarsa memakai sistem akreditasi 5, 12, dan 16 pelayanan, Komisi Akreditasi Rumah Sakit meluncurkan standar akreditasi baru yang mengacu pada standar JCI (Joint Commission International, berafiliasi pada The Joint Commission yang juga dulu dikenal sebagai JCAHO). Isi standar ini sudah secara luas dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu diulang di sini.

Menarik untuk diakui bahwa standar ini cukup berat untuk dipenuhi. Pertama, rumah sakit harus mengubah cara pandangnya terhadap pelayanan pasien secara menyeluruh. Kedua, metode telusur untuk membuktikan standar memerlukan implementasi standar yang tidak mudah dicapai. Ketiga, mendidik staf rumah sakit yang sudah nyaman dengan sistem pelayanan yang lama itu sungguh tidak mudah. Keempat, memang standar baru ini lebih banyak daripada standar yang lama.

Untuk memenuhi standar akreditasi ini, wajah generik rumah sakit di Indonesia menjadi makin serupa. Gelang dengan dua macam identitas, gelang alergi, rencana penanggulangan bencana rumah sakit, simulasi bencana, pengendalian infeksi, ¬clinical pathway, catatan perkembangan pasien terintegrasi, dan lain-lain. Itu adalah contoh penerapan standar yang mulai menjadi umum di kalangan rumah sakit di Indonesia.

Dengan penerapan universal coverage lewat BPJS Kesehatan, kesamaan wajah ini makin nampak. Pengawasan mutu dan keselamatan pasien banyak diintegrasikan dengan pembiayaan dan standar pelayanan. Jumlah pasien yang jatuh dari tempat tidur dihitung, infeksi aliran darah dianalisis potensi kerugian biayanya, dan clinical pathway diaudit pembiayaannya.

Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil dari manfaat akreditasi model baru yang mulai diimplementasikan. Masih banyak perbaikan lain yang dilakukan seperti misalnya pembuatan berbagai panduan dan pedoman, revisi standar prosedur operasional, dipenuhinya hak pasien, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa akreditasi baru ini memodifikasi budaya kerja tenaga kesehatan dan tenaga administrasi rumah sakit.

Perlukah Akreditasi?

Referensi ilmiah terpublikasi ternyata menguatkan apa yang diamati di tataran rumah sakit yang sedang mempersiapkan akreditasi. Standar struktur dan proses nampak lebih mengemuka dalam referensi maupun dalam pengalaman sehari-hari mempersiapkan akreditasi. Dengan konsep patient-centered care yang dikatakan menjadi nafas akreditasi di bab pelayanan pasien, para insan rumah sakit perlu meredefinisi tujuan akreditasi yang dilakukan rumah sakitnya.

Braithwaithe dkk (2009) menambahkan bahwa hasil akreditasi menggambarkan perilaku kepemimpinan dan karakteristik kultural di rumah sakit. Dengan memperbaiki standar struktur dan proses lewat pemenuhan standar akreditasi, rumah sakit diharapkan mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu pelayanan. Budaya kerja inilah yang hendaknya dicapai oleh rumah sakit ketika mempersiapkan akreditasi. Dengan budaya kerja yang baik ini, kekhawatiran Pomey dkk (2010) bahwa manfaat akreditasi akan memudar seiring waktu bisa dihindari.
Lalu bagaimana dengan kepuasan pasien? Belum sepenuhnya dapat disimpulkan bahwa akreditasi meningkatkan kepuasan pasien. Bimbingan akreditasi yang dilakukan di Indonesia mengarahkan rumah sakit untuk menciptakan suatu perasaan emosional pada diri pasien yang disebut sebagai pengalaman pasien atau ¬patient experience. Pengalaman ini adalah suatu konsep yang lebih cair sehingga idenya mudah dituang dari satu pasien ke keluarga, atau dari pasien ke lingkungan sekitarnya. Pengalaman pasien ini ingin diwujudkan dalam bentuk patient-centered care yang dibangun antara lain dengan clinical pathway, catatan perkembangan pasien terintegrasi, pertemuan-pertemuan tim perawatan pasien, dan lain-lain.

Tantangannya saat ini adalah bagaimana ukuran-ukuran struktur dan proses yang sudah jelas diperbaiki dengan akreditasi ini bisa langsung dikomunikasikan dan menjadi pengalaman pasien yang unik. Tentu ini tidak mudah. Perlu lebih dari sekedar menaati regulasi dengan menempuh proses akreditasi.

