Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Sistem e-resep mengurangi kesalahan pengobatan, mudah dibaca, memperbaiki praktek dokter dan effisiensi kesalahan apotik. Paling penting, dokter dan apotik bertukar data resep secara mudah dan cepat, menghemat waktu dan mempersingkat workflow staff serta meminimalisir kesalahan informasi komunikasi by phone dan fax.

Meskipun banyak manfaat, penggunaan sistem e-resep masih rendah di USA (Grossman et al.), medicare memberikan bonus ke dokter yang memenuhi syarat menggunakan elektronik health record (EHR) kalau sistem e-resep dibawah kendali medicare. Sistem e-resep berkembang cepat sebagai standar baru untuk mengontrol fraud pengajuan klaim, namun kelemahannya dokter diwajibkan menguasai aplikasi informasi teknologi kesehatan untuk memperbaharui dan mengirim resep menggunakan sistem elektronik.

art-23okt

Penelitian grossman et all pada tahun 2010 menyatakan, 70% dokter menggunakan elecktronic health record (EHR) ketika menggunakan sistem e-resep sendiri atau bukan dibawah kendali medicare dan 23 dokter mengirim ±70% e-resep, 30% sisanya dikirim by print, fax atau phone serta ≥ 24% apotik menerima 15% e-resep, hal ini rendah karena banyak dokter tidak mengirim setiap e-resep.

Bagaimanapun, e-resep dirasakan merubah effisiensi dan kepuasan pasien. E-resep selain dikirim, resep manual diberikan juga sebelumnya ke pasien untuk mengurangi kesalahan tafsiran.

Proses pembaharuan e-resep tidak mudah dan sulit dalam mengintegrasikan organization workflow, oleh karena itu Staff apotik dibekali banyak pelatihan untuk mengidentifikasi resep baru dan mengurangi kesalahan tafsiran meskipun request e-resep mudah diubah dan bisa ditanyakan ke dokter by phone atau fax serta dokter bisa membatalkan resep yang dikirim, tapi dengan menggunakan sistem ini, waktu dapat dihemat ketika proses pembaharuan resep berhasil dilakukan. Sebelumnya dokter membutuhkan waktu untuk fax, distribusi, menunggu persetujuan dan fax balik, namun sekarang dokter mengisi resep yang sudah ada di inbox dan langsung diterima atau dibatalkan dalam beberapa detik dan diperlukan follow up apotik by fax kalau dokter tidak merespon dalam waktu singkat.

Staf apotik diberikan sinyal jika ada e-resep baru kemudian sistem dicocokan dengan pasien dan dokter, kadang-kadang menyeleksi secara manual kebenaran identitas pasien dari komputer umum, jika sistem e-resep sedang eror.

Staf apotik kemudian memproses setiap resep, memberikan informasi di view screen, mencocokkan dengan sistem apotik dan mem-verifikasi informasi. Ada 3 hal dibutuhkan isian manual antara lain:

  • Nama pengobatan
    Dokter menyeleksi sebuah obat dalam sistem dengan tipe data bersifat string, sehingga kekuatan dan dosis disesuaikan dengan food and drug administration national drug code (NDC). Jika NDC tidak aktif atau error, data diolah secara manual dengan menyeleksi draft obat dari data base apotik, selain itu dokter menyeleksi obat dengan spesifikasi-spesifikasi dalam sistem e-resep, membuat keputusan tentang kemasan, jika ada kekeliruan kebutuhan penggunaan obat, kadang apotik mem-follow up keperluan dokter tanpa mengurangi kasiat obat dan kebutuhan pasien.

  • Kuantitas
    Dokter memerlukan ketelitian dalam membagi kuantitas kemasan atau multi use obat seperti paket pill, sirup, penyaring udara atau cream dalam e-resep. Sistem e-resep melihat kemasan atau isi daripada dosis setiap obat sehingga membuat dokter bingung dalam menyeleksi kuantitas dengan tepat.

  • Patient instruction
    Staf apotik menulis ulang patient instruction ke pasien agar pasien mengerti misalnya satu tablet tiga kali sehari.

