Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Penulis:
Dr Novika Handayani (Divisi Manajemen Mutu PKMK FK KMK UGM)

Italia adalah negara Eropa pertama yang mendapatkan dampak besar dari Covid-19 sehingga pada akhirnya negara tersebut menetapkan lockdown. Dua turis China yang terkonfirmasi positif pada tanggal 31 Januari 2020 menjadi kasus awal di Italia. Sampai dengan 23 Juni 2020, total kasus di Italia mencapai 238,433 dengan 34.675 kematian.

The Italian Network for Safety in Healthcare (INSH) telah mengumpulkan pelajaran penting yang telah mereka pelajari dalam pandemi di Italia dan bersama dengan Internasional Society for Quality in Health Care (ISQua) menerbitkan ‘Patient Safety Recommendations For Covid-19 Epidemic Outbreak’. Rekomendasi ini berisi pesan-pesan praktis bagi petugas garda depan, bukan merupakan sebuah pedoman yang rumit. Dokumen ini juga masih terus dikembangkan dan akan diperbarui oleh para profesional.

Pelayanan kesehatan bukan lagi patient-centered (berpusat pada pasien) namun kini sudah bergerak menjadi people-centered dimana pelayanan melindungi pasien dan juga harus melindungi penyedia layanan kesehatan. Dalam rekomendasi ini, terdapat tiga aspek yang dijelaskan berdasarkan pendekatan SEIPS Human Factors yaitu sistem kerja, proses pelayanan, dan outcome.

Dalam bab sistem kerja, dikeluarkan rekomendasi umum untuk penanganan Covid-19 yaitu:

1. Membangun tim (termasuk komunikasi dan budaya tim)

  • Emergency task-force harus mengaktifkan rantai komando yang jelas, peran dan tanggung jawab yang jelas, wadah komunikasi yang diandalkan dan pendekatan proaktif.
  • Unit manajemen risiko klinis atau mungkin di Indonesia bisa diterapkan oleh tim PMKP RS, berperan untuk menyediakan pedoman atau dokumen praktik klinis yang mendukung pencegahan dan penanganan Covid-19, serta mendukung tenaga kesehatan untuk melaporkan adverse event untuk menciptakan budaya keselamatan dengan meyediakan tools pelaporan yang mudah.

2. Pembagian Tugas dan Keterampilan yang dibutuhkan

  • Buat pelatihan singkat untuk tenaga medis tentang penggunaan APD, kembangkan video tutorialnya
  • Mengadakan kursus penyegaran tentang kebersihan tangan, pencegahan VAP (Ventilator Associated Pneumonia) dan CLABSI (Central Line Associated Bacterial Infection), pengenalan sepsis dini dan manajemen untuk semua petugas kesehatan, khususnya untuk staf yang tidak berada di garis depan kasus kegawatdaruratan yang dapat disebut sebagai “pengganti”.
  • Perlunya dukungan dokter ahli / perawat ahli kepada dokter/perawat muda, serta dukungan antar dokter spesialis
  • Terapkan instruksi desinfeksi lingkungan yang benar

3. Perlengkapan yang dibutuhkan untuk melindungi staf

  • Tindakan pencegahan kontak dan droplet digunakan dalam pelayanan pasien rutin pasien ataupun pasien dengan dugaan/ terkonfirmasi COVID-19
  • Tindakan pencegahan kontak dan airborne dilakukan ketika melakukan prosedur penghasil aerosol (AGPS), termasuk intubasi dan bronkoskopi
  • Mencegah kekurangan APD dengan cara penggunaan yang jangka panjang, penggunaan kembali face-shield dan masker disposable (secara terbatas), mengidentifikasi urutan prioritas pengguna, menyediakan re-usable suit/coveralls, dan simpan perangkat tersebut di tempat yang terkunci atau area yang aman serta pendistribusian kepada staf secara tepat.

4. Perlengkapan yang dibutuhkan untuk pasien

  • Berikan masker bedah bagi pasien yang periksa, terlepas dari gejala, pada kontak pertama mereka di fasilitas pelayanan kesehatan
  • Di area pelayanan khusus untuk pasien Covid-19, pastikan bahwa terdapat analisa haemo-gas, pulse oximeters, oksigen, ventilator therapy equipment dan suction yang semuanya berfungsi dengan baik
  • Terapkan dengan ketat, tanpa kecuali, indikasi untuk desinfeksi lingkungan dan peralatan (sodium hypochlorite atau 0,5% atau 70% larutan etil alkohol)
  • Cegah defisiensi germisida dengan menggunakan sediaan galenic.
  • Pertimbangkan pengadaan rumah sakit khusus
  • Bila masih dijalankan klinik rawat jalan: hindari berkumpul di ruang tunggu (rekomendasikan orang menunggu di luar, beri jarak setidaknya 1 m antar kursi), menginformasikan pasien bergejala dengan demam dan / atau batuk dan / atau dispnea untuk tidak pergi ke klinik, edukasi standar kebersihan dan kesehatan di ruang tunggu.

