Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

Universal health coverage di Indonesia akan di mulai tahun 2014, yang artinya tersisa dua bulan lagi semua warga negara berhak atas pelayanan kesehatan. Dan dengan disahkannya UU SJSN dan BPJS, kebutuhan pelayanan kesehatan akan mengarah pada pelayanan kesehatan primer. Selain itu, Keputusan Menteri Kesehatan No 21 Tahun 2011, salah satu fokus rencana strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 adalah peningkatan dan penguatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar seperti melalui dokter keluarga/dokter layanan primer. Sehingga akan menyebabkan pemenuhan kebutuhan jumlah dokter layanan primer. Harapannya dokter layanan primer dapat terdistribusi merata untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Menurut persentasi Prof.dr.Ali Ghufron Mukti.,MSc,PhD pada April 2013 lalu menjelaskan bahwa jumlah dokter umum untuk kebutuhan di rumah sakit tahun 2012 sebanyak 11.669 orang dengan kebutuhan di tahun 2014 sebesar 16.020 orang. Sehingga masih kurang 4.351 orang di era SJSN tahun depan. Namun, dengan jumlah fakultas kedokteran sebanyak 72 yang tersebar di Indonesia ini, dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter di 2014 yang diasumsikan dengan mendayagunakan lulusan yang ada (perkiraan lulusan dokter sampai dengan tahun 2014 sebesar 20.817 orang).

Kebutuhan dokter di era SJSN nantinya adalah dokter yang tidak hanya berfungsi kuratif namun juga preventif dan promotif. Dan konsep tersebut merupakan konsep dokter keluarga. Program dokter layanan primer/dokter keluarga merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis (tercantum dalam UU No 20 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran pasal 8 ayat 3). Dengan kata lain, dokter keluarga adalah dokter praktik umum yang memperoleh pendidikan tambahan khusus melalui program CME/CPD dan penerapan praktiknya di tempat pelayanan kesehatan primer. Berikut jenjang pendidikan dokter yang salah satunya adalah dokter keluarga

art-28okt-1

Ciri dokter keluarga adalah (1) menjadi kontak pertama dengan pasien dan memberi pembinaan berkelanjutan (continuing care); (2) Membuat diagnosis medis dan penangannnya; (3) Membuat diagnosis psikologis dan penangannya; (4) Memberi dukungan personal bagi setiap pasien dengan berbagai latar belakang dan berbagai stadium penyakit; (5) Mengkomunikasikan informasi tentang pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan prognosis; (6) Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kronik dan kecacatan melalui penilaian risiko, pendidikan kesehatan, deteksi dini penyakit, terapi preventif, dan perubahan perilaku (Goroll, 2006). Apabila seorang dokter melakukan sesuai ciri-ciri tersebut maka bisa dikatakan bahwa dokter tersebut adalah dokter keluarga.

Sejarah Pendidikan Kedokteran Keluarga di Fakultas Kedokteran di Indonesia

Tahun 1979 FKUI memasukkan materi kedokteran keluarga dalam pendidikan mahasiswa kedokteran. Di Tahun 2001, semua FK (saat itu berjumlah 38) sepakat untuk memasukkan materi kedokteran keluarga di dalam kurikulum. Tahun 2003 disepakati oleh 38 FK bahwa materi kedokteran keluarga dalam tahap preklinik dan tahap klinik dan tahun 2004 disusun kurikulum berbasis kompetensi untuk seluruh Indonesia yang bertujuan meluluskan dokter primer dengan pendekatan kedokteran keluarga. Di Tahun 2012 berdirilah Konsorsium Kedokteran Keluarga Indonesia dengan pembiayaan HPEQ untuk menunjang pendidikan under dan postgraduate dokter keluarga.

Kunci Sukses Peran & Penguatan Dokter Keluarga

Untuk mensukseskan peran dokter keluarga di Puskesmas, faktor yang menjadi kunci adalah (1) kebijakan pemerintah dalam mempromosikan dokter keluarga, (2) kompetensi dan kualitas pelayanan, (3) sarana dan prasarana pelayanan, (4) penerimaan oleh perhimpunan medis, (5) sistem rujukan yang baik, (6) mekanisme untuk monitoring, (7) memperbarui kompetensi secara periodik.