Di sisi lain, penelitian-penelitian yang nampak belum mendukung manfaat akreditasi untuk meningkatkan mutu ¬outcome klinis dan kepuasan pasien harus diperhatikan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penelitian-penelitian yang mengangkat topik akreditasi dari mahasiswa-mahasiswa di universitas maupun peneliti lain perlu dikumpulkan dan dipelajari. Standar boleh saja berkembang dengan cepat, namun perlu ada bukti bahwa standar tersebut memang bermanfaat bagi rumah sakit yang berupaya memenuhinya. Ibaratnya, sistem kita perlu berorientasi pada evidence-based accreditation.

Kesimpulan

Setelah menilik publikasi-publikasi di atas dan membandingkannya dengan proses akreditasi yang dilakukan, perlu atau tidaknya akreditasi sudah bisa dijawab. Akreditasi dari sisi tenaga kesehatan rumah sakit adalah perlu. Perlu untuk menetapi regulasi, mempertahankan ijin rumah sakit, dan memperbaiki struktur dan proses pelayanan rumah sakit. Dari sisi pasien dan pelanggan rumah sakit, belum ada bukti yang kuat bahwa mereka diuntungkan secara langsung oleh akreditasi. Sambil menunggu (dan menambahi) bukti dan diskusi, mari kita kembali mempersiapkan akreditasi di rumah sakit kita masing-masing. Jangan lupa, ukuran outcome akan makin jelek kalau kita lebih memilih mengerjakan berkas akreditasi dan lupa berbincang pada pasien. Salam!

Penulis

Naskah ini ditulis oleh dr. Robertus Arian Datusanantyo. Penulis adalah wakil ketua tim akreditasi RS Panti Rapih Yogyakarta. Tulisan ini adalah opini pribadi.

Referensi

  • Alkhenizan, A. & Shaw, C., 2011. Impact of Accreditation on the Quality of Healthcare Services: a Systematic Review of the Literature. Ann Saudi Med. 2011 Jul-Aug; 31(4): 407–416.
  • Braithwaithe, J. et al, 2009. Health service accreditation as a predictor of clinical and organisational performance: a blinded, random, stratified study. Qual Saf Health Care 2010;19:14e21.
  • Greenfield, D. & Braithwaithe, J., 2009. Developing the evidence base for accreditation of healthcare organisations: a call for transparency and innovation. Qual Saf Health Care 2009; 18:162–163.
  • Nicklin, W., 2014. The Value and Impact of Health Care Accreditation: A Literature Review. Accreditation Canada, 2008 (Updated March 2014).
  • Pomey, M. et al., 2010. Does accreditation stimulate change? A study of the impact of the accreditation process on Canadian healthcare organizations. Implementation Science 2010, 5:31.
  • Salmon, J.W. et al., 2003. The Impact of Accreditation on the Quality of Hospital Care: KwaZulu-Natal Province, Republic of South Africa. Operations Research Results 2(17). Bethesda, MD: Published for the U.S. Agency for International Development (USAID) by the Quality Assurance Project, University Research Co., LLC.
  • Shaw, C.D., 2003. Evaluating Accreditation. International Journal for Quality in Health Care 2003; Volume 15, Number 6: pp. 455–456
  • Tehewy, M.A. et al., 2009. Evaluation of accreditation program in non-governmental organizations' health units in Egypt: short-term outcomes. International Journal for Quality in Health Care 2009; Volume 21, Number 3: pp. 183–189.

SJSN, BPJS, Jamkes dan potensi kerugian dalam pelaksanaan merupakan bahasan paling hangat para Direktur rumah sakit (RS) sepanjang tahun 2013. Pasalnya adalah rencana akan diberlakukanya jaminan kesehatan semesta (Jamkesta) yang dimulai pada 1 Januari 2014. Hal ini memimbulkan kegaduhan yang menarik untuk disoroti terutama bagi RS swasta karena adanya pilihan untuk melakukan kerjasama atau tidak. RS yang telah berkerjasama berfikir keras untuk melakukan efisiensi tanpa mengurangi kualitas sedangkan RS yang belum kerjasama menimbang-nimbang dengan sangat matang apakah akan melayani peserta jaminan kesehatan (jamkes) atau tidak.

