Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Ganefa

Keynote Speaker 2

Keynote ke-2 disampaikan oleh Direktorat P2PM Kemenkes, drh. Siti Ganefa Pakki, M.Epid dengan topik “Pendekatan One Health: Konsep dan Penerapannya Pada Kasus Outbreak Rabies di NTT”. Menurut Imran, pendekatan One Health adalah pendekatan terbaik untuk penanggulangan zoonosis karena kesehatan manusia, hewan dan satwa liar serta lingkungan terkait erat dan saling bergantung. Dalam penanganan zoonosis, Kementerian Kesehatan juga bekerja sama dengan Kemeterian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Regulasi tentang One Health diantaranya tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019, Permendagri Nomor 101 Tahun 2014, Permenkes Nomor 1501 Tahun 2010, Permentan Nomor 237 Tahun 2019, dan Permenko Nomor  7 Tahun 2022.

Bentuk implementasi One Health dilakukan dalam bentuk deteksi, pencegahan, dan respon untuk kasus-kasus zoonosis. Implementasi pendekatan One Health pada penanggulangan zoonosis terpadu dalam bentuk: surveilans zoonosis terpadu lintas sektor, sistem informasi zoonosis EIDs (SIZE), zoonosis joint outbreak investigations, pelatihan penanggulangan zoonosis terpadu One Health, sosialisasi/advokasi zoonosis terpadu, zoonosis joint risk assessment, dan penentuan zoonosis prioritas yang dikendalikan secara terpadu One Health. Saat ini terdapat 6 zoonosis prioritas yaitu: zoonotic influenza, zoonotic coronoa virus, anthrax, rabies, flu burung, leptospirosis, dan zoonosis tuberculosis.

Saat ini di Indonesia terdapat 12 provinsi yang bebas rabies. Pada Juli 2023 ini terdapat 74 kasus kematian akibat rabies yang situasi ini lebih rendah dari 2022 yaitu sebesar 104 kasus. Per Juli 2023, kasus gigitan hewan penderita rabies paling banyak di Bali. Angka kematian paling tinggi terdapat di NTT sebanyak 15 kasus. Rabies datang ke NTT di Des Sarotari Kabupaten Flores Timur pada 1997. Pada 2023 mulai masuk ke kabupaten TTS dan menjadi KLB dengan 6 kasus kematian.

Strategi eliminasi rabies One Health tahun 2030 dilakukan dalam 4 pilar yaitu pencegahan, surveilans, penanganan kasus, dan promosi kesehatan. Bentuk-bentuk kegiatan di masing-masing pilar ini dibagi dalam bentuk kegiatan pada sektor kesehatan hewan, kegiatan pada sektor kesehatan masyarakat, dan kegiatan bersama. Target pada tahun 2030 diharapkan eliminasi rabies diseluruh kabupaten/kota endemis. Pada 2022 capaian eliminasi rabies mencapai 84% kabupaten/kota endemis.

Saat ini upaya penanggulangan KLB Rabies di Provinsi NTT yang sudah dilakukan diantaranya: penyelidikan epidemiologi terpadu lintas sektor, penyusunan penilaian risiko bersama rabies di Pulau Timor, sosialisasi rabies bagi tenaga kesehatan dan tenaga kesehatan hewan se-pulau Timor, pelatihan tata laksana gigitan, dan pengadaan tambahan VAR sebanyak 15.000 vial dan SAR 510 vial. Mitigasi risiko KLB rabies di Pulau Timor yang disepakati pada 1 – 4 Agustus 2023 di Provinsi NTT adalah: menerapkan instruksi gubernur dan surat edaran bupati/walikota tentang penanggulangan KLB rabies, mempercepat pembentukan Satgas Rabies di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, melakukan kajian cepat situasi darurat rabies di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, membuat rencana kontigensi bencana non-alam (rabies), penguatan surveilans rabies secara terpadu di pulau Timor, melaksanakan vaksinasi rabies pada hewan dengan cakupan yang tinggi karena vaksin telah tersedia, melakukan observasi atau pemeriksaan specimen hewan yang menggigit, memperketat pengawasan di cek poin (lintas darat) dan di pintu masuk di pelabuhan dan bandara, pemasangan media informasi rabies di pos lintas batas darat Indonesia – Timor Leste, dan penerapan SOP tata laksana kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di pintu masuk.

