Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Reporter: dr. Novika Handayani

6ags 1

Pada tanggal 27 Juli 2021, Tim Mitigasi PB IDI dan Project HOPE mengadakan webinar dengan tema “Update Tata Laksana PPI Terkait Perlindungan dari Varian Baru Covid-19”. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin tingginya kasus Covid-19 di Indonesia, yang memberikan dampak kepada keselamatan tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 dan berakibat meningkatnya tenaga kesehatan yang gugur dalam masa pandemi ini. Hingga saat ini, jumlah dokter yang gugur dalam pandemi ini sudah mencapai 640 orang (data 3 Agustus 2021 oleh Tim Mitigasi PB IDI).

Fasilitator pertama yaitu dr. Agustina, Sp.Ok dari Tim Mitigasi PB IDI bidang standarisasi dan pedoman menyampaikan bahwa saat ini Tim Mitigasi berencana memperbarui kembali “Pedoman Standar Perlindungan Dokter di Era Pandemi Covid-19” edisi kedua yang terbit bulan Februari lalu, menyesuaikan dengan kondisi terkini Covid-19 di Indonesia. Diketahui bahwa transmisi Covid-19 kepada dokter paling banyak terjadi saat dokter melakukan tindakan aerosol seperti intubasi dan ekstubasi, lalu dokter yang melakukan pengambilan spesimen pernafasan dan otopsi pasien suspek/probable/konfirmasi Covid-19. Transmisi tidak hanya didapatkan di tempat bekerja tetapi juga di perjalanan, di kehidupan sosial maupun saat melaksanakan rapat. Standar perlindungan pada dokter didasarkan pada hierarki pengendalian risiko transmisi dengan cara eliminasi, substitusi, penegendalian teknik, pengendalian administratif dan Alat Pelindung Diri (APD). Selain itu dilakukan juga pengendalian sekunder bagi dokter yang sudah terinfeksi Covid-19 agar tidak terjadi perburukan kondisi. Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan diminta mematuhi cara-cara pengendalian transmisi untuk varian yang lebih infeksius ini.

Failitator kedua yaitu dr. Ariyani, Sp.PK dari Pengurus Pusat PERDALIN menjelaskan tentang interim guidance terbaru dari WHO yang terbit pada Juli 2021 yaitu “Infection Prevention and Control During Health Care When Covid-19 is Suspected or Confirmed” yang terdiri dari poin-poin penting untuk melindungi tenaga kesehatan. Salah satunya adalah perlunya Tim PPI di rumah sakit untuk membuat kebijakan, panduan dan SPO mengikuti situasi Covid-19 terkini. WHO Global Surveillance System mencatat 2,5% kasus Covid-19 pada tenaga Kesehatan sampai dengan Februari tahun 2021. Selain itu, dari sebuah systematic review yang meninjau 27 studi didapatkan insidensi infeksi pada tenaga kesehatan sebesar 0,4% sampai dengan 49,6%. Program PPI terdiri dari enam poin yaitu: 1. Pelaksanaan kewaspadaan isolasi (standar dan transmisi); 2. Surveilans HAIs (Healthcare-Associated infections); 3. Pelaksanaan bundles; 4. Pemakaian antibiotic secara bijak; 5. Diklat PPI dan 6. ICRA (Infection Control Risk Assesment).

Materi terakhir disampaikan oleh dr. Ronald Irwanto, Sp.PD-KPTI, FINASIM yang menjelaskan bagaimana mempraktikan PPI di pelayanan. Beliau menegaskan bahwa protokol kesehatan sesuai anjuran WHO dan CDC baik yang diterapkan di komunitas ataupun di fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada perubahan berarti, walaupun dengan adanya varian-varian baru. Beliau membuat kerangka kerja berdasarkan tiga kendali, yaitu kendali host, kendali lingkungan dan kendali administratif. Kendali host seperti meningkatkan vaksin, baik bagi masyarakat dan tenaga kesehatan, mematuhi protap pemakaian APD dan pemulasaran jenazah Covid-19. Kendali lingkungan seperti tata kelola ruangan-ruangan seperti IGD, ICU, pengambilan spesimen, laboratorium dan lain-lain. Sedangkan kendali administrasi melingkupi pelaksanaan triase, alur pelayanan, contact tracing dan grading tenaga kesehatan terkait infeksi Covid-19.

Sebuah studi oleh Langford et al, 2020 mengungkap bahwa infeksi sekunder bakterial jarang terjadi pada Covid-19 dan antibiotik tidak digunakan secara rutin pada tatalaksana Covid-19. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung manfaat penggunaan Azitromisin pada pasien Covid-19 dan tidak ada bukti benefit klinis apabila digunakan pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit. Penggunaan antibiotik pada pasien Covid-19 terbatas digunakan hanya untuk pasien yang terbukti mengalami infeksi bakterial sekunder. Materi dan video dapat Anda download pada tautan di bawah ini.

Link Terkait:

 

 

 

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak pada upaya penanganan kesehatan esensial termasuk upaya pengendalian pencegahan penyakit hepatitis, diketahui bahwa penyakit hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Bahkan secara Global Khusus di Indonesia, jumlah penderita penyakit hepatitis sebanyak 18 juta orang dan penderita hepatitis C sebanyak 2,5 juta orang, sedangkan perkembangan program penanganan hepatitis pada 2020 telah dilakukan di 470 kabupaten/kota dan telah melaksanakan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil.

Pada peringatan Hari Hepatitis Sedunia tahun 2021, merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian dan tindakan nyata secara global, regional, maupun nasional dalam mengurangi beban hepatitis di masyarakat, salah satunya melalui upaya untuk menjamin kehidupan sehat ibu dan anak melalui ANC sesuai standar, termasuk deteksi dini hepatitis B yang diderita ibu, karena Hepatitis B berisiko menular secara horizontal maupun vertikal dari ibu ke anak. Hal ini sejalan dengan tema hari hepatitis di Global, dan Indonesia mengusung tema “Segera Tangani Hepatitis”

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati, dkk (2019) mengenai Faktor Risiko Hepatitis B Pada Ibu Hamil di Kota Makassar Tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besar faktor risiko terjadinya Hepatitis B pada ibu hamil. Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, menggunakan studi kasus kontrol dengan besar sampel sebanyak 148 orang terdiri atas 74 orang untuk kelompok kasus dan 74 orang untuk kelompok kontrol dengan perbandingan kasus kontrol 1:1. Sampel yang diambil adalah ibu yang telah melakukan pemeriksaan kesehatan di wilayah kerja puskesmas Kota Makassar tahun 2019 secara purposive sampling.

Kesimpulan dari penelitian ini menemukan bahwa riwayat transfusi darah dan riwayat tinggal serumah dengan penderita hepatitis B merupakan faktor yang paling signifikan berisiko terhadap kejadian kepatitis B pada ibu hamil, serta menyarankan kepada puskesmas yang ada di wilayah kerja Dinas kesehatan untuk meningkatkan screening Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) agar mata rantai penyebaran virus hepatitis B dapat diputus, dan mencapai target program Nasional zero Hepatitis B tahun 2030.

sekengkapnya pada jurnal berikut

 

 

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri (Peneliti Divisi Manajemen Mutu PKMK FK KMK UGM)

2 ags

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FKKMK UGM tetap produktif menyelenggarakan pelatihan ditengah pandemi, ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan, perguruan tinggi dan peneliti untuk meningkatkan mutu pelayanan.

Berbagai pelatihan yang sering dibutuhkan terkait koding, klaim, rekam medis, kendali mutu kendali biaya, audit klinis dan lainnya. Pelatihan ini dibutuhkan karena beberapa rumah sakit belum dibayar, khususnya pada pasien Covid-19.

PKMK akan selalu menyediakan pelatihan untuk terus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pelatihan ini juga diselenggarakan dalam bentuk in house training. Saat ini semua pelatihan diselenggarakan secara daring (online). Dirasa memang terdapat keuntungan dan kelemahan pelatihan daring.

Keuntungan pelatihan online dapat meminimalisasi biaya, dapat belajar dari tempat manapun, tidak terpatok oleh waktu. Namun juga punya kelemahan, panitia tidak dapat mengetahui secara pasti apakah peserta benar-benar mengerti dengan pelajaran yang telah diberikan karena pre dan post-test saja tidak cukup untuk menilai hal tersebut.

2 ags1

2 ags1

Semoga pandemi segera berlalu dan salam sehat

Disarikan Oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama hampir dua tahun, juga membawa dampak besar, baik secara langsung maupun tidak untuk kesehatan anak. Data dari tim Gugus Tugas Covid-19, menyatakan hingga 13 Juli 2021 sekitar 328 ribu anak berusia 0-18 tahun terkonfirmasi Covid-19. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga mencatat setidaknya satu dari delapan kasus Covid-19 terjadi pada anak. Pada pelayanan keperawatan neonatus di masa pandemi Covid-19, setidaknya terdapat 3 hal kedaruratan akibat pandemi Covid-19 berdampak pada pelayanan kesehatan, seperti yang dikemukakan oleh Montes MT dalam sebuah penelitian mengenai Neonatal nursing in the Covid-19 pandemic: can we improve the future yakni: 1) Organisasi dan alur kerja unit neonatal, 2) Perawatan perinatal dan neonatal, termasuk menyusui, dan 3) Komunikasi-kerjasama dengan orang tua.