Proses pembaharuan resep menjadi sesuatu yang bisa diramalkan jika apotik dan dokter dengan e-resep masih mau meng-update dan memperbaiki kesalahan kemasan dan jumlah obat. Selain itu Dokter dan apotik mendapatkan manfaat dari proses pembaharuan resep misalnya mendapatkan pedoman implementasi, best practice tools, education, training dan support khususnya tambahan beberapa e-resep baru. Hal ini merupakan kesempatan untuk memodifikasi dan merubah teknik-teknik standar dari dokter dan sistem desain apotik menjadi lebih baik dengan menggunakan komonikasi elektronik.

Naskah, pesan apotik dan penjajakan e-resep dibawah sistem komunikasi elektronik meningkatkan proporsi praktek yang disesuaikan dengan e-resep. Dokter mendapat langsung pengalaman dan tahu proses implementasi yang efisien. Dengan menggunakan e-resep proses berpindah dari free text menjadi sebuah format struktural yang membutuhkan ketelitian klinis dan menghindari kerancuan. Selain itu komunikasi elektronik meningkatkan hubungan dokter dan apotik, bukan hanya mengembangkan penggunaan e-resep tapi juga penggunaan tools elektronik kesehatan yang lain.

Sumber: Joy M Grossman, et all. 2010. Transmitting and processing electronic prescription: experiences of physician practices and pharmacies

Oleh: Dedison Asanab, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana

Persepsi pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diterima, telah menjadi perhatian lama. Telah diakui bahwa pendapat pasien melengkapi indikator mutu yang biasanya dipergunakan dalam pelayanan kesehatan. Pendapat pasien dapat menjadi dasar yang efektif dalam perencanaan pengembangan mutu pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap persepsi pasien termasuk didalamnya kepuasan pasien telah banyak dilakukan sarana pelayanan kesehatan di banyak negara di dunia, salah satunya negara Prancis yang telah mewajibkan pelaksanaan survei kepuasan pasien di rumah sakit sejak tahun 1996.

Pada pelaksanaannya, survei kepuasan pasien dilakukan untuk memperbaiki lingkungan rumah sakit, fasilitas pasien, dan fasilitas dalam konteks konsumerisme. Efektivitas diukur berdasarkan umpan balik pasien untuk meningkatkan ketrampilan penyedia layanan kesehatan dan praktek-praktek yang masih menjadi kontroversi. Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai pendapat staf klinis atas hasil survei kepuasan pasien rawat inap dan kegunaannya dalam proses quality improvement.

Survei dilakukan di rumah sakit pendidikan yang memiliki 2.200 kapasitas tempat tidur dan mempekerjakan 8.000 tenaga profesional, 56 departemen yang terdiri dari 18 departemen medis, 18 departemen bedah, 16 departemen teknologi medis, 4 departemen perawatan intensif dan anestesiologi. Sedangkan untuk survei kepuasan pasien sendiri dilaksanakan sejak tahun 1998 kepada 1500 responden yang merupakan pasien rawat inap dan telah keluar (discharge) dari rumah sakit selama 2 minggu. Responden dipilih secara acak. Survei dilakukan setiap tahun dengan mengirimkan kuesioner valid kepada responden yang dipilih secara acak. Hasil survei secara keseluruhan dikirim ke semua anggota staf medis dan non medis. Sedangkan hasil survei yang spesifik untuk lingkungan klinis atau departemen dikirim kepada manajer medis dan paramedis di departemen terkait untuk memberikan informasi yang diperlukan dokter dalam praktek rutin mereka.

Selanjutnya untuk melihat dan mengkaji sejauh mana hasil survei kepuasan pasien ini bermanfaat dalam proses quality improvement, dilakukan survei terhadap provider pelayanan kesehatan terhadap hasil survei kepuasan pasien tersebut. Tujuan survei ini adalah untuk menilai pendapat staf klinis terhadap hasil survei kepuasan pasien rawat inap dan penggunaannya dalam proses quality improvement, khususnya umpan balik di bangsal terkait. Survei dilaksanakan dengan 500 responden yang merupakan penyedia layanan kesehatan yang dipilih secara acak di setiap departemen medis dan bedah.

