Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kasus dr. Ayu dkk merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia karena hal ini jarang terjadi. Tidak ada satu pun dokter yang dengan sengaja ingin menyelakai pasiennya. Namun Indonesia merupakan negara hukum. Negara juga menjamin adanya prinsip persamaan di muka hukum yang artinya tidak ada satu pun warga Indonesia yang dapat kebal hukum. Namun sebenarnya prinsip equality before the law tidak berlaku mutlak yang artinya prinsip tersebut dapat dibuat pengecualian melalui peraturan perundangan-undangan." Ujar Supriyadi, SH, M.Hum

Dasar Putusan kasasi MA adalah pasal 359 KUHP yang mengandung tiga unsur yaitu barangsiapa, karena kealpaannya, menyebabkan orang lain mati dan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau 1 tahun kurungan. Maksud unsur "barangsiapa" adalah menunjuk pada orang/manusia bukan badan usaha atau korporasi. Sehingga bila yang didakwahkan adalah pasal 359 KUHP maka tidak mungkin bila rumah sakit yang ingin dipidanakan. Untuk melihat unsur "kealpaan" adalah tidak mudah dan pembuktiaannya tidak mungkin dilakukan secara fisik maupun psikis karena menyangkut sikap batin maka dilakukan secara normatif.

Pada kasus dr. Ayu dkk terjadi disparitas (perbedaan putusan) antara Pengadilan Negeri (PN) Manado dan Mahkamah Agung (MA). PN Manado memutus bebas dan MA memutus dipidana. Yang menarik dalam kasus ini adalah penuntut umum tidak menempuh upaya banding karena aturan main di KUHP, putusan bebas tidak bisa dimintakan banding. Melainkan penuntut umum menempuh kasasi langsung ke MA. Sebenarnya putusan bebas tidak bisa dimintakan kasasi (pasal 244 KUHP) tetapi praktek yang berjalan ternyata MA menerima kasasi putusan bebas. Akhirnya, pasal 244 dimintakan judicial review ke MK. Dan pada tanggal 28 Maret 2013 menyatakan putusan bebas bisa dimintakan kasasi.

Menurut Dosen Bagian Hukum Pidana FH UGM ini, upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia yaitu mendorong DPR RI untuk merevisi UU Kesehatan atau UU Praktek Kedokteran untuk memasukkan dua hal meliputi

  1. Ketentuan pasal 359 KUHP direformulasi kembali di dalam UU Praktek Kedokteran atau UU Kesehatan agar kejadian seperti kasus dr. Ayu dkk merupakan tindak pidana khusus. Harapannya agar masuk dalam peraturan perundang-undangan khusus supaya nantinya bisa ditangani oleh orang yang memang ahlinya
  2. Mengenai pengadilannya bisa menggunakan majelis khusus yaitu dengan hakim khusus yang paham tentang medis dan hukum. Sebagai contoh di UU Pemilu, tindak pidana pemilu yang mengadili adalah majelis khusus (hakim khusus yang mengetahui persoalan mengenai pemilu).

Dosen Fakultas Hukum UGM ini tidak sependapat bila dibentuk pengadilan khusus karena biayanya terlalu mahal dan prosesnya tidak mudah. Karena harus ada UU dan untuk membuat UU prosesnya tidak mudah (biaya besar dan waktu lama).

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Dalam acara lintas ilmu dan lintas disiplin, Prof. Dr. dr. Herkuntanto, Sp.F, SH, LL.M (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) menekankan bahwa istilah malpraktek adalah istilah sosiologi bukan istilah hukum. Kekeliruan utama, tidak ada satu pasal pun di dunia ini yang mengatur perbuatan malpraktek. Dan banyak orang mengganggap bahwa informed consent merupakan perjanjian. Hal tersebut SALAH. Informed consent bukanlah dokumen melainkan perikatan yang searah." Ujar Dokter Spesialis Forensik yang mencintai hukum pidana.

Di dalam tindakan medis apabila terjadi kejadian yang tidak dikehendaki maka kita mengenal adanya risiko dan kelalaian. Dan yang bisa dipertanggungjawabkan dan diatur secara hukum adalah kelalaiannya bukan malprakteknya.

Perlukah hukum pidana bagi praktik Kedokteran?

Layakkah seorang dokter dipidana karena clinical judgment (pengambilan keputusan medis)? Pasal 359 KUHP berbunyi "barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun penjara". Bila pasal tersebut di terapkan di kedokteran, terdapat satu kekeliruan yang mendasar.