Sedangkan bagi Fakultas Kedokteran, untuk bisa sukses dalam penguatan peran Dokter Keluarga di masyarakat adalah memperkuat kurikulum undergraduate dan pelatihan, Reorientasi kurikulum kedokteran preventif atau kedokteran sosial, Mengembangkan modul kurikulum dokter keluarga (berbasis masyarakat, berbasis masalah, terintegrasi, multispesialis), mengembangkan fakultas kedokteran keluarga, mengembangkan departemen kedokteran keluarga.

Rekomendasi untuk peningkatan kualitas dan kuantitas Dokter Keluarga

Pada acara Semiloka Nasional mengenai Pendidikan Dokter Spesialis dan Peran Dokter Layanan Primer pada April 2013 lalu didapatkan rekomendasi mengenai dokter keluarga berdasarkan paparan dan diskusi para peserta semiloka nasional yang meliputi

  1. Perlu adanya paparan terhadap layanan primer sejak awal dalam pendidikan dokter
  2. Pengembangan profesional melalui lembaga pendidikan formal maupun jalur lain (CPD) yang terstruktur dengan modul yang disetujui KDPI (Kolegium Dokter Primer Indonesia)
  3. Kolegium Dokter Primer Indonesia bertanggungjawab atas akreditasi penyelenggara pelatihan dan akreditasi pelatih CPD Dokter Keluarga
  4. Peranan IDI perlu ditingkatkan untuk pengembangan kualitas dokter layanan primer dan diperlukan komunikasi yang lebih erat antara KDPI dan kolegium-kolegium lainnya.

Referensi :

Prof.dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD. Semiloka Nasional : Pendidikan Dokter Spesialis dan Peran Dokter Layanan Primer. Jakarta. 29 April 2013
dr. Dhanasari Vidiawati.,MSc.CM-FM. Dokter dan dokter layanan primer : persamaan, perbedaan dan cara mencapai kompetensinya. Jakarta. 30 April 2013

Oleh: Andriani Yulianti SE.,MPH

Salah satu hal yang tidak bisa lepas dari profesi tenaga kesehatan yakni profesionalisme yang melibatkan komitmen dari tenaga kesehatan itu sendiri agar mampu memberikan perbaikan kualitas keterampilan dari waktu ke waktu. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan yakni dengan pengembangan pedoman praktek klinik. Hal ini penting untuk dilakukan karena terkadang seorang dokter merasa kesulitan untuk memilih treatment yang sesuai untuk pasien dan terkadang juga ada ketidakpastian manfaat dari beberapa macam pilihan terapi yang diketahui oleh dokter/tenaga kesehatan.

Penerapan Clinical Practice Guidelines (CPG) tidak hanya memberikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi tenaga medis namun juga dapat memberikan masukan bagi para pembuat kebijakan, lembaga asuransi, program pendidikan berkelanjutan dan dapat menghasilkan informasi yang berkualitas dalam membuat keputusan bagi pasien.

Pedoman klinik dapat dijadikan sebuah alat untuk membantu para petugas kesehatan dalam mencegah penyakit, mendiagnosa penyakit, dan memberi terapi dengan cara memberikan pedoman tentang praktek klinik yang terbaik berdasarkan pada evidence base atau melalui pendapat dari para ahli/pakar karena adanya pola penanganan yang beragam. Adapun orientasi dari Clinical Practice Guidelines itu sendiri dapat mendorong agar pelaku kesehatan dapat melakukan praktek yang terbaik sehingga mendapatkan outcome yang terbaik pula.

Menurut ferver, dkk dalam jurnal clinical practice guideline, ada beberapa metode pengembangan yang bisa digunakan yakni:

  1. Pemilihan Tema.
    Ketepatan dalam memilih tema akan berdampak positif terhadap pedoman yang digunakan. Berbeda pendekatan bisa digunakan untuk mendefinisikan tema berdasarkan kriteria berikut dibawah ini:
    1. Latihan yang berbeda
    2. Pentingnya istilah dari kesehatan masyarakat;
    3. insidensi dan berfokus pada pasien yang berpotensi.
    4. Menghindari potensi kematian
    5. situasi dimana Intervensi sudah terbukti (misalnya potensial pengurangan kematian);
    6. kebutuhan diekspresikan oleh semua yang terlibat.
  2. Pengaturan kelompok kerja
  3. Definisi yang tepat dalam menjawab pertanyaan. 
    Clinical Practice Guidelines biasanya digunakan untuk mengatur istilah situasi klinis atau penyakit yang dipertanyakan, diagnostik dan terapi intervention untuk mempertimbangkan jenis studi dan kriteria evaluasi oleh kelompok kerja yang digunakan. Clinical Practice Guidelines juga dapat mencakup evaluasi teknologi untuk menjawab pertanyaan tentang penggunaan intervensi medis dan bedah: apakah intervensi ini menawarkan keuntungan klinis dibandingkan dengan prosedur lain? Siapa yang bisa, dan mendapatkan manfaat dari intervensi ini? apakah tahap ini dilakukan? Apa yang harus dilakukan pada periode follow-up?
  4. Pencarian referensi, Bisa dilakukan dengan:
    1. Pembentukan PICO kriteria dalam rangka menginterogasi bank data, termasuk pilihan kata-kata kunci, pengertian dari pencarian periode interval, dan pilihan database.
    2. pencarian referensi di bank data, biasanya dengan MED-LINE dikombinasikan dengan Bank data lain seperti SCOPUS atau Cochrane Library. Asosiasi profesional pustakawan adalah jaminan penting kualitas dalam proses pencarian data.
    3. review, dengan para ahli, ringkasan (abstrak) untuk memilih dokumen yang relevan atau memperbaiki pencarian bibliografi
  5. Critical appraisal and methodical synthesis data: Penilaian kritis yang bertujuan untuk mengevaluasi kualitas satu persatu dari data yang tersedia pada subjek. Langkah ini menggunakan daftar item standar untuk penilaian kritis seperti berkaitan dengan jenis data keilmuan dalam data yang tersedia pada subjek (uji-coba, meta-analisis, dll).
  6. Menggunkaan rekomendasi secara bersama-sama untuk praktek klinik: Menggunakan data ilmiah untuk mengembangkan pedoman antara manfaat dan risiko dari sebuah intervensi dalam kategori kontek yang spesifik. Berdasarkan data ini, pilihan yang berbeda bisa tersedia untuk pengaturan klinis yang sama. dalam Diskusi kelompok ahli bertujuan untuk menghadapi pertentangan pendapat untuk mencapai kesepakatan mengenai pembuatan rekomendasi. Untuk memperoleh konsensus di antara para ahli sering bergantung pada diskusi kelompok (informal konsensus).
  7. External review: Kajian eksternal Clinical Practice Guidelines bertujuan untuk mencapai kelompok specialist yang besar di domain. Eksternal review meninjau proses yang memungkinkan untuk mengevaluasi kemampuan untuk dapat diterapkan dan dapat diterima dari rekomendasi dan untuk mempersiapkan masukan mereka, implementasi dan digunakan untuk masa depan pengguna.
  8. Pemaparan laporan: presentasi dari Clinical Practice Guidelines dan formulir daftar dari rekomendasi laporan yang sudah final adalah sangat penting dalam bagian ini. Laporan ini seharsunya diikuti oleh instruktur pelaksana dengan informasi mengenai metodologi yang sudah digunakan. Tenaga kesehatan lebih suka terhadap format yang pendek, data ilmiah yang sudah disintesis dan kualifikasi yang bermanfaat.
  9. Diffusion of recommendations: Clinical Practice Guidelines tersebar luas di web karena dapat mempersingkat keterlambatan publikasi di jurnal medis serta pelaksanaannya dapat menghemat banyak kertas yang diperlukan untuk menerbitkan dokumen panjang yang diperlukan untuk Clinical Practice Guidelines. Di sisi lain, CPG disebarkan hanya di Web biasanya tidak diindeks dalam referensi Bank data, seperti MEDLINE.
  10. Implementasi dari rekomendasi: Perlu untuk melaksanakan rekomendasi dan profesional dengan artikulatif rekomendasi yang lain dengan langkah peduli pada perbaikan kualitas. Mengubah praktek lebih penting dalam institusi maupun daerah setempat di mana rekomendasi dokter yang terlibat di lembaga.
  11. Evaluasi CPG: Clinical Practice Guidelines merupakan teknologi medis yang benar, sebagai tehnik dan prosedur yang digunakan oleh perawatan kesehatan profesional untuk memberikan perawatan pasien serta lingkungan di mana perawatan tersebut disampaikan. Dari sudut pandang ini, evaluasi merupakan elemen penting dalam pelaksanaan CPG. Evaluasi dapat memastikan kualitas CPG yang lebih baik.