Kuesioner dikembangkan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan 6 anggota staf dari enam departemen (4 medis dan 2 bendah). Tigapuluh item pertanyaan dihasilkan dari wawancara tersebut, dimana kuesioner awal terdiri dari 26 pertanyaan tertutup dan 4 pertanyaan terbuka, pertanyaan dalam kuesioner tersebut mencakup pendapat profesional dan menggunakan survei kepuasan pasien. Pada tahap selanjutnya 21 item pertanyaan dipilih dari 26 item pertanyaan tersebut oleh steering committee berdasarkan keabsahan menurut mereka. Skala likert digunakan dalam kuesioner tersebut dengan opsi jawaban; pasti benar, sebagian besar benar, tidak yakin, sebagian besar salah, pasti salah. Berikut adalah item-item pertanyaan yang dipergunakan dalam kuesioner tersebut:

art-20okt

Sebanyak 261 kuesioner terkumpul, diolah dan dianalisis. Sebesar 94% responden memiliki opini yang baik terhadap survei kepuasan pasien. Mereka melihat bahwa pasien sudah dapat menilai kualitas pelayanan rumah sakit, khususnya pada dimensi relasi, organisasi, dan lingkungan. Meskipun terdapat responden terutama dokter yang lebih skeptis terhadap kemampuan pasien untuk menilai pelayanan teknis atau kompetensi dokter. Responden menilai bahwa survei kepuasan dapat berdampak pada organisasi perawatan (74%) dan pada praktik mereka (72%).

Hasil spesifik survei kepuasan pasien untuk depertemen lebih sedikit diketahui dibandingkan hasil rumah sakit secara keseluruhan. Hasil yang mengacu pada 40% responden tersebut dibahas di departemen, 40% menyatakan bahwa hasil data ini mengakibatkan tindakan perbaikan dan menyebabkan perubahan perilaku mereka terhadap pasien.

Hasil analisa secara umum, survei kepuasan pasien dinilai berguna oleh provider pelayanan kesehatan. Meskipun mungkin penggunaan informasinya masih tidak sistematis untuk meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan. Namun jenis umpan balik ini dapat memicu ketertarikan nyata yang dapat membawa perubahan dalam budaya mereka dan dalam persepsi mereka terhadap pasien. Dampak pertama dari umpan balik ini yang perlu diperkuat dengan evaluasi-evaluasi di tahun mendatang, seperti menyampaikan perubahan besar di rumah sakit, perhatian yang lebih besar pada kepuasan pasien, mengintegrasikan kepuasan pasien dalam program peningkatan mutu berkelanjutan, dan perubahan dalam hubungan di seluruh provider pelayanan kesehatan, misalnya dengan pengembangan diskusi kelompok multidisiplin. Meskipun menyatakan ketertarikan pada survei kepuasan pasien tetapi hasil survei kurang dimanfaatkan oleh staf rumah sakit dan kurang dibahas didalam tim.

Disarikan oleh: Lucia Evi I.

Sumber: Perception and Use of the Results of Patient Satisfaction Surveys by Care Providers in a French Teaching Hospital. Boyer et al. International Journal for Quality in Health Care 2006; Volume 18, Number 5: pp. 359–364. Advance Access Publication: 24 August 2006.

Tulisan dokter sulit dibaca, sudah menjadi hal yang biasa. Walapun salah satu dari syarat menulis resep adalah "Hindari tulisan sulit dibaca hal ini dapat mempersulit pelayanan" tapi masih banyak dokter yang menulis resep dengan tulisan yang sulit dibaca. Mungkin hanya apoteker yang bisa membaca dan memahami resep yang ditulis. Namun bukan tidak mungkin apoteker melakukan kekeliruan dalam memberikan obat karena sulit menerjemahkan tulisan dokter sehingga terjadi medication error.

Layanan resep elektronik hadir untuk mengatasi medication error, namun seberapa efektifkah layanan ini?

