Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Menyambut Hari Kesehatan Nasional Tahun 2013 :
Masyarakat Sehat, JKN Bermanfaat

Oleh : dr. Sitti Noor Zaenab M.Kes

Selasa, 12 November 2013 bangsa Indonesia merayakan Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang ke 49. Namun bagaimana gaung dari HKN ini bagi bangsa Indonesia keseluruhan? Setidaknya pada hari tersebut, masing-masing pribadi atau kelompok masyarakat melakukan instropeksi: Bagaimana kondisi kesehatan masyarakat pada saat ini? Apakah menjadi lebih baik atau lebih jelek dari tahun kemarin? Bagaimana pula prediksi untuk tahun yang akan datang? Bagaimana kita akan melakukan perubahan? Sehingga pada peringatan HKN tahun depan sudah banyak perbaikan yang didapat.

Sebagaimana diamanatkan UU No 36/2009 tentang Kesehatan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis . Mencermati definisi ini, rasanya sulit untuk mencapai sehat 100%, tetapi yang penting adalah bagaimana upaya untuk mencapai kondisi ideal tersebut.

Tema HKN tahun ini masih sama dengan tahun lalu yaitu INDONESIA CINTA SEHAT, tetapi dengan sub tema menitikberatkan pada jaminan kesehatan nasional (JKN), yaitu: MASYARAKAT SEHAT, JKN BERMANFAAT. Menurut Menkes, melalui tema ini diharapkan semua pihak termasuk tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dapat berbenah dan mempersiapkan diri untuk memberikan pelayanan yang terbaik melalui kemudahan akses dan mutu pelayanan kepada masyarakat Indonesia.

Kita patut bersyukur bahwa pembiayaan kesehatan telah dipikirkan oleh para pengelola bangsa ini, dahulu berbicara tentang biaya seakan "tabu", yang sering dibahas hanya pelayanan kesehatan saja, sehingga terjadi ketimpangan. Bagaimana bisa memberikan pelayanan yang bermutu tanpa disertai sistem pembiayaan yang jelas? Sekarang sistem pembiayaan telah mulai menampakkan bentuknya, tetapi bagaimana mutu pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan? Apakah juga akan meningkat secara bermakna?

Kita ambil contoh salah satu indikator derajad kesehatan masyarakat (DKM) adalah angka kematian ibu (AKI). Banyak upaya yang dilakukan untuk menekan AKI misalnya: mencetak tenaga dokter spesialis obstetri dan ginekologi, mencetak banyak bidan (di mana-mana ada akademi kebidanan), program bidan desa, berlomba-lomba mendirikan RS , pengadaan alat-alat canggih yang mahal-mahal, pengadaan obat-obatan, pengadaan ambulance, program Jamkesmas, Jampersal, program pemberdayaan masyarakat, dll.

Dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sangat terkenal konsep mencegah "3 T (Terlambat)" untuk mengurangi AKI yaitu: 1. Terlambat pengambilan kebijakan di tingkat keluarga/masyarakat; 2. Terlambat transportasi untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan; 3. Terlambat mendapatkan pelayanan yang adekuat di sarana pelayanan kesehatan. Di daerah-daerah dengan tingkat pendidikan rendah dan relatif belum maju "Terlambat 1" mendominasi, di daerah dengan geografis sulit dan transportasi sulit "Terlambat 2" banyak terjadi. Kedua hal tersebut bisa dipahami tetapi bagi pasien yang sudah bisa mengakses sarana pelayanan dengan cepat dan tepat mengalami kematian juga karena di sarana pelayanan kesehatan tersebut (misal RS), dokter jaga tidak terampil menangani kasus kegawatdarutan obstetri, tidak ada dokter obsgyn yang siap memberi pelayanan yang cepat dan tepat, tim operasi tidak lengkap, tidak tersedia darah, dll (Terlambat 3).

Di daerah seperti Papua kematian ibu banyak terjadi di masyarakat (hulu) karena belum sempat dirujuk, di NTT kematian di masyarakat masih ada tetapi kematian di RS mulai banyak, sedang di Jawa seperti DIY kematian hampir semuanya terjadi di RS (97%, di hilir), dan sebanyak 60% kematian tersebut sebenarnya bisa dicegah (data: hasil AMP DIY 2012). Yang terjadi hanyalah perpindahan tempat kematian, seharusnya dengan banyaknya SDM dan sarana kesehatan seharusnya kematian yang bisa dicegah tersebut tidak perlu terjadi lagi. Ada apa sebenarnya? Sebuah sistem rujukan yang baik harus dibangun, dan "mutu pelayanan di RS" harus mendapat perhatian serius dan sungguh-sungguh dari semua pemangku kepentingan, bukan hanya menjadi slogan kosong yang mudah tertiup angin.