Reporter:  drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE {Divisi Manajemen Mutu Kesehatan PKMK}

Reportase

Sosialisasi Algoritma Kewaspadaan Dini dan Respons Penyakit Berpotensi KLB bagi Klinisi dan Petugas Surveilans di Provinsi Nusa tenggara Barat (NTB)

8 Agustus 2023

PKMK-Mataram, Pada 8 Agustus 2023 telah dilaksanakan Sosialisasi Algoritma Kewaspadaan Dini dan Respon Penyakit Berpotensi KLB bagi Klinisi dan Petugas Surveilans di Provinsi Nusa tenggara Barat (NTB). Pertemuan ini dihadiri oleh 21 peserta yang terdiri atas dokter serta petugas surveilans puskesmas dan staf bidang P2P dinas kesehatan di masing-masing kabupaten tersebut.

Kegiatan diawali dengan pembukaan dari dr. H. Lalu Hamzi Fikri, MM, MARS, dr. Triya Novita Dinihari dari Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan (SKK) Kementerian Kesehatan RI, drg. Catharina Yekti Praptiningsih, M.Epid dari CDC US, serta dibuka oleh Badarudin, S. Kep. NS., MM selaku perwakilan dari Dinas Kesehatan NTB.

skdr 1 300dr. Muh. Hardhantyo, MPH, PhD. FRSPH menyampaikan bahwa cukup menarik adalah keinginan masyarakat untuk melakukan vaksinasi. Faktanya masyarakat yang ingin melakukan vaksinasi itu hanya sejumlah 18% masyarakat yang ingin membayar untuk vaksinasinya jadi dengan adanya keterbatasan dengan adanya beberapa vaksinasi dengan secara gratis itu cukup membantu tetapi tidak jika nanti harus membayar maka nilai yang harus dibayarkan itu harus kurang dari 50.000 rupiah.

Pada sambutan kedua, dr. Triya Novita Dinihari menambahkan bahwa proses bisnis surveilans penyakit potensi KLB atau wabah tidak hanya bisnis untuk kewaspadaan dini, tetapi juga seluruh surveilans penyakit. SKDR meliputi tiga hal, yaitu data collection, area analisis dan interpretasi, serta respon.

Mekanisme kerja SKDR indikator base surveilans, sehingga petugas di fasilitas kesehatan harus mengenal definisi operasional (DO). Petugas yang sudah mendapatkan DO  akan mengirimkan informasi melalui SMS atau Whatsapp untuk di-input ke dalam aplikasi SKDR. Pada variabel tertentu, alert atau sinyal KLB akan muncul. Begitu muncul sinyal SKDR, maka akan menjadi trigger untuk melakukan verifikasi ke lapangan untuk melakukan pencegahan, penanggulangan supaya KLB tidak menyebar menjadi wabah.  Alert inilah yang diharapkan muncul jika pelaporan sudah benar. Tidak hanya Kementerian Kesehatan RI , dr. H. Lalu Hamzi Fikri, MM, MARS selaku kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Banyak faktor yang mempengaruhi yaitu ada proses, kualitas data yang bagus sehingga suatu daerah terjadi KLB benar-benar proses bisnis akan diikuti dengan kemampuan SKDR, transport spesimen, dan ketersediaan akses.