5. Pasien

  • Mengurangi rawat inap di rumah sakit, kunjungan rutin ke klinik rawat jalan, prosedur bedah rutin dan mengatur kunjungan di rumah sakit.
  • Lakukan prosedur yang tepat bagi pasien dengan gejala, suspek dan terkonfirmasi, prosedur isolasi, screening interview pasien sebelum ke ruang periksa atau bagi yang memerlukan tindakan seperti pembedahan atau persalinan
  • Orang yang kontak dengan pasien Covid-19 harus diambil alih oleh Dinas Kesehatan setempat untuk tujuan epidemiologis dan surveilans aktif dan akan dievaluasi secara klinis di fasyankes yang ditunjuk jika orang tersebut menunjukkan gejala.
  • Gunakan definisi kasus luas dan strategi testing intensif. Pelacakan kontak secara agresif dan testing yang intensif bersamaan dengan isolasi dirumah adalah strategi kemenangan bagi beberapa daerah di Italia dan di negara Asia.

Selain itu, juga terdapat rekomendasi untuk melakukan re-organisasi staf di pelayanan emergensi untuk Covid-19 seperti pengaturan jumlah staf yang dibutuhkan di ruang pelayanan intensif, subintensif dan ruangan biasa (disesuaikan dengan jumlah tempat tidur di masing-masing tempat) dan kriteria staf yang dibutuhkan di ruang pelayanan intensif.

Dalam pembahasan proses pelayanan yang dituangkan dalam bab rekomendasi clinical pathway, rekomendasi yang diberikan cukup holistik karena tidak hanya untuk diagnosis dan penanganan Covid-19, tapi juga bagaimana rekomendasi pelayanan bagi wanita hamil, anak, pasien kanker, pelayanan hemodialisis, rekomendasi bagi dokter umum, prosedur penanganan jenazah suspek atau terkonfirmasi Covid-19 sampai dengan rekomendasi kesehatan psikologis para staf serta mental wellbeing pasien.

Impak dari pelayanan Covid-19 penting untuk diukur. Pengukuran outcome dilakukan untuk mendukung pemantauan respon penyedia layanan kesehatan (RS) Covid-19 yang efektif termasuk kapasitas yang memadai untuk merawat pasien dengan kondisi kegawatan lainnya seperti serangan jantung, stroke, dan trauma untuk memastikan kesehatan publik dilindungi semaksimal mungkin. Berikut contoh indikator yang dapat diukur:

  1. Tingkat rawat inap untuk COVID-19 (ukuran hasil tidak langsung dari wilayah tersebut)
  2. Tingkat mortalitas pasien rawat inap di rumah sakit untuk COVID-19
  3. Rerata Length of Stay pasien COVID-19
  4. Persentase pasien COVID-19 yang dirawat di ICU
  5. Angka kematian di rumah sakit dari pasien non-COVID-19 dirawat karena AMI (Acute Myocardial Infarction)
  6. Angka kematian di rumah sakit dari pasien non-COVID-19 dirawat karena Stroke
  7. Angka kematian di rumah sakit dari pasien non-COVID-19 dirawat karena PPOK
  8. Persentase pasien rawat inap non-COVID-19 yang terinfeksi COVID-19 selama rawat inap
  9. Tingkat infeksi COVID-19di antara staf
  10. Survival rates

Bila memungkinkan, indikator 1-7 harus dikelompokkan berdasarkan kelompok umur. Pengukuran ini harus digunakan dan diinterpretasikan dengan sangat hati-hati jika digunakan untuk membandingkaan kualitas pelayanan antar provider.

Selain pengukuran outcome, berikut contoh indikator untuk pengukuran “proses”:

  1. Length of stay
  2. Persentase pasien dengan penyakit komorbid
  3. Profil pasien : usia, jenis kelamin, etnis, penyakit komorbid
  4. Persentase staf dengan dan tanpa APD yang tepat
  5. Persentase jumlah staf yang terlatih
  6. Jumlah tes yang dilakukan untuk staf RS

Pengukuran lainnya yang dapat dilakukan contohnya:

  1. Tingkat infeksi staf
  2. Tingkat kematian staf
  3. Kesejahteraan staf
  4. Mental illness

Sumber:

  1. The Italian Network for Safety in Healthcare (INSH) dan Internasional Society for Quality in Health Care (ISQua). Patient Safety Recommendations For Covid-19 Epidemic Outbreak. Tersedia online pada https://www.isqua.org/blog/covid-19/covid19-resources/patient-safety-recommendations-for-covid19-epidemic-outbreak.html
  2. https://www.worldometers.info/coronavirus/#countries 

 

 

Sejak ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Global Pandemic per tanggal 11 Maret 2O2O, praktis hingga saat ini telah 3 bulan kita berada dalam masa yang tidak menentu. Banyak rumah sakit di daerah kewalahan menangani lonjakan pasien yang terinfeksi coronavirus, namun tidak sedikit pula Rumah Sakit yang mengalami penurunan jumlah pasien, khususnya RS yang tidak ditunjuk sebagai RS Rujukan COVID-19.

Perubahan yang sedemikian cepat dimasa pandemi COVID-19 menuntut respon yang cepat dari manager puncak mengenai arah kelangsungan usaha RS agar tidak kolaps ditengah pendemi. Apakah segera merubah RBA/Rencana anggaran tahun 2020 dalam konteks memperkuat business continuity? dan apakah akan merubah rencana strategis bisnis RS untuk menyesuaikan dengan situasi COVID-19 menuju the new normal?