Dampak dari evaluasi CPG

Adapun dampak dari penerapan CPG ini, dokter dapat mengikuti rekomendasi dengan lebih mudah ketika mereka tidak dilibatkan dalam perubahan organisasi besar atau competencies baru. CPG juga bertujuan untuk mengukur dampak dari praktek dan hasilnya untuk pasien dimana mereka telah mengimplementasikan. Beberapa studi telah melihat evaluasi dampak CPG. sebenarnya hanya sepertiga dari organisasi mengembangkan CPG telah menunjukkan bahwa mereka mengevaluasi pelaksanaan rekomendasi dan dampaknya secara teratur.

Dasar Pengembangan dari CPG tidak hanya untuk praktek klinik, namun juga badan pembuat kebijakan dan institusi asuransi, formasi medis ketika menghasilkan informasi dan alat untuk menaikan kualitas pembuatan keputusan untuk melayani pasien. Dan terlebih lagi dalam pengembangannya tidak ditemukan conflicts interest.

Form Penetapan Langkah-Langkah Pencarian Data Pengembangan CPG

No

Nama Organisasi

PENILAIAN

Alamat Website

Dokumen

Total

Ranking

1

 

 

 

 

 

2

 

 

 

 

 

3

 

 

 

 

 

4

 

 

 

 

 

5

 

 

 

 

 

Setelah ditentukan pencarian data yang paling baik untuk pengembangan CPG perlu mengetahui hal sebagai berikut:

  1. Kekuatan dari evidance: level dari evidance yang paling tinggi adalah hasil pencarian secara acak yang berasal dari pendapat para ahli.
  2. Kemampuan untuk dapat diaplikasikan dari penelusuran dokumen yang didapatkan.
  3. Fleksibilitas: harus ada indentifikasi pada pasien yang bagaimana keadaan-keadaan tertentu dapat dikecualikan.
  4. Kejelasan, tidak menggunakan istilah yang aneh, harus jelas dan mudah dimengerti.
  5. Apakah topik atau dokumen yang dipenting dalam arti untuk mengembangkan proses outcome pelayanan medik
  6. Apakah ada potensi perbaikan?
  7. Apakah perubahan atau pencarian referensi yang terpilih akan menguntungkan pasien?
  8. Dapatkah perubahan diketahui dapat diimplementasikan.

Referensi:

Fervers B dkk, (2010) Clinical practice guidelines, Jurnal of visceral surgery 147

Oleh : Eva Tirtabayu SKep.,MPH

Clinical guideline merupakan laporan sistematis yang dikembangkan untuk membantu praktisi dalam membuat keputusan tentang perawatan yang tepat untuk keadaan klinis tertentu, alat-alat yang dioperasionalkan pelaksanaannnya berbasisi bukti dan meningkatkan kualitas pelayanan. Jurnal ini akan membahas tentang clinical guideline mulai dari manfaat, cara mengembangkan clinical guideline, guideline appraisal, diseminasi dan implementasi clinical guideline.

Manfaat clinical guideline:

  1. Bagi profesional kesehatan.
    Manfaat utama clinical guideline bagi profesional klinis adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan diberikan kepada customer, mengembangkan skill, mengumpulkan, menilai dan menafsirkan temuan penelitian, memberikan rekomendasi eksplisit tentang diagnosis dan pengobatan penyakit tertentu, menawarkan nasihat tentang berbagai masalah klinis, dan menyediakan kerangka perawatan yang akan di evaluasi.
  2. Bagi pasien.
    Pedoman klinis sering disertai dengan versi konsumen, misalnya dalam bentuk leaflet, video atau kaset audio. Pedoman klinis berguna untuk memberdayakan konsumen untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan mempengaruhi kebijakan publik.
  3. Untuk sistem pelayanan kesehatan
    Pedoman klinis bagi sistem pelayanan kesehatan berguna untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan nilai, mengurangi pengeluaran rumah sakit, misalnya berkaitan dengan biaya operasi seperti obat.