Kegiatan dilanjutkan dengan sesi kedua yang diisi oleh dr. Muh. Hardhantyo, MPH, PhD. FRSPH selaku pembicara terkait Kode ICD-10 Pelengkap Algoritma dalam Pelaporan SKDR. Sesi ini juga ditindaklanjuti sesi diskusi bersama para peserta yang didampingi masing-masing perwakilan dinas kesehatan dari setiap kabupaten.

Kode ICD-10 Pelengkap Algoritma dalam Pelaporan SKDR

Pada Mei 2023, Presiden RI telah menyatakan COVID-19 sudah tidak lagi menjadi kasus emergency jadi kasusnya masih ada namun tidak dianggap sebagai kasus emergency. Hal ini ditindaklanjuti oleh pernyataan Presiden RI pada Juni 2023 bahwa COVID-19 sudah tidak lagi menjadi pandemi dan sudah beralih menjadi memasuki masa endemi. Melalui kegiatan ini, dr. Muh. Hardhantyo, MPH, PhD. FRSPH menekankan bahwa saat ini harus melakukan kewaspadaan atau melakukan kesiapsiagaan dini untuk pandemi berikutnya. Peraturan turunan dari omnibus law Kesehatan terkait kewaspadaan dini dan wabah: Kriteria KLB, penetapan, dan pencabutan KLB (Pasal 353, pasal 368). Kegiatan kewaspadaan KLB, penanggulangan KLB, dan pasca-KLB (Pasal 355, Pasal 371-381)

Sistem kewaspadaan dini dan respon ada dua. Pertama  event base surveillance deteksi cepat, laporan, konfirmasi, penilaian kejadian kesehatan masyarakat termasuk klaster penyakit, rumor kematian yang tidak dapat dijelaskan biasanya laporan segera 1x24 jam. Kedua, indicator base surveillance dengan melihat pelaporan secara rutin (mingguan) notifiable disease surveillance sistem, surveilans berbasis laboratorium biasanya perawatan kesehatan masyarakat (puskesmas/FKTP) laporan mingguan dan bulanan.

24 Sindrom yang dipantau dalam SKDR diantaranya diare akut, malaria, suspek dengue, pneumonia, diare berdarah/ disentri, Suspek Demam Tifoid, Sindrom Jaundis Akut, Suspek Chikungunya, Suspek Flu Burung, Suspek Campak, Suspek Difteri, Suspek Pertusis, Acute Flaccid Paralysis, Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies, Suspek Antraks, Suspek Leptospirosis, Suspek Kolera, Suspek Meningitis/Ensefalitis, Suspek Tetanus Neonatorum, Suspek Tetanus, Suspek COVID-19, Influenza-like Illness, Suspek HFMD, klaster penyakit uang tidak lazim.

skdr 2 300Agenda terakhir dari kegiatan adalah penjelasan terkait kebijakan dan situasi SKDR di Provinsi NTB.  Badarudin, S. Kep. NS., MM menyatakan situasi SKDR di Provinsi NTB menyatakan unit pelaporan dario dinas kesehatan provinsi dan 10 dinas kesehatan kabupaten kota, terdapat 175 puskesmas, terdapat 20 RS dan 3 laboratorium di wilayah kerja dinas Kesehatan Provinsi NTB. Indikator sistem kewaspadaan dini dan respon (SKDR) tahun 2023 minggu 1 sampai dengan 30 kelengkapan laporan SKDR capaiannya 99,90% dari target yang ditetapkan sebesar 90%. Ketepatan laporan SKDR capaiannya 96,15% dari target ditetapkan 85%, 70% kabupaten/kota melakukan respon minimal 80% terhadap sinyal kewaspadaan (alert system) yang muncul capain 100% dari target yang ditetapkan 80%.

Hambatan dan permasalah dalam SKDR Provinsi Nusa Tenggara Barat diantaranya tugas ganda petugas surveilans di semua level, Seringnya Pergantian Petugas dan tidak dilakukan OJT oleh petugas sebelumnya, komitmen pimpinan, petugas di beberapa kabupaten dan puskesmas belum optimal, anggaran di beberapa kabupaten/puskesmas terbatas, ​​sebagian besar petugas tidak sesuai dengan disiplin ilmu sehingga kemampuan menganalisa dan respon serta membuat rekomendasi masih rendah, koordinasi LP/LS belum maksimal, server SKDR sering mengalami gangguan/error dan lama mendapatkan balasan WA atau SMS dari pusat, feedback belum optimal dilakukan.

Terdapat beberapa rekomendasi dari dinas kesehatan provinsi, diantaranya sumber daya manusia, anggaran, jejaring dan infrastruktur. Rekomendasi dari sumber anggaran diantaranya:  komitmen petugas, meningkatkan keahlian dan pengetahuan dengan OJT/ pelatihan, memberikan umpan balik melalui WhatsApp Group setiap minggu, berbagi informasi dengan petugas update atau kebijakan tentang surveilans, petugas surveilans di setiap level diharapkan lebih dari satu orang, memberikan reward /penghargaan bagi petugas yang berprestasi, mengoptimalkan analisa aata di berbagai tingkatan. Rekomendasi dari sisi anggaran mengusulkan anggaran untuk kegiatan surveilans untuk verifikasi alert/investigasi kasus. Rekomendasi jejaring diantaranya meningkatkan koordinasi dengan LP/LS dan membuat grup WhatsApp dengan LP/LS. Rekomendasi infrastruktur diantaranya menginformasikan secara cepat informasi gangguan dan tindak lanjut dan segera menginformasikan ke pusat apabila ada alert tapi di website tidak muncul.

Reporter

Indra Komala R. N., MPH

adi utarini

Keynote Speaker 1

Lombok, 9 Agustus 2023. Forum Mutu Nasional IHQN ke-19 digelar di Mataram. Kegiatan ini diisi dengan 2 sesi keynote dan total 12 sesi pleno. Sesi keynote pertama dibawakan oleh guru besar FK-KMK UGM, Prof. dr. Adi Utarini, MSc., PhD dengan topik Aspek Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan 2023. Dalam paparannya, Adi Utarini menyampaikan bahwa terbitnya UU Kesehatan NoMOR 17 tahun 2023 ini merupakan salah satu bentuk “ujian” daam penyelenggaraan pelayanan kesehatan karena ada banyak perubahan regulasi. Namun, perubahan-perubahan yang ada dalam regulasi ini diharapkan dapat mendorong perbaikan yang drastik dan berkelanjutan dalam pelayanan kesehatan di tingkat organisasi, klinis, dan pasien, keluarga & komunitas.

Secara garis besar, seluruh komponen dalam WHO system building blocks, tercakup dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Di dalam UU Kesehatan tidak ada definisi mutu, namun merupakan tujuan dari penyelenggaraan kesehatan. Di UU Kesehatan terdapat kata mutu sebanyak 44 kali dan dalam konteks kesehatan terdapat 28 kali. Dari 458 pasal dalam UU Kesehatan, ada 40 pasal yang membahas tentang mutu diantaranya membahas: kesehatan ibu, siklus hidup mulai dari bayi hingga lanjut usia, penyandang disabilitas, program KB, gizi, dan jiwa; termasuk fungsi reproduksi, penglihatan, pendengaran.

Sebagai penutup, menurut Adi Utarini, perlu sekali pengembangan PP khusus yang mengatur tentang mutu pelayanan dan program kesehatan karena terdapat perbedaan pemahaman mengenai mutu dalam UU Kesehatan 2023 sehingga perlu sekali dukungan dari para pejabat strategis. Perlu juga ada sosialisasi kepada masyarakat luas terkait “Quality Near Me” yaitu bahwa bila ada masyarakat yang tinggal di dekat fasilitas kesehatan, maka mereka akan dapat mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu.

