Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Peningkatan kualitas dan mutu layanan kesehatan kini menjadi tantangan bagi penyelenggara pelayanan kesehatan khususnya di era Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk mengupayakan peningkatan mutu layanan, BPJS Kesehatan kini tengah membangun ekosistem program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang ideal. Beberapa upaya dilakukan, salah satunya melalui program BPJS Mendengar aspirasi stakeholders. Melalui program tersebut, BPJS Kesehatan mendengar masukan dan saran yang konstruktif dari para stakeholders JKN-KIS. Masukan tersebut diharapkan nantinya dapat meningkatkan mutu layanan dan mendongkrak kepuasan peserta JKN-KIS.

Pentingnya stakeholders dirasakan betul oleh Pihak BPJS Kesehatan, dengan melakukan pemetaan kebutuhan stakeholders sehingga akan menjadi bagian dari proses evaluasi, masukan, dan acuan dalam mengelola Program JKN-KIS lima tahun ke depan, serta mempererat jalinan komunikasi yang lebih baik lagi antara BPJS Kesehatan dengan berbagai stakeholders, sehingga ekosistem JKN-KIS dapat lebih kondusif dan pada akhirnya Program JKN-KIS dapat dilaksanakan lebih baik lagi.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dalam membangun ekosistem program JKN dalam meningkatkan mutu layanan BPJS Kesehatan yakni bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman Sinergitas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Program JKN. BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara yang diberikan amanah untuk mengelola dana publik, yaitu Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, suatu dana amanat yang dipergunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan para peserta JKN. Dana amanat inilah yang dikelola dengan tetap menjaga akuntabilitas, penuh tanggung jawab dan dengan komitmen tinggi dari seluruh jajaran BPJS Kesehatan.

Oleh karena itu, terdapat beberapa ruang lingkup cakupan Nota Kesepahaman yang dilakukan antara BPJSK dan KPK yakni; kerja sama terkait data dan/atau informasi melalui dukungan adanya Portal Jaga KPK, BPJS kesehatan telah memfasilitasi pemberian data melalui web service terdiri dari data profil puskesmas, data dana kapitasi dan jumlah peserta tiap puskesmas, data kepesertaan JKN dan panduan JKN. Selain itu, terdapat pula sinergisitas terkait penerapan sistem pencegahan korupsi dengan menerapkan dan meningkatkan kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), menerapkan Program Pengendalian Gratifikasi dan manajemen anti suap dan menerapkan whistleblowing system.

Kesepahaman tersebut juga menjadi acuan dalam melaksanakan program inisiatif antikorupsi termasuk kegiatan kampanye atau sosialisasi, pendidikan dan pelatihan antikorupsi serta penelitian dan pengembangan. Sinergi dalam sistem pencegahan korupsi dapat memperkuat sistem pencegahan kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan program JKN. Direncanakan BPJS Kesehatan dan KPK akan melaksanakan piloting atau joint activity program pencegahan kecurangan pada area dengan risiko tinggi. Selain itu, audit tematik bersama dan pemaparan publik terkait peningkatan awareness fasilitas kesehatan dan stakeholders pada pencegahan dan pengendalian fraud.

Selain itu, tarif INA CBGs juga menjadi tantangan besar bagi BPJS kesehatan saat ini, tarif tersebut berupa tarif paket, meliputi seluruh komponen biaya pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta. Pola pembayarannya ditetapkan dalam peraturan presiden sebagai pola pembayaran dari BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan yaitu Rumah Sakit. Diperlukan penyesuaian tarif sesuai dengan nilai keekonomian saat ini dan memperkuat sinergisitas terkait data dan informasi, serta menyempurnakan aplikasi dan teknologi informasi untuk mempercepat proses bisnis rumah sakit, misalnya, melakukan percepatan proses klaim lewat implementasi verifikasi elektronik.

