Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Bidang kepemimpinan dalam pelayanan kesehatan dan bagaimana pengaruhnya terhadap budaya, mutu pelayanan dan keselamatan menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ISQua Fellow & Fellowship Ambassador yakni Dr Hossam Elamir (2021) melakukan eksplorasi dan menilai budaya organisasi, mutu pelayanan, dan mengukur hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional/transaksional di rumah sakit umum pemerintah di Kuwait.

Seperti diketahui bahwa gaya kepemimpinan seorang dapat menjadi penyumbang yang dominan dalam menentukan kinerja pegawai. Kepemimpinan transformasional adalah salah satu gaya kepemimpinan yang paling efektif dalam pelayanan kesehatan, dan memiliki dampak yang menonjol pada pertumbuhan strategi pengembangan kepemimpinan. Penelitian ini dilakukan di enam rumah sakit sekunder milik pemerintah dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif cross-sectional dan retrospektif.

Sampel yang diambil sebesar 1626 dari total 9863 petugas kesehatan di enam rumah sakit. Penelitian ini menggunakan daftar pertanyaan dari kuesioner kepemimpinan multifaktor dan deskripsi organisasi, dan melakukan peninjauan dan analisis satu tahun (2012) mengenai indikator mutu triwulanan dan tahunan di rumah sakit.

Data dianalisis menggunakan analisis statistik. Didapatkan hasil 66,4% hingga 87,1% peserta di setiap rumah sakit mengidentifikasi budaya organisasi di rumah sakit mereka sebagai transformasional, sedangkan 41 dari 48 departemen diidentifikasi memiliki budaya transformasional.

Persentase dari peserta di setiap rumah sakit menilai pemimpin dan budaya organisasi mereka sebagai transformasional berkisar antara 60,5% hingga 80,4%. Dapat disimpulkan bahwa pemimpin mendefinisikan dan mempengaruhi budaya organisasi, dan menunjukkan adanya peluang untuk meningkatkan mutu layanan jika memiliki kepemimpinan transformasional, yang dapat ditingkatkan melalui pelatihan, pendidikan, pengalaman, dan pengembangan professional.

selengkapnya

 

 

Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) diperingati setiap tanggal 10 Oktober setiap tahunnya, dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu kesehatan jiwa di seluruh dunia dan memobilisasi upaya dalam mendukung kesehatan jiwa.

Peringatan HKSJ merupakan hari yang menjadi momentum kampanye masif bagi semua pemangku kepentingan yang bekerja pada isu-isu kesehatan jiwa dan mendorong upaya-upaya untuk mencari solusi bagi upaya pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa dan Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA) di seluruh dunia. Tema peringatan HKJS tahun ini adalah “Mental Health in An Unequal World' (Kesetaraan Dalam Kesehatan Jiwa Untuk Semua).

Di Indonesia, kondisi Kesehatan Jiwa (Keswa) masih menjadi salah satu isu yang belum mendapatkan perhatian yang optimal, padahal secara jumlah, penderita gangguan jiwa terus meningkat, terutama di masa pandemi COVID 19. Data menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan kasus depresi dan ansietas selama pandemi.

Lebih dari 60% mengalami gejala depresi; dengan lebih dari 40% disertai ide bunuh diri. Sekitar 32,6 - 45% penduduk yang terpapar COVID 19 mengalami gangguan depresi, sementara 10,5 - 26,8% penyintas COVID mengalami gangguan depresi. Selama pandemi lebih dari 60% mengalami gejala ansietas; dan lebih dari 70% dengan gangguan stres pasca trauma. Saat terpapar COVID sekitar 35,7 - 47% mengalami gangguan ansietas serta 12,2% mengalami gangguan stres pasca trauma.

Tingginya masalah Keswa akan berdampak terhadap kualitas dan produktifitas sumber daya manusia kedepan, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa yang mendorong peran pemerintah dan kerja sama semua pihak untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat, maupun pemangku kepentingan terhadap masalah kesehatan jiwa mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Berikut ini beberapa isu strategis terkait dengan permasalahan Keswa, diantaranya:

  1. Anggaran untuk pencegahan dan Keswa dan NAPZA yang terbatas, belum semua daerah menganggarkan untuk program Keswa dan NAPZA, karena belum optimalnya komitmen pengambilan kebijakan untuk program keswa dan napza.
  2. Regulasi dan kebijakan, masalah Keswa belum merupakan program prioritas, program pelayanan Keswa di daerah masih belum terlaksana secara berkesinambungan, sehinga regulasi dan kebijakan bidang Keswa seringkali tidak sejalan antara pusat dan daerah.
  3. Akses dan mutu layanan, luasnya geografis Indonesia dan terbatasnya fasilitas pelayanan Keswa, menyebabkan masyarakat sulit dalam mengakses pelayanan Keswa, serta masih ada 8 provinsi yang tidak memiliki RSJ. Selain itu, mutu pelayanan Keswa di fasilitas pelayanan kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Sistem rujukan juga belum berjalan optimal, seperti rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama belum dilakukan sesuai dengan prosedur rujukan yang benar, dan belum dilakukan sesuai dengan pedoman/standar yang baku.
  4. Sumber daya manusia, tenaga spesialis dan subspesialis jiwa masih terbatas, dan penyebarannya masih belum merata
  5. Stigma dari masyarakat, keengganan masyarakat membawa Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) mencari pengobatan medik, mereka malu bila ada keluarganya mengalami gangguan jiwa.
  6. Ketersediaan obat, yang berkesinambungan obat psikotropik di puskesmas. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat penatalaksanaan gangguan jiwa yang sebagian besar bersifat kronis, memerlukan ketersediaan obat secara kontinyu.
  7. Sistem pelaporan yang belum optimal, format laporan juga belum seragam, petugas pencatatan dan pelaporan Keswa belum memahami tentang tata cara pelaporan kesehatan jiwa sehingga mempersulit pelaporan.
  8. Koordinasi dan Kerjasama lintas program maupun lintas sektoral belum optimal. Kegiatan Keswa yang berhubungan dengan program kesehatan keluarga dapat digambarkan sebagai berikut: Pemeriksaan kesehatan jiwa pada Ibu hamil dalam kegiatan ANC (Antenatal Care). Deteksi kemungkinan ibu nifas mengalami baby blues syndrome atau depresi postpartum dalam kegiatan kunjungan Ibu nifas; Deteksi dini masalah kejiwaan dengan menggunakan SRQ 20 pada calon pengantin, pada kegiatan Posbindu, pada aktivitas pos lansia; berkaitan dengan Kesehatan Kerja dan Olah Raga antara lain upaya deteksi dini bagi calon pekerja migran (PMI), pemeriksaan kesehatan jiwa bagi calon kepala daerah sebelum berlangsungnya pilkada serentak, dsb.

Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa strategi telah direncanakan melalui arah kebijakan program dan kegiatan Direktorat P2 yang tertuang dalam Rencana Aksi Kegiatan tahun 2020-2024 di Direktorat P2 Masalah Keswa dan NAPZA diantaranya:

  1. Penguatan regulasi masalah Keswa dan NAPZA,
  2. Penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Keswa dan NAPZA
  3. Pengembangan Peta Jalan (ROAD MAP) program promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif Keswa dan Napza 2020- 2024,
  4. Advokasi dan Sosialisasi Program P2 masalah Keswa dan NAPZA
  5. Peningkatan jejaring kemitraan masalah Keswa dan NAPZA dengan lintas program dan lintas sektor;
  6. Pencegahan dan pengendalian Keswa dan penyalahgunaan NAPZA terintegrasi di Fasyankes/PKM dalam kerangka JKN;
  7. Pencegahan dan Pengendalian Keswa dan penyalahgunaan NAPZA berbasis keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, lingkungan kerja;
  8. Peningkatan promosi kesehatan Masalah Keswa dan Napza
  9. Pengembangan dan Penguatan Surveilans masalah Keswa dan Napza dengan optimalisasi system informasi;
  10. Perluasan riset dan inovasi dalam untuk tersedianya data kematian karena bunuh diri dan penyalahgunaan NAPZA secara berkesinambungan;
  11. Peningkatan peran serta komunitas, masyarakat, mitra dan multisektor lainnya dalam pencegahan masalah Keswa dan NAPZA.

Sumber:

  • Kementerian Kesehatan RI, 2020. Rencana Aksi Kegiatan 2020–2024, Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Jakarta.
  • Kementerian Kesehatan RI, 2021. Panduan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2021, Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Jakarta.

 

 

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) merupakan suatu upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya suatu infeksi kepada pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat disekitar pelayanan kesehatan. Untuk itu, perlu suatu upaya agar kejadian infeksi tidak terjadi di suatu layanan kesehatan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah membuat dan menjalankan suatu program kerja dengan harapan agar dapat menangani kasus-kasus infeksi yang terjadi. Program PPI meliputi proses melakukan perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, serta pemantauan dan evaluasi.

Upaya menjalankan program PPI tidak hanya dilakukan oleh petugas kesehatan di rumah sakit, tetapi diperlukan kerjasama antara rumah sakit, pasien, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk mencegah pasien, tenaga kesehatan, dan pengunjung dari infeksi yang tidak terduga sehingga dapat meningkatkan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan, mengurangi kejadian HAIs (Healthcare Associated Infections), dan untuk mengidentifikasi serta mengurangi risiko infeksi yang didapat dan ditularkan di antara pasien, staf, tenaga kesehatan, pekerja kontrak, relawan, pelajar, dan pengunjung.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Madamang, dkk (2021) telah mengkaji faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan PPI dengan melakukan telaah literatur untuk mengetahui secara umum gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan PPI di Rumah Sakit. Berdasarkan hasil pencarian literatur ditemukan bahwa sikap dan prilaku, pendidikan dan pelatihan, dukungan manajemen, fasilitas, supervisi atau pengawasan serta dukungan pimpinan merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program pencegahan infeksi. Semakin baik sikap dan perilaku tenaga kesehatan dalam menjalankan program PPI maka semakin baik pula pelaksanaan program PPI yang di jalankan, sebaliknya tenaga kesehatan yang menunjukkan sikap dan prilaku yang negatif maka akan menghambat pelaksanaan program PPI.

Adanya dukungan pimpinan dan dukungan manajemen yang kuat yang di berikan kepada praktisi pencegahan infeksi di rumah sakit, maka semakin meningkatkan kinerja tim PPI. Dukungan yang kuat merupakan modal utama dalam menjalankan suatu program yang ada, sehingga sangat perlu dukungan yang diberikan pimpinan kepada tim pencegahan infeksi. Selanjutnya, Ketersediaan fasilitas penunjang pelaksanaan program merupakan hal yang utama dalam penerapan program, dengan adanya fasilitas yang memadai, praktik dalam penerapan program pencegahan infeksi dapat berjalan dengan baik, di samping itu proses supervisi yang ketat akan menunjang pencapaian program yang lebih baik. Baca lebih lanjut pada link berikut:

KLIK DISINI

 

Sumber:
Madamang, I., Sjattar, E. L., & Kadar, K. (2021). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit: Literatur Review. Jurnal Penelitian Kesehatan SUARA FORIKES (Journal of Health Research Forikes Voice), 12, 163-166.

 

 

Strategi Peningkatan Mutu (PM) perawatan klinis untuk mencegah dan mengendalikan penyakit kardiovaskular (CVD) sangat penting, melihat adanya keterbatasan bukti mengenai komponen mana dari strategi PM berbasis sistem kesehatan, klinis, dan berbasis pasien yang berkontribusi terhadap outcome CVD. Terdapat sebuah studi yang dilakukan oleh Singh Kavita, 2021 berupaya mengidentifikasi, memetakan, dan mengatur bukti ilmiah tentang efektivitas dan penerapan strategi PM kardiovaskular untuk meningkatkan outcome pasien dengan CVD. Metode yang digunakan yakni menelusuri bukti ilmiah berdasarkan tinjauan bukti 8 database elektronik seperti: MEDLINE, EMBASE, CINAHL, PsycINFO, Perpustakaan Cochrane, ProQuest, ClinicalTrials.gov, dan Platform Percobaan Klinis WHO) yang diterbitkan antara 1 Januari 2009, dan 25 Oktober, 2019.

Ditemukan 8066 judul dan abstrak yang kemudian disaring. Ditemukan beberapa strategi PM perawatan klinis untuk mencegah dan mengendalikan penyakit kardiovaskular (CVD) yakni terkait dengan dukungan pasien, teknologi komunikasi informasi (TIK) untuk kesehatan, dukungan masyarakat, pengawasan, dan pelatihan intensitas tinggi adalah strategi PM yang paling sering di evaluasi. Sedangkan strategi lainnya adalah pemecahan masalah kelompok, informasi yang tercetak, penguatan infrastruktur, dan insentif keuangan. Pemecahan masalah kelompok dikaitkan dengan peningkatan perawatan diri pasien dan kualitas hidup. Penguatan infrastruktur dikaitkan dengan peningkatan kepuasan pengobatan. Informasi tercetak dan insentif keuangan tidak menunjukkan pengaruh yang berarti.

Relevansi tinjauan sistematis ini menemukan bahwa ada variasi substansial dalam jenis, efektivitas, dan penerapan strategi PM untuk pasien dengan CVD. Peta strategi komprehensif PM yang dibuat oleh penelitian ini akan berguna bagi para peneliti untuk mengidentifikasi di mana pengetahuan baru diperlukan untuk meningkatkan outcome pasien kardiovaskular. Diperlukan studi evaluasi yang mendorong outcome jangka panjang, terutama di lingkungan negara yang berpenghasilan rendah, untuk lebih memahami efek strategi PM pada pencegahan dan pengendalian CVD. Baca lebih lanjut pada link berikut:

klik disini

Sumber: Singh, K., Bawa, V. S., Venkateshmurthy, N. S., Gandral, M., Sharma, S., Lodhi, S., ... & Huffman, M. D. (2021). Assessment of Studies of Quality Improvement Strategies to Enhance Outcomes in Patients With Cardiovascular Disease. JAMA network open, 4(6), e2113375-e2113375.