Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Editorial

Membaca judul di atas mungkin akan membuat sebagian pengemban profesi dokter geram, marah, dan sakit hati. Saat ini, di Indonesia, dokter dituntut untuk menangani banyak pasien dengan bayaran yang belum sesuai harapan. Mereka juga merasa terancam dengan adanya aturan hukum terkait gratifikasi dan fraud layanan kesehatan yang mulai digalakkan pemerintah sejak 2014 lalu. Situasi ini membuat sebagian mereka bertanya "Apa mungkin profesi mulia dan terhormat seperti dokter dapat melakukan tindakan kriminal sehingga perlu diancam dengan hukuman penjara?".

Price dan Norris, dalam editorial di Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, menyatakan bahwa dokter sangat mungkin melakukan tindakan kriminal. Tindakan kriminal yang umum dilakukan oleh tenaga kesehatan tergolong jenis kriminal kerah putih. Salah satu bentuk tindak kriminal kerah putih yang dapat dilakukan dokter adalah fraud layanan kesehatan. Tindak kriminal kerah putih didefinisikan sebagai ketidakjujuran, penyembunyian, pelanggaran terhadap kepercayaan, dan tidak selalu berbentuk ancaman fisik maupun kekerasan. Kejahatan kerah putih dapat dilakukan oleh individu dan organisasi untuk mendapat keuntungan pribadi maupun keuntungan bisnis.

Fraud layanan kesehatan, selain dilakukan oleh dokter, dapat juga dilakukan oleh konsumen, supllier alat kesehatan dan obat, serta organisasi kesehatan. Di Indonesia, sesuai Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Kesehatan Nasional, aktor lain yang dapat melakukan fraud layanan kesehatan adalah peserta, dan staf BPJS Kesehatan. Terdapat banyak skema fraud layanan kesehatan. Tipe fraud yang umum dilakukan oleh dokter adalah tagihan untuk pelayanan yang tidak dilakukan, melakukan terapi atau tes yang tidak diperlukan, melakukan upcoding (penagihan untuk diagnosis atau tidakan yang lebih mahal), memalsukan tingkat keparahan kasus, dan menerima sogokan untuk merujuk.

Siapa bilang fraud tidak menimbulkan korban? Dana yang terkumpul dari tindakan fraud sebenarnya dapat dialihkan untuk menyediakan cakupan layanan medis yang lebih luas. Dana tersebut juga dapat membantu pengembangan mekanisme yang didesain untuk menutup kekurangan biaya layanan. Fraud yang terjadi menyebabkan penurunan cakupan manfaat, perubahan kelayakan program asuransi, maupun premi yang lebih tinggi bagi individu ataupun pemberi kerja. Dalam kasus ini, fraud menimbulkan korban dari kalangan peserta dan penyedia program asuransi.

Pasien juga dapat menjadi korban sebagai akibat terjadinya fraud. Prosedur yang tidak perlu yang diberikan dokter untuk meningkatkan tagihan, dapat membahayakan keselamatan pasien. Ketika dokter melayangkan tagihan untuk layanan yang tidak pernah dilakukan, mereka akan melakukan pemalsuan riwayat medis pasien yang di kemudian hari akan menyebabkan pasien kesulitan untuk mendapat asuransi jiwa atau disabilitas. Riwayat medis yang tidak akurat juga mempengaruhi pengambilan keputusan perawatan dan memungkinkan beberapa perusahaan asuransi untuk menolak menanggung pembiayaan dari perawatan yang telah diberikan.

Tindakan fraud juga dapat menimbulkan korban dari kalangan dokter. Reputasi profesi dokter dapat ternoda akibat adanya pelaku fraud dari kalangan dokter. Tindakan ini juga dapat menimbulkan pertanyaan kritis terkait etika profesi dokter.

Dampak fraud yang dapat terukur jelas adalah dalam aspek finansial. National Health Care Anti-Fraud Association (NHCAA) memperkirakan bahwa dana yang dicurangi akibat fraud dapat mencapai 3% dari total pengeluaran sektor kesehatan. Federal Bureau of Investigation (FBI) memperkirakan dana yang hilang akibat fraud ini mencapai 3 – 10%. Maka bila di dana kesehatan yang dikelola pemerintah sebesar 2,26 T, dana yang hilang akibat fraud mencapai 6,78 – 226 M. Di Indonesia, besaran dana yang berpotensi hilang akibat fraud memang belum diketahui. Namun kemungkinan persentase besaran dana kesehatan yang hilang ini dapat lebih besar karena sistem anti fraud yang dibangun belum tertata dengan baik.