Berdasarkan permasalahan di atas, manager puncak perlu memperkuat lembaga-lembaga dan organisasi yang dinaungi dengan mengelola pengetahuan tentang COVID-19 yang mengacu ke langkah-langkah operasional di Learning Organization (organisasi pembelajar). Diketahui bahwa Learning Organization (LO) telah muncul dari berbagai literatur. Beberapa definisi yang paling populer adalah sebagaimana diungkapkan beberapa tokoh berikut; Senge (1990) mendefinisikan LO adalah proses memfasilitasi pembelajaran bagi individu atau group yang dilakukan secara sadar dan bersama-sama dalam mentransformasikan pengelolaan dan penggunaan pengetahuan dalam mencapai tujuan organisasi secara terus menerus sehingga mencapai suatu kapasitas yang semakin luas.

Sementara itu, Marquardt (2002) mendefiniskan LO sebagai suatu organisasi yang belajar secara kolektif dan bersemangat, dan terus menerus mentransformasikan dirinya pada pengumpulan, pengelolaan, dan penggunaan pengetahuan yang lebih baik bagi keberhasilan perusahaan/instansi. Di sisi lain, Garvin (1993) memiliki pandangan bahwa sebuah organisasi belajar adalah organisasi terampil membuat, memperoleh, dan mentransfer pengetahuan, dan untuk memodifikasi perilaku untuk mencerminkan pengetahuan dan wawasan baru. Definisi Garvin terhadap OL mengandalkan persyaratan, bahwa suatu organisasi harus dapat memenuhi persyaratan tersebut untuk menjadi organisasi yang belajar.

Tujuan pembelajar organisasi bagi RS agar dapat melaksanakan misinya dengan baik di masa pandemik COVID-19 dan dapat melanjutkan usaha RS di pasca pandemik. Penting untuk diketahui siapa saja yang telah melakukan Individual learning tentang COVID-19 di RS, misalnya apakah Pemilik RS/Dewan Pengawas, Direksi RS, Klinisi yang menangani COVID-19 (Dokter dan Perawat), Tenaga IT, Tenaga Epidemiologis RS dan lain lain. Serta dari mana sumber belajarnya, apakah berasal dari Forum Manajemen COVID-19 (Cochrane Indonesia), Jurnal-jurnal ilmiah ataupun dari Perhimpunan Profesi masing-masing. Hal tersebut diperlukan agar manajemen RS dapat dengan segera membalikkan keadaan dengan cepat, mengatasi kesulitan keuangan serta mengatasi situasi tertekan.

Memahami situasi pandemi saat ini, dengan data empirik selama 3 bulan terakhir yang dianalisis dengan berbagai pengetahuan baru mengenai COVID-19, yakni dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut dengan melakukan penilaian mandiri terhadap RS mengenai: 1) apakah COVID-19 merupakan ancaman untuk RS kita? 2) apakah akan membahayakan business continuity / kelangsungan usaha RS? 3) Bagaimana skenario yang bisa terjadi di masa depan?

Untuk itu, agar di RS lebih efektif dan siap mempertahankan kelangsungan usaha dan menghadapi the new normal perlu melakukan prosesnya dengan terlebih dahulu mempunyai niat dari pemilik dan Direksi RS bersepakat untuk melakukan Learning and Development secara sistematis dalam pandemik COVID-19, Direksi RS mengumpulkan orang-orang pembelajar COVID-19 dari berbagai profesi di RS untuk melakukan organizational learning serta membentuk tim review rencana dan perencanaan, disamping tim disaster yang sudah pasti harus ada di RS.

Berbicara mengenai new normal, merupakan berasal dari istilah saat pasca krisis finansial 2007-2008, dimana sistem ekonomi yang normal bersifat baru. Jika melihat new normal pada manusia di masa COVID-19 saat ini maka mengacu pada perubahan perilaku manusia setelah pandemi ini, termasuk membatasi kontak orang-ke-orang, seperti jabat tangan maupun menjaga jarak dari orang lain. Namun jika dikaitkan dengan new normal baru di RS maka akan erat kaitannya bagaimana RS beroperasi dalam tatanan baru yang menjadi normal, misal dalam hal pemeriksaan pasien di poli, penggunaan telemedicine, pendanaan RS termasuk dari BPJS dan filantropi, penggunaan APD dan robotic ataupun pelayanan homecare.

Berikut ini langkah-langkah learning process yang dapat dijalankan oleh RS untuk dapat bertahan dimasa COVID-9 menuju new normal, diantaranya:

  1. Identifikasi masalah-masalah apa yang dihadapi RS dalam masa pandemik ini, yang dapat membahayakan keberlangsungan RS (Business Continuity), Misalnya: Bahaya COVID-19, Penurunan jumlah pasien non-covid, keberlanjutan klaim RS dan lain-lain
  2. Mensintesis hasil pembelajaran perorangan untuk mencari solusi dengan cara:
    1. Mempelajari pengalaman RS yang sangat terbatas mengenai pandemik.
    2. Mempelajari pengalaman dan praktik terbaik orang lain (dapat melalui berbagai artikel di Jurnal dan diskusi-diskusi di Forum Manajemen COVID-19), pelajaran dari pengetahuan tacit.
  3. Melakukan inovasi (Development) dengan cara:
    1. Identifikasi inovasi-inovasi untuk ke depannya
    2. Melakukan uji-coba dengan pendekatan baru diluar kebiasaan, misal: penggunaan telemedicine di RS, peningkatan dukungan filantropi, memberikan pengobatan terbaru untuk pasien COVID-19, memperkuat home-care
  4. Mereview Rencana-rencana (Di tahap ini perlu ada persetujuan dari Pemilik/Dewan Pengawas RS)
    1. Ada kemungkinan besar merubah RKA tahun ini agar Business Continuity dapat terjaga.
    2. Mereview rencana strategis yang ada dengan pertanyaan: apakah perlu disesuaikan dengan proyeksi tentang the New Normal?
  5. Mengkomunikasikan perubahan RBA dan Rencana Business Strategis
    1. Dikomunikasikan ke seluruh anggota RS
    2. Dikomunikasikan ke stakeholder RS

