Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Decarbonising Healthcare Systems: We All Have a Role to Play

Presentasi ini, yang disampaikan oleh Prof. Jeffrey Braithwaite, Prof. Yvonne Zurynski, dan Dr. K-lynn Smith dari Australian Institute of Health Innovation (AIHI), menyoroti peran penting sektor kesehatan dalam mengatasi perubahan iklim dengan mendekarbonisasi sistem perawatan kesehatan. Presentasi ini menekankan bahwa semua pihak dalam sistem kesehatan—mulai dari klinisi hingga pembuat kebijakan—memiliki peran penting dalam mengurangi dampak karbon dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.

Poin-poin utama:

  1. Perubahan Iklim dan Sistem Kesehatan:
    • Perubahan iklim berdampak langsung pada kesehatan manusia dan sistem kesehatan. Ironisnya, sektor kesehatan juga merupakan penyumbang signifikan emisi karbon, dengan 4% hingga 8,5% dari total emisi nasional berasal dari aktivitas kesehatan.
    • Sistem kesehatan harus mengurangi emisinya sambil terus merespons dampak kesehatan akibat perubahan iklim, terutama di unit gawat darurat dan layanan kesehatan primer.
  2. Kerangka untuk Mengurangi Jejak Karbon:
    • Kerangka "Scopes" disajikan sebagai alat untuk mengukur dan mengelola emisi gas rumah kaca (GHG) di sektor kesehatan.
    • Empat strategi utama untuk mendekarbonisasi adalah: memperkuat infrastruktur, menerapkan kebijakan dan tata kelola, mengubah perilaku organisasi, dan mengurangi perjalanan serta pengelolaan limbah fisik.
  3. Peran Klinisi dalam Menangani Perubahan Iklim:
    • Klinisi memiliki peran penting dalam mempromosikan praktik berkelanjutan, mengurangi perawatan yang tidak perlu, dan meminimalkan limbah klinis. Sebagai contoh, sekitar 40% dari perawatan yang diberikan dianggap sia-sia atau memiliki dampak yang rendah bagi pasien, yang berkontribusi pada emisi yang signifikan.
    • Penggunaan alat-alat yang dapat digunakan kembali dan pengurangan penggunaan peralatan sekali pakai disoroti sebagai langkah konkret untuk mengurangi jejak karbon.
  4. Strategi Adaptasi dan Mitigasi:
    • Dua tinjauan sistematis dilakukan untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap sistem kesehatan dan kontribusi sistem kesehatan terhadap perubahan iklim. Temuan ini mendukung perlunya taktik adaptasi, seperti pengelolaan rantai pasokan yang ramah lingkungan dan implementasi kebijakan energi bersih.
    • Tindakan yang diusulkan meliputi: meningkatkan pelacakan dan pelaporan emisi GHG, memperkuat infrastruktur, dan mengadopsi praktik klinis dan bedah yang lebih ramah lingkungan.
  5. Game Simulasi Kompleksitas:
    • Sebagai bagian dari pendekatan interaktif, peserta diundang untuk berpartisipasi dalam Complexity Simulation Game, di mana mereka diminta untuk memecahkan masalah hipotetis terkait mencapai emisi nol bersih di sistem kesehatan sebelum COP29 pada tahun 2035. Permainan ini menyoroti tantangan dalam mengelola sistem yang kompleks dan pentingnya kolaborasi lintas sektor.
  6. Survei dan Tanggapan Terhadap Aksi Iklim di Sektor Kesehatan:
    • Survei terhadap anggota ISQua menunjukkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa layanan kesehatan harus memimpin dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, hanya sebagian kecil organisasi yang memiliki target iklim yang jelas.

 

Penulis: dr. Eka Viora, SpKJ, FISQua

  Ke halaman utama

PKMK-Yogyakarta. Demensia adalah masalah kesehatan global yang prevalensinya juga mengalami peningkatan sehingga menimbulkan tantangan signifikan bagi sistem kesehatan, pengasuh, dan keluarga. Demensia memberikan dampak secara fisik, psikologis, bahkan ekonomi bagi penderita maupun bagi caregiver pasien demensia itu sendiri. Pada 2015, penderita demensia diestimasikan sebanyak 47 juta orang di dunia yang ditandai dengan penurunan kemampuan kognitif secara progresif. Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 75 juta pada 2030 dan menjadi 132 juta di 2050, dimana hal tersebut dapat memberikan dampak perekonomian lebih besar dibandingkan dengan gabungan kasus kanker, penyakit jantung, dan stroke.

Pada Rabu (17/7/2024) Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan Departemen Neurologi FK-KMK UGM menyelenggarakan webinar neurologi berjudul “Memahami dan Mengelola Demensia - The Growing of Global Burden Disability” dengan narasumber dr. Amelia Nur Vidyanti, Ph.D, Sp.S(K), selaku konsultan di bidang neurobehaviour dan dr. Hardhantyo, MPH, Ph.D, FSRPH selaku peneliti di bidang kebijakan dan manajemen kesehatan. Kedua narasumber merupakan staf akademik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM. Webinar yang dipandu oleh moderator yaitu dr. Opi Sritanjung ini diikuti 271 peserta melalui Zoom dan live streaming Youtube.

17jul1Sesi pemaparan pertama dengan subjudul “Understanding Dementia A Global Burden of Disability Worldwide”. Pemaparan materi pertama ialah pengenalan demensia, cara diagnosis dan pemeriksaan penunjang, prevensi juga tatalaksana, hingga sistem rujukan untuk demensia. Hal yang ditekankan dalam pembahasan materi pertama yakni tatalaksana demensia yang bila dilakukan sejak awal kehidupan, dimana salah satu langkah preventifnya adalah menempuh pendidikan lanjut dan menjaga gaya hidup yang sehat.

17jul1Materi kedua dengan subjudul “Cost Effectiveness of Collaborative Dementia Care Management” menjelaskan tentang pembiayaan demensia dalam perawatan rumah sakit dan rumah. Sesi ini memberikan pemahaman perbandingan antara kedua pembiayaan tersebut dan kerugian dalam nominal mata uang yang dapat terjadi ketika seorang caregiver merawat penderita demensia. Pemaparan materi ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan caregiver dalam memilih perawatan yang tepat dan jumlah biaya yang dapat dikeluarkan per bulan bagi keluarga dan fasilitas kesehatan dalam merawat pasien.

Diskusi berjalan interaktif, dimana peserta antusias menanyakan stigma demensia yang diperkirakan dapat memperburuk prognosis dari pasien demensia. Amelia dan Hardhantyo menyampaikan pentingnya peran pendamping pasien dan fasilitas kesehatan dalam menyiapkan sarana prasarana serta dukungan moral dan materiil dalam menciptakan lingkungan yang nyaman bagi pasien demensia untuk mencegah perburukan kondisi pasien.
Kesimpulan webinar ini, demensia menjadi masalah kesehatan global yang semakin meningkat yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Sementara diagnosis dan tata laksana demensia cukup komprehensif serta membutuhkan biaya mahal. Manajemen kolaboratif antara fasilitas kesehatan, pemangku kebijakan, ahli bidang profesional, seperti dokter spesialis neurologi, penyakit dalam, psikiatri, psikolog, perawat, hingga terapis, keluarga, serta support group diperlukan untuk mendukung pengobatan serta perawatan demensia demi menciptakan kualitas layanan yang mumpuni dan meningkatkan kualitas hidup penderita demensia.

Reporter: dr. Opi Sritanjung (Divisi Manajemen Mutu, PKMK UGM)

 

 

 

 

Bridging the Equity Gap: Virtual Healthcare and the Digital Divide

Presentasi ini, yang disampaikan oleh Ulfat Shaikh dan Peter Lachman, berfokus pada tantangan dan solusi terkait kesenjangan kesetaraan dalam layanan kesehatan virtual. Presentasi ini menyoroti pentingnya layanan kesehatan virtual dalam menjembatani kesenjangan kesetaraan, terutama bagi kelompok yang rentan, dan perlunya mengatasi tantangan teknologi serta infrastruktur untuk memberikan akses yang merata.

Poin-poin utama:

  1. Layanan Kesehatan Virtual: Layanan kesehatan virtual menggunakan teknologi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien di luar fasilitas medis secara sinkron dan asinkron, misalnya melalui konsultasi video, pesan teks, pendidikan daring, atau pemantauan jarak jauh. Hal ini dapat meningkatkan akses perawatan, memperbaiki hasil kesehatan, dan mengurangi emisi karbon.
  2. Kerangka SQUARE DEALS:
    Kerangka ini bertujuan untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam akses layanan kesehatan virtual. Pendekatan ini melibatkan:
    Recognize: Mengakui adanya ketidakadilan dan kesenjangan.
    Engage: Melibatkan pasien, keluarga, dan komunitas dalam merancang solusi.
    Lead: Memimpin dengan kepemimpinan yang sadar akan kesetaraan di semua tingkatan.
    Study: Menganalisis dan melacak data melalui lensa kesetaraan.
    Ask: Mencari dan bertanya tentang kesenjangan yang mungkin ada dalam sistem.
    Define: Menjelaskan masalah ketidaksetaraan secara bersama-sama dengan komunitas.
    Quantify: Mengukur kesenjangan dan mengintegrasikan data ke dalam perencanaan.
    Unify: Menggunakan model perawatan yang terintegrasi untuk mengatasi ketidaksetaraan.

    Kasus Mia: Contoh kasus seorang anak dengan gangguan perkembangan dan masalah akses perawatan menunjukkan pentingnya perawatan virtual dalam situasi di mana jarak dan kendala bahasa menjadi penghambat. Melalui telehealth, kendala transportasi dapat diatasi, namun tantangan tetap ada terkait akses teknologi dan biaya.
  3. Mengatasi Ketidaksetaraan dalam Layanan Kesehatan Virtual: Solusi yang ditawarkan termasuk menyediakan ruang pribadi untuk kunjungan telehealth, memperluas akses ke hotspot internet gratis, menawarkan pelatihan keterampilan digital, serta memastikan teknologi ramah pengguna dan inklusif secara bahasa.

 

Penulis: dr. Eka Viora, SpKJ, FISQua

  Ke halaman utama

Sesi Pagi

Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (PKMK FK - KMK UGM) menyelengggarakan Forum Mutu Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) ke-20 Tahun 2024 dengan tema “Aktif, Kolaboratif dan Inovatif untuk Mutu Pelayanan Kesehatan Terbaik di Indonesia” yang berlangsung pada 5 Juli 2024 melalui Zoom Meeting yang diikuti oleh 100 partisipan.

5jul 0Acara dibuka dengan sambutan dari dr. Sutoto, M.Kes selaku ketua IKA MMR UGM dan Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua selaku ketua IHQN. Selama 20 tahun, IHQN telah konsisten menyelenggarakan forum mutu yang bertujuan untuk menyediakan platform berjejaring, berbagi ide dan mendorong inovasi untuk meningkatkan dan mendukung layanan kesehatan yang bermutu di Indonesia.

Pada sesi pertama forum ini menghadirkan beberapa narasumber yaitu Prof. dr. Adi Utarini MSc, PhD (Guru Besar FKKMK UGM), drg. Mira Dyah Wahyuni, MARS (Direktur Utama PT Pertamina Bina Medika IHC), Dr. dr. I Nyoman Gede Anom, M.Kes (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali) dan dimoderatori oleh dr. Novika Handayani (PKMK UGM).

Tata kelola dan kepemimpinan dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan: Studi Kasus Transformasi Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI

5jul 4Prof. Adi Utarini yang memaparkan analisa kepemimpinan nasional dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Secara garis besar, materi yang disampaikan mencakup pengantar terkait mutu pelayanan kesehatan, sistem kesehatan berkualitas tinggi, kualitas tata kelola sistem kesehatan, serta penilaian tata kelola dan kepemimpinan.

Dalam kesempatan ini, Adi mengajak para partisipan untuk mengkaji ulang tentang makna mutu pelayanan kesehatan, mutu tidak hanya berarti kualitas, namun mutu merupakan tujuan utama dalam pelayanan kesehatan. Dalam menilai kualitas pelayanan kesehatan, terdapat tujuh dimensi mutu yang menjadi fokus utama, yaitu keselamatan (safety), efektivitas (effectiveness), efisiensi (efficiency), integrasi (integration), kesetaraan (equity), ketepatan waktu (timeliness), dan berpusat pada pasien (people-centeredness). Indonesia sendiri masih mengalami beberapa tantangan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatannya terutama berkaitan dengan terbatasnya jumlah tenaga kesehatan serta ketersediaan alat-alat kesehatan yang masih kurang.

Adi juga menekankan bahwa sistem kesehatan yang berkualitas tinggi adalah sistem yang mampu mengoptimalkan pelayanan kesehatan secara konsisten. Selain itu, tata kelola pemerintah merupakan ondasi dalam membentuk sistem kesehatan berkualitas. Pihaknya juga menggarisbawahi penilaian tata kelola dan kepemimpinan pada aspek komitmen dan budaya mutu, dimana mutu merupakan agenda prioritas yang harus dijadikan tujuan utama dalam pelayanan kesehatan, selain itu peningkatan mutu dapat dilakukan dengan cara memasukkan mutu ke dalam sistem pendidikan tenaga kesehatan, pemantauan pelaporan mutu yang berkualitas, menerapkan strategi dan kebijakan mutu nasional, meningkatkan kinerja kepemimpinan terkait mutu serta yang paling penting adalah mendengarkan langsung dari pasien atau masyarakat yang menjadi objek pelayananan kesehatan. Di akhir sesi ini, narasumber berpesan untuk meningkatkan tata kelola pelayanan kesehatan agar kita semua dapat menyelamatkan lebih banyak orang.