Data-data yang disampaikan Price dan Norris dalam artikel berjudul "Health Care Fraud: Physicians as White Collar Criminals?" ini menguatkan dugaan bahwa memang benar seorang dokter mungkin saja melakukan tindakan kriminal dalam bentuk fraud layanan kesehatan. Dampak fatal tindakan ini mendorong pemerintah untuk menerbitkan aturan yang memuat konsekuensi hukum. Aturan-aturan semacam ini pada mulanya akan membuat dokter merasa tidak nyaman karena merasa disudutkan. Namun, dari pengalaman negara lain, aturan dan sistem anti fraud yang diberlakukan terbukti dapat membantu mengendalikan kejadian fraud.

Fenomena dokter melakukan tindakan fraud perlu ditanggapi dengan perbaikan sistem pendidikan dokter. Dokter generasi mendatang tidak hanya cukup menggeluti profesi ini berbekal pengetahuan klinis dan teknik bedah. Dokter generasi mendatang harus dibekali juga dengan kerangka etik dalam pelaksanaan praktek. Proses seleksi masuk peserta didik di sekolah kedokteran perlu ditinjau ulang. Poin penting yang perlu diberi bobot lebih adalah komitmen terhadap pelayanan pasien, bukan semata kemampuan akademis yang terlihat dari capaian skor ujian masuk.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH
Sumber: Price M dan Norris DM., Health Care Fraud: Physicians as White Collar Criminals?, J Am Acad Psychiatry Law 37:286-9, 2009.

Semangat inilah yang mengawali International Forum on Quality and Safety in Healthcare pertama di Asia, acara tersebut diselenggarakan oleh Institute of Healthcare Improvement (IHI) dan BMJ. Acara dilaksanakan selama tiga hari, yaitu 28 - 30 September 2015, para peserta dapat mengetahui dan mempelajari pengetahuan terkini seputar kualitas dan keselamatan layanan kesehatan.

Forum pertama ini mengambil tempat di Hong Kong Convention and Exhibition Centre dan diisi sebagian besar oleh pembicara ahli dari negara-negara Asia, ditambah beberapa sesi diisi oleh pembicara ahli dari penjuru dunia. Para peserta datang dari 43 negara dengan jumlah 1200 orang.

Pemilihan tema "Improve, Innovate, Inspire" memiliki maksud agar forum ini dapat menjadi tempat bagi para partisipan memperoleh kemampuan baru demi meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan serta menemukan ide baru untuk melakukan inovasi-inovasi yang terkait kualitas dan keselamatan. Selain diisi oleh sesi-sesi presentasi dan diskusi, forum ini juga diisi dengan pameran para eksibitor dan poster dari 200 proyek seperti keselamatan pasien, kebijakan kesehatan, peningkatan kualitas klinis dan frekuensi infeksi.

Forum ini akan menjadi program rutin di Asia dengan lokasi selanjutnya bertempat di Singapura pada 14 - 16 September 2016. Acara ini akan berlangsung setelah pelaksanaan International Forum on Quality and Safety in Healthcare 2016 di Gothenburg, Swedia pada 12 - 15 April 2016.

IHQN tahun ini diwakili oleh dr. Mochamad Muska Nataliyansah, MPH. dari Eka Hospital Group, sehingga berbagai reportase kegiatan selama tiga hari penyelenggaraan International Forum on Quality and Safety in Healthcare di Hongkong dapat disajikan di  website mutupelayanankesehatan.net. Semoga bermanfaat. (md.mn)

International Forum on Quality and Safety in Healthcare: Asia
Hong Kong Convention and Exhibition Centre
28 - 30 September 2015

 

Fraud di Era JKN

Secara singkat fraud dapat diartikan sebagai kecurangan. Sementara, berdasarkan Permenkes No. 36 Tahun 2015, fraud didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Isu fraud menjadi topik bahasan yang hangat diperbincangkan, dibahas, dan dikupas, khususnya dalam hal ini adalah berbagai pihak disektor kesehatan, dimana salah satunya adalah pasien. Pasien dapat menjadi pelaku maupun dapat menjadi obyek dari fraud tersebut. Sedangkan terjadinya fraud sendiri dapat disengaja ataupun tidak disengaja karena faktor ketidaktahuan dan kurangnya informasi. Untuk itu, pasien memerlukan pengetahuan yang memadai agar tidak melakukan fraud atau menjadi obyek fraud.