Ketika sebuah RS melakukan langkah-langkah di atas, apakah dapat dikatakan mempraktekkan prinsip Learning Organization? Hal ini dapat diketahui jika organisasi anda terampil dalam menciptakan, memperoleh, mentransfer pengetahuan ke semua anggota, dan memodifikasi perilakunya yang mencerminkan pengetahuan dan wawasan baru (David A. Garvin,1993). Dalam konteks COVID-19 organisasi yang terampil adalah organisasi yang terampil dalam Memperoleh, menciptakan, mentransfer pengetahuan tentang COVID-19, dan memodifikasi perilaku RS yang mencerminkan pengetahuan dan wawasan baru untuk mempertahankan business continuity dan menyiapkan diri untuk the new normal.

Pembelajaran dari pandemi COVID-19 ini bahwa RS dapat mengaktifkan kembali semangat pembelajaran, learning organization dapat dipraktekkan untuk semua hal yang dapat mengancam keberlangsungan hidup RS serta Direktur RS dapat mengembangkan kepemimpinannya. Apakah RS anda sudah memilii ciri tersebut di atas?

Sumber:

Materi diambil dari presentasi Laksono trisnantoro dalam pertemuan pada 18 Mei 2020 mengenai Knowledge Management: Learning Organization di RS Seri Ke-VIII.

Penulis:
Andriani Yulianti, MPH

 

 

pdf
Hits : 609
pdf
Hits : 1418

Disarikan oleh Andriani Yulianti, Divisi Manajemen Mutu PKMK FK KMK UGM

Pelayanan transfusi darah merupakan salah satu upaya kesehatan dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan sangat membutuhkan ketersediaan darah atau komponen darah yang cukup, aman, mudah diakses dan terjangkau oleh masyarakat sehingga Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan transfusi darah yang aman, bermanfaat, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Melihat pentingnya fungsi darah dalam hal kesehatan, tentu penanganan donor darah tidak boleh sembarangan, terutama di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini. Di berbagai media marak diberitakan beberapa wilayah mengalami kesulitan untuk mengumpulkan darah karena adanya pembatasan sosial maupun dikarenakan sebagian besar pendonor yang memilih untuk tidak mendonorkan darahnya selama pandemi karena adanya himbauan untuk tidak mengunjungi pelayanan kesehatan jika tidak ada keperluan mendesak maupun adanya ketakutan akan tertular COVID-19.

Merespon hal tersebut, saat ini WHO telah mengeluarkan panduan sementara terkait bagaimana menjaga persediaan darah yang aman dan memadai selama pandemi penyakit coronavirus. Disampaikan bahwa risiko penularan COVID-19 melalui transfusi darah dan komponen darah masih bersifat teoretis dan kemungkinannnya masih berskala minimal. Namun, berdasarkan pengalaman di wabah-wabah coronavirus lainnya, persediaan darah diperkirakan akan terdampak secara signifikan dengan menurunnya jumlah darah yang didonorkan. Unit transfusi darah harus siap bergerak cepat dalam merespons perubahan-perubahan yang terjadi, di mana kecukupan persediaan darah paling mungkin terdampak.

Lebih dari itu, menurut WHO bahwa pendekatan subnasional atau lokal harus segera diambil melalui pendekatan nasional agar respons dapat terkoordinasi dan menyeluruh untuk memastikan masyarakat yakin akan keamanan dan ketersediaan darah. Unit transfusi darah harus dimasukkan ke dalam respons wabah nasional, melalui pakar-pakar yang dilibatkan dalam tim respons kedaruratan nasional serta unit transfusi darah harus mengaktifkan rencana tanggapan kedaruratannya dan jaringan kerja sama unit transfusi darah di wilayah yang dapat membantu menjaga ketersediaan darah dan komponen darah.

Berikut di bawah ini rekomendasi WHO berdasarkan panduan sementara maintaining a safe and adequate bld suplay during the pandemik outbreak of coronavirus disease, diperuntukkan bagi unit transfusi darah (UTD), Kementerian Kesehatan, dan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab atas penyediaan darah dan komponen darah dan atas integrasi sistem darah ke dalam sistem kesehatan masyarakat.

Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan darah, meliputi;

1. Memitigasi potensi risiko penularan melalui transfusi darah dan komponen darah.

Meliputi edukasi bagi donor darah, penundaan oleh donor, penundaan terhadap donor yang berisiko, karantina komponen darah, pengambilan produk darah yang belum kadaluarsa (in-date) berdasarkan laporan penyakit pascadonor atas diri pendonor, skrining donasi menggunakan uji laboratorium, dan pengurangan patogen. Berikut ini langkah-langkahnya:

  1. Calon pendonor harus diberi edukasi tentang pentingnya menunda donor berdasarkan faktor-faktor risiko COVID-19 atau jika merasa tidak sehat. Langkah-langkah skrining oleh dokter yang menolak orang yang menunjukkan gejala dan merasa kurang sehat atau yang menunjukkan tanda dan gejala demam dan penyakit pernapasan (seperti batuk atau sesak napas) harus dipatuhi. Pendonor harus segera menyampaikan kepada pusat donor darah jika mengalami penyakit saluran pernapasan dalam waktu 28 hari sejak melakukan donor darah.
  2. Orang yang sudah sembuh total dari COVID-19, orang yang kemungkinan terpapar COVID-19 langsung pasien konfirmasi, dan orang yang melakukan perjalanan ke area di mana penularan masyarakat terjadi tidak dapat melakukan donor darah selama sekurang-kurangnya 28 hari, melalui penundaan sendiri atau penundaan wajib. Dalam hal terjadi penularan yang meluas, pembatasan pendonor berdasarkan definisi risiko paparan dan lama masa penundaan dapat diturunkan sesuai situasi setempat sehingga tidak berdampak pada ketersediaan darah untuk terapi transfusi kritis.
  3. Karantina komponen darah di mana pengeluarannya ditunda hingga dipastikan tidak ada laporan penyakit yang dialami pendonor setelah melakukan donor darah dapat dilakukan jika terjadi penularan meluas dan berkelanjutan. Namun, opsi ini sulit dilakukan dan mengganggu proses-proses serta alur kerja yang sudah ada, sehingga kemungkinan kesalahan terjadi makin besar. Pengeluaran darah ke persediaan darah menjadi tertunda. Karantina trombosit lebih sulit lagi karena umur simpannya yang pendek.
  4. Harus ada sistem bagi pendonor untuk melaporkan penyakit mirip COVID-19 atau kontak dengan kasus COVID-19 konfirmasi pascadonor. Sebagai langkah kewaspadaan, darah dan komponen darah yang diambil dalam waktu 14 hingga 28 hari sejak mulai timbulnya gejala (onset) dapat ditarik kembali. Meskipun risiko penularan melalui transfusi masih bersifat teoretis, dapat dipertimbangkan juga apakah tenaga klinis perlu diberi tahu mengenai konfirmasi infeksi pada pendonor jika darah atau komponen darah sudah ditransfusikan.
  5. Pengujian persediaan darah akan bersifat prematur jika belum terjadi penularan melalui transfusi atau terbukti sifat menular virus COVID-19 dalam darah yang diambil dari orang-orang tanpa gejala.
  6. Teknologi pengurangan patogen (PRT) terbukti efektif terhadap SARS-CoV dan MERS-CoV di dalam plasma dan trombosit. Namun, PRT memerlukan investasi logistik dan keuangan yang besar. PRT untuk darah lengkap belum banyak tersedia dan penelitian tentang inaktivasi coronavirus dalam darah lengkap masih kurang. Penggunaan PRT untuk virus COVID-19 tidak akan efektif, biaya maupun proporsional dan tidak direkomendasikan.
  7. Proses pembuatan derivat plasma saat ini dapat membuat inaktif serta membersihkan virus-virus yang berhubungan dengan COVID-19. Sebagai virus berselubung, virus COVID-19 rentan terhadap langkah-langkah dalam persiapan agen-agen terapeutik dari plasma terfraksionasi; karena itu, tidak ada dugaan tentang adanya risiko penularan melalui produk-produk darah.
  8. Sistem haemovigilance harus disusun sehingga setiap kemungkinan kasus transmisi melalui darah dan komponen darah dapat tercatat. Hemovigilance sangat berguna untuk membantu memahami risiko yang timbul dari darah dan komponen darah serta efektivitas keseluruhan langkah-langkah pelayanan darah.

Keputusan tentang implementasi langkah-langkah kewaspadaan serta dampaknya pada kecukupan persediaan darah dan sumber daya operasional harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Langkah-langkah yang dimulai pada fase awal wabah bisa menjadi tidak lagi praktis atau sesuai di fase lain. Misalnya, negara di mana tidak terjadi kasus akibat penularan lokal dapat memilih langkah kewaspadaan menunda pendonor yang baru kembali dari area-area terdampak. Hal ini mungkin dilakukan jika jumlah calon donor sedikit dan dapat dikelola dengan mudah tanpa mempengaruhi ketersediaan. Namun, setelah semakin banyak negara terdampak dan lebih lagi jika kasus akibat penularan lokal mulai muncul, risiko meningkat dan identifikasi terhadap pendonor berisiko semakin sulit dilakukan. Dalam situasi tersebut, penundaan tidak lagi praktis maupun dapat diteruskan.

2. Mengurangi risiko paparan staf dan donor terhadap virus COVID-19,

Penularan yang terjadi dari pendonor lebih mungkin terjadi melalui rute saluran pernapasan dibandingkan rute-rute parenteral (termasuk flebotomi selama donor darah). Pendonor yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala, gejalanya belum muncul, atau gejalanya sangat ringan mungkin menulari pendonor lain dan staf. Strategi-strategi yang dilakukan untuk memitigasi risiko ini harus proporsional dan berdasarkan bukti dan harus mengikuti langkah-langkah kesehatan masyarakat yang dilakukan di negara itu. Pusat donor dan tempat pembuatan darah bukan fasilitas pelayanan kesehatan penyakit akut. Karena itu, langkah-langkah kesehatan masyarakat yang harus dilakukan adalah langkah-langkah yang sesuai untuk masyarakat umum, bukan untuk klinik dan rumah sakit.

