Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Beyond Standards: Exploring the Impact of Hospital Accreditation on Patients’ Experience

Presentasi oleh Prof. Mahi Al Tehewy dari Ain Shams University membahas dampak akreditasi rumah sakit terhadap pengalaman pasien. Akreditasi meningkatkan beberapa aspek pengalaman pasien, terutama dalam hal komunikasi dan manajemen lingkungan rumah sakit. Meski demikian, perbaikan lebih lanjut diperlukan, terutama dalam hal responsivitas terhadap pasien dan pemberian informasi obat-obatan. Presentasi ini menyoroti pentingnya akreditasi rumah sakit dalam meningkatkan kualitas interaksi dan pengalaman pasien, meskipun beberapa aspek masih memerlukan perhatian lebih.

Poin-poin utama:

  1. Pengalaman pasien adalah akumulasi semua interaksi yang membentuk persepsi pasien terhadap perawatan, meliputi fakta objektif dan pandangan subjektif pasien selama mendapatkan pelayanan kesehatan.
  2. Pengalaman pasien berbeda dengan kepuasan pasien. Kepuasan berfokus pada apakah ekspektasi pasien terpenuhi, sementara pengalaman mencakup apa yang sebenarnya terjadi selama perawatan.
  3. Pentingnya Pengalaman Pasien: Pengalaman pasien menjadi metrik penting untuk kualitas layanan kesehatan. Memperbaiki pengalaman pasien dapat meningkatkan reputasi rumah sakit, efisiensi, pendapatan, kepuasan staf, dan mengurangi risiko tuntutan hukum.
  4. Pengukuran Pengalaman Pasien: Pengukuran pengalaman pasien dilakukan dengan menggunakan berbagai metode seperti survei HCAHPS (Hospital Consumer Assessment of Healthcare Providers and Systems), wawancara mendalam, dan komunikasi langsung dengan pasien.
    Survei HCAHPS mencakup berbagai aspek, termasuk komunikasi dengan dokter dan perawat, kebersihan lingkungan rumah sakit, manajemen nyeri, dan informasi tentang pengobatan serta proses keluar dari rumah sakit.
  5. Pengaruh Akreditasi Rumah Sakit terhadap Pengalaman Pasien:
    Studi ini membandingkan pengalaman pasien di rumah sakit terakreditasi dan non-terakreditasi di Ain Shams University Hospitals. Hasil menunjukkan bahwa akreditasi meningkatkan komunikasi dengan perawat, dokter, manajemen nyeri, serta lingkungan rumah sakit. Namun, pengalaman terkait informasi obat-obatan lebih baik di rumah sakit non-terakreditasi. Secara keseluruhan, pasien di rumah sakit terakreditasi memberikan penilaian yang lebih tinggi untuk rumah sakit dan lebih mungkin merekomendasikannya kepada orang lain.

 

Penulis: dr. Eka Viora, SpKJ, FISQua

  Ke halaman utama

Bridging the Equity Gap: Virtual Healthcare and the Digital Divide

Presentasi ini, yang disampaikan oleh Ulfat Shaikh dan Peter Lachman, berfokus pada tantangan dan solusi terkait kesenjangan kesetaraan dalam layanan kesehatan virtual. Presentasi ini menyoroti pentingnya layanan kesehatan virtual dalam menjembatani kesenjangan kesetaraan, terutama bagi kelompok yang rentan, dan perlunya mengatasi tantangan teknologi serta infrastruktur untuk memberikan akses yang merata.

Poin-poin utama:

  1. Layanan Kesehatan Virtual: Layanan kesehatan virtual menggunakan teknologi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien di luar fasilitas medis secara sinkron dan asinkron, misalnya melalui konsultasi video, pesan teks, pendidikan daring, atau pemantauan jarak jauh. Hal ini dapat meningkatkan akses perawatan, memperbaiki hasil kesehatan, dan mengurangi emisi karbon.
  2. Kerangka SQUARE DEALS:
    Kerangka ini bertujuan untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam akses layanan kesehatan virtual. Pendekatan ini melibatkan:
    Recognize: Mengakui adanya ketidakadilan dan kesenjangan.
    Engage: Melibatkan pasien, keluarga, dan komunitas dalam merancang solusi.
    Lead: Memimpin dengan kepemimpinan yang sadar akan kesetaraan di semua tingkatan.
    Study: Menganalisis dan melacak data melalui lensa kesetaraan.
    Ask: Mencari dan bertanya tentang kesenjangan yang mungkin ada dalam sistem.
    Define: Menjelaskan masalah ketidaksetaraan secara bersama-sama dengan komunitas.
    Quantify: Mengukur kesenjangan dan mengintegrasikan data ke dalam perencanaan.
    Unify: Menggunakan model perawatan yang terintegrasi untuk mengatasi ketidaksetaraan.