Kita harus percaya bahwa sudah banyak upaya yang dilakukan kemenkes, pemda, dan jajarannya untuk menurunkan/mencegah AKI, tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Upaya-upaya tersebut mungkin tidak terintegrasi dan terkoneksi dengan baik satu sama lain dalam 1 konsep yang jelas mulai hulu ke hilir dan lintas fungsi. Masing-masing membangun sistem sesuai tupoksinya masing-masing (misal: sistem pembiayaan dibangun sendiri oleh yang mengurusi pembiayaan, sistem klinis dibangun sendiri oleh para klinisi, sistem manajemen dibangun oleh para manajer KIA, sistem informasi dibangun oleh bagian IT, dll) dan semuanya menghabiskan dana yang tiada sedikit. Sewaktu sistem-sistem tersebut diimplementasikan di lapangan terjadilah kekacauan karena tidak selalu seiring sejalan, yang pusing adalah para pelaksana di lapangan. Seharusnya sistem-sistem tersebut menjadi sub sistem dari sebuah konsep penurunan/pencegahan AKI, yang saling mendukung dan terkoneksi dengan baik satu sama lain.

Sesuai tujuan umum peringatan HKN Ke-49 adalah untuk mengenalkan JKN kepada seluruh rakyat Indonesia sehingga masyarakat dapat memperoleh manfaat kesehatan sekaligus sebagai momentum penekanan terhadap preventif dan promotif. Pada 1 Januari 2014 akan mulai diberlakukan JKN yang diselenggarakan oleh BPJS dengan jumlah dana tidak sedikit, tentu kita berharap akan berdampak pada perbaikan DKM seperti AKI, AKB, Gizi, Angka kesakitan, Umur Harapan Hidup (UHH), dll. Dimana dampak berikutnya adalah meningkatkan indeks pembanguan manusia (IPM) Indonesia.

Namun sangat mengejutkan pada launching hasil SDKI 2012 (25 September 2013) bahwa AKI nasional meningkat menjadi 359/100.000 KH, dari 228 pada pada SDKI 2007. Agak melegakan bahwa AKBayi sedikit menurun dari 34/1000 KH pada SDKI 2007 menjadi 32 pada SDKI 2012, dan AKBalita dari 44 pada SDKI 2007 menjadi 40 pada SDKI 2012 .Jauh panggang dari api, bagaimana mencapai target MDG's 2015, yaitu AKI 102, AKBayi 23 dan AKBalita 32? Perlu upaya sungguh-sungguh dengan strategi luar biasa, dengan melihat permasalahan dan pemecahan masalah yang bersifat spesifik terintegrasi dan fokus, melibatkan semua stakeholders dari hulu ke hilir dan lintas fungsi.

Apa yang akan kita lakukan selama setahun ke depan? Sehingga pada HKN ke 50 tahun 2014, bangsa Indonesia bisa bernyanyi riang...tralala.... trilili...INDONESIA CINTA SEHAT.

 

Supriyantoro, dr, SpP, MARS (Sekertaris Jendral Kemenkes RI) sebagai salah satu pembicara dalam Seminar XII PERSI menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam penyiapan dan penetapan fasilitas kesehatan dalam JKN, yaitu: Mapping fasyankes di 33 Provinsi, Kredensialling Fasyankes, Penyusunan Kontrak antara Fasyankes dengan BPJS.

Pengertian tentang kredensialing dijelaskan sebagai: Merupakan kegiatan peninjauan dan penyimpanan data-data fasyankes berkaitan dengan pelayanan profesinya yang mencakup lisensi, riwayat malpraktek, analisa pola praktek dan sertifikasi; Merupakan suatu kegiatan dari BPJS kesehatan untuk melakukan kualifikasi fasyankes; dan Merupakan proses evaluasi untuk menyetujui atau menolak fasyankes apakah dapat diikat dalam kerjasama dengan BPJS kesehatan yang penilaiannya didasarkan pada aspek administrasi dan teknis pelayanan.

Kredensialing bermanfaat untuk: Menghindari penerimaan fasyankes yang tidak bermutu dan tidak memenuhi standar; Mendukung pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu bagi peserta JKN; Mendukung persyaratan legal; dan Mendorong kompetisi antar fasyankes untuk menjadi provider JKN.