Reporter:  drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE {Divisi Manajemen Mutu Kesehatan PKMK}

Bagi Klinisi dan Petugas Surveilans di Wilayah Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman

Yogyakarta - Pada 4 Juli 2023 telah dilaksanakan Sosialisasi Algoritma Kewaspadaan Dini dan Respon Penyakit Berpotensi KLB bagi Klinisi dan Petugas Surveilans di Wilayah Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Pertemuan dihadiri oleh 79 peserta yang terdiri atas dokter serta petugas surveilans puskesmas dan staf bidang P2P dinas kesehatan. Kegiatan diawali dengan sambutan dari Dr. Hanevi Djasri, MARS., FISQua dari PKMK FK-KMK UGM, dr. Triya Novita Dinihari dari Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan (SKK) Kementerian Kesehatan RI, drg. Catharina Yekti Praptiningsih, M.Epid dari CDC US, serta dibuka oleh Puji Sutarjo, SKep. MPH selaku perwakilan dari Dinas Kesehatan DIY, yang sekaligus menjadi narasumber dari Dinkes Provinsi DIY. Serta dr. Muh. Hardhantyo, MPH, PhD. FRSPH dan dr. Aldilas Achmad Nursetyo, Msc.

4hlDr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 memberikan banyak pembelajaran untuk situasi mendatang, termasuk dalam menghadapi KLB. Hal ini menjadi dasar pelaksanaan penguatan aplikasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) yang digiatkan oleh PKMK FK-KMK UGM bersama Kementerian Kesehatan RI sebagai bagian dari program INSPIRASI.

Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan informasi terkait dengan pemanfaatan kode ICD-10 sebagai pelengkap algoritma penyakit infeksi berpotensi wabah atau KLB dalam program kewaspadaan dini dan respon bagi dinas kesehatan dan para dokter di Puskesmas wilayah provinsi/kabupaten/kota.

Pada sambutan kedua, dr. Triya Novita Dinihari menyebutkan bahwa proses bisnis surveilans penyakit potensi KLB atau wabah tidak hanya bisnis untuk kewaspadaan dini, tetapi juga seluruh surveilans penyakit. Petugas-petugas surveilans dan klinisi di fasilitas kesehatan harus mengenal definisi operasional (DO) penyakit berpotensi wabah serta aplikasi SKDR, mulai dari data collection, analisis dan interpretasi, hingga respon.

drg. Catharina Yekti Praptiningsih, M.Epid menyebutkan bahwa CDC US turut mendukung penguatan sistem peringatan dini untuk KLB di Indonesia melalui SKDR. drg. Catharina Yekti Praptiningsih, M.Epid juga menegaskan bahwa dinas kesehatan dan fasilitas kesehatan berperan sangat penting dalam penguatan surveilans kewaspadaan dini dan respon di Indonesia.

4hl2Kegiatan dilanjutkan dengan sesi kedua, yaitu materi oleh dr. Muh. Hardhantyo, MPH, PhD. FRSPH dan dr. Aldilas Achmad Nursetyo, Msc terkait Kode ICD-10 Pelengkap Algoritma dalam Pelaporan SKDR. Sesi ini juga ditindaklanjuti dengan sesi diskusi bersama para peserta yang didampingi masing-masing perwakilan Dinas Kesehatan dari setiap kabupaten.

dr. Muh. Hardhantyo, MPH, PhD. FRSPH menekankan bahwa saat ini harus melakukan kewaspadaan atau kesiapsiagaan dini untuk pandemi serta penyakit berpotensi wabah atau KLB mendatang. Sistem kewaspadaan dini dan respon meliputi 2 hal. Pertama, event base surveillance deteksi cepat, laporan, konfirmasi, penilaian kejadian kesehatan masyarakat termasuk klaster penyakit, rumor kematian yang tidak dapat dijelaskan biasanya laporan segera 1x24 jam. Kedua, indicator base surveillance dengan melihat pelaporan secara rutin (mingguan) notifiable disease surveillance system.