Penerapan hukum pidana pasal 359 KUHP diterapkan untuk kecelakaan lalu lintas yaitu seorang pengemudi lalai lalu menabrak korban dan meninggal. Artinya seandainya korban tidak ditabrak oleh pengemudi yang lalai maka korban masih sehat. Sedangkan yang dihadapi oleh dokter, korban bukanlah orang yang sehat melainkan orang yang sudah atau menuju ke arah meninggal kemudian dokter mencoba untuk mencegah. Hasilnya bisa berhasil bisa tidak. Bila berhasil mencegah, itu wajar dan bila tidak berhasil mencegah, apakah pidana?. Jadi bila korban dilepas oleh dokter maka akan mortalitas (kematian). Dan hal tersebut dinamakan pre-existing condition (keadaan yang awal). Itu yang harus diperhitungkan," Kata dokter yang mengambil Master of Laws di La Trobe University Australia.

Lalu apa yang akan terjadi bila professional judgment dipidana? Sebagai contoh hakim salah mengambil keputusan yang menyebabkan orang di hukum mati atau pada waktu membubarkan demonstran, seorang polisi melepaskan tembakan peringatan dan pelurunya jatuh mengenai seseorang, apakah akan dipidana pasal 359 KUHP? Bila ya, maka akibatnya ada hak dari seseorang untuk non-self incrimination (tidak untuk memaparkan dirinya untuk dipidana). Maka mungkin polisi akan membiarkan saja demontrans mengamuk dan mati.

Aplikasi culpa dalam profesi selain dokter

Untuk culpa lata di profesi kedokteran, seorang dokter tidak dapat dipersalahkan karena kelalaiannya menghilangkan nyawa kecuali bila ia tidak memeriksa, tidak tahu atau tidak berbuat sebagaimana seorang dokter yang baik sehingga culpa lata menjadi suatu pegangan.
Untuk membuktikan suatu kelalaian :

  1. Tentukan adanya penyimpangan atas tindakan medis
  2. Bila menyimpang, tentukan adanya damage / cedera
  3. Bila ada akibat, tentukan adanya kausalitas.
    Menurut MA tahun 1969 tentang causaliteit menyatakan bahwa dalam mencari hubungan sebab dan akibat harus dipergunakan metode secara inductief. Dan sejawat dari hukum, logika yang digunakan adalah deduktif. Namun klinisi, induktif yaitu pasien datang dengan keluhan lalu diperiksa kemudian diketahui diagnosis. Proses ini yang harus dipatuhi.
  4. Apabila ada kausalitas, tentukan foreseeability (apakah bisa diduga atau tidak)
    Bila sesuatu tidak bisa di duga, tidak pantas untuk dibebankan. Sehingga harus dipertimbangkan oleh hakim. Bila bisa di duga pun, sudah dilakukan pencegahan atau tidak.

Kesimpulannya : mencoba untuk membuka suatu wacana yang mungkin bisa dikembangkan di hukum yang baru yaitu bagaimana penerapan hukum pidana 359 KUHP di dalam suatu clinical judgment.

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Dasar Putusan kasasi MA terkait kasus dr. Ayu dkk adalah pasal 359 KUHP. Hasil keputusan kasus dr. Ayu berbunyi bahwa dr. Ayu dkk dihukum selama sepuluh bulan dikarenakan dua hal yaitu dr. Ayu dkk tidak melakukan pemeriksaan jantung dan rontgen paru-paru sebelum operasi. Dan tidak memberikan informasi yang memadai bahwa operasi tersebut bisa berbahaya sampai merenggut nyawa," Ujar dr. Nurdadi Saleh, SpOG yang mengikuti kasus dr. Ayu dkk dari tahun 2011.

Pemeriksaan jantung pra operatif pada keadaan emergency bukan merupakan SOP dan jelas bahwa hal itu bukan standar pada pemeriksaan. Selain itu, tidak boleh ibu hamil di rontgen walaupun menggunakan timah hitam karena akan ada pantulan sinar rontgen yang bila mengenai sel gonad atau sel seksual dari bayi maka dikemudian hari akan menjadi kanker.

Ketua Persatuan Obgyn Indonesia (POGI) ini juga menjelaskan bahwa kejadian yang sebenarnya terjadi adalah sebelum operasi, pasien mengalami gawat janin. Janin tersebut memberikan sinyal bahwa janin tidak sehat lagi yaitu keluarnya feses di dalam rahim atau bahasa medisnya disebut mekonium. Kejadian tersebut pertanda bahwa adanya hipoksi (kekurangan oksigen) karena adanya emboli. Sehingga terjadinya emboli bukan karena operasinya melainkan sudah terjadinya emboli sebelum operasi.