Minggu ini akan disajikan dua artikel terkait isu fraud yang terjadi di pelayanan kesehatan. Artikel pertama akan menyampaikan bagaimana pasien dapat menjadi pelaku maupun obyek dari fraud tersebut, sedangkan artikel kedua akan memaparkan apa-apa saja yang harus diwaspadai oleh pasien agar tidak menjadi obyek kecurangan pelayanan kesehatan. (lei)

Survei kepuasan pasien sering dijadikan salah satu tolak ukur kualitas pelayanan dokter. Dokter yang melakukan tindakan pembedahan misalnya, apabila pasien puas maka dianggap operasi tersebut sukses. Tidak ada hal yang salah dengan komponen tersebut, namun bukan berarti survei kepuasan merupakan indikator satu-satunya dari kualitas layanan kesehatan.

Terdapat berbagai bias dalam survei Kepuasan pasien sehingga tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya, diantaranya:

  1. Desain survei kepuasan seringkali tidak memiliki pertanyaan yang spesifik. Pertanyaan terkadang ambigu dan dapat menimbulkan jawaban lain dari yang ditanyakan. Netralitas dalam melakukan survei juga harus dijaga, karena terkadang surveyor mengambil data hanya dari pasien dengan penyakit ringan dan hanya dari pasien dengan mood emosi yang baik. Sudah tentu hasilnya pasti baik. Menghindari hal ini dengan membuat pertanyaan survei secara ketat dan mengawasi proses pengambilan data yang dilakukan.
  2. Survei dilakukan kepada pasien yang datang ke rumah sakit tentu memiliki hasil bias karena pasien yang merasa puas dengan kinerja rumah sakit tentu akan berkunjung kembali dilain hari. Sehingga besar apabila survei dilakukan pada pasien RS maka besar kemungkinan hasilnya baik. Cara untuk menghindari hal ini adalah dengan menggunakan sampling kunjungan rumah untuk mendapatkan data-data kualitatif mengenai kualitas pelayanan dari setiap bagian
  3. Tidak ada komitmen untuk berubah meskipun hasil survei telah diketahui. Hal ini yang menjadi masalah karena tujuan awal dari survei kepuasan pasien untuk melakukan perbaikan namun terdapat resistensi dari staf rumah sakit yakni keengganan untuk berubah. Solusi dari hal ini adalah dengan memperkuat kapasitas staf rumah sakit. Melakukan pendekatan personal secara perlahan pada staf yang tetap resisten terhadap rencana perubahan.

Tidak lengkap apabila survei kepuasan pasien tidak dilengkapi dengan survei kepuasan internal. Survei ini dilakukan untuk mengetahui kepuasan dari semua staf, dokter, maupun tim manajemen. Penting untuk diketahui adalah adanya pertanyaan yang bersifat isian untuk melihat mengeksplorasi kepuasan secara lebih jauh.

Sebagai kesimpulan, belum terdapat konsep yang pasti dalam penilaian kepuasan pasien, meskipun saat ini kepuasan pasien menjadi baku standar pelayanan minimum oleh kementerian kesehatan. Rumah sakit dapat memanfaatkan penilaian kepuasan pasien untuk meningkatkan pelayanan yang masih minus. Tetapi rumah sakit jangan berpuas diri terhadap penilaian positif karena bisa jadi hasil tersebut positif palsu, menyembunyikan kualitas pelayanan yang sebenarnya buruk.

Oleh : dr. M. Hardhantyo PW
Sumber : Al Abri et al., Patient Satisfaction Survey as a Tool Towards Quality Improvement. Oman Medical Journal (2014) Vol. 29, No. 1:3-7.