Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Indonesia saat ini masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan gizi terutama gizi kurang atau stunting dan gizi lebih atau obesitas. Ada beberapa upaya yang harus dilakukan oleh seorang ibu baik sebelum maupun setelah bayi lahir dalam mencegah stunting dan obesitas.

Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI Dr. Dhian Probhoyekti, SKM, MA mengatakan permasalahan gizi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di dunia. Bahkan permasalahan ini menjadi fokus secara global.

Di Indonesia berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan prevalensi stunting sebesar 24,4%. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam rpjmn 2020-2024, yakni 14%.

Sementara itu, berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi obesitas pada Balita sebanyak 3,8% dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8%. Target angka obesitas di 2024 tetap sama 21,8%, upaya diarahkan untuk mempertahankan obesitas tidak naik. Ini adalah upaya yang sangat besar dan cukup sulit.

selengkapnya

 

Penulis: drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE
Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM

Yogyakarta, 13 Januari 2022. Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan melakukan kunjungan kerja ke Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM, Yogyakarta pada Kamis, 13 Januari 2022. Tujuan kunjungan adalah melakukan focus group discussion (FGD), sharing session, dan studi banding terkait “Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Kecurangan (Fraud) di Pelayanan Kesehatan.” Anggota Dewas yang hadir adalah dr. Achmad Yurianto (Ketua), Indra Yana, S.H. (Anggota), dan Iftida Yasar, S.H., M.Psi beserta tim. Dalam kesempatan ini, tim PKMK yang terlibat adalah Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua (Peneliti, Konsultan, sekaligus Kepala Divisi Manajemen Mutu, selaku narasumber), drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE (Peneliti dan Konsultan dari Divisi Manajemen Mutu, selaku narasumber), M Faozi Kurniawan, S.E, Akt. (Peneliti dan Konsultan), dan Ni Luh Putu Andayani, SKM., M.Kes (Kepala Divisi Manajemen Rumah Sakit).

Acara dibuka dengan rangkaian sambutan yang diawali oleh Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD selaku Direktur Umum BPJS Kesehatan. Dalam sambutannya, Ali menyatakan bahwa BPJS Kesehatan mendukung program-program anti fraud dengan membuat berbagai sistem untuk membantu pengendalian fraud program JKN. Sistem-sistem ini diantaranya adalah Defrada (Digitalisasi Audit Klaim) dan DIVA (Digital Validation).

Sambutan selanjutnya