Supriyadi, SH, M.Hum menyatakan bahwa upaya hukum masih bisa di tempuh oleh dr. Ayu dkk yaitu peninjauan kembali (PK) supaya ada kemungkinan keputusan kasasi yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung bisa dianulir. Dan peninjauan kembali telah dilakukan oleh organisasi profesi Obgyn (POGI). POGI merasa keberatan dengan keputusan kasasi dengan empat alasan yaitu

  1. Putusan bebas murni (Vrijspraak)
    Bila sudah dinyatakan bebas murni maka tidak bisa dilakukan kasasi.
  2. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran mengatakan tidak ada kesalahan prosedur dan pelanggaran profesi
  3. Saksi ahli yang dalam hal ini adalah dr. Nurdadi Saleh, SpOG mengatakan bahwa seluruh dokter obgyn akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh dr. Ayu dkk yaitu melakukan seksio
  4. Sebab kematian pasien adalah terdapatnya udara di bilik kanan jantung yang berjumlah setengah liter sampai satu liter.

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Berkembangnya pemberitaan di media elektronik dan media cetak mengenai kasus dr. Ayu dkk menggelitik Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D untuk menelusur kasus tersebut dari perspektif manajemen rumah sakit. Ketua Magister Manajemen Rumah Sakit FK UGM ini menjelaskan bahwa keputusan dari MA (Mahkamah Agung) tidak mencerminkan apa yang diajarkan di manajemen rumah sakit yaitu harus team work. Dan dalam kasus tersebut, yang terjadi adalah hanya tiga residen yang terkena hukum pidana.

Fakta yang terjadi pada kasus dr. Ayu dkk adalah adanya kegagalan operasi SC yaitu pasien tidak selamat. Dalam konteks manajemen rumah sakit, kegagalan bukan merupakan kesalahan per orang atau kelompok melainkan kesalahan kolektif (tim). Dan residen adalah pihak yang lemah bila dilihat dari sisi hukum yaitu sebagai siswa atau pekerja.

Profesor yang mengajar juga di S2 hukum kesehatan fakultas hukum UGM ini menjelaskan bahwa team work yang ideal dalam rumah sakit pendidikan adalah dokter penanggungjwab (DPJ) Obgyn, DPJ anestesi, residen obgyn, residen anestesi, direksi RS Pendidikan dan Dekanat Fakultas Kedokteran. Dalam kasus dr. Ayu dkk, yang berada di ruang operasi adalah tiga residen obgyn dan penata anestesi. Sedangkan DPJ Obgyn dan DPJ Anestesi tidak ada.

Bila dilihat dari rantai mutu rumah sakit menurut konsep Berwick, kegagalan tim terjadi pada :

  1. Pasien & Masyarakat
    Dari kejadian ini, terjadi adanya kegagalan dalam hubungan pasien dan dokter atau yang biasa disebut miscommunication (keluarga pasien marah yang berujung pada kasus hukum). Selain itu, tidak adanya sanksi administratif dari RS Pendidikan bagi dokter yang gagal membina hubungan (keberadaan DPJ yang tidak ada dalam pelaksanaan operasi melainkan adanya keberadaan penata anestesi)
  2. Sistem Mikro
    RS Dr. Kandou adalah RS Pendidikan yang logikanya selalu ada DPJ dan residen sehingga perlu dipertanyakan dimana tanggungjawab DPJ. Selain itu, dalam peraturan tidak diperbolehkan ada penata anestesi melainkan dokter anestesi.
  3. Konteks Organisasi (Rumah Sakit)
    Tidak jelas dan perlu dipertanyakan mengapa tidak ada SIP, mengapa RS gagal mengadakan dokter spesialis anestesi dalam operasi tersebut, mengapa tidak ada staf RS yang membantu tanda tangan informed consent
  4. Konteks Lingkungan
    Perlu dipertanyakan apakah dinas kesehatan setempat tidak mengawasi mutu pelayanan RS tersebut, dimana SIP Residen, tidak terlihat sistem pemantauan kerja residen oleh FK dan RS, Pihak FK tidak melindungi residen karena residen bagian dari FK (apakah tidak ada penugasan dari FK ke RS Pendidikan dengan rincian kompetensi tertentu)

Sehingga kesimpulannya bahwa pada saat pertanggungjawaban, team work yang ideal menurut teori tidak terpakai oleh hukum yaitu yang terkena pidana hanya tiga orang residen. Kedepannya jangan sampai menjadi pengalaman dimana hanya tiga residen yang dipersalahkan melainkan sistem di rumah sakit, sistem di dinas kesehatan, dan sistem di Fakultas kedokteran harus diperbaiki.

Langkah kedepannya adalah memberikan perlindungan hukum untuk residen dan seluruh tenaga kesehatan. Prof. Laksono menghimbau bagi kolegium dan profesi untuk tidak menarik diri dari kegiatan pelayanan namun bagaimana mencari strategi untuk perlindungan hukum.

Policy Brief Memperkuat perlindungan hukum di RS Jejaring Pendidikan: Sebagai Respon Keputusan MA Terhadap Kasus Dr.A , di Manado

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH