Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Managed care adalah sistem pelayanan kesehatan yang mengintegrasikan penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan. Penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang disiapkan oleh provider ke members tidak membatasi platfon keuangan (unlimitted) dan tidak mengurangi kualitas pelayanan yang diberikan tetapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas pelayanan lebih bermutu, selain itu dokter sebagai pemberi pelayanan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk meminta jasa medis sesuai kinerja tanpa intervensi dari direktur atau manajer dan pasien dibayar pengobatannya secara menyeluruh tentunya mengacu pada standar pelayanan medis yang ditentukan. Ciri Rumah sakit yang menerapkan "managed care" antara lain ada insentif untuk dokter dan juga pasien yang menggunakan provider, menyesuaikan kebutuhan pelayanan kesehatan pada kasus-kasus spesifik, meningkatkan pembagian keuangan atau mengendalikan biaya tetapi tetap menjaga mutu pelayanan, mengontrol serta memberikan hak-hak pasien misalnya lama menginap di RSUD serta menyeleksi kontrak yang dilakukan dengan provider sesuai dengan perhitungan yang matang.

Mengukur baik buruknya sistem managed care dalam penerapannya di rumah sakit biasanya memakai acuan garis-garis besar pelayanan yang disebut managed care tools. Managed care tools terdiri dari gate-keeping yaitu pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tepat oleh pasien, abbreviated as guidelines yaitu aturan untuk praktek klinik, health care networks yaitu partisipasi dokter bekerja sama dalam dalam jaringan untuk kepuasan pasien, utilization review yaitu mengontrol kelayakan biaya dan kelayakan pelayanan yang diberikan dan beberapa persyaratan baik persyaratan kasus ringan maupun berat (memerlukan opname) yang memerlukan biaya mahal. Selain itu ada tools lain yang mengatur pembayaran insentif: pembayaran insentif dokter sesuai jasanya atau fee-for-service payment dan insurers menyeleksi dokter yang cocok atau berpotensi melayani dengan baik (selective contracting).

Managed care tools bermula dari amerika utara dan menyebar luas sampai ke beberapa negara eropa. Pada tahun 1996 Swiss membuat hukum asuransi kesehatan yang mengesahkan managed care plans dan memberikan bermacam-macam biaya sesuai jasa dokter. Selain swiss ada juga Prancis yang membuat governmental agency untuk memperkuat panduan pelayanan klinik.

Sistem pelayanan di swiss adalah campuran antara praktek pelayanan liberal dan publicly run hospital dimana semua orang berhak mendapatkan pelayanan bebas dan sama tanpa memandang bulu, suku, status, etnis dan golongan tetapi tentunya dikontrol dari aturan pemerintah. Reinhardt menggambarkan pelayanan kesehatan swiss sebagai "consumer directed health care" sistem dengan aturan pemerintah yang ketat. Rumah sakit-rumah sakit umum dan dokter yang bekerja dibayar dengan gaji dan hanya beberapa dokter senior yang diijinkan untuk melakukan praktek di Rumah sakit. Dokter yang melakukan praktek pribadi dibayar kembali berdasarkan fee-for-service atau upah berdasarkan pelayanan yang disepakati antara caregivers dan insurers. Masyarakat diberi kebebasan oleh asuransi untuk memilih dan mengakses dokter yang mereka pilih. Premium asuransi kesehatan bagi orang dewasa (25+) pun bervariasi dari setiap wilayah dan sudah diatur oleh perusahaan asuransi sesuai kondisi daerah sedangkan anak dan remaja dibayar dengan lowers premium. Lower premium diatur setiap tahun dalam managed care plans oleh pemerintah, bukan hanya itu dalam managed care plans pemerintah memberikan tunjangan kepada masyarakat miskin dan berapa biaya yang harus diganti sesuai obat-obatan yang dipakai dan pelayanan yang diberikan.