Undang-undang SJSN (Sistim Jaminan Sosial Nasional) yang telah disepakati pemerintah dan DPR pada tahun 2004 sebenarnya merupakan harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Terutama dengan dikeluarkan nya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dalam jaminan social dibidang kesehatan dengan adanya BPJS, penyelenggaraan layanan kesehatan yang selama ini dianggap kurang terjangkau lapisan masyarakat menengah bawah diyakini bisa teratasi, sehingga tidak ada lagi diskriminasi pelayanan kesehatan. BPJS adalah penyelenggaraan program jaminan yang terdiri atas program jaminan kesehatan, program jaminan hari tua, program jaminan kecelakaan, program jaminan kematian dan program tabungan pension. Khusus untuk program jaminan kesehatan penyelenggaranya adalah BPJS kesehatan atau BPJS 1 sedangkan lainya diurus oleh BPJS 2.

SJSN yang dianut di Indonesia adalah model AKN (Asuransi Kesehatan Nasional) yaitu Intergrasi antara Asuransi Sosial dan Bantuan Sosial dalam bentuk bantuan /subsidi iuran yang sukses dilakuakan oleh Negara Korea, Taiwan, Filipina, Australia, Kanada dan Perancis. Sistem ini mewajibkan seluruh penduduk membayar iuran (premi). PNS dan pegawai formal dipotong langsung dari gaji berdasarkan prosentase tertentu, pekerja nonformal membayar premi, sedangkan untuk rakyat miskin akan disubsidi oleh pemerintah dengan istilah PBI (Penerima Bantuan Iuran). Sedangkan dari sisi layanan SJSN menggunakan system bertingkat dan berstruktur, dimana pasien dikelola oleh pemberi pelayanan tingkat pertama (PPK 1) misalnya dokter keluarga, klinik dan puskesmas yang dalam keadaan tertentu dapat dilakukan rujukan berjenjang ke PPK 2 yakni RS berdasarkan urutan RS kelas D, C, B baru ke A (RS kelas D dan C sebagai rujukan tingkat pertama, RS kelas B sebagai rujukan tingkat kedua dan RS kelas A sebagai rujukan tingkat ketiga) kecuali RS rujukan tingkat pertama tidak memiliki fasilitas yang dibutuhkan maka rujukan dapat langsung ke RS rujukan tingkat kedua atau ketiga. Dengan kata lain pasien tidak bisa begitu saja meminta dirujuk ke rumah sakit selama PPK 1 mampu menangani.

Salah satu tolak ukur keberhasilan SJSN adalah jumlah orang yang dijamin. BPJS merencanakan pada tahun 2014, sebanyak 70% masyarakat Indonesia telah ikut dan tahun 2017 ditargetkan telah mencapai 90%. Walau ada pilihan untuk terlibat mauoun tidak, adanya scenario BPJS ini jelas dan tegas memaksa RS swasta di Indonesia untuk melibatkan diri jika ingin tetap survive dalam scenario Jamkesta. Pertanyaan menariknya, siapkah RS swasta di Indonesia?
Sebelum menjawab siap atau tidak tentu diperlukan pemikiran yang mendalam oleh para stakeholder (pemangku kepentingan) RS swasta tersebut. Pertimbangan matang perlu dilakukan dan pengambilan keputusan harus dilakukan sebelum tahun 2013 berakhir. Ketakutan terbesar RS terhadap pelaksaan SJSN ini adalah tarif Jamkes yang secara umum dibawah tarif rumah sakit walau sudah dibedakan besaran tarif sesuai kelas RS. Hal ini tentu menimbulkan ketakutan karena dengan melayani jamkes maka pendapatan RS akan berkurang. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa biaya operasioanl RS swasta dibiayai oleh pasien, berbeda dengan RS pemerintah (public maupun BLU) yang biaya operasionalnya keseluruhan atau sebagian di subsidi oleh pemerintah. Untuk menunjukan ketakutan itu beralasan atau tidak dapat dilihat dari tabel perbandingan total klaim Jamkes dengan total tariff kelas 3 RS Nur Hidayah Bantul sebagai RSU kelas D.

Jika diperhatikan tabel perbandingan tarif antara RS dan Jamkes (melalui hasil Grouping INA CBG's) terlihat ada tarif jamkes yang jauh dibawah tarif rumah sakit, hampir sama atau bahkan jauh diatasnya. Hal ini mematahkan klaim sebagian kalangan bahwa tarif jamkes selalu dibawah tarif RS swasta. Namun jika diperhatikan lebih teliti ternyata persentase tarif jamkes untuk tindakan bedah berada jauh dibawah tarif RS. Secara umum dapat dikatakan bahwa tarif bedah jamkes jauh berada dibawah dari tarif RS sedangkan tarif non bedah dan poliklinik kurang lebih sama dengan tarif RS.