Layanan resep elektronik di Inggris dimulai tahun 2005. Pelayanan resep elektronik yang dikenal dengan nama electronic prescription service (EPS) terjadi dalam 2 tahap yaitu EPS release 1 dan EPS release 2. EPSR1 berfungsi untuk menguji infrastruktur yang dibutuhkan untuk EPSR 2 di mana resep elektronik digital ditandatangani oleh prescriber dan dikirim secara elektronik ke apotek. EPRS1 mulai Juli 2009 diganti dengan EPSR 2.

EPS dimaksudkan untuk membantu dokter meningkatkan efisiensi dan pembatasan kesalahan medis. Kenyataannya medication error masih juga terjadi. Hasil penelitian Franklin (2014) menunjukkan beberapa kesalahan yang ditimbulkan dari penggunaan EPS. Penelitian ini dilakukan pada 15 community pharmacies di Inggris untuk membandingkan kesalahan pelabelan pada EPSR2 dengan non EPSR2. Non EPSR2 adalah resep dari EPSR1 dan Non EPS. Pengumpulan data berlangsung antara November 2009 dan September 2012 dengan design Naturalistic stepped wedge study.

Berdasarkan Tabel 1, data menunjukkan dari 10 sub kategori kesalahan pelabelan, 9 sub kategori kesalahan pelabelan terbanyak terjadi pada Non EPSR2. Data ini mengindikasikan bahwa penggunaan EPSR2 lebih baik daripada non EPSR.

art-21okt

Bukan hanya kesalahan pelabelan, hasil penelitian ini juga menunjukkan kesalahan konten 1,4%, peningkatan pelabelan oleh staf farmasi 13,6% dan sebagainya pada Tabel 2.

21okt2

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi rumah sakit yang belum menggunakan e-prescribing. Penelitian Franklin telah menunjukkan manfaat penggunaan EPRS2 walaupun masih menimbulkan kerugian bagi pasien. Hal ini tejadi karena kurangnya pemahaman dokter saat memasukkan kode, sehingga diperlukan kerjasama antar sistem.

Sumber: Bryony Dean Franklin, Matthew Reynolds, Stacey Sadler, et al. (2014). The effect of the electronic transmission of prescriptionson dispensing errors and prescription enhancements made in English community pharmacies: a naturalistic stepped wedge study. BMJ. http://qualitysafety.bmj.com/content/23/8/629.full.html#ref-list-1 

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH

 

Stevie Ardianto Nappoe, SKM - Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran

Meningkatkan mutu layanan di fasilitas kesehatan memang merupakan tanggung jawab dari penyedia layanan (provider), namun sebagai konsumen pasien juga berhak untuk ambil bagian dalamnya. Peran serta pasien menjadi sangat penting karena pasien sendirilah yang merasakan pelayanan yang diberikan oleh provider. Namun pada kenyataannya ruang untuk pasien ambil bagian dalam peningkatan mutu layanan menjadi sangat sedikit bahkan tidak ada. Hak pasien untuk memberikan kritik dan saran menjadi sangat terbatas dan bahkan tidak tersedia. Untuk daerah dengan banyak pilihan provider kepuasan pasien menjadi sangat penting untuk meningkatkan pendapatan, namun untuk daerah yang terbatas mau tidak mau suka tidak suka sebagai pasien tetap harus menikmati pelayanan yang tersedia walaupun mungkin saja tidak memuaskan.

Mengukur kepuasan pasien memang masih merupakan tantangan yang besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Hal ini disebabkan karena pengukuran kepuasan seseorang pasien sangat sulit dan tidak ada satu instrumen yang bisa menangkap semua aspek dan outcome, apalagi ditengah pelayanan kesehatan jaman sekarang yang semakin kompleks. Oleh karena itu sangat penting bagi provider untuk menggunakan tidak hanya kepuasan pasien tapi juga pendapat dari klinisi dan manajer untuk mendesign plan of action peningkatan mutu layanan. Bagaimanapun pasien sebagai konsumen mempunyai sudut pandang tersendiri tentang layanan yang mereka terima, hal ini menjadi unik karena masing-masing pasien tentunya memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda, misalnya bagaimana treatment yang diberikan, bagaimana proses interaksi dengan klinisi, dan lain sebagainya.