Pendonor dan calon pendonor harus mendapat informasi tentang pentingnya penundaan donor diri jika merasa tidak sehat, dan pentingnya segera melaporkan kepada unit transfusi darah penyakit terkait COVID-19 dalam waktu 28 hari setelah donor. Jika COVID-19 dikonfirmasi terjadi pada pendonor darah atau staf, tatalaksana kontak harus dijalankan sesuai panduan kesehatan masyarakat nasional.

Proses donor harus dipastikan aman dengan langkah-langkah perlindungan yang sesuai yang dijalankan oleh staf. Prosedur donor dapat dipertimbangkan untuk diatur guna meminimalisasi penularan antar pendonor, termasuk penjagaan jarak fisik jika mungkin dilakukan, sambil memastikan alur kerja tetap sesuai. Kewaspadaan di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan bagi pasien tidak harus diterapkan di pusat-pusat donor kecuali pusat.

donor tersebut terletak di dalam rumah sakit atau efektivitas kewaspadaan tersebut terbukti di lingkungan masyarakat. Praktik-praktik keamanan biologis laboratorium standar yang didasarkan pada panduan nasional dan internasional harus diikuti dalam semua keadaan. Jika laboratorium unit transfusi darah melakukan investigasi pratransfusi, sampel dari pasien dalam pemantauan atau terkonfirmasi COVID-19 harus ditanganni sesuai dengan panduan COVID-19.
Staf harus diedukasi tentang COVID-19 dan disarankan tidak masuk kerja jika sakit atau terpapar. Langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi harus diperkuat.Selama penularan masyarakat luas terjadi, jumlah staf dapat berkurang akibat penyakit; pusat-pusat darah harus mempertimbangkan langkah-langkah mitigasi dampak pada kegiatan-kegiatan utama.

3. Memitigasi dampak penurunan jumlah pendonor darah yang tersedia

Penurunan jumlah pendonor sebelum, selama, dan setelah wabah COVID-19 adalah risiko yang berarti bagi unit transfusi darah. Unit transfusi darah harus mempertimbangkan risiko ketersediaan sejak dini untuk memungkinkan kesiapan dan respons. Jumlah donor darah harus dipantai sehingga dapat dengan cepat diambil langkah untuk menangkis penurunan kehadiran pendonor atau untuk mempertimbangkan impor darah dan komponen darah. Tindakan ini semakin penting dalam kaitannya dengan komponen darah, yang umur penyimpanannya pendek, seperti trombosit. Dalam hal ini, diperlukan adanya pasokan secara konstan bagi pasien yang bergantung pada transfusi trombosit.

Diperlukan strategi komunikasi yang proaktif untuk menjawab kekhawatiran pendonor, yang seringkali berasal dari kurangnya pengertian, misinformasi, atau rasa takut terinfeksi saat melakukan donor darah. Penyuluhan publik yang efektif mengenai pentingnya menjaga ketersediaan darah nasional, kebutuhan akan pendonor darah, dan keamanan proses donor harus terus didiseminasi.

Strategi penanggulangan dapat membuat donor tidak mampu mengikuti donor darah dan dapat mencegah tim pengambil darah mengunjungi area-area yang dikaitkan dengan klaster infeksi atau jika pembatasan kesehatan masyarakat diberlakukan. Strategi-strategi untuk mengatasi hal ini dapat mencakup segera mengubah tempat pengambilan darah jika mungkin, menyediakan transportasi bagi pendonor, meningkatkan intensitas upaya penjadwalan donor, atau menyesuaikan jam kerja. Pengambilan darah mungkin perlu dilakukan secara lebih tepat sasaran melalui undangan kembali bagi orang-orang sehat yang pernah mendonorkan darah sebelumnya. Praktik-praktik rutin untuk tatalaksana pendonor dan pengujian penyakit menular tidak disarankan diubah. Namun, jika terjadi kekurangan darah yang parah, pengurangan interval waktu donor darah untuk pendonor dengan tingkat hemoglobin yang baik, yang dapat melakukan donor darah lebih sering, dapat menjadi pertimbangan.

Harus ada sistem yang memungkinkan pendonor yang pernah terinfeksi untuk terdaftar kembali. Sebagian besar pendonor seperti ini dapat mendonorkan darahnya lagi 28 hari setelah pulih total. Hal ini juga dapat mendukung pengambilan plasma yang telah pulih untuk pengobatan pasien COVID-19.

Pengimporan darah dan komponen darah dari wilayah-wilayah tidak terdampak di dalam negeri atau dari negara lain yang tidak terdampak (jika mendapat izin dari instansi setempat) dapat menjadi solusi jika terjadi kekurangan persediaan setempat, meskipun jika penularan terjadi secara meluas, hal ini sulit dilakukan. Ada juga masalah logistik.