Untuk mendongkrak kepuasan peserta JKN-KIS BPJS Kesehatan, telah menjajaki kerja sama dengan WeCare melalui program Crowdfunding, untuk memperluas cakupan peserta JKN-KIS dan meningkatkan kolektabilitas iuran, khususnya dari segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), Crowdfunding merupakan suatu metode yang digunakan demi meningkatkan modal dengan cara kolektif yang berasal dari keluaraga, teman, investor, atau keluarga. Metode ini akan memanfaatkan upaya kolektif dari sejumlah individu tersebut dengan basis internet pada jadingan platform atau media sosial Crowdfunding.

Sumber:

- https://www.beritasatu.com/kesehatan/743103/ini-strategi-direksi-baru-bpjs-kesehatan-tingkatkan-mutu-layanan-jknkis 
- https://www.beritasatu.com/nasional/747385/cegah-fraud-bpjs-kesehatan-perkuat-sinergi-dengan-kpk 
- https://www.beritasatu.com/kesehatan/744513/tarif-kapitasi-dan-ina-cbgs-dinilai-perlu-penyesuaian 
- https://www.beritasatu.com/ekonomi/751259/bpjs-kesehatan-gandeng-wecare-optimalkan-program-crowdfunding

 

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia diterapkan melalui program Kendali mutu dan kendali biaya. Program ini diamanatkan untuk mengedepankan pelayanan yang efektif dan efisien. BPJS Kesehatan bertanggung jawab memastikan hal ini melalui pembentukan tim kendali mutu dan kendali biaya (TKMKB) di rumah sakit. Pembentukan TKMKB dilegalkan melalui Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 tentang penerapan kendali mutu dan kendali biaya dalam program JKN. Regulasi tersebut menyebutkan bahwa TKMKB di rumah sakit beranggotakan komite medis, dengan tugas melakukan audit medis.

Sejak diberlakukan peraturan tersebut tahun 2016, belum pernah ada kajian tentang implementasi audit medis oleh TKMKB. Working Paper yang diterbitkan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM tahun 2018 menyebutkan implementasi audit medis mengalami kendala karena adanya TKMKB lebih bersifat sebagai auditor yang mencari kesalahan tenaga kesehatan, kesengganan sesama profesi melakukan audit, keterbatasan sumber daya manusia, ketidaktahuan tentang tugas dan ketidaktahuan cara melakukan audit.

Audit sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan melalui peninjauan sistematis pada alur tata laksana pasien. Dengan kata lain, membandingkan apa yang kita lakukan dengan apa yang harus dilakukan melalui standar nasional atau internasional (Mirzaei, 2011), sehingga keterlibatan medis memainkan peran penting dalam mendukung pencapaian budaya yang bermutu di rumah sakit untuk mendukung UHC (Atkinson, 2011).

Kajian yang dilakukan oleh penulis di enam provinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Bengkulu pada tahun 2019. Melibatkan TKMKB teknis yang dibentuk oleh BPJS Kesehatan di rumah sakit dengan menggunakan pendekatan realis evaluasi. Data dianalisa melalui tiga fase, yaitu: 1) identifikasi teori program yang mendasari kebijakan kendali mutu dan kendali biaya, 2) pengujian teori program dan 3) penyempurnaan teori program. Teori program dikembangkan melalui pendapat ahli, dokumen program, diskusi formal, FGD dengan pemangku kepentingan terkait. Temuan dianalisa menurut formula realis evaluasi dalam bentuk Context, Mechanism, dan Outcome (CMO) yang menjelaskan hasilnya, dan berdasarkan temuan yang ada dilakukan penyempurnaan teori dalam meningkatkan implementasi kebijakan KMKB dengan merinci apa yang berhasi (hasil), bagaimana caranya (mekanisme) dan dalam kondisi apa (konteks).

Berikut ini hasil penelitian yang dilihat dari beberapa tahapan, yakni;

Tahap I. Identifikasi Teori Program

Kebijakan kendali mutu dan kendali biaya disusun mengacu pada quality care framework dari Donebedian yaitu standar input, proses, dan output. Komponen kebijakan audit medis mengacu pada Permenkes No.755/2011 menjelaskan bahwa, subkomite mutu profesi melakukan audit medis untuk memelihara mutu profesi staf medis komite medik. Selain itu, komponan ini juga berdasarkan pada Peraturan BPJS Kesehatan No.8/2016 menjelaskan bahwa Tim KMKB berasal dari komite medis dari setiap rumah sakit yang ada di wilayah kerja BPJS Kesehatan.

Tahap II. Pengujian Teori Program

Tabel 1. Rumusan CMO Hipotesis Kebijakan Kendali Mutu dan Kendali Biaya

tb1

*didapat dari pengembangan program teori dan hasil wawancara para stakeholder yang dilaksanakan pada penelitian tahun 2019.

Tahap III. Hasil Pengujian Teori Program dan Penyempurnaan Teori Program (Result)

Secara umum tugas audit medis sudah berjalan di semua lokasi penelitian karena TKMKB berasal dari komite medis. Komite medis memiliki aspek legal melakukan audit medis, namun di Jawa Tengah audit medis belum optimal di salah satu RS karena pihak manajemen rumah sakit tidak memberikan wewenang kepada TKMKB melaksanakan tugas. Kuotasi dari provinsi:

“…Kita (TKMKB Pusat) akan kontak TKMKB teknis, mereka punya aspek legal melakukan audit…”(TKMKB Pusat).
“…Audit medis belum karena kami tidak diberi wewenang oleh direksi …” (RS Swasta).

Uraian kuotasi di atas, kemudian dihimpun untuk diidentifikasi CMO alternatif yang muncul pada pengumpulan data, hasil disajikan sebagai berikut:

Tabel Konfigurasi CMO Hasil Penelitian (Alternatif) Kebijakan KMKB

tb3

Ross et al (2017) menyebutkan bahwa sebelum melakukan audit, tenaga kesehatan mempunyai anggapan yang tidak baik tentang audit seperti audit mengancam kinerja, tidak dapat sharing pengetahuan, dan tidak mempunyai tujuan jelas. Namun setelah mereka terpapar audit, ada perubahan pemahaman. Mereka mempunyai beberapa pemahaman bahwa Audit Klinis dapat meningkatkan pelaporan, validasi kompetensi profesional, tujuan audit jelas, umpan balik auditor bermanfaat ketika berdiskusi membahas temuan audit, media sharing pengetahuan, memperbaiki kepribadian dan prilaku, dapat mewakili kebutuhan tenaga medis. Pemahaman tidak baik tentang audit medis juga terjadi di lokasi penelitian, TKMKB tidak melakukan audit medis karena pihak manajemen tidak mempunyai pemahaman yang cukup tentang audit medis.

Audit medis bukan satu-satunya upaya Kendali mutu dan kendali biaya yang dilakukan RS di Indonesia saat ini, ada yang lain seperti peyusunan, penerapan dan impelemnetasi clinical pathaywas, seperti menurut Mukti (2007) bahwa beberapa aktifitas yang dapat dilakukan untuk pencapaian mutu antara lain utilization review (UR), audit medis, clinical pathway, peer review dan algoritma.

TKMKB di rumah sakit mempunyai akses data di setiap rumah sakitnya masing-masing. Menurut WHO, akses terhadap data dan kemampuan analisa data UHC di tingkat nasional maupun regional sangat penting untuk monitoring keberhasilan UHC (Tracking Universal Health Coverage: First Global Monitoring Report, World Health Organization 21 Jul 2015). Hal ini tidak terjadi di lokasi penelitian, kegiatan akses dan pengolahan data untuk audit medis dilakukan oleh TKMKB di rumah sakit berdasarkan temuan BPJS Kesehatan, sehingga hasil audit TKMKB di rumah sakit dgunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk perbaikan. Kompetensi olah data dapat didukung oleh aplikasi pengolah data, seperti aplikasi yang dapat memvisualisasikan hasil olah data mulai dari proses pengumpulan, cleaning, analisis, dan berbagi data (Inseok, 2017).