Banyak kali terjadi ketika menyusun instrumen untuk mengukur kepuasan pasien provider menyusunnya berdasarkan pandangan dari klinisi, yang mana pada saat diberikan justru pasien tidak mengerti akan pertanyaan yang diberikan. Penelitian-penelitian sebelumnya sudah banyak membuktikan bahwa suara pasien menjadi sangat penting dalam peningkatan mutu layanan.

Menurut Beattie, dkk ada 3 hal yang perlu diperhatian dalam menyusun instrumen pengukuran kepuasan pasien, yakni :

  1. Penggunaan istilah "pengalaman", "persepsi", atau "kepuasan"
    Kepuasan merupakan gap yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh pasien dengan pelayanan yang diterima, banyak faktor yang mempengaruhi dan faktor-faktor tersebut tidak statis. Pasien tidak akan menyatakan tidak puas apabila berada dibawah tekanan atau ada rasa empati terhadap pemberi layanan, Instrument yang didesign perlu menekankan pada apa yang pasien rasakan. Perlu dibedakan antara instrumen yang mengukur kepuasan pasien dengan instrumen yang meminta persepsi dari pasien.
  2. Validitas dari instrumen yang digunakan
    Instrumen yang dikembangkan harus teoritikal dan berdasarkan pada evidence dari pandangan pasien, hal ini karena ada perbedaan pandangan terhadap kepuasan antara pemberi dan penerima layanan. Instrumen yang disusun harus bisa diterima dan menginterpretasikan apa yang menjadi kebutuhan dari pasien dan klinisi, serta perlu diperhatikan coherensi dan panjangnya instrumen untuk pengambilan data yang maksimal.
  3. Instrumen harus konsisten dan reliable
    Beberapa studi sebelumnya menemukan bahwa instrumen yang digunakan oleh banyak fasilitas kesehatan ternyata mengabaikan validitas dan reliabilitas. Hal ini bisa menyebabkan data yang sudah dikumpulkan menjadi tidak berguna dan bisa saja tidak bisa dianalisis lebih lanjut sehingga proses pengumpulan data menjadi sia-sia.

Selain 3 hal diatas menurut Beattie, dkk yang tidak kalah penting adalah financial cost untuk administrasi instrumen, interpretasi dan feed back. Misalnya seperti kita ketahui instrumen dengan banyak item pertanyaan akan lebih baik dalam menangkap data yang diinginkan namun disisi lain akan sulit digunakan dalam prakteknya karena instrumen yang panjang akan menambah waktu pengisian bagi pasien dan waktu untuk interpretasi dan analisis. Penting untuk menentukan instrumen yang sesuai dengan tujuan dari pengukuran yang akan dilakukan.

Lebih jauh lagi Beattie, dkk juga menyarankan untuk mempertimbangkan untuk menggunakan Utility Index yang dikembangkan oleh Van der Vleuten, disamping hal-hal yang sudah disebutkan diatas. Index tersebut terdiri dari 5 komponen yakni namely, validitas, reliabilitas, dampak educational, efisiensi biaya dan acceptability. Masing-masing komponen memegang peranan penting sesuai dengan tujuan penggunaan instrument, misalnya untuk mengukur performance rating perlu ada penekanan pada validitas dan reliabilitas, untuk memberikan feed back perlu penekanan pada dampak educational dan efisiensi biaya dan acceptability, dan lain sebagainya.

Dengan pengukuran yang kontinyu dengan instrumen yang tepat kepuasan pasien bisa menjadi pintu masuk untuk perbaikan mutu yang lebih baik di fasilitas kesehatan. Oleh karena itu disarankan agar lebih seksama dalam memilih instrumen yang digunakan sehingga data yang dikumpulkan bisa lebih akurat dan berguna untuk dianalisis dan ditindaklanjuti.

Sumber : Beattie, Michelle, et all. Instrument to Measure Patient Experience of Health Care Quality in Hospitals : A Systematic Review Protocol. 2014 : Biomed Central