4. Mengelola kebutuhan darah dan produk darah,

Unit transfusi darah harus terus menghitung persediaan darah dengan teliti untuk mengantisipasi ketidakpastian kegiatan pengambilan darah. Selama penularan meluas, kebutuhan akan darah dan komponen darah mungkin menurun seiring bergesernya sistem pelayanan kesehatan untuk mengobati jumlah pasien COVID-19 yang terus meningkat dan ditundanya bedah-bedah elektif dan intervensi-intervensi klinis. Namun transfusi darah masih akan diperlukan untuk situasi kedaruratan seperti trauma, perdarahan pascasalin, anemia berat pada anak, diskrasia darah, dan bedah yang mendesak yang membutuhkan persediaan darah.

Persediaan mungkin juga perlu ditingkatkan untuk mendukung pasien COVID-19 yang mengalami sepsis berat atau memerlukan dukungan pengoksigenan membran ekstrakorporeal. Tatalaksana darah pasien yang baik akan membantu menjaga persediaan darah. Unit transfusi darah harus mengadakan komunikasi yang jelas dengan tenaga pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab atas kegiatan transfusi guna memastikan bahwa darah dan komponen darah hanya digunakan jika sesuai secara klinis.

5. Pastikan pasokan bahan dan perlengkapan terpenting tidak terganggu,

Pembatasan transportasi dan perdagangan, karantina, langkah perlindungan perbatasan, dan gangguan produksi dapat menurunkan rantai pasokan global bahan-bahan dan perlengkapan terpenting dalam pengambilan darah dan komponen darah, pengujian laboratorium (termasuk reagen immunohematologi dan penetapan skrining penyakit menular). Unit transfusi darah harus mengambil langkah untuk memastikan keberlangsungan pasokan.

6. Komunikasi

Kepercayaan masyarakat dan pemangku kepentingan pada sistem unit transfusi darah adalah sesuatu yang penting. Sistem pelayanan darah harus memberikan komunikasi yang jelas guna memastikan bahwa tim tanggap kedaruratan nasional, pendonor dan penerima, serta masyarakat menerima informasi serta memahami dengan baik tindakan-tindakan yang direncanakan. Pesan dan tindakan harus proporsional, berdasarkan bukti, dan konsisten dengan pesan tanggap kedaruratan nasional secara keseluruhan.

7. Pengambilan plasma konvalesen

Berdasarkan pengalaman, penggunaan empiris plasma konvalesen (PK) dapat berguna sebagai pengobatan untuk COVID-19. Penilaian risiko yang terperinci diperlukan guna memastikan bahwa pengambilan, pemrosesan, dan penyimpanan komponen-komponen darah ini dapat dilakukan dengan aman dengan cara yang terjamin mutu.

Sumber:

 

Stevie A. Nappoe-MPH Graduate from University of Alabama at Birmingham, 2016 Fulbright Scholar.
Hanevi Djasri, Koordinator Indonesian Healthcare Quality Network, Fellow of The International Society for Quality in Healthcare.

Kurang lebih 3 bulan belakangan ini seluruh dunia dibuat tak berdaya oleh situasi pandemik COVID-19. Dengan jumlah kasus yang mencapai 7 juta, virus ini telah menyebabkan lebih dari 400 ribu kematian di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah kasus yang tercatat sampai dengan saat ini sudah lebih dari 32 ribu kasus dengan jumlah kematian mencapai 1800. Tidak dapat dipungkiri situasi ini sangat berdampak pada kehidupan masyarakat terutama perekonomian dikarenakan pembatasan sosial yang terjadi di masyarakat. Pemerintah Indonesia sudah mulai memikirkan untuk membuka kembali pembatasan sosial secara bertahap untuk bisa menyelamatkan ekonomi. Inisiatif ini lebih dikenal dengan “new normal” dimana pada situasi ini kegiatan masyarakat bisa berjalan seperti biasa namun tetap mengikuti protokol kesehatan untuk menghindari penularan dan penyebaran virus.

Pelayanan kesehatan sebagai sektor yang paling terdampak oleh situasi pandemik ini juga harus bersiap untuk menghadapi new normal. Rumah sakit harus mulai memikirkan langkah yang akan diambil untuk tetap merawat pasien COVID-19 namun disaat bersamaan juga memberikan pelayanan kepada pasien umum dengan resiko penularan seminimal mungkin, sehingga disebut sebgai balancing act.

Pelayanan kesehatan di era new normal akan sangat berbeda dengan keadaan sebelum COVID 19. Rumah sakit perlu menyiapkan prosedur keamanan yang lebih ketat dimana sterilisasi harus lebih masif dilakukan di setiap sudut rumah sakit. Prosedur penerimaan pasien juga akan mengalami perubahan termasuk penggunaan masker secara universal, prosedur screening yang lebih ketat (rapid test/PCR), pengaturan jadwal kunjungan, dan pembatasan pengunjung/pendamping pasien bahkan pemisahan fasilitas untuk pasien COVID-19 dan non COVID-19.

Dari sisi pelayanan, rumah sakit akan lebih selektif dalam menerima pasien dimana prioritas akan diberikan kepada kasus-kasus gawat darurat atau life-thretening situation berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Rapid test bahkan PCR bisa menjadi persyaratan sebelum pasien menerima berhak menerima perawatan (pre-op requirements). Penggunaan telemedicine atau virtual care akan semakin sering dilakukan oleh rumah sakit untuk meminimalisir tatap muka antara pasien dan tenaga kesehatan.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh rumah sakit adalah persiapan untuk menghadapi kemungkinan gelombang kedua (second wave), mengingat resiko penularan dimasyarakat masih mungkin untuk terjadi. Rumah sakit perlu menyiapkan protokol emergensi yang jelas untuk menghadapi gelombang kedua termasuk alokasi ruang perawatan untuk pasien COVID-19, tambahan tenaga kesehatan bila diperlukan, kecukupan personal protective equipment (PPE), serta penutupan kembali beberapa layanan jika situasinya memburuk.

Perubahan dalam pelayanan ini merupakan kesempatan yang baik untuk mempromosikan value-based care yakni pelayanan yang berorientasi pada outcome sehingga menghindari perawatan/tindakan yang tidak perlu atau tidak berkontribusi pada outcome. Salah satu perawatan yang akan mendapatkan perhatian adalah chronic disease management dimana penderita penyakit kronis memiliki resiko kematian yang lebih besar apabila terpapar COVID-19. Penggunaan telemedicine dan remote monitoring untuk pasien dengan penyakit kronis dapat menurunkan kunjungan yang tidak perlu ke fasilitas kesehatan dan mengurangi resiko keterpaparan terhadap virus.

Value-based care juga merupakan bagian dari patient / people centered care, yaitu konsep pelayanan yang berusaha memberikan perawatan dengan menghormati dan responsif terhadap berbagai preferensi, kebutuhan, dan nilai-nilai individu pasien, dan memastikan bahwa nilai-nilai tersebut digunakan untuk memandu semua keputusan klinis. Dalam New Normal preferensi, kebutuhan dan nilai-nilai tersebut berubah, maka RS harus responsif untuk tetap dapat menjaga mutu dan keselamatan pasien, tidak saja bagi pasien dengan Covid-19 tapi juga pasien lainnya.

Respon yang diharapkan dari RS adalah memastikan keempat inti patient/people centered care terwujud, yaitu: 1) Memberikan pelayanan kesehatan dengan bermartabat dan rasa hormat, dimana para klinisi mendengarkan dan menghormati perspektif dan pilihan pasien dan keluarga. 2) Berbagi informasi, yaitu para klinisi berkomunikasi dan berbagi informasi yang lengkap dan tidak bias dengan pasien dan keluarga serta antar klinisi. 3) Partisipasi aktif, dimana pasien dan keluarga didorong dan didukung untuk berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan pada tingkat yang mereka pilih. 4) Kolaborasi, yaitu pasien, keluarga, para klinisi, dan pengelola fasilitas pelayanan kesehatan berkolaborasi dalam pengembangan dan pelayanan kesehatan.

Dengan begitu banyaknya perubahan yang wajib dilakukan, rumah sakit perlu melakukan re-desain pelayanan dengan memperhatikan:

  1. Perencanaan dan manajemen rumah sakit dengan segala perubahan untuk menghadapi new normal termasuk investasi pada teknologi serta pelatihan tenaga kesehatan terkait telemedicine;
  2. Promosi kesehatan dan edukasi kepada pasien dan pengunjung yang lebih massif untuk memastikan protokol keselamatan dapat dipahami dan ditaati oleh semua pihak;
  3. Upaya menjamin keselamatan dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya sebagai garda terdepan dalam upaya penanggulangan COVID-19 ini termasuk kecukupan PPE, insentif yang sesuai, dan lain sebagainya;
  4. Melakukan upaya peningkatan mutu layanan yang terintegrasi untuk memastikan mutu layanan tetap terjaga dengan adanya pembatasan-pembatasan.
  5. Menggunakan tools untuk melakukan re-desain pelayanan, seperti FMEA (failure modes and effects analysis maupun dengan house of quality/Quality function deployment)

Sumber:

  1. Mullins L, Thompson K. Hospitals Aiming To Achieve New Normal As Coronavirus Pandemic Continues. 2020. https://www.wbur.org/commonhealth/2020/05/26/massachusetts-covid-19-coronavirus-hospitals-normal-operations. Published 26 May 2020.
  2. Liu R, Fleisher LA. Getting to a New Normal: Mandating That Patients Wear Masks as Hospitals Fully Reopen during the Coronavirus Pandemic. Anesthesiology: The Journal of the American Society of Anesthesiologists. 2020.
  3. Haseltine WA. A New Normal For Hospital Care. 2020. https://www.forbes.com/sites/williamhaseltine/2020/04/21/the-new-normal-for-hospital-care/. Published 21 April 2020.
  4. Bhatt J, Rubin O. New normal for medicine emerges as hospitals return to elective surgeries, non-COVID work. 2020. https://abcnews.go.com/Health/normal-medicine-emerges-hospitals-return-elective-surgeries-covid/story?id=70842080. Published 25 May 2020.
  5. Schwamm LH, Estrada J, Erskine A, Licurse A. Virtual care: new models of caring for our patients and workforce. The Lancet Digital Health. 2020.
  6. Institute of Medicine. (2001). Crossing the Quality Chasm: A New Health Service for the 21st Century. Washington, DC
  7. Johnson, B. H. & Abraham, M. R. (2012). Partnering with Patients, Residents, and Families: A Resource for Leaders of Hospitals, Ambulatory Care Settings, and Long-Term Care Communities. Bethesda, MD: Institute for Patient- and Family-Centered Care