Penelitian Marie Deom et al (2010) di Geneva Swiss menemukan bahwa managed care tools dimengerti dan memberikan peran aktif dalam sistem pelayanan kesehatan, selain itu memberikan motivasi lain kepada dokter dalam penambahan insentif sesuai kinerja, selain itu tools ini mengendalikan pembiayaan pelayanan kesehatan, praktek klinik yang terus menjaga kualitas pelayanan, dan kepuasan pasien menjadi tujuan pelayanan.

Di negara kita, tidak dipungkiri kalau semua orang menginginkan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, fasilitas kesehatan yang mudah diakses dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pasca penerapan BPJS yang sudah meng-cover hampir semua penduduk dan penyakit baik yang rawat jalan dan rawat nginap sesuai indikasi medis, berprinsip equitas yaitu memperoleh pelayanan sesuai dengan indikasi medis terikat dan dengan besarnya biaya yang dibayarkan, tetapi bagaimana mengukur mutu pelayanan yang diberikan? Apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien? Apakah pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan? Bagaimana dengan kualitas primary health care sebagai ujung tombak pelayanan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dihindari dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien, dalam penerapan managed care di BPJS harus menghitung kendali mutu dan kendali biaya, gate keeping hanya bisa diterapkan di kota-kota besar, sedangkan daerah-daerah terpencil tidak memiliki pilihan memilih fasilitas kesehatan (fasilitas kesehatan terbatas) hingga kualitas pelayanan diragukan (tidak ada saingan), praktek klinik pun ada di kota-kota sedangkan di desa-desa hanya ada puskesmas sehingga tidak ada pilihan masyarakat memilih fasilitas kesehatan (abbreviated as guidelines), Kelayakan biaya yang diberikan dan kelayakan pelayanan harus sesuai tetapi tidak ada indikator untuk mengetahui mutunya (utilization review), serta jumah dokter masih sedikit di daerah terpencil sehingga insurers belum bisa menyeleksi dokter yang berpotensi melayani dengan baik (selective contracting).

Belajar dari managed care tools yang diterapkan di Swiss, mari kita berbenah memperbaiki kualitas sistem pelayanan kesehatan lebih baik dengan indikator-indikator pengukuran mutu pelayanan kesehatan yang diberikan, mengendalikan biaya dan pelayanan yang diberikan, menambah jumlah praktek klinik dan dokter didaerah terpencil agar memberikan banyak pilihan masyarakat dalam memilih pelayanan dan meningkatkan daya saing dengan menjaga kualitas pelayanan, meningkatkan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan meningkatkan daya saing pemberi pelayanan sehingga mengutamakan kualitas pelayanan personal dengan motivasi "semakin baik kinerja semakin banyak salary"

Sumber: Marie Deom, et all. 2010. What doctors think about the impact of managed care tools on quality of care, costs, autonomy and relations with patien. BMC Health services research.

Oleh: Dedison Asanab, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana

Rujukan merupakan proses yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan terutama untuk daerah dengan keterbatasan fasilitas. Dengan proses rujukan yang baik masyarakat atau pasien bisa mendapatkan pelayanan yang berkualitas serta komprehensif. Apalagi dalam era JKN telah ditetapkan system rujukan berjenjang sehingga proses rujukan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan. Masalah-masalah seperti administrasi, kepatuhan terhadap SOP rujukan, fasilitas, dan juga akses transportasi masih menjadi kendala dalam system rujukan kita. Masalah yang paling sering dijumpai adalah system rujukan balik yang tidak berjalan.

Rujukan balik merupakan bagian yang esensial dari system komunikasi dalam rujukan untuk memberikan pelayanan lanjutan yang tepat bagi pasien setelah mendapatkan pelayanan spesialis. Rujukan balik yang tepat selain meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada pasien juga membentuk kerjasama yang solid antara penyedia layanan yang berbasis pada kepercayaan dan komunikasi.