Clinical guideline dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, developing guidelines dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu evidence for guidelines dan mendesign pedoman. Pengembangan clinical guideline disesuaikan dengan evidence based yang ada sehingga dihasilkan pedoman yang valid. Pedoman yang valid merupakan prasyarat penting untuk peningkatan kualitas pelayanan. Dan Kepatuhan staf terhadap pedoman menjadi kunci utama outcome yang bagus/ sesuai dengan harapan konsumen. Pedoman harus dilakukan penilaian tentang kelayakannya, apakah masih sesuai evidence based atau tidak. Di Inggris penilaian pedoman dilakukan oleh penilai pusat NHS dan dapat juga dilakukan oleh organisasi sendiri dengan menggunakan alat penilaian seperti yang dikembangkan oleh Cluzeau dan Littlejohns.

Meningkatkan kesadaran, memberikan pemahaman sampai dengan menerima informasi merupakan proses dalam pembuatan guideline, hal inilah yang disebut dengan diseminasi. Metode komunikasi yang aktif antar sesama tenaga kesehatan menjadi sarana yang penting untuk keberhasilan diseminasi. Setelah diseminasi berhasil maka terus dilakukan implementasi clinical guideline. Implementasi guidline di rumah sakit tidak sepenuhnya berjalan mulus karena ada beberapa faktor yang menjadi hambatan, diantaranya adalah: budaya, sumber daya untuk implementasi dan pengembangan pedoman, kurangnya informasi, dan kebebasan klinis. Penyusunan guideline / pedoman, harus di anggap sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan baik medik maupun klinik. Oleh karena itu dalam implementasinya kelak harus diupayakan proses audit yang berlangsung secara ongoing, hal mana terlihat pada bagan dibawah ini :

art-21okt13

Tidak ada yang bisa memastikan penggunaan pedoman dalam praktik oleh tenaga medis dan klinisi. Untuk mengatasi hambatan dalam mengimplementasikan pedoman maka dilakukan: (1) dianjurkan, misalnya penggunaan komputer yang disarankan untuk upaya meningkatkan penggunaan praktik pedoman klinis. (2) melalui strategi pendidikan, pendekatan pendidikan melalui lokakarya atau seminar bila hambatannya berhubungan dengan pengetahuan tenaga profesional. (3) kontak pribadi dalam memperkenalkan pedoman agar diterima oleh tenaga medis dan tenaga klinis memang harus dilakukan pendekatan secara personal , hal ini untuk memberikan komunikasi dan pehaman kepada pihak yang terkait untuk mengimplementasikan pedoman.

Implementasi paling banyak dilakukan oleh keperawatan, hal ini terjadi karena Perawat adalah tenaga profesional yang paling banyak bekerja di rumah sakit. Keperawatan merupakan tenaga kerja profesional terbesar di Inggris dan begitu juga di negara lainnya. Clinical guideline membuktikan bahwa perawat bekerja didasarkan dengan bukti klnis. Dengan adanya guideline maka perawat dapat bekerja dan menghasilkan temuan-temuan baru yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Implementasi pedoman harus dievaluasi untuk mengetahui seberapa jauh pedoman dilaksanakan. Evaluasi pedoman dilakukan dalam tiga poin kunci yaitu peer review eksternal dirancang untuk membangun validitas, uji coba selama tahap pengembangan dan evaluasi berkelanjutan yang dilakukan setelah pedoman diimplementasikan secara klinis.

Clinical guideline sangat penting untuk menjaga kualitas pelayanan rumah sakit. Dengan pedoman yang dibuat sesuai dengan evidance based dan dengan komitmen klinisi terhadap implementasi clinical guideline maka akan dihasilkan pelayanan rumah sakit yang aman, efektif dan efisien.

Sumber:

Miller M.,Keraney N. 2003. Guidelines for clinical practice: development, dissemination and implementation. Department of Nursing and Midwifery, Cancer Care Research Centre, University of Stirling, Stirling FK9 4LA, UK.

Reportase Simposium Internasional, ditulis oleh Armiatin SE, MPH

Symposium on Research, Policy & Action to Reduce the Burden of Non-Communicable Diseases, telah diselenggarakan pada Kamis (26/09/2013) di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 200 peserta dari kalangan mahasiswa dan profesional di Indonesia maupun luar negeri. Acara dibuka secara resmi oleh Dekan FK UGM, Prof . Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B (K) Onk. Berikut reportase acara tersebut.