Untuk menjaga stabilitas keamanan keuangan, RS Swasta secara sadar maupun tidak mengembangkan strategi masing-masing namun secara umum dapat digolongkan menjadi tiga strategi. Tiga strategi tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Strategi pertama saya sebut "strategi primitif" yaitu dengan cara merujuk sebagian besar atau keseluruhan diagnosa atau tindakan dengan tarif dibawah RS, strategi kedua saya sebut "strategi quota" yaitu merujuk jumlah tertentu diagnose atau tindakan yang rugi dan strategi ketiga saya sebut "strategi cerdas" yaitu melayani semua pasien jamkes dengan diagnosa/tindakan yang sesuai dengan kelas RS tersebut termasuk melayani semaksimal mungkin bagi pasien yang seharusnya di rujuk namun belum mendapatkan tempat rujukan.

Strategi pertama atau "strategi primitif" dapat memberikan jaminan klaim jamkes yang jauh melebihi tarif RS. Hal ini tentu sangat menguntungkan secara finansial jika dilakukan. Namun benarkah seperti itu? Strategi ini dalam jangka pendek memang menguntungkan namun dalam jangka menengah dan panjang bisa menjadi sangat merugikan. Dimana merugikannya? Dengan banyaknya kasus yang dirujuk maka akan muncul persepsi negatif dari pihak-pihak yang berkepentingan (peserta, PPK 1 dan badan penyelenggara, serta pemerintah secara keseluruhan). Jika persepsi negatif tersebut terus ada dan bertumbuh maka tinggal menunggu waktu sanksi akan diterima. Sanksi pertama tentu dari peserta jamkes yang akan menolak untuk dirujuk ke RS tersebut, sanksi kedua muncul dari PPK 1 yang tidak akan merujuk ke RS tersebut dan sanksi ketiga muncul dari badan penyelenggara berupa teguran atau yang terburuk pembatalan perjanjian sebagai provider. Akhir dari semua itu adalah lenyapnya daya saing RS dalam jamkesta.

Strategi kedua atau "strategi quota" lebih baik dibanding strategi pertama karena RS melakukan hitungan tertentu sehingga terdapat cukup banyak kasus rugi yang ditangani. Besaran quota di tentukan dengan gitungan yang matang sehingga klaim yang diterima akan mendekati tarif RS (± sama dengan tarif RS). Dengan strategi ini tentu kerugiannya lebih kecil dibanding strategi pertama baik jangka pendek, menengah maupun panjang.

Strategi ketiga atau "strategi cerdas" memang memunculkan potensi kerugian yang besar, apalagi bagi RS khusus (RS Ibu dan Anak atau RS Bedah) yang menangani banyak kasus berpotensi untuk tindakan bedah (yang mayoritas jauh dibawah tarif RS). Lalu dimana cerdasnya? Dengan menerima semua jenis penyakit dan tindakan sesuai kelas RS maka peluang total klaim jamkes berada dibwah tarif RS tentu sangat besar, mengapa? Karena selisih tarif tindakan bedah dalam kisaran juta sedangkan yang non bedah atau poliklinik hanya dalam kisaran ribu atau ratusan ribu. Dalam hal ini muncul potensi kerugian yang nyata atau saya lebih suka menyebutnya "kehilangan atau berkurangnya potensi sisa hasil usaha (SHU)". Jajaran manajemen RS lah yang bertugas untuk melakukan terobosan dalam memperkecil kehilangan atau lebih jauh lagi meningkatkan nilai klaim sehingga sama atau diatas tarif RS. Hal selanjutnya yang menunjukkan ini sebuah langkah cerdas adalah terbentuknya persepsi positif dari semua pihak yang terlibat dalam pelayanan jamkes. Dengan adanya persepsi positif maka loyalitas speserta akan terjaga, hubungan dengan PPK 1 serta badan penyelenggara Jamkes akan baik dan terjalin kuat sehingga posisi tawar RS dalam program Jamkesta akan menguat.