Menurut Piterman dan Koritsas, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun komunikasi rujukan antara pemberi rujukan dan penerima rujukan adalah sebagai berikut :

  1. Penerima rujukan menginginkan informasi yang mendetail terkait dengan masalah yang dihadapi sehingga pasien tersebut dirujuk. Mereka merasa bahwa pemberi rujukan kurang memberikan informasi yang cukup terkait masalah yang dihadapi. Informasi yang diharapkan oleh dokter spesialis antara lain detail pengobatan yang sudah diberikan kepada pasien, pemeriksaan lanjutan yang diperlukan, dan masalah medis lain yang perlu didiskusikan.
  2. Pemberi rujukan mengharapkan respons yang jelas dari penerima rujukan, seperti jawaban yang spesifik untuk masalah yang ditangani, diagnosa yang jelas, rekomendasi untuk perawatan lebih lanjut, follow-up yang diperlukan, pengobatan yang sudah diberikan, serta nama jelas dan tujuan kepada siapa rujukan balik diberikan untuk ditindaklanjuti.

Bisa dilihat disini bahwa komunikasi merupakan bagian yang penting dalam proses rujukan baik itu dalam memberikan rujukan maupun rujukan balik. Untuk rujukan balik kita bisa belajar dari Guidelines on Feedback to General Practitioners for Community Health Services 2011 yang dikembangkan oleh pemerintah Negara Bagian Victoria, Australia, secara singkat sebagai berikut :

Mengapa perlu rujukan balik?

  • Memungkinkan support yang relevan dan efektif untuk primary health care;
  • Mencegah kebingungan pada pasien;
  • Meningkatkan manajemen perawatan tindak lanjut;
  • Menjamin keselamatan pasien;
  • Menghindari duplikasi manajemen perawatan, tes, dan personal informasi yang diberikan kepada pasien;
  • Memastikan pelayanan yang diberikan kepada pasien tidak terfragmentasi;
  • Meningkatkan standar pelayanan.

Kapan rujukan balik harus diberikan?

Rujukan balik harus diberikan baik untuk pasien yang dirujuk maupun yang datang sendiri, namun hal ini harus sesuai ijin pasien kecuali yang menyangkut keselamatan pasien dan kesehatan masyarakat.

Siapa yang harus memberikan rujukan balik?

Untuk pelayanan yang melibatkan multidisciplinary team, rujukan balik yang diberikan menjadi lebih kompleks, bisa dengan membuat laporan dengan input dari setiap provider pelayanan atau laporan komprehensif atau progress report.

Bagaimana rujukan balik diberikan?

Rujukan balik bisa diberikan secara lisan maupun tulisan, namun tulisan lebih disarankan. Apabila dalam keadaan urgent maka penerima rujukan bisa langsung mengontak pemberi rujukan, namun selalu harus diikuti dengan surat rujukan balik setelahnya.

Rujukan untuk kebutuhan pelayanan yang kompleks

 

 

 

Rencana koordinasi antar provider

Dalam rujukan balik harus memuat investigasi, tes, maupun assessment yang diterima oleh pasien; perawatan yang diberikan; dan rencana perawatan untuk penyakit yang diderita oleh pasien.

Untuk pasien dengan kondisi yang kompleks dan membutuhkan perawatan dari beberapa provider maka perlu dikembangkan rencana koordinasi perawatan (care coordination plan) yang melibatkan provider-provider tersebut.

Komunikasi yang baik dalam rujukan tidak hanya penting bagi pemberi rujukan dan penerima rujukan tetapi juga bagi pasien. Komunikasi yang buruk antara pemberi dan penerima rujukan bisa merugikan pasien, diantaranya mengeluarkan biaya lebih untuk mengulangi kunjungan atau tes yang sebenarnya tidak perlu, memperlambat diagnosa atau perawatan, dan menurunkan kepercayaan pada sarana pelayanan kesehatan.

Sumber :

Piterman & Koritsas. 2005. Personal Viewpoint, Part II. Genaral Practitioner-Spesialist Referral Process. Internal Medicine Journal; 35 : 491-496

Department of Health, State Government Victoria. 2011. Guidelines on Feedback to General Practitioners for Community Health Services. Department of Health.

Oleh: Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran

Dari tahun ke tahun kasus medical error semakin banyak terjadi. Patient safety masih belum menjadi prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, beberapa kesalahan yang dilakukan dianggap biasa dan kurang mendapat perhatian untuk segera diselesaikan. Oleh karena itu, pelaku-pelaku dalam organisasi kesehatan harus berpikir secara seksama dan mengerti keamanan dari pelayanan yang diberikan. Don Berwick berpendapat bahwa organisasi pemberi pelayanan kesehatan harus secara rutin mengumpulkan, menganalisis, dan merespon secepat mungkin masalah kualitas dan keamanan pelayanan kesehatan yang mana bisa berasal dari pendapat pasien/staf, kritik, dan pengukuran lainnya yang relevan sehingga hal ini bisa berfungsi sebagai "detector" sebelum masalah tersebut benar-benar terjadi.

Salah satu masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana menyuarakan (speaking up) resiko/tanda bahaya seperti kesalahan, penyimpangan, pelanggaran, dan penanganan pasien yang tidak sesuai SOP. Dokter dan perawat sebagai frontline staff memegang peranan penting dalam hal ini. Speaking up dimaksudkan agar pelaku kesehatan di level atas bisa mendengar dan melakukan tindakan preventif sebelum terjadi medical error/human error yang berdampak pada keamanan pasien. Okuyama, et al dalam studinya menemukan bahwa sikap diam bisa disebabkan karena beberapa hal diantaranya takut, menghindari konflik, dan tekanan norma sosial dalam organisasi. Selain itu beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi adalah tingginya disproporsi kewenangan, rasa hormat yang terlalu tinggi untuk atasan, dan kurangnya sumberdaya. Salah satu studi menemukan bahwa banyak petugas kesehatan yang ragu-ragu dalam menyuarakan patient safety walaupun mereka sadar bahwa pasien tersebut bisa saja dalam bahaya.

Membangun speaking up behavior sangat berguna untuk mendesain patient safety improvement yang bermuara pada perubahan perilaku yang sustainable dan peningkatan keamanan pasien. Kobe, et al menemukan bahwa level speaking up yang tinggi dari perawat dalam medical team merupakan salah satu faktor penentu dalam kualitas pelayanan yang diberikan oleh tim tersebut. Dalam studi yang lain, 74-78% residen dan dokter menaruh perhatian lebih pada kasus yang pernah disuarakan oleh mereka untuk dicegah kerugiannya. Okuyama, et al menyatakan bahwa dengan tetap diam maka kita membuang kesempatan untuk mencegah kerugian dan meningkatkan patient safety. Untuk itu perlu adanya pelatihan kemampuan komunikasi bagi para klinisi seperti penggunaan bahasa kritis, tuntutan, dan standarisasi communication tools agar mereka tahu bagaimana mengingatkan sesama anggota tim/staf manajerial tanda-tanda bahaya yang ditemui.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menjadikan patient safety menjadi prioritas adalah dengan melakukan pengukuran dan monitoring secara continue terhadap kebijakan patient safety yang diterapkan dalam organisasi pelayanan kesehatan. The Health Foundation dari UK menawarkan sebuah framework untuk mengukur dan memonitor patient safety sebagai berikut :

art-8jul

  1. Past Harm – Apakah pelayanan yang diberikan pada masa lalu sudah aman?
    Mengidentifikasi berbagai tipe bahaya yang ada dalam sistem yang ada sejak masa lalu dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Pastikan bahwa pengukuran yang dilakukan valid, reliable dan spesifik.
  2. Reliability – Apakah clinical system dan proses yang dilaksanakan reliable?
    Tentukan level reliabilitas yang diharapkan dari proses standarisasi dengan menggunakan standar audit lokal maupun nasional. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya sistem pelayanan yang diterapkan.
  3. Sensitivity to operations – Apakah pelayanan yang diberikan saat ini aman?
    Memilih mekanisme monitoring safety yang tepat baik secara formal maupun non formal. Gunakan informasi yang diperoleh untuk mencegah masalah yang mungkin bisa ditimbulkan. Apakah jajaran staf struktural atau komite Medic mempunyai waktu untuk melaksanakan rencana aksi atau tidak.
  4. Anticipation and preparedness – Apakah pelayanan yang diberikan terjamin keamanannya di masa depan?
    Jangan tunggu sampai terjadi masalah, temukan berbagai cara untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Gunakan berbagai macam tool dan teknik untuk mengatasi faktor-faktor/isu resiko keamanan pasien.
  5. Integrating and learning – Apakah ada respond an peningkatan pada pelayanan yang diberikan?
    Gunakan analisa kasus sebagai langkah awal untuk mengungkapkan isu yang lebih luas. Berikan penekanan lebih pada pembelajaran, pengelolaan feedback, dan rencana aksi. Pengelolaan data yang baik agar menghasilkan informasi yang berguna.

Sumber : Okuyama, et all. 2014. Speaking Up for Patient Safety by Hospital-Based Health Care Professionals : A Literature Review. BMC Health Service Reseach

The Health Foundation. 2014. Practical Guide : A Framework for Measuring and Monitoring Safety. Health Foundation UK

Oleh: Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran

Banyaknya kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan medis mendorong kemunculan inisiatif sebagian pihak (pemerintah maupun swasta) untuk membangun dan menyediakan berbagai fasilitas dan bentuk pelayanan kesehatan. Masing-masing (pemerintah dan swasta) berangkat dari motivasi awal yang tentu saja berbeda. Jika pemerintah menyediakan berbagai bentuk fasilitas dan jasa pelayanan kesehatan/medis sebagai bentuk pengejawantahan amanat konstitusi, maka sebagian besar fasilitas dan pelayanan kesehatan/medis yang dikelola oleh swasta berorientasi kepada bisnis (profit oriented).

Sulit dipungkiri bahwa terdapat prospek bisnis yang menjanjikan keuntungan besar dalam dunia kesehatan dan medis, hal ini yang kemudian berdampak pada dualisme motivasi bagi hampir seluruh pihak yang terlibat didalamnya. Disatu sisi, keterlibatan dalam dunia kesehatan dan medis dapat merupakan dorongan rasa pengabdian terhadap kemanusiaan, namun dilain sisi tidak jarang pula keinginan untuk terlibat dalam dunia kesehatan dan medis termotivasi oleh peluang bisnis dan keuntungan materil yang mungkin bisa didapatkan bagi masing-masing pribadi atau kelompok. Bias dualisme motivasi inilah yang pada gilirannya dapat membuat siapapun (pelaku dan tenaga medis) berpotensi untuk melakukan berbagai bentuk kecurangan (fraud) dalam praktiknya.

Fraud (kecurangan medis) di Indonesia meskipun belum tersedia dalam data yang valid, telah menjadi desas-desus yang sudah cukup lama terdengar disemua kalangan. Selain itu ditemukan berbagai kondisi (baik sistem pengelolaan organisasi kesehatan/medis dan sistem pelaporan administrasi) yang belum tertangani secara maksimal sehingga berdampak pada munculnya potensi kecurangan yang cukup besar. Mengingat bahwa kesehatan dan medis merupakan dua hal krusial karena menyangkut kepentingan orang banyak, tentunya menjadi penting untuk segera dirumuskan berbagai strategi guna mengantisipasi praktik fraud yang beresiko merugikan negara dan masyarakat.

Salah satu pendekatan strategis yang dapat ditempuh sebagai langkah antisipatif adalah melalui pendekatan kebijakan. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah (baik kebijakan hukum maupun kebijakan kesehatan secara umum) pada kenyataannya belum secara keseluruhan dijalankan secara maksimal.

Di beberapa negara maju seperti halnya Inggris, lembaga pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, obat-obatan dan makanan turut mengambil peran dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar memiliki kemampuan kritis dalam menilai sejauh mana pelayanan medis yang diterima, resep obat yang diberikan serta fasilitas medis yang ia/keluarganya gunakan berkesesuaian dengan penyakit yang diderita dan jumlah biaya yang harus dibayarkan. Dengan demikian pasien yang dalam hal ini juga berposisi sebagai konsumen setidaknya memiliki pemahaman yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa ia diberikan pelayanan dan penanganan medis yang prima serta membayar dengan harga yang pantas.