Sesi 1: NCDs, Health and Development agenda

Tema yang diangkat pada sesi pertama Simposium Internasional tentang Penelitian Kebijakan, dan aksi pengurangan penyakit tidak menular ini adalah NCDs, Health and Development. Sesi ini menghadirkan dua pemateri yaitu dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD dan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH. Presentasi pertama disampaikan oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc, PhD yang menyoroti tentang masih banyaknya masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia, adanya pembangunan Millennium Development Goals 4 dan 5 juga tidak cukup mengatasi berbagai masalah lapangan kerja yang produktif, kekerasan terhadap perempuan, perlindungan sosial, ketimpangan, penyingkiran sosial, keanekaragaman hayati, malnutrisi dan peningkatan penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi dan kompleksitas yang berkaitan dengan dinamika demografi, perdamaian dan keamanan, pemerintahan, supremasi hukum dan hak asasi manusia. Terkait hal tersebut terdapat empat dimensi pembangunan berkelanjutan yang direncanakan untuk kedepannya yaitu pembangunan nasional, inklusi sosial, kelestarian lingkungan dan pemerintahan yang baik.

Pemaparan kedua disampaikan oleh Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH, Menurutnya ada banyak agenda-agenda kedepan yang akan di kerjakan di Indonesia. Muncul delapan fokus prioritas nasional untuk kesehatan yaitu 1) meningkatkan kesehatan ibu dan keluarga, 2) perbaikan gizi, 3) CD dan NCD kontrol, kesehatan lingkungan, 4) meningkatkan tersedianya, keterjangkauan, keamanan, kualitas, makanan dan obat, 5) Jamkesmas, 6) pengembangan, bencana dan krisis manajemen komunitas, dan 7) meningkatkan layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier. Dari kedelapan fokus prioritas tersebut pengurangan penyakit tidak menular masuk dalam prioritas ketiga, menurut data Riskesdas penyakit tidak menular di Indonesia masih tinggi. Stroke masih menjadi penyebab utama kematian di Sumatera dan Jawa. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang telah membuat perencanaan untuk prioritas tersebut. Pernyataan Dr. drg. Theresia Ronny Andayani, MPH ini disambut meriah oleh peserta yang hadir dengan tepuk tangan.

Sesi 2: Hubungan Perubahan Iklim dengan Penyakit Tidak Menular

Sesi kedua, pembahasan lebih banyak tentang hubungan dan dampak perubahan cuaca terhadap penyakit tidak menular. Secara signifikan penyakit tidak menular meningkat seiring peningkatan temperatur suhu bumi. Perubahan iklim juga menyebabkan banyaknya korban dan kematian akibat bencana. Begitu juga dengan upaya pencegahan perubahan iklim pada sektor lain memperlihatkan penurunan angka penyakit tidak menular.

Prof. Dr. Rainer Sauerborn dari Universitas Heildelberg, Jerman memaparkan secara jelas bagaimana perubahan cuaca berhubungan dengan penyakit tidak menular. Hal ini merupakan tantangan dari penelitian dan kebijakan kesehatan karena perubahan apapun yang terjadi untuk menangani perubahan iklim akan berdampak bagi sektor kesehatan.

Kasus penyakit yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim di Indonesia dipaparkan oleh Prof. Dr. Hari Kusnanto dari Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada. Contohnya, peningkatan permukaan suhu laut berdampak pada kehidupan nelayan dan keluarganya. Begitu juga dengan kekeringan yang terjadi akhir-akhir ini berdampak pada meningkatnya penyakit tidak menular dan kasus kurang gizi.

Sesi 3: Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD)

Sesi ini di awali oleh permainan Piano Prof. Dr Rainer Sauerborn. Peserta sangat terhibur dengan adanya permainan piano tersebut. Setelah itu acara dilanjutkan kembali, pada sesi ini ada 2 pembahas yaitu Dr. dr. Hernani Djarir, MPH dan dr. Prima Yosephine , kedua pembahas ini menyoroti Strategi Strategi Sektor Kesehatan untuk Mencegah dan mengendalikan Non-Communicable Diseases (NCD).

Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena NCD (63 % dari seluruh kematian) dan hampir setengah (14 juta) kematian NCD terjadi sebelum usia 70 tahun. Penyebab kematian terbesar NCD adalah kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis dan diabetes yang hampir 80 % kematian NCD ini terjadi di Negara berpenghasilan rendah dan menengah dan sebagian besar bisa dicegah. Dampak negative dari epidemic NCD ini ternyata menimbulkan dampak yang serius bagi kehidupan masyarakat seperti mengurangi produktivitas dan berkontribusi terhadap kemiskinan. Sehingga NCD menciptakan beban yang cukup signifikan terhadap system kesehatan dan beban ekonomi pada suatu Negara.