    Kasus Mia: Contoh kasus seorang anak dengan gangguan perkembangan dan masalah akses perawatan menunjukkan pentingnya perawatan virtual dalam situasi di mana jarak dan kendala bahasa menjadi penghambat. Melalui telehealth, kendala transportasi dapat diatasi, namun tantangan tetap ada terkait akses teknologi dan biaya.
  3. Mengatasi Ketidaksetaraan dalam Layanan Kesehatan Virtual: Solusi yang ditawarkan termasuk menyediakan ruang pribadi untuk kunjungan telehealth, memperluas akses ke hotspot internet gratis, menawarkan pelatihan keterampilan digital, serta memastikan teknologi ramah pengguna dan inklusif secara bahasa.

 

Penulis: dr. Eka Viora, SpKJ, FISQua

  Ke halaman utama

Decarbonising Healthcare Systems: We All Have a Role to Play

Presentasi ini, yang disampaikan oleh Prof. Jeffrey Braithwaite, Prof. Yvonne Zurynski, dan Dr. K-lynn Smith dari Australian Institute of Health Innovation (AIHI), menyoroti peran penting sektor kesehatan dalam mengatasi perubahan iklim dengan mendekarbonisasi sistem perawatan kesehatan. Presentasi ini menekankan bahwa semua pihak dalam sistem kesehatan—mulai dari klinisi hingga pembuat kebijakan—memiliki peran penting dalam mengurangi dampak karbon dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.

Poin-poin utama:

  1. Perubahan Iklim dan Sistem Kesehatan:
    • Perubahan iklim berdampak langsung pada kesehatan manusia dan sistem kesehatan. Ironisnya, sektor kesehatan juga merupakan penyumbang signifikan emisi karbon, dengan 4% hingga 8,5% dari total emisi nasional berasal dari aktivitas kesehatan.
    • Sistem kesehatan harus mengurangi emisinya sambil terus merespons dampak kesehatan akibat perubahan iklim, terutama di unit gawat darurat dan layanan kesehatan primer.
  2. Kerangka untuk Mengurangi Jejak Karbon:
    • Kerangka "Scopes" disajikan sebagai alat untuk mengukur dan mengelola emisi gas rumah kaca (GHG) di sektor kesehatan.
    • Empat strategi utama untuk mendekarbonisasi adalah: memperkuat infrastruktur, menerapkan kebijakan dan tata kelola, mengubah perilaku organisasi, dan mengurangi perjalanan serta pengelolaan limbah fisik.
  3. Peran Klinisi dalam Menangani Perubahan Iklim:
    • Klinisi memiliki peran penting dalam mempromosikan praktik berkelanjutan, mengurangi perawatan yang tidak perlu, dan meminimalkan limbah klinis. Sebagai contoh, sekitar 40% dari perawatan yang diberikan dianggap sia-sia atau memiliki dampak yang rendah bagi pasien, yang berkontribusi pada emisi yang signifikan.
    • Penggunaan alat-alat yang dapat digunakan kembali dan pengurangan penggunaan peralatan sekali pakai disoroti sebagai langkah konkret untuk mengurangi jejak karbon.
  4. Strategi Adaptasi dan Mitigasi:
    • Dua tinjauan sistematis dilakukan untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap sistem kesehatan dan kontribusi sistem kesehatan terhadap perubahan iklim. Temuan ini mendukung perlunya taktik adaptasi, seperti pengelolaan rantai pasokan yang ramah lingkungan dan implementasi kebijakan energi bersih.
    • Tindakan yang diusulkan meliputi: meningkatkan pelacakan dan pelaporan emisi GHG, memperkuat infrastruktur, dan mengadopsi praktik klinis dan bedah yang lebih ramah lingkungan.
  5. Game Simulasi Kompleksitas:
    • Sebagai bagian dari pendekatan interaktif, peserta diundang untuk berpartisipasi dalam Complexity Simulation Game, di mana mereka diminta untuk memecahkan masalah hipotetis terkait mencapai emisi nol bersih di sistem kesehatan sebelum COP29 pada tahun 2035. Permainan ini menyoroti tantangan dalam mengelola sistem yang kompleks dan pentingnya kolaborasi lintas sektor.
  6. Survei dan Tanggapan Terhadap Aksi Iklim di Sektor Kesehatan:
    • Survei terhadap anggota ISQua menunjukkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa layanan kesehatan harus memimpin dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, hanya sebagian kecil organisasi yang memiliki target iklim yang jelas.

 

Penulis: dr. Eka Viora, SpKJ, FISQua

  Ke halaman utama

PKMK-Yogyakarta. Demensia adalah masalah kesehatan global yang prevalensinya juga mengalami peningkatan sehingga menimbulkan tantangan signifikan bagi sistem kesehatan, pengasuh, dan keluarga. Demensia memberikan dampak secara fisik, psikologis, bahkan ekonomi bagi penderita maupun bagi caregiver pasien demensia itu sendiri. Pada 2015, penderita demensia diestimasikan sebanyak 47 juta orang di dunia yang ditandai dengan penurunan kemampuan kognitif secara progresif. Angka ini diperkirakan akan meningkat hingga 75 juta pada 2030 dan menjadi 132 juta di 2050, dimana hal tersebut dapat memberikan dampak perekonomian lebih besar dibandingkan dengan gabungan kasus kanker, penyakit jantung, dan stroke.

Pada Rabu (17/7/2024) Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan Departemen Neurologi FK-KMK UGM menyelenggarakan webinar neurologi berjudul “Memahami dan Mengelola Demensia - The Growing of Global Burden Disability” dengan narasumber dr. Amelia Nur Vidyanti, Ph.D, Sp.S(K), selaku konsultan di bidang neurobehaviour dan dr. Hardhantyo, MPH, Ph.D, FSRPH selaku peneliti di bidang kebijakan dan manajemen kesehatan. Kedua narasumber merupakan staf akademik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM. Webinar yang dipandu oleh moderator yaitu dr. Opi Sritanjung ini diikuti 271 peserta melalui Zoom dan live streaming Youtube.

17jul1Sesi pemaparan pertama dengan subjudul “Understanding Dementia A Global Burden of Disability Worldwide”. Pemaparan materi pertama ialah pengenalan demensia, cara diagnosis dan pemeriksaan penunjang, prevensi juga tatalaksana, hingga sistem rujukan untuk demensia. Hal yang ditekankan dalam pembahasan materi pertama yakni tatalaksana demensia yang bila dilakukan sejak awal kehidupan, dimana salah satu langkah preventifnya adalah menempuh pendidikan lanjut dan menjaga gaya hidup yang sehat.

17jul1Materi kedua dengan subjudul “Cost Effectiveness of Collaborative Dementia Care Management” menjelaskan tentang pembiayaan demensia dalam perawatan rumah sakit dan rumah. Sesi ini memberikan pemahaman perbandingan antara kedua pembiayaan tersebut dan kerugian dalam nominal mata uang yang dapat terjadi ketika seorang caregiver merawat penderita demensia. Pemaparan materi ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan caregiver dalam memilih perawatan yang tepat dan jumlah biaya yang dapat dikeluarkan per bulan bagi keluarga dan fasilitas kesehatan dalam merawat pasien.

Diskusi berjalan interaktif, dimana peserta antusias menanyakan stigma demensia yang diperkirakan dapat memperburuk prognosis dari pasien demensia. Amelia dan Hardhantyo menyampaikan pentingnya peran pendamping pasien dan fasilitas kesehatan dalam menyiapkan sarana prasarana serta dukungan moral dan materiil dalam menciptakan lingkungan yang nyaman bagi pasien demensia untuk mencegah perburukan kondisi pasien.
Kesimpulan webinar ini, demensia menjadi masalah kesehatan global yang semakin meningkat yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Sementara diagnosis dan tata laksana demensia cukup komprehensif serta membutuhkan biaya mahal. Manajemen kolaboratif antara fasilitas kesehatan, pemangku kebijakan, ahli bidang profesional, seperti dokter spesialis neurologi, penyakit dalam, psikiatri, psikolog, perawat, hingga terapis, keluarga, serta support group diperlukan untuk mendukung pengobatan serta perawatan demensia demi menciptakan kualitas layanan yang mumpuni dan meningkatkan kualitas hidup penderita demensia.

Reporter: dr. Opi Sritanjung (Divisi Manajemen Mutu, PKMK UGM)