Pengorganisasian dan alur kerja di unit neonatal, selama krisis ini beberapa perubahan besar dalam alur kerja harian memerlukan transformasi besar dalam model pelayanan dan budaya kerja. Ruang dan alur kerja telah di reorganisasi untuk pasien, apakah mereka terkena Covid-19 atau tidak. Selain itu, pengalaman dalam mengalami kesulitan dengan kekurangan staf pekerja pelayanan kesehatan karena staf terinfeksi atau dipindahkan ke posisi lain untuk memperkuat area rumah sakit yang terkena dampak parah Covid-19 Ini telah memaksa shift panjang untuk menjamin kualitas pelayanan, yang membuat banyak hal sulit dan tidak terduga pada awalnya. Selain itu, akses terhadap kedua orang tua telah terbatas, bahkan dihilangkan untuk anggota keluarga lainnya, sehingga mengubah landasan dari model kelurga sebagai pusat layanan, di mana orang tua tidak dianggap sebagai pengunjung, melainkan sebagai kolaborator dan pengasuh utama dalam pengasuhan anak mereka.

Pada pelayanan perinatal dan neonatal, termasuk menyusui pada rekomendasi awal mengenai manajemen mengenai ibu nifas dengan SARSCoV-2-positif mendukung perubahan pada rencana persalinan dengan memperkenalkan pembatasan kehadiran orang tua lain di unit persalinan dan nifas, baik dalam persalinan pervaginam dan operasi caesar. Selain itu, bayi yang lahir direkomendasikan dari ibu yang terinfeksi serta bayi baru lahir dengan infeksi yang dikonfirmasi menjadi dipisahkan dan diisolasi dalam ruangan tersendiri. Kemudian rekomendasi tersebut dimodifikasi berdasarkan kasus per kasus dasar. Pemisahan tidak dianjurkan jika ibu dalam keadaan baik kondisi klinis, dengan ketentuan bahwa tindakan pencegahan dapat dilakukan guna menjamin bayi terhindar dari penularan termasuk menggunakan masker wajah dan berlatih kebersihan sebelum menyusui. Meskipun kepatuhan terhadap rencana darurat itu penting, rekomendasi harus didasarkan pada pengambilan keputusan berbasis bukti daripada ketakutan/kepanikan.

Keputusan yang diambil selama wabah pandemi harus memiliki dampak sesedikit mungkin pada model pelayanan yang berfokus pada keluarga. Bahkan, meneruskan keunggulan pelayanan yang tidak bertentangan dengan tindakan pencegahan penularan virus. Selain sering cuci tangan, bersihkan payudara sebelum menyusui dan kontak kulit-ke-kulit, dan memakai masker wajah, risiko bagi orang lain dapat dikurangi, misalnya, dengan menguji SARS-CoV-2 untuk orang tua dan tenaga kesehatan dan membatasi akses mereka ke mana anak mereka ditempatkan.

Terkait dengan menyusui, terlepas dari manfaat fisiologis bagi bayi dan ibu, menyusui juga membantu ibu untuk menghadapi stress rawat inap dengan lebih baik, terhubung secara emosional dan berpartisipasi dalam perawatan bayi, dan memfasilitasi dan membangun peran ibu. Pedoman internasional juga menyarankan bahwa menyusui harus dilanjutkan, apakah menyusui atau tidak pada orang tua memiliki infeksi SARS-CoV-2, dengan tindakan pencegahan yang tepat, Selain itu, ada banyak cara untuk pemberian ASI jika mereka tidak mau mengambil risiko, seperti mempasteurisasi susu mereka sendiri, atau membuang susunya sambil tetap menyusui (dengan ekstraksi) selama 14 hari. ASI donor yang dipasteurisasi (bank susu) adalah sumber penting untuk bayi dengan perawatan intensif yang ibunya sementara tidak dapat memberikan susu secara langsung.

Selanjutnya mengenai komunikasi-kerjasama dengan orang tua, perawat merupakan kunci dalam komunikasi dan proses kolaborasi dengan orang tua dan mereka berada dalam posisi yang ideal untuk mengeksplorasi kecemasan, ketakutan, dan kesulitan pasien agar dapat mencapai pemberdayaan dan kompetensi dalam perawatan bayi mereka. Orang tua dari bayi yang dirawat akan sangat khawatir tentang pemisahan, pengasuhan anak mereka, dan kesulitan dalam berbagi emosi dengan anggota keluarga yang lain. Dalam hal Interaksi dengan bayi dan orang tua telah dibatasi untuk mengurangi penularan, mengakibatkan terdapat jarak fisik dan emosional. Selain itu, dampak langsungnya terhadap kualitas perawatan bayi, hal itu juga menghambat komunikasi dan kolaborasi yang efektif dengan keluarga, yang berkontribusi pada perasaan kualitas pengasuhan yang rendah dan peningkatan kesulitan moral.

Selain itu, Pandemi ini juga telah mengunggkap bahwa pelatihan komunikasi perawat dan keterampilan relasional harus ditingkatkan untuk menanggapi perasaan orang tua dengan empati dan budaya kompetensi. Meskipun tidak ada teknologi yang dapat menggantikan komunikasi tatap muka, telehealth bisa menjadi pelengkap yang baik, perawat diharapkan memahami penggunaan sistem webcam untuk memfasilitasi komunikasi dan interaksi dengan orang tua secara positif. Telemedicine memberikan kesempatan kepada orang tua yang terisolasi untuk mengunjungi anak mereka dari jarak jauh dan mengurangi kecemasan mereka dan stress. Perawat perlu bekerja sama dengan profesi yang dapat memberikan bantual sosial dan psikolog, karena mereka dapat memainkan peran peran penting dalam mengidentifikasi dan mendukung keluarga yang berisiko sosial dan dengan sumber keuangan yang terbatas.

Terkait dengan tekanan moral dan konsekuensinya pada profesional Kesehatan tidak dapat dihindari, saat ini perawat adalah pemain penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Di masa pandemi ini, faktor-faktor seperti kekurangan sumber daya medis, terlalu banyak pekerjaan dengan shift panjang, pembatasan sosial dan rasa sakit dari kehilangan rekan yang terinfeksi serta ketakutan untuk menginfeksi anggota keluarga mereka telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan stres pada perawat. Selain mengatasi rasa takut tertular, mereka juga harus mengambil tanggung jawab yangs selalu berubah. Dalam situasi ini, untuk mengenali dan mengurangi tekanan moral diperlukan perlu dirancang dengan baik tindakan yang mendorong pengurangan stres, memberikan dukungan psikologis dan mempromosikan ketahanan akan membantu mengurangi stres pada aktivitas sehari-hari di unit neonatus. Strategi seperti mengidentifikasi profesional dan ahli senior yangr paling rentan, melakukan pembekalan bersama tentang etika dalam kasus klinis, komunikasi yang efektif dalam tim, pedoman yang akurat untuk diikuti, dan fleksibilitas dalam kepemimpinan perawat untuk mengatasi kesulitan tersebut dan memberikan kenyamanan moral agar perawat dapat melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif.

Pada penelitian ini juga mengidentifikasi adanya peluang dalam pembelajaran perawatan bayi baru lahir selama pandemi covid-19, bahwa pelayanan keperawatan anak telah mengalami kemunduran beberapa beberapa dekade waktu ini dan unit neonatal telah melihat banyak pilar yang mulai goyah. Namun, akan selalu ada bayi atau orang tuanya akan terus terinfeksi di masa Pandemi COVID-19 ini. Untuk itu, perawat perlu menghadapi kesulitan dalam mempertahankan model pendekatan keluarga sebagai fokus layanan. Terdapat peluang besar untuk memanfaatkan situasi yang menantang dan mendorong penyedia layanan kesehatan untuk merenungkan kembali strategi yang berharga dalam mengembangkan keputusan yang seimbang untuk mengatasi risiko dan ketakutan terhadap penularan, serta menerapkan kerangka perawatan neonatal berdasarkan promosi perkembangan neurologis melalui pendekatan keluarga, yang pada akhirnya dapat peningkatan pengetahuan agar perawat mampu bersaing dengan adanya wabah di masa depan.

Sumber:
Montes MT, Rubia NH, Ferrero A, dkk. Neonatal nursing in the COVID-19 pandemic: can we improve the future?. Journal of Neonatal Nursing 26 (2020) 247–251