Pembicara kedua, yaitu dr. Aldilas Achmad Nursetyo, menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan menyetujui pengembangan ASEAN center floor public health emergencies and emerging diseases yang memuat 3 pilar, yaitu surveilans dan deteksi dini, manajemen risiko dan respon. Indonesia masuk dalam salah satu tiga pilar, yaitu terkait surveilans dan deteksi dini. Pilar ini dapat terwujud salah satunya melalui penerapan SKDR penyakit berpotensi wabah di Indonesia. dr. Aldilas Achmad Nursetyo turut memaparkan beberapa contoh definisi operasional penyakit yang tercantum dalam SKDR, di antaranya adalah diare akut, demam dengan ruam kulit, dan sindrom neurologis akut. Melalui kegiatan sosialisasi ini, peserta juga memberikan saran serta menyampaikan laporan terkait kejadian di lapangan terkait aplikasi SKDR.

Sebagai bagian dari peningkatan kapasitas SKDR terhadap 24 penyakit berpotensi wabah di Indonesia, PKMK FK-KMK UGM bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk mengembangkan Lembar Balik (cheatsheet) Skrining Penyakit Menular Berpotensi Wabah bagi para klinisi. Lembar Balik tersebut akan memuat definisi operasional dan penjelasan gejala 24 penyakit yang tercantum dalam SKDR untuk membantu pelayanan kesehatan primer dalam mengenali gejala awal pasien dengan penyakit berpotensi wabah. Inovasi ini pun mendapat respon baik dari para peserta, sehingga diharapkan dapat segera diproses lebih lanjut dan didistribusikan di DIY.

4hl3Sesi terakhir dari kegiatan sosialisasi adalah penjelasan terkait kebijakan dan situasi SKDR di Provinsi DIY. Puji Sutarjo, SKep. MPH kembali menekankan bahwa interaksi/kontak antara manusia dan hewan yang semakin dekat dan intens berpotensi menimbulkan penyakit zoonosis semakin besar sehingga mengalami potensi KLB dan harus segera melakukan respon. Dalam hal ini, aplikasi SKDR berperan untuk mengetahui penyakit berpotensi KLB, melakukan deteksi dini penyakit potensi KLB, meningkatkan kesakitan/kematian akibat KLB, menjadi trigger untuk verifikasi dan melakukan respon cepat, serta menilai dampak program pencegahan dan pengendalian potensi KLB.

Puji Sutarjo, SKep. MPH menyebutkan bahwa terdapat 121 puskesmas Unit pelaporan SKDR di DIY yang akan menghubungi kontak person surveilans dan pengelola program. Selain itu, juga terdapat 52 rumah sakit yang melakukan pelaporan melalui CP surveilans dan rekam medis. Sumber data pelaporan SKDR puskesmas berasal dari data registrasi puskesmas, bidan desa dan klinik. sedangkan di rumah sakit terdapat di IGD/UGD, poli anak, poli umum. Sumber data pelaporan SKDR melalui rekapitulasi data agregat dalam formulir W2 kemudian dikirim/entri laporan kedalam SKDR.

Verifikasi alert harus dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke unit pelaporan (puskesmas, rumah sakit) karena alert muncul pada tingkat faskes. Dinkes Kab/Kota melakukan verifikasi ke rumah sakit dan puskesmas dan melakukan pengecekan data jenis penyakit sesuai alert dan data individu pasien untuk keperluan PE. Provinsi melakukan koordinasi ke Kabupaten/Kota untuk melakukan verifikasi atau respons terhadap alert yang muncul di web SKDR. Provinsi memastikan bahwa semua kabupaten/kota telah melakukan verifikasi/respons minimal 80%. Verifikasi, respons alert harus dilakukan dalam waktu 24 jam dan dapat dilanjutkan dengan pengambilan dan pemeriksaan sampel.

Materi pemaparan selengkapnya dapat diakses pada link berikut  klik disini