Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Oleh: I Putu Wibawa Putra

Wisata kesehatan atau yang pada umumnya sering disebut dengan medical tourism merupakan bentuk baru pariwisata (Heung et al. 2011), atau suatu perjalanan yang terorganisir ke luar lingkungan lokal individu untuk pemeliharaan, peningkatan, dan pemulihan kesehatan dengan melakukan intervensi medis (Carl dan Carrera, 2010). Lebih lanjut Heung telah mengidentifikasi bahwa negara-negara seperti India, Malaysia, Singapura, Thailand, telah menjadi negara yang telah menerapkan peluang bisnis medical tourism dengan menarik lebih dua juta wisatawan medis pada tahun 2005. Sedangkan negara Hongkong, Hungaria, Israel, Yordania, Filipina, Brasil, Kosta Rika, Meksiko, dan Turki juga sedang dalam penerapan menarik wisatawan medis khususnya di bidang bedah.

Wisata medis dipandang sebagai sebuah proses penyediaan pelayanan kesehatan medis dengan biaya efektif bagi pasien melalui kerja sama dengan industri pariwisata. Sehingga para wisatawan yang menggunakan perjalanan dengan medical tourism mendapat keuntungan yaitu tidak hanya menjalani perawatan medis namun dapat sambil menikmati perjalanan dan tinggal di salah satu tujuan wisata wisata populer di dunia (Gupta, 2008), meski demkian sering juga para wisatawan hanya melakukan perjalanan semata untuk pelayanan kesehatan.

Peran pemerintah sangat diperlukan pada medical tourism sebagai regulator atau pengambil kebijakan karena menurut Cohen (2012) wisata medis dapat terdiri dari tiga kelompok terpisah :

  1. Populasi pasien yang berdasarkan tiga kategori besar :
    1. Populasi pasien yang membayar dengan biaya sendiri atau out of pocket,
    2. Perusahaan asuransi swasta sebagai pendorong adanya medical tourism. Dalam hal tersebut asuransi dalam bentuk khusus hanya mencangkup layanan luar negeri tanpa pemberian insentif apapun, sedangkan, dalam cakupan yang lebih umum asuransi menawarkan kepada individu untuk mendapatkan perawatan di luar negeri dengan pembayaran insentif kepada pihak asuransi.
    3. Pemerintah sebagai penyelenggara medical tourism.

  2. Jenis layanan yang dicari berdasarkan legalitas :
    1. Medical tourism untuk layanan ilegal di negara asal daan negara tujuan (seperti pembelian organ di Filipina).
    2. Medical tourism untuk layanan ilegal di negara asal tetapi tidak berlaku di negara tujuan (seperti euthanasia, stem cell tourism).
    3. Medical tourism untuk layanan legal di negara asal dan tujuan. Penyebabnya karena biaya lebih rendah, keahlian teknologi yang tinggi di luar negeri, dan tidak adanya waktu antrian.

  3. Jenis masalah hukum atau etika yang timbul akibat dari medical tourism bagi negara asal dan tujuan menimbulkan masalah, yaitu:
    1. Mengekspos pasien negara asal ketika mendapatkan perawatan yang buruk di luar negeri.
    2. Doktrin acara perdata di negara asal pasien dan pilhan hukum yang berlaku di negara tujuan, yang masih terdapat kurangnya perlindungan terhadap pasien dan pengabaian hak atas kompensasi terhadap malpraktek medis yang terjadi setiap kejadian medical error.
    3. Keamanan yang menjamin perawatan pasien medical tourism setelah kembali dari negara tujuan dan bersedia bertanggung jawab untuk tiap komplokasi yang terjadi.
    4. Efek dinamis pada pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah termasuk kemungkinan regulasi.
    5. Efek negatif terhadap medical tourism terhadap akses pelayanan perawatn medis oleh negara tujuan yang buruk, jika terjadi adanya jaminan bea normatif dari negara asal atau badan internasional untuk memperbaikinya.

Berdasarkan hasil penelitian Peters dan Sauer (2011) serta Sarwar et al (2012) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penting bagi penyedia layanan dan klien ketika memilih penyedia layanan medis luar negeri atau medical tourism yaitu :

  • Penghematan biaya
  • Kualitas pelayanan
  • Ketersediaan dan jenis pengobatan
  • Pengalaman dan reputasi penyedia pelayanan medical tourism
  • Akreditasi
  • Akses, jarak dan kemudahan perjalanan
  • Pemasaran

Sabtu minggu lalu, salah satu pakar manajemen mutu pelayanan kesahatan dari Inggris dan juga penggagas pembentukan The International Society for Quality in Health Care (ISQua), DR. dr. Charles Shaw menjadi pembicara tamu di FK-UGM dalam program Continuing Medical Education (CME).

Salah satu pokok bahasan terpenting adalah mengenai integrasi sistem mutu dalam pelayanan kesehatan. Shaw yang juga salah satu konsultan WHO Indonesia menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia terdapat berbagai upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang umumnya terdiri dari upaya menyusun standar (seperti standar perijinan, standar akreditasi, standar kompetensi, standar pelahyanan minimal, standar alat, prosedur standar, dsb) dan upaya untuk melakukan pengukuran. Upaya penyusunan standar ini juga (seharusnya) diikuti dengan upaya untuk mengukur kepatuhan pemenuhan standar dan upaya untuk melakukan perubahan/perbaikan agar tingkat kepatuhan meningkat.

edi-10jun

Di Indonesia, berbagai upaya peningkatan mutu tersebut tidak terintegrasi satu sama lain, masing-masing upaya berdiri sendiri, hal ini juga sering terjadi di negara-negara lain. Sebagai contoh, untuk standar, umumnya terdiri dari 2 jenis, yaitu standar klinis (clincal standard) dan standar manajemen (organisational standard). Standar klinis seharusnya disusun berdasarkan penelitian biomedis (kedokteran, keperawatan, dsb) sehingga menghasilkan sebuah pedoman pelayanan klinis ataupun clinical pathways (kadang meski telah tersedia hasil penelitian dari negara maju, organisasi profesi di Indonesia masih perlu untuk melakukan penelitian klinis untuk melihat kesesuaian dengan karakteristik manusia Indonesia). Demikian pula dengan standar manajemen, seharusnya berasal dari penelitian dalam bidang manajemen (misalnya di Amerika penelitan IOM tentang medical error menghasilkan standar keselamatan pasien). Namun intergrasi antara penelitian dengan penyusunan standar ataupun integrasi antara standar klinis dengan standar manajemen sering tidak terjadi.

Measurement ataupun pengukuran kinerja mutu juga sering tidak terintegrasi satu sama lain, misalnya pengukuran di rumah sakit seperti Standar Pelayanan Minimal (SPM), Standar Akreditasi, Standar Perijinan, Standar Pelayanan Publik. Berbagai jenis pengukuran yang perlu diintegrasikan meliputi berbagai jenis pengukuran indikator, audit klinik, survey, peer review dan inspeksi.

Tantangan terbesar terutama muncul dalam mengintergrasikan berbagai upaya improvement atau perbaikan/perubahan. Di Indonesia ini bisa meliputi: Perencanaan dari Kementerian Kesehatan (misalnya dalam bentuk Kerangka Kerja Nasional untuk Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan / National Healthcare Quality Framework, yang saat ini belum tersedia); Dorongan atau peer pressure dari organisasi profesi (seperti pada saat ini IDAI dan POGI sedang menyusun rencana untuk melakukan Audit Medik Nasional, dimana hasil audit dapat menjadi salah satu bentuk peer pressure); Perubahan manajemen (misalnya perubahan pengelolaan komplain pasien/masyarakat yang saat ini sedang dikembangkan oleh para pemimpin RS yang bergabung dalam PERSI); Pelatihan berkelanjutan (seperti yang saat ini dilakukan oleh berbagai intitusi pendidikan/pelatihan dan perguran tinggi); Memberdayakan konsumen (seperti yang selama ini dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia misalnya).

Menyambut diterapkannya SJSN-BPJS pada 1 Januari 2014, maka perlu juga dipahami bahwa mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan juga merupakan salah satu metode penting dalam improvement atau perbaikan/perubahan mutu pelayanan. Hal ini akan terkait dengan memanfaatkan data yang akan dimiliki oleh BPJS (atau telah dimiliki oleh PT. Askes) untuk mengukur dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pemberian insentif oleh BPJS untuk medorong mutu, pengembangan mekanisme benchmark antar sarana, dsb.

Untuk mengasilkan sistem mutu pelayanan kesehatan yang integrasi ataupun sebuah National Healthcare Quality Framework diperlukan pemetaan berbagai upaya peningkatan mutu di Indonesia yang pernah dan masih dilakukan. Pemetaan ini perlu dilakukan untuk mengetahui standar dan mekanisme pengukuran serta perbaikan apa yang sudah dihasilkan, lembaga apa saja yang berperan, produk hukum apa saja yang terkait hingga lembaga donor mana saja yang terlibat dan hasilnya.

Dari pemetaan tersebut maka dapat terlihat sistem mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, apa saja yang kita telah miliki, apa saja yang belum kita miliki dan apa yang perlu kita lakukan serta peran SJSN-BPJS. (hd)

Catatan: Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) saat ini sedang berusaha memetakan hal tersebut. Apakah anda tertarik untuk berpartisipasi?

 

pantaiPada saat ini terdapat sekitar 600 ribu pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri dan menghabiskan biaya paling tidak sebesar 20 triliun Rupiah setiap tahunnya (Berita Bisnis, November 2011). Disisi lain beberapa RS di Indonesia dengan atau tanpa dukungan dari pemerintah (pusat dan daerah) saat ini juga sedang berusaha memiliki pelayanan medical tourism/wisata medis untuk dapat menarik pasien dari luar negeri dan dalam negeri. Namun apa tujuannya dan desain seperti apa yang perlu RS kembangkan untuk "produk" wisata medis tersebut?

Menilik definisi, wisata medis adalah suatu perjalanan yang terorganisir ke luar lingkungan lokal individu untuk pelayanan kesehatan, sehingga pasien wisata medis dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Singapura karena memiliki jumlah penduduk terbatas, maka "produk" wisata medis mereka desain secara khusus untuk pasien dari luar negeri (bahkan mungkin khusus untuk pasien Indonesia). Hal ini berbeda dengan Indonesia, dimana seharusnya produk wisata medis didesain untuk wisatawan domestik, khususnya pasien yang biasa pergi ke luar negeri, bukan untuk menjaring pasien dari luar negeri.

Pasien wisata medis umumnya pergi ke luar negeri bukan karena gengsi, namun karena mereka membutuhkan desain pelayanan kesehatan yang berkualitas, hemat biaya, menyediakan berbagai jenis pelayanan kesehatan serta berpengalaman dan memiliki reputasi yang baik disamping kemudahan akses, jarak dan perjalanan.

Satu hal lain yang paling penting dalam wisata medis adalah promosi. Berkaca dalam keberhasilan bebebapa spot pariwisata dalam negeri yang saat ini sedang naik daun seperti Pulau Belitung, Kepulauan Raja Ampat, Pulau Morotai, Kawah Ciwidey, dan masih banyak lainnya. Tidak kebetulan bila pamor pariwisata indah dan eksotik tersebut meningkat setelah menjadi lokasi shooting film, dan lokasi hunting para penggemar fotografi dan juga cerita dari mulut ke mulut.
Atas dasar tersebut maka desain "produk" wisata medis harus diarahkan untuk dapat menghasilkan mutu pelayanan kesehatan yang prima dan juga untuk mengkomunikasikan keberadaan pelayanan tersebut dan mutu yang telah dicapainya.

Selamat mendesain produk wisata medis di Indonesia untuk pasien Indonesia.

artikel yang berkaitan dengan medical tourism:

Medical Tourism: Dimana Indonesia?

Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) menjadi salah satu bentuk perubahan terhadap layanan kesehatan di Jakarta yang diusung oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Hingga akhir Mei 2013, jumlah penerima KJS telah mencapai 1,7 juta orang dengan sistem pembayaran menggunakan Indonesia Case Based Group (INA-CBG's). Masih hangat dalam ingatan kita, Akhir Mei 2013 Jakarta dihebohkan dengan berita tentang mundurnya 16 Rumah Sakit Swasta dari program Kartu Jakarta Sehat (KJS). Mundurnya Rumah Sakit Swasta dari KJS disinyalir karena kewalahan dalam menerapkan skema pembiayaan berdasarkan sistem Case Based Group (INA-CBG's) yang ditentukan berdasarkan perhitungan tahun 2009 sehingga rumah sakit pun harus menanggung biaya yang tak sepenuhnya diganti oleh PT. Askes.

Sistem INA CBG's merupakan sistem yang sudah berlaku pada program Jamkesmas di 1.200 rumah sakit di seluruh Indonesia yang sebagian besar 500 rumah sakit swasta dengan menggunakan pola pengobatan paket untuk setiap jenis penyakit yang diderita oleh pasien KJS. Paket tersebut terdiri dari tarif kamar inap, jasa dokter, tindakan, obat, barang habis pakai dan lama perawatan. Sebagai contoh seseorang dengan sakit usus buntu tanpa komplikasi, maka paket obat yang disediakan sudah ditentukan. Dengan hal ini, diharapkan bisa mengendalikan biaya dan tak akan menurunkan mutu pelayanan kesehatan itu sendiri, namun apakah benar?
Bagaimana sebenarnya rencana pemerintah untuk memastikan mutu pelayanan kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional? Mutu pelayanan yang tidak sekedar dimensi akses dan efisensi tetapi juga dimensi mutu yang lain seperti keselamatan, efektifitas, kepuasan, ketepatan waktu, keterampilan dan lainnya?

Meski saat ini masih bergelut pada mekanisme pembayaran dan pelayanan namun sistem mutu juga sudah harus dikembangkan. Cukup banyak pengalaman dari negara lain yang dapat menjadi sumber belajar. (nas dan hd)