Proses kredensialing dalam JKN akan diatur dalam Permenkes tentang Pelayanan Kesehatan sebagai turunan dari Peraturan Presiden tentang JKN (saat ini dalam proses finalisasi), dimana kredensialing untuk fasyankes tingkat primer dan tingkat lanjut akan dilakukan oleh BPJS Kesehatan, namun pada pelaksanaan awal 2014 semua fasyankes yang sudah menjadi provider Jamkesmas, Jamsostek, Askes dan Asuransi TNI Polri otomatis akan menjadi provider BPJS Kesehatan. Sedangkan bagi fasyankes lain yang akan bekerjasama dengan BPJS akan dilakukan proses kredensialing.

Persyaratan kredensialing bagi klinik utama adalah: surat ijin operasional, surat ijin praktik tenaga kesehatan yang berpraktik, NPWP badan, perjanjian kerjasama dengan laboratorium, radiologi dan jejaring lain diperlukan, dan surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan JKN.

Sedangkan persyaratan kredensialing bagi rumah sakit adalah: surat ijin operasional, surat penetapan kelas rumah sakit, surat ijin praktik tenaga kesehatan yang berpraktik, NPWP badan, perjanjian kerjasama dengan jejaring lain diperlukan, sertifikat akreditasi, dan surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan JKN. (Hanevi Djasri)

Prof. dr. Paul Tahalele, SpB-TKV (Ketua Presidium PP IKABI) sebagai salah satu pembicara dalam Seminar XII PERSI menjelaskan bahwa peran utama dokter spesialis bedah dalam pelayanan pasien BPJS adalah dengan mematuhi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran yang telah disusun oleh organisasi profesi.

Pernyataan tersebut dilatarbelakangi dengan adanya Permenkes no 1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran (SPK) yang menyatakan bahwa SPK adalah pedoman bagi dokter, bahwa SPK akan memberikan jaminan kepada pasien untuk memperoleh pelayanan kedokteran dan bahwa SPK terdiri dari Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) dimana PNPK merupakan pelayanan kedokteran yang bersifat nasional dan disusun oleh organisasi profesi serta disahkan oleh Menteri

Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI) sendiri saat ini telah menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran untuk Penanganan Trauma. Pedoman nasional tersebut membagi pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk menangani trauma menjadi 3 level, yaitu PPK I (Puskesmas), PPK II (RS Kelas D, C, B<18 spesialis) dan PPK III (RS Kelas B>18 spesialis dan kelas A). Masing-masing PPK memiliki kewenangan yang berbeda baik untuk standar: pengelolaan trauma, obat-obatan, pemeriksaan penunjang diagnostik, alat kesehatan.

Pedoman nasional tersebut kemudian dijadikan sumber rujukan utama pada saat IKABI menyusun pedoman yang lebih rinci, yaitu dalam bentuk clinical pathways dengan judul Clinical Pathways of Multiple Trauma. Penyusunan clinical pathways tersebut dilakukan dengan pendekatan patient safety. Didahului dengan mencari evidance based medicine, melakukan health technology assesment, menyusun guideline profesi, menyusun SPM rumah sakit dan dilanjutkan dengan menyusun clincal pathways. Ini semua dilakukan untuk dapat melakukan kendali mutu dan biaya. (Hanevi Djasri)

Oleh : drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Beberapa jenis layanan kesehatan di Indonesia dianggap masih kurang memberi dampak baik bagi masyarakat. Misalnya layanan kesehatan ibu yang dapat dilihat dari peningkatan AKI berdasar SDKI 2012. Walaupun banyak faktor penyebab, namun kualitas layanan di fasilitas kesehatan disinyalir menjadi salah satu penyebab yang paling berpengaruh.

Untuk menjadi dokter yang mampu memberi pelayanan bermutu, seorang mahasiswa kedokteran harus mendapat pendidikan bermutu pula. Untuk mencapai hal ini, peran tenaga pengajar di bidang pendidikan dokter sangatlah penting. Pembelajaran yang didapat oleh mahasiswa kedokteran dapat berasal dari kuliah di kelas, tutorial, praktikum, pelatihan-pelatihan atau seminar. Agar mereka mendapat bekal pendidikan yang memadai, "narasumber" pada masing-masing sumber pembelajaran tersebut harus memiliki kapasitas yang baik sebagai pengajar.

Dalam dokumen Developing teachers and trainer in undergraduate medical education – Advice supplementary to Tomorrow's Doctors (2009) milik General Medical Council (GMC), disebutkan bahwa tidak semua dokter dapat menjadi pengajar yang baik bagi mahasiswa kedokteran. Ini dimungkinkan karena potensi masing-masing dokter berbeda. Ada dokter yang lebih menguasai bidang penelitian atau pelayanan pasien dan kurang senang terlibat dalam bidang pendidikan. Tingginya kebutuhan untuk menyediakan pendidikan kedokteran yang bermutu, mendorong berbagai macam upaya untuk menyeleksi tenaga pengajar yang kompeten. Model seleksi yang umum dilakukan adalah seleksi berdasar pengalaman dan jenis pelatihan yang pernah diikuti calon pengajar. Para calon pengajar ini juga harus bisa mendemonstrasikan gaya mengajar yang efektif.

Agar memiliki kompetensi sebagai tenaga pengajar, seorang dokter secara umum harus memiliki pemahaman dan kemampuan yang baik dalam hal mengajar dan proses pembelajaran. Namun bagi tenaga pengajar yang akan mengampu bidang ilmu tertentu, penting baginya untuk memiliki wawasan dan keterampilan mengajar dalam bidang ilmu tersebut. Berdasarkan rekomendasi GMC, beberapa keterampilan yang secara umum harus dimiliki oleh dokter yang mengajar adalah: (1) kemampuan untuk mendukung, memotivasi, mendorong dan mendampingi mahasiswa dalam aspek perawatan pasien, (2) keterampilan komunikasi, termasuk presentasi dan kemampuan untuk mendengarkan, (3) komitmen untuk mengajar, (4) kesadaran mengenai kurikulum pendidikan dokter dan kesadaran atas peran mereka pada kurikulum tersebut, (5) pemahaman tujuan dan sasaran pembelajaran, (6) pemahaman untuk menggunakan instrumen penilaian dan melakukan penilaian dengan baik, (7) kemampuan untuk menganalisis kinerja mahasiswa dan memberi umpan balik yang membangun, (8) kemampuan untuk menggunakan berbagai metode dan gaya belajar mengajar, (9) mampu untuk memperlakukan mahasiswa dengan adil tanpa memandang latar belakang agama, sosial dan budaya dan (10) selalu update dengan berbagai perkembangan dalam pendidikan kedokteran.

Selain memiliki kompetensi dan konsistensi dalam proses belajar mengajar mahasiswa, tenaga pengajar juga dianjurkan untuk selalu konsisten dalam upaya pengembangan diri mereka sendiri. Melalui seminar atau pelatihan-pelatihan, misalnya. Ini memungkinkan bahwa apa yang disampaikan pengajar, sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru. Selain itu, dengan mengikuti pelatihan, para dokter pengajar ini juga dapat meningkatkan metode pengajaran sehingga tidak membosankan bagi mahasiswa. Untuk mendukung hal ini, pihak sekolah kedokteran harus pintar-pintar mengatur jadwal mengajar sehingga masing-masing dokter akan memiliki waktu yang cukup untuk ikut pendidikan berkelanjutan. Bila diperlukan, pihak sekolah juga perlu mencari tenaga pengajar cadangan, sebagai pengganti bila ada dokter yang berhalangan mengajar karena mengikuti pelatihan. Akses para dokter pengajar untuk mengikuti pelatihan hendaknya dibantu oleh pihak sekolah.

GMC menambahkan, dokter pengajar harus sangat terlibat dalam manajemen kurikulum pendidikan. Mereka juga harus terlibat dan berkontribusi dalam budaya belajar mengajar berorientasi pelayanan pasien. Selain itu, para dosen ini juga harus dapat menjadi wakil sekolah kedokteran dan bertanggung jawab untuk mengelola area program mereka sendiri. Pihak sekolah kedokteran harus menjamin bahwa para dosen mengetahui tentang jejaring pendukung baik dalam tingkat nasional maupun internasional yang tersedia, dan cara untuk mengaksesnya. Dosen juga dapat berhubungan dengan dosen lain dalam satu departemen atau departemen lain dalam satu sekolah untuk menjamin adanya pendekatan yang konsisten untuk pendidikan dan pelatihan, juga untuk berbagi pengalaman antar spesialisasi dan profesi. Penting juga untuk diperhatikan bahwa tidak semua dokter paham mengenai kurikulum kedokteran. Oleh karena itu, bagi dokter yang baru terjun ke dunia pendidikan, sangat perlu adanya skema pendampingan bagi dokter yang akan menjadi pengajar.

Bagi dokter yang memenuhi kualifikasi untuk mengajar, sangat perlu dipertimbangkan besaran honor yang memadai. Selain itu, mereka yang telah mengajar sesuai atau bahkan melebihi standar yang ditetapkan, berhak untuk mendapat penghargaan yang layak. Menurut GMC, promosi akademik merupakan salah satu bentuk insentif dan penghargaan yang pantas bagi para dokter yang terjun dalam bidang pendidikan. Terkait pemberian penghargaan ini, perlu adanya pedoman dan kriteria baku yang disosialisasikan dengan baik kepada para tenaga pengajar.