Beberapa desas-desus yang terdengar tentang sering terjadinya kerjasama ilegal antara tenaga kerja medis (dokter) dengan vendor tertentu (perusahan produsen obat atau alat-alat medis) yang dapat berdampak pada kerugian pasien/konsumen setidaknya dapat diminimalisir apabila masyarakat telah diberikan pendidikan dan pemahaman yang memadai seputar dunia obat dan medis. Meskipun tentu saja upaya ini tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya strategi dalam mengantisipasi terjadinya kecurangan medis (fraud), mengingat pemahaman dan daya kontrol masyarakat yang terbatas.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan legal policy approach (pendekatan kebijakan hukum). Semisal jika merujuk pada pasal 33 UUD 1945 tentang berbagai sektor produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam kasus kecurangan medis yang disebabkan oleh adanya kerjasama antara tenaga medis dengan vendor, pemerintah dapat saja mengambil langkah untuk memonopoli kegiatan produksi obat dan alat kesehatan agar permainan semacam itu tidak lagi terjadi. Monopoli negara dalam sudut pandang para penganut pasar bebas memang bukan sesuatu yang dapat dikatakan baik, namun sebenarnya permasalahan pokoknya adalah pada sistem manajemen dan administrasi yang diterapkan. Bukan pada soal "siapa yang menguasai apa". Kecendrungan sikap dan kebijakan kita selama ini yang melakukan swastanisasi atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengalami kerugian sebenarnya merupakan cara berfikir yang reaksioner dan cukup gegabah. Selain itu kita seolah mengabaikan opsi reformasi sistem pengelolaan dan sistem pelaporan administratif agar lebih transparan dan akuntabel.

Riskan jika tetap membiarkan kegiatan produksi obat-obatan dan alat kesehatan dibiarkan tetap didominasi oleh pihak swasta. Motivasi perusahaan swasta yang tentunya lebih memperioritaskan profit dalam kenyataannya sangat berpengaruh pada terjadinya praktik kecurangan dalam dunia medis. Oleh karena itu salah satu tawaran penulis adalah pemerintah sebaiknya memiliki peran yang juga signifikan dalam kegiatan produksi obat dan kesehatan melalui BUMN. Agar setidaknya program pemerintah dibidang kesehatan tidak lagi dikacaukan oleh kasus-kasus kerjasama ilegal antara tenaga medis dengan perusahaan obat swasta yang memang hanya bertujuan mengejar keuntungan semata dengan cara apapun.

Singkatnya persoalan kesehatan memang memerlukan campur tangan pemerintah dari mulai hulu hingga ke hilir. Disamping membangun kesadaran pengabdian yang kuat bagi para praktisi dan tenaga medis, tidak boleh juga di abaikan tentang pentingnya menyusun dan melengkapi perangkat aturan dan hukum yang berkaitan dengan praktik fraud (kecurangan medis).

Contoh lain yang dapat dijadikan referensi dalam menyusun perangkat aturan dan hukum guna mengantisipasi terjadinya kecurangan medis adalah bentuk-bentuk sanksi hukum perdata seperti halnya yang telah diterapkan di Amerika. Tentunya dengan tidak mengabaikan adanya disparitas situasi dan kondisi antara Indonesia dan Amerika. Apa yang diterapkan di Amerika dan dikenal sebagai False Calims Act (FCA) sangat mungkin relevan dengan upaya antisipasi berbagai macam tindak kecurangan yang dapat terjadi dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). False Calims Act bertujuan melindungi pemerintah atas adanya kemungkinan-kemungkinan tagihan palsu yang dibuat dengan merekayasa data laporan pasien (resep obat atau fasilitas yang digunakan). Adapun jika hal tersebut terjadi, maka sanksi yang diberlakukan dapat berupa sanksi perdata hingga pidana.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH

Referensi:

Pusat Pelayanan Medicare dan Medicaid (2010). Menghindari Kecurangan dan Penyalahgunaan Medicare : Sebuah Peta untuk Para Dokter. Washington, DC: Department of Health & Human Services