Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Beberapa ahli rumah sakit (RS) sering menganggap bahwa kewajiban menjalankan fungsi sosial RS yang dimaksud dalam UU tentang RS (UU 44 tahun 2009, pasal 29 ayat 4) adalah kewajiban yang sama seperti yang berlaku untuk Badan Usaha Milik Negara yaitu untuk melakukan program kemitraan dan bina lingkungan (menurut Kepmen BUMN Nomor 236 tahun 2003) dan seperti perusahaan pengelola sumber daya alam untuk menjalani tanggung jawab sosial dan lingkungan (menurut UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas).

Menurut UU tentang RS, yang dimaksud dengan fungsi sosial RS adalah melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan. Menilik pengertian ini maka fungsi sosial RS "hanya" bersifat filantropis atau kedermawaan semata.

Sedangkan menurut UU tentang PT, sebenarnya yang wajib menjalankan kegiatan CSR adalah PT yang bergerak atau berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (seperti, pertambangan, minyak bumi, batu bara, perkebunan seperti kelapa sawit, tebu, dan sebagainya). Disamping konsep CSR yang lebih menekankan aspek pemberdayaan masyarakat, ruang lingkup kegiatan CSR juga luas yaitu meliputi kegiatan sosial (termasuk kesehatan), ekonomi dan lingkungan serta juga dengan prinsip berkelanjutan bukan hanya sesaat.

Di Indonesia saat ini tersedia banyak dana/program CSR dari perusahaan-perusahaan namun demikian sebuah survei pada 209 perusahaan yang melakukan kegiatan CSR, ternyata bidang kesehatan tidak menjadi prioritas utama, bidang-bidang yang terutama diberi sumbangan oleh kalangan dunia usaha adalah pelayanan sosial, keagamaan dan pendidikan (Suprapto, 2004). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa meski sebagian besar perusahaan responden menyatakan tidak memiliki program CSR dalam bentuk pelayanan RS, hal tersebut ternyata terjadi karena pihak perusahaan tidak mendapatkan atau hanya sedikit memahami mengenai kemungkinan program CSR dalam bentuk pelayanan di RS (Dewi, 2011).

Potensi dana CSR tersebut kontras dengan kondisi banyaknya pengelola RS di Indonesia mengeluhkan akan keterbatasan dana dalam pengembangan bahkan juga untuk operasional sehari-hari. Fenomena tersebut terjadi antara lain karena pembiayaan pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum menjadi prioritas bagi pemerintah dan juga masyarakat, terbatasnya inovasi-inovasi politik dan ekonomi yang dapat mengembangkan kegiatan di sektor kesehatan, seperti tidak adanya insentif pajak, berubah-ubahnya mekanisme kemandirian rumah-sakit, dan belum lancarnya mekanisme pembiayaan RS yang telah ada (Trisnantoro, 2004).

Mencermati hal ini maka para pengelola RS seharusnya lebih baik memfokuskan diri untuk dapat menggali dana-dana CSR perusahaan (lain) yang kemudian digunakan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan di RS masing-masing, dari pada sekedar memberi "label" pelaksanaan fungsi sosial RS sebagai kegiatan CSR.

 

edi-24junAlvin Toffler pada tahun 80an terkenal dengan bukunya "The Third Wave" yang mengatakan bahwa kita saat ini (tahun 1970-2000) berada dalam gelombang per-adab-an gelombang ketiga, yaitu peradaban yang lebih bermutu, lebih dalam, luas, dan lebih menyeluruh dari kedua peradaban sebelumnya. Pembaruan ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan informasi yang memungkinkan jauh lebih banyak manusia mampu melihat semua fenomena yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi, dalam cakupan yang lebih dalam dan lebih luas.

Terlepas dari pendapat Toffler apakah setelah tahun 2000 apakah kita masih dalam Gelombang Informasi atau tidak, namun informasi masih merupakan suatu hal penting atau bahkan terpenting dalam menyusun upaya memecahkan masalah dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Mengambil keputusan dan memecahkan masalah adalah dua kegiatan yang paling penting dalam organisasi, termasuk dalam bidang pelayanan kesehatan. Pengambilan keputusan merupakan suatu proses yang melalui serangkaian tahapan aktifitas yang menghasilkan keputusan untuk pemecahan sebuah masalah, dimana dalam prosesnya perlu difasilitasi oleh informasi. Berbagai penelitian telah menunjukan ada pengaruh kuat antara pembuatan keputusan dengan informasi yang dimiliki oleh setiap pembuat keputusan, bahkan juga menegaskan sistem informasi adalah senjata kunci dari persaingan bisnis.

Sarana pelayanan kesehatan merupakan tempat yang kaya akan informasi, ada informasi mengenai pasien dan pelayanan, informasi mengenai keuangan, informasi sumber daya manusia, dan masih banyak lagi. Teknologi informasi juga berkembang pesat, sehingga kecenderungannya kini semakin mudah mengakses berbagai informasi. Sekarang ini sumber informasi yang dapat dipilih para pengelola sarana pelayanan kesehatan menjadi sangat beragam baik dari dalam maupun luar negeri.

Berbagai informasi dapat diperoleh dari jurnal, koran, majalah, seminar-seminar perumahsakitan, dan internet yang sudah mulai diminati sebagian orang karena informasinya yang selalu baru dan dirasa canggih. Meski demikian pada kenyataannya tidak semua informasi tersebut relevan dengan kebutuhan. Untuk itulah seorang pengelola mutu pelayanan kesehatan perlu memilih informasi yang tepat untuk pengambilan keputusan yang sesuai bagi rumah sakitnya.

Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) pada bab 24 ayat 3 menetapkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

Sistem pembayaran pelayanan kesehatan telah diatur secara tegas di Peraturan Presiden tentang Jaminan kesehatan pasal 39 yaitu menggunakan mekanisme kapitasi untuk pelayanan kesehatan tingkat pertama dan mekanisme INA-CBGs untuk pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Sedangkan untuk sistem kendali mutu pelayanan, meski pada pasal 20 ayat 1 telah menetapkan "produk" dari jaminan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, namun belum ditetapkan secara tegas tentang "mutu produk" tersebut.

Pasal 42 yang menjelaskan mengenai kendali mutu, menetapkan bahwa pelayanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya. Hal tersebut harus dicapai secara umum dengan memenuhi standar mutu fasilitas kesehatan (input), memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan (proses), serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta (output). Secara khusus penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan akan diatur dengan Peraturan BPJS (pasal 42 ayat 3) dan oleh Peraturan Menteri (pasal 44).

Data klaim seperti yang selama ini dikumpulkan oleh PT. Askes, Jamsostek, ASABRI, Jamkesmas, Jamkesda dan nantinya akan juga dikumpulkan oleh BPJS dapat digunakan untuk menilai pencapaian standar proses dan output tersebut diatas. Untuk melakukan evaluasi tersebut pertama-tama harus dibangun pemahaman yang sama, penetapan aturan dan regulasi, penyusunan metoda penilaian dan uji coba pelaksanaan sebelum benar-benar diterapkan.

Enam bulan kedepan merupakan kesempatan kita bersama untuk mengembangkan sistem penilaian kendali mutu pelayanan menggunakan data klaim asuransi/jaminan. Inisiatif ini harus berasal dari lembaga asuransi/pembiayaan kesehatan yang ada saat ini (PT. Askes, Jamsostek, ASABRI, Jamkesmas, Jamkesda ) dan juga para regulator BPJS yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kemenkes.

Oleh: Ni Made Yunda Fitriamayang

Quality Function Deployment (QFD) merupakan suatu pendekatan disiplin namun fleksibel terhadap pengembangan produk. Titik awal (Starting Point) dari QFD adalah pelanggan serta keinginan dan kebutuhan dari pelanggan itu. Hal ini dalam QFD disebut sebagai suara dari pelanggan (Risenasari, 2009). Inti dari QFD adalah suatu matriks besar "The House Of Quality" yang menghubungkan keinginan pelanggan dengan desain suatu produk agar memenuhi harapan pelanggan. Fokus utama QFD adalah melibatkan pelanggan pada proses pengembangan produk.

"The House of Quality" atau rumah mutu dapat disebut sebagai matriks yang menerjemahkan syarat pelanggan ke dalam syarat praktisi dan diproses untuk dapat digunakan dalam tahap produksi suatu produk. Setiap house of quality terdiri dari informasi tentang 3 kategori utama dalam dimensi yang berbeda yaitu (Yesilada and Yurdakul, 2009):

  1. Kolom yang berisikan tentang kepentingan pelanggan
  2. Kolom yang berisikan kepentingan pemberi pelayanan
  3. Nilai hubungan tiap kolom sehingga dapat diperoleh level kepuasan pada tiap kepentingan

Konsep QFD dikembangkan untuk menjamin bahwa produk yang memasuki tahap produksi, benar-benar dapat memuaskan pelanggan dengan membentuk tingkat kualitas yang diperlukan dan kesesuaian maksimum pada setiap tahap pengembangan produk (Indrastuti, 2009). Manfaat penerapan QFD (Yesilada and Yurdakul, 2009) adalah:

  1. Mengetahui kebutuhan pasien dan harapannya dari kualitas pelayanan kesehatan
  2. Klasifikasi kebutuhan pasien ke dalam sub kategori sehingga dapat ditentukan prioritas dalam melakukan pengembangan
  3. Interpretasi suara pelanggan dalam syarat teknikal dan menentukan kebutuhan tersebut sebagai dasar dalam melakukan pengembangan kualitas pelayanan kesehatan.

Agar implementasi QFD sukses, maka penyedia pelayanan kesehatan harus fokus pada pelanggan dan mencoba untuk mengembangkan level kepuasan secara berkelanjutan. Survei rutin terhadap kepuasan pelanggan harus menjadi suatu kebiasaan dan rumah sakit harus meningkatkan kualitas pelayanan serta melakukan koreksi terhadap kesenjangan yang terjadi antara harapan dan persepsi pasien terhadap pelayanan yang diterimanya (Yesilada and Yurdakul, 2009).

Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mendesain produk atau pelayanan dengan menggunakan QD menurut Koentjoro (2007) adalah

  1. Menyusun daftar persayaratan yang diajukan oleh pelanggan melalui surveilan, wawancara ataupun diskusi kelompok terfokus.
  2. Menyusun daftar persayaratan yang diajukan oleh praktisi penyedia pelayanan kesehatan melalui surveilan, wawancara ataupun diskusi kelompok terfokus.
  3. Melakukan kajian hubungan antara persyaratan pelanggan dengan persyaratan teknis
  4. Menilai korelasi antar elemen persyaratan teknis
  5. Melakukan kajian kompetitif terhadap persyaratan pelanggan dan persyaratan teknis dibandingkan pesaing.
  6. Menentukan prioritas persyaratan pelanggan dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan, target perubahan dan keterkaitannya dengan penjualan.
  7. Menentukan prioritas persyaratan teknis dengan menghitung tingkat kesulitan dan target perubahan.
  8. Melakukan penilaian akhir dengan memperhatikan bobot absolut dan bobot relatif dari persyaratan teknis untuk menentukan prioritas dalam pengambilan keputusan.