Terobosan Pimpinan RS dalam Perencanaan Mutu Pelayanan Kesehatan: Pengalaman Bali International Hospital

5jul 4Narasumber kedua adalah drg. Mira Dyah Wahyuni, MARS yang berbagi tentang pengelolaan pelayanan kesehatan di Bali International Hospital (BIH) sebagai rumah sakit yang megusung konsep medical tourism. Latar belakang dari pelayanan medical tourism di BIH adalah adanya 2 juta orang Indonesia yang mencari pengobatan ke luar negeri setiap tahunnya, dengan devisa keluar sekitar 100 Trilyun/Tahun. Mira memaparkan beberapa alasan warga Indonesia lebih memilih pengobatan di luar negeri, diantaranya adalah diagnosa yang dianggap lebih akurat, adanya teknologi yang lebih canggih, mendapatkan kualitas pelayanan yang baik dari dokter dan tenaga kesehatan seperti perawat, rumah sakit berkelas dunia, biaya pengobatan yang terjangkau, akomodasi yang nyaman, serta bisa melakukan liburan dan pengobatan secara bersamaan.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka Indonesia perlu untuk menyediakan fasilitas kesehatan berkelas dunia, untuk itu Indonesian Healthcare Corporation (IHC) mengembangkan Bali International Hospital dengan berkolaborasi dengan world international healthcare, bekerjasama dengan tenaga kesehatan luar negeri, menyediakan teknologi berstandar internasional serta memberikan pengalaman yang unik pada pelayanan kesehatan yang diterima pasien.

Pada kesempatan ini, Mira menekankan pentingnya pengalaman pengobatan yang unik bagi pasien, untuk itu BIH menciptakan ekosistem yang berbeda, dengan cara bekerja sama dengan hotel, retail outlet, flagship hospital, wellness facilities, commercial district serta botanical garden, melalui integrasi sistem tersebut maka diharapkan pasien akan merasakan kenyamanan sebelum mendapatkan pengobatan, ketika pengobatan serta pasca pengobatan. Dalam praktiknya, BIH fokus memberikan pelayanan kesehatan dengan mutu yang terbaik serta menjadikan kenyamanan pasien sebagai tujuan utama.

Membangun Peran Serta Stakeholders dalam Peningkatan Mutu: Penerapan Integrasi Layanan Primer (ILP) dan Penguatan Layanan Kesehatan Rujukan Menuju Indonesia Maju di Provinsi Bali

5jul 4Pada materi ketiga ini, Kepala Dinas Kesehata Bali diwakili dr. Kadek Iwan Darmawan, MPH yang memaparkan pelaksanaan integrasi layanan primer (ILP) dan penguatan layanan kesehatan di provinsi Bali. Di provinsi Bali, peningkatan mutu pelayanan kesehatan dilakukan melalui kegiatan akreditasi dan pengukuran mutu pelayanan di fasyankes. Dimana 95% RS di Bali sudah terakreditasi paripurna. Pemantauan mutu pelayanan kesehatan dilakukan melalui validasi laporan dan supervisi secara langsung ke fasyankes.

Pada kesempatan ini, Iwan juga memaparkan terkait program integrasi pelayanan primer (ILP) di Bali, yang pada saat ini sudah kick off di 4 kabupaten. Program ILP sendiri berfokus pada siklus hidup sebagai fokus integrasi pelayanan kesehatan, fokus pada jejaring hingga tingkat desa dan dusun, serta memperkuat pemantauan wilayah setempat melalui digitalisasi dan pemantauan dashboard situasi kesehatan per desa dan kunjungan keluarga.

Dalam pelaksanaan ILP di provinsi Bali, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi, beberapa diantaranya adalah fasilitas bangunan yang kurang mendukung dan adanya kekhawatiran untuk pengontrolan PPI jika posyandu balita, posyandu remaja dan posyandu lansia dilaksanakan secara bersamaan.

Untuk menghadapi tantangan yang ada, maka diperlukan kolaborasi pelayanan kesehatan dengan berbagai dinas di provinsi Bali. Pada saat ini dinkes provinsi telah bekerja sama dengan dinas kebudayaan, dinas pendidikan, dinas kominfo, dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dinas ketahanan pangan, kelautan dan perikanan, dinas sosial, dinas pengendalian penduduk dan keluarga berencana, serta dinas PUPR. Selain itu peran masyarakat adat juga sangat diperlukan dalam hal penyuluhan dan penggerak kesehatan masyarakat, pemeliharaan budaya sehat serta memberikan dukungan kegiatan kader posyandu.

Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa optimalisasi pelaksanaan pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui integrasi program dengan dinas-dinas yang ada. Dengan bekerja sama dan berkolaborasi, maka peningkatan mutu pelayanan kesehatan juga akan lebih optimal.

Reporter:
Hamidah Mulyani (Divisi Manajemen Mutu PKMK UGM)