RS Nur Hidayah Bantul telah melayani pasien Jamkes sejak tahun 2008. Dimulai dari Jamkesos (2008), jamkesmas (2010), jampersal (2011) dan terakhir jamkesda (2012). Kebijakan RS Nur Hidayah jelas mengacu pada strategi ketiga yaitu "strategi cerdas" yang di ejawantahkan dalam 'program peningkatan efisiensi Jamkes dengan strategi FORPATI PLAPRO". Beberapa kebijakan dalam strategii tersebut adalah merawat seluruh pasien Jamkes yang sesuai standar pelayanan RS kelas D, tetap merawat dan memberikan pelayanan terhadap pasien diatas standar kelas D yang tidak mendapat tempat rujukan, dan Jasa medis dokter di poliklinik dan visite tetap dibayar sama dengan pasien umum sedangkan jasa medis tindakan dibayarkan sebesar 80 % dari tarif pasien umum. Kebijakan tentang besaran jasa medis ini diambil agar tidak ada perbedaan pelayanan oleh dokter terhadap pasien Jamkes dan pasien umum. Hasil dari pelaksanaan strategi FORPATI PLAPRO dapat dilihat dari jumlah kunjungan, persentase klaim jamkes terhadap tarif umum dan angka kepuasan pasien berikut ini.

Kita dapat mengamati efek dari strategi tersebut dengan melihat tabel tahunan jumlah kunjungan pasien Jamkes yang terus meningkat (meningkat 199% dari tahun 2011 ke 2012) serta tabel angka kepuasan pasien yang selalu diatas standar sebagai bukti tidak adanya pembedaan pelayanan RS terhadap pasien jamkes serta tidak adanya penurunan kualitas pelayanan. Khusus tabel persentase klaim jamkes menunjukkan bahwa efisiensinya menurun dibanding tahun 2008 namun kemudian mulai meningkat lagi pada tahun 2013 dengan pemberlakuan tarif INACBGs yang baru.

Nah, dengan demikian, jawaban pertanyaan apakah RS Nur Hidayah rugi dalam pelaksanaan jamkesta dengan menerapkan strategi ketiga? Jawabannya adalah TIDAK. Namun jika hal tersebut berlangsung terus menerus, maka RS Nur Hidayah mungkin akan mengalam keadaan semi stagnan yaitu kondisi dimana rumah sakit berkembang dengan lambat dikarenakan cadangan dana untuk penggantian alat rusak, pengembangan layanan, pengembangan SDM, pembangunan gedung dan lain-lain untuk memberikan layanan prima ke tingkat yang lebih tinggi menjadi semakin kecil. Hal ini dikarenakan sisa hasil usaha semakin mengecil dengan semakin kecilnya persentase efisiensi. Maksud dari artikel ini adalah untuk memberikan gambaran nyara kepada stakeholder bagaimana situasi keuangan RS yang berusaha menjalankan fungsinya dengan benar (sesuai strategi ketiga) sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan besaran premi atau tarif INA-CBG's juga untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa dalam kondisi terancam kerugian masih ada (saya yakin banyak) RS yang berusaha memberikan pelayanan prima dan sesuai standar.

Oleh : Dr. Arrus Ferry (Direktur Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul)

Referensi:

  1. UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
  2. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 22
  3. Peraturan Gubernur No 19 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Semesta
  4. Data Internal RS Nur Hidayah Bantul

Sumber bisa di klik disini

Headline tersebut menjadi sub tema yang disampaikan pada Workshop Nasional Manajemen Rumah Sakit dan Dewan Pertimbangan Medik di Bandung 10-11 September 2014 lalu. Bahasan menarik mengenai fraud ditinjau dari berbagai aspek, mulai dari definisi, berbagai kemungkinan penyebab terjadinya fraud, sampai dengan dampak fraud ditinjau dari aspek hukum.

Paparan diawali dengan bagaimana peningkatan daya saing dan penguatan puskesmas serta rumah sakit menjadi tuntutan yang harus dapat terpenuhi ke depannya. Salah satunya dengan penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mencapai tujuan universal health coverage, dengan cakupan JKN yang ditingkatkan secara bertahap dan ditargetkan pada tahun 2019 dapat menjangkau seluruh penduduk Indonesia agar mempunyai jaminan kesehatan.

Salah satu tujuan penerapan JKN sendiri seperti diketahui adalah untuk mencapai kendali mutu dan kendali biaya, dengan adanya Panduan Nasional Praktek Klinis (PNPK) diharapkan setiap rumah sakit dapat mempunyai acuan dalam menyiapkan Standar Prosedur Operasional dan Clinical Pathway di rumah sakit. Selain itu tentu saja manajemen rumah sakit perlu mempersiapkan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka kendali mutu dan kendali biaya dalam pelaksanaan JKN tersebut, antara lain:

  • Menyiapkan, menerapkan, dan mematuhi SOP serta Clinical Pathway
  • Melakukan efisiensi pelayanan seperti dalam penggunaan obat, alat bahan, tindakan medis (dengan tanpa mengorbankan kepentingan pasien), Pemanfaatan sarana penunjang pelayanan, Pemeliharaan sarana prasarana
  • Membangun dan memperkuat sistem pengawasan internal

Langkah-langkah lainnya yang perlu dilakukan oleh rumah sakit dalam menghadapi JKN, antara lain:

  • Memahami konsep JKN secara utuh
  • Memahami sistem pembayaran prospektif kapitasi dan INA CBGs
  • Memahami kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan
  • Memahami persyaratan untuk untuk menjadi fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, dan
  • Mempercepat penetapan kelas bagi FKRTL oleh Kementerian Kesehatan.

Potensi fraud sendiri kemungkinan akan selalu ada dalam sistem pembayaran yang menggunakan mekanisme klaim. Sehingga pada proses penerapan JKN, berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mencegah dan bahkan menghilangkan terjadinya fraud, antara lain; memperbaiki sistem pelayanan JKN, sistem monitoring evaluasi dan pengawasan JKN, menyusun pedoman untuk mencegah terjadinya fraud dalam pelaksanaan JKN.

Berbagai potensi fraud yang bisa terjadi di rumah sakit pada penerapan JKN :

  • Pasien dipulangkan sebelum waktunya
  • Pemecahan/ fragmentasi pelayanan
  • Memperpendek jam pelayanan rawat jalan
  • Mengurangi mutu pelayanan
  • Membayar selisih atau kekurangan biaya yang seharusnya merupakan manfaat dari peserta
  • Rawat inap menjadi rawat jalan atau sebaliknya
  • Up coding / code creep
  • Klaim palsu

Fraud sendiri bisa dilakukan dalam banyak cara dan oleh berbagai pihak, seperti; kolusi pihak BPJS kesehatan dengan rumah sakit, kolusi pihak vendor dengan rumah sakit, kolusi pasien dengan rumah sakit, kolusi internal rumah sakit, dan sebagainya. Namun area yang paling rawan terjadinya fraud adalah pada proses penentuan tarif dan klaim serta pemberian pelayanan dan penetapan kepesertaan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Iswan Elmi, Deputi Pencegahan KPK. Sedangkan upaya untuk mencegah korupsi di JKN juga dilakukan oleh KPK antara lain melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) dengan membentuk forum bersama BPJS kesehatan, Kemenkes, Kemensos, Kemendagri, Kemenkeu, OJK, dan DJSN. Terdapat 3 hal mendesak yang memerlukan penyelesaian, yakni:

  • Kepesertaan PBI
  • Pengawasan fraud dalam layanan
  • Regulasi dan pengawasan penggunaan dana kapitasi di faskes primer

Fraud dalam JKN dinilai dapat merugikan keuangan negara karena apabila dana jaminan sosial tidak cukup untuk membayar klaim maka negara yang akan menanggung kekurangan dana tersebut. Untuk itu apabila terjadi indikasi adanya fraud maka semua pihak terkait akan dilibatkan pada proses investigasi. Kehati-hatian dalam setiap langkah yang dilakukan sangat diperlukan mengingat dampak terjadinya fraud dapat menjadi tanggungjawab semua pihak terkait.

Materi lengkap dapat diakses dibawah

Potensi Fraud dalam Implemetasi INA-CBG serta Mekanisme Pengendaliannya dalam Era JKN - Bambang Wibowo

Keynote Speech Menkes acara Pertemuan Nasional Manajemen RS & DPM 2014

Potensi Fraud pada Layanan Publik di Bidang Kesehatan - Iswan Elmi Deputi Pencegahan KPK

Sistem Pencegahan dan Penindakan Fraud di kesehatan - Prof. Laksono Trisnantoro

Disarikan oleh Lucia Evi I.
Sumber: Berbagai materi presentasi pada Workshop Nasional Manajemen Rumah Sakit dan Dewan Pertimbangan Medik, Bandung 10-11 September 2014.