Tiga pilar strategi Dunia untuk mencegah dan mengendalikan NCD adalah dengan surveillance (melakukan pemetaan epidemic dari NCD), prevention (mengurangi tingkat paparan faktor risiko) dan management (memperkuat pelayanan kesehatan untuk penderita NCD). Lalu bagaimana strategi Indonesia mencegah dan mengendalikan NCD?

Tantangan dalam mencegah dan mengendalikan NCD di Indonesia adalah (1) kesenjangan layanan (upaya untuk mengontrol NCD belum difokuskan dan masih terfragmentasi, terbatasnya akses di daerah pedesaan dan masyarakat miskin); (2) kesenjangan system kesehatan (alokasi anggaran kesehatan yang terbatas, tidak tepat waktu, tidak proposional dan tenaga kesehatan yang tidak memadai, terlatih dan tidak cukup diberdayakan); dan (3) Kesenjangan kebijakan (sector program yang distorsi (tidak efisien) dan berlebihan; pemerintah daerah yang belum berorietasi pada skala prioritas (seperti MDGs) berdasarkan rencana anggaran).

Kebijakan kesehatan yang telah dibuat Pemerintah Indonesia sebagai salah satu cara mencegah dan mengendalikan NCD meliputi

  1. PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan
  2. Permenkes No 28 Tahun 2013 tentang pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan produk tembakau
  3. Permenkes No 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman informasi kandungan gula, garam dan lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji guna menekan konsumen dari penyakit tidak menular

Indonesia melakukan pencegahan dan pengendalian NCD dengan multi sektoral yaitu (1) mengurangi factor risiko yang dimodifikasi melalui intervensi yang cost-effective; (2) mengembangkan dan memperkuat kegiatan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian factor risiko NCD. Program NCD yang dilakukan seperti (1) promosi kesehatan melalui pos pembinaan terpadu pada masyarakat yaitu menjelaskan perilaku hidup sehat (tidak merokok, makan makanan yang sehat, melakukan aktivitas yang sehat); (2) pengendalian terpadu pada factor risiko NCD (hipertensi, perokok, obesitas) melalui dokter keluarga dan puskesmas; (3) rehabilitasi pada kasus NCD melalui home care, monitoring & controlling.

Kesimpulannya untuk melawan NCD perlu tindakan yang cepat dan kepemimpinan yang kuat di tingkat global, regional dan nasional.

Sesi 4: Peningkatan Tanggung jawab Sistem Kesehatan terhadap Penyakit Tidak Menular

Sesi terakhir ini mengalir dalam pembahasan mengenai respon sistem kesehatan menangani ancaman penyakit tidak menular. Dimoderatori langsung oleh Prof. Laksono Trisnantoro, diskusi tentang penilaian Dr.Krishna Hort (Nossal Institute, Universitas Melbourne, Australia) terhadap sistem kesehatan Indonesia langsung dikomentari oleh Dr. Soewarta A Kosendari perwakilan Kementerian Kesehatan.

Dampak peningkatan penyakit tidak menular akan memperbanyak kerja enam komponen sistem kesehatan. Misalnya, pembiayaan kesehatan akan meningkat dengan berulangnya pengobatan penyakit tidak menular. Selain itu mampukah pelayanan kesehatan dan sumberdaya kesehatan kita dalam menyikapi penyakit tidak menular yang penanganannya berbeda dengan penyakit menular. Misalnya, masih sulitnya tenaga kesehatan dalam menentukan penyebab dari penyakit tidak menular.

Dalam presentasinya, Dr. Krisna Hort menunjukkan tools untuk mengukur kesiapan sistem kesehatan suatu negara menghadapi penyakit tidak menular. Bangladesh dan Fiji menjadi negara yang telah dinilai dan hasilnya mereka masih pada fase kedua yang baru menapaki masa pelaksanaan. Bagaimana dengan Indonesia? Selengkapnya silahkan simak materi Dr. Krisna Hort dan tanggapan mengenai penelaian tersebut simak pada materi Dr. Soewarta A. Kosen.

materi acara bisa di Klik disini