Pelaksanaan audit medis dilakukan oleh TKMKB yang sebagian besar merupakan anggota komite medis di rumah sakit yaitu dokter, mereka merasa mempunyai kemampuan melakukan audit medis karena ada aspek legal yang mengatur. Sehingga peraturan BPJS Kesehatan nomor 8 tahun 2016 yang menyatakan bahwa TKMKB berasal dari komite medis merupakan hal yang tepat karena mereka memiliki kemampuan melakukan AM. Dokter memegang peranan penting dalam peningkatan mutu pelayanan. Kepemimpinan yang dimiliki oleh dokter merupakan kontribusi penting tetapi tidak eksklusif untuk memimpin peningkatan kualitas dalam perawatan kesehatan. Tetapi ada juga pengaruh dari budaya organisasi, pengembangan tim dan mikrosistem dan teknologi informasi (Dickinson, 2013).

Audit medis memberi manfaat banyak, antara lain: mengidentifikasi dan mengukur area risiko dalam pelayanan, menilai mutu layanan yang diberikan kepada pasien, memberikan peluang untuk meningkatkan kepuasan kerja, menciptakan budaya peningkatan mutu klinis, meningkatkan kualitas dan efektifitas layanan kesehatan (Quality and Patient Safety Directorate, 2017). Data audit medik juga digunakan untuk utilisasi penggunaan obat per penyakit sehingga dapat mengurangi penyalahgunaan antibiotik dan penggunaan berlebihan (FarooquiI et al, 2019).

Referensi

  • Atkinson, S., Spurgeon, P., Clark, J., and Armit, K. (2011). Engaging Doctors: What Can We Learn From Trusts With High Levels of Medical Engagement? UK: NHS Institute for Innovation and Improvement and Academy ofMedical Royal Colleges.
  • BPJS Kesehatan. (2016). Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 8 Tahun Tentang Penerapan Kendali Mutu Dan Kendali Biaya Pada Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
  • Dickinson, H., Ham, C., Snelling, I., and Spurgeon, P. (2013). Are We There Yet? Models of Leadership and Their Effectiveness: An Exploratory Study. London: NHS National Institute for Health Research.
  • FarooquiI, H.H., Mehta, A., Selvaraj, S. (2019). Outpatient Antibiotic Prescription Rate and Pattern in The Private Sector in India: Evidence From Medical Audit Data. PLOS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0224848 November 13, 2019 1 / 11
  • Inseok Ko, M. S., and Hyejung, C. (2017). Interactive Visualization of Healthcare Data Using Tableu. Health Inform Res. Published online October 31. https://doi.org/10.4258/hir.2017.23.4.349.
  • Mirzaei, S., Maffioli, L., and Hilson, A. Clinical Audit in Nuclear Medicine. Eur J Nucl Med Mol Imag 2011. DOI 10.1007/s00259-010-1605-z.
  • Mukti, G. A. (2007). Good Governance dalam Pembiayaan Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Manajemen Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan UGM.
  • Tezuka K. Physicians and Professional Autonomy. (2014). Japan Medical Association Journal. Vol.57, No.3.
  • TKMKB Nasional. (2015). Buku Petunjuk Teknis Kendali Mutu dan Kendali Biaya Program JKN. Jakarta: BPJS Kesehatan.
  • Quality and Patient Safety. (2017). Practical Guide To Clinical Audit. Irlandia: Quality and Patient Safety
  • Ross, P., Hubert, J., and Wong, W.L. (2017). Reducing The Blame Culture Through Clinical Audit
    in Nuclear Medicine: A Mixed Methods Study. Journal of the Royal Society of Medicine Open; 8(2) 1–11. DOI: 10.1177/2054270416681433
  • WHO. (2015). Tracking Universal Health Coverage: First Global Monitoring Report. World Health Organization. ISBN 9241564970, 9789241564977

 

Penulis: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Pengendalian tuberculosis (TB) merupakan tantangan besar, baik secara global maupun nasional. TB merupakan penyakit menular yang menjadi salah satu dari 10 penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia. Target dan pencapaian global untuk penurunan insiden dan kematian TB telah ditetapkan sebagai bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan demi terwujudnya dunia yang sehat dan bebas TB, maka WHO mencetuskan sebuah strategi baru yang menyertai target SDGs yakni End TB Strategy.

WHO dengan End TB Strategy menargetkan mampu menurunkan insidensi TB dan rasio kematian dari 90% kematian akibat TB menjadi 80% Penurunan kejadian TB (kasus baru dan kambuh per 100.000 penduduk per tahun) antara 2015 dan 2030. Dengan adanya berbagai intervensi yang dilakukan, diharapkan target penurunan insidensi maupun rasio kematian akibat TB hingga 100% dapat tercapai.

Data dalam beberapa tahun terakhir, WHO memperkirakan beban penyakit TB telah meningkat pesat. Secara global, 7,1 juta orang dengan TB dilaporkan mengidap baru didiagnosis dan dikonfirmasi pada 2019, naik dari 7,0 juta pada tahun 2018 dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 6,4 juta pada tahun 2017 dan 5,7–5,8 juta setiap tahun selama periode 2009–2012. Banyak negara telah meningkatkan kapasitasnya untuk dapat menemukan jumlah orang baru yang didiagnosis TB sejak 2013, (WHO, 2020).

Merujuk pada Global Tuberculosis Report WHO 2020, Indonesia masuk menjadi salah satu negara penyumbang terbesar untuk peningkatan kasus global, dan menempati peringkat kedua di dunia setelah India dalam hal perkiraan insiden kasus per tahun. Di India, kasus orang yang baru didiagnosis dengan TB meningkat dari 1,2 juta hingga 2,2 juta antara 2013 dan 2019 (+ 74%), sedangkan di Indonesia jumlahnya meningkat dari 331.703 pada 2015 menjadi 562.049 pada 2019 (+ 69%). Meskipun ada peningkatan dalam notifikasi kasus TB, masih ada kesenjangan besar (2,9 juta) antara jumlah orang baru didiagnosis dan dilaporkan, dan diperkirakan berkembang menjadi 10 juta orang dengan TB pada 2019.

Kesenjangan yang terjadi dikarenakan kombinasi tidak dilaporkannya orang yang didiagnosis dengan TB dan underdiagnosis (jika orang dengan TB tidak dapat mengakses perawatan kesehatan atau tidak didiagnosis saat mereka melakukan pelayanan). Lima negara penyumbang kesenjangan global lebih dari setengahnya yakni India (17%), Nigeria (11%), Indonesia (10%), Pakistan (8%) dan Filipina (7%).

Di negara-negara ini terutama, upaya intensif diperlukan untuk mengurangi pelaporan yang kurang dan meningkatkan akses ke diagnosis dan pengobatan, negara juga perlu meningkatkan upaya untuk meningkatkan diagnosis dan pengobatan TB, serta mencari celah yang dekat antara insiden dan notifikasi, proporsi kasus yang diinformasikan secara bakteriologis yang dikonfirmasi perlu dipantau, untuk memastikan bahwa orang didiagnosis dilakukan dengan benar dan mulai merencanakan pengobatan paling efektif sedini mungkin.

Menanggapi beberapa permasalahan di atas, berikut ini 10 rekomendasi prioritas dari Global Tuberculosis Report WHO 2020 yang diperlukan untuk mempercepat kemajuan menuju target TB global:

  1. Aktifkan sepenuhnya kepemimpinan tingkat tinggi untuk segera mengurangi kematian akibat TB dan mendorong tindakan multisektoral untuk mengakhiri TB
  2. Segera meningkatkan dana untuk layanan TB esensial termasuk tenaga kesehatan
  3. Tingkatkan cakupan kesehatan universal untuk memastikan semua orang dengan TB memiliki akses ke perawatan berkualitas yang terjangkau, dan mengatasi tantangan atas kasus TB yang tidak dilaporkan
  4. Atasi krisis TB yang resistan terhadap obat untuk menutup celah secara terus-menerus dalam pelayanan
  5. Secara terus menerus meningkatkan penyediaan pengobatan pencegahan untuk TB
  6. Mempromosikan hak asasi manusia dan memerangi stigma dan diskriminasi
  7. Pastikan keterlibatan yang berarti dari masyarakat sipil, komunitas dan orang yang terkena TB
  8. Secara substansial meningkatkan investasi dalam penelitian TB untuk mendorong terobosan teknologi dan penggunaan inovasi yang cepat
  9. Memastikan bahwa pencegahan dan pelayanan TB dilindungi dalam konteks COVID-19 dan ancaman lain yang muncul
  10. Meminta WHO untuk terus memberikan kepemimpinan global untuk merespon TB, bekerja sama erat dengan Negara Anggota dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk untuk mempersiapkan pertemuan tingkat tinggi tentang TB pada tahun 2023 yang selaras dengan pertemuan sidang tingkat tinggi tentang jaminan kesehatan universal yang juga akan diadakan pada tahun 2023.

Secara khusus Indonesia juga telah memiliki rencana aksi program TB Kementerian Kesehatan RI tahun 2020-2024 untuk menjamin akses ke diagnosis dan pengobatan tuberculosis meliputi, yakni: 1) Meningkatkan cakupan deteksi kasus kelompok risiko (individu kontak dengan penderita, pasien HIV/ADS, pasien diabetes, perokok, penjara, hunian padat). 2) Memperkuat Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) dengan mensinergikan puskesmas, rumah sakit (pemerintah dan swasta), klinik, dan dokter praktik mandiri, diperlukan tata kelola yang kuat oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. 3) Meningkatkan cakupan penemuan kasus dan pengobatan pada MDR TB sehingga dengan berjalannya kegiatan tersebut dapat Menurunnya insidensi TB menjadi 190 per 100.000 penduduk pd tahun 2024 dan mencakupan penemuan dan pengobatan TBC (TBC treatment coverage) sebesar 90%.

Sumber:

  • World Health Organization (WHO), 2020, Global Tuberculosis Report, Geneva
  • Kementerian Kesehatan R.I, 2020, Rencana Aksi Program (RAP) tahun 2020-2024, Jakarta

 

 

Kementerian kesehatan pada tahun 2017 telah mengeluarkan Permenkes No 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di fasilitas layanan kesehatan, Permenkes tersebut ditujukan untuk seluruh fasilitas layanan kesehatan baik FKTP maupun Rumah Sakit, tanpa terkecuali milik pemerintah maupun swasta. Pada pasal 3 ayat (4) Permenkes tahun 2017 menyebutkan bahwa PPI mencakup infeksi terkait pelayanan kesehatan (HAIs) dan infeksi yang bersumber dari masyarakat. Meskipun PPI yang terkait dengan HAIs cukup detil, namun belum dibedakan antara FKTP dan Rumah Sakit. Sementara itu, PPI yang bersumber dari masyarakat belum diatur secara rinci baik bentuk program maupun kegiatannya.

Seperti yang diketahui bahwa Prinsip penerapan PPI di fasilitas pelayanan kesehatan berlaku sama, namun karena adanya perbedaan ketersediaan sumber daya manusia, kompetensi dan kewenangan, ketersediaan alat kesehatan, sarana dan prasarana, pembiayaan, lingkungan, sasaran maupun pelaksanaan kegiatan maka penatalaksanaannya perlu penyesuaian, oleh karena itu dalam pedoman teknis PPI ini, aspek tersebut akan di bahas secara detil agar dapat menjadi acuan kegiatan bagi FKTP, khususnya puskesmas yang pelayanannya bukan hanya fasilitas layanan kesehatan (dalam gedung) tapi juga memberikan pelayanan di fasilitas luar gedung, atau langsung di masyarakat.

Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, maka direktorat mutu dan Akreditasi pelayanan kesehatan, kementeria kesehatan bekerjasama dengan para pakar pencegahan danpengendalian infeksi, lintas program terkait menganggap penting untuk menyusun pedoman teknis pencegahan danpengendalian infeksi di FKTP. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua FKTP dalam menerapkan PPI sebagai bagian dalam upaya memberikan pelayanan yang bermutu, sesuai standar, mengutamakan keselamatan pasien, petugas dan masyarakat menuju terwujudnya UHC yang bermutu di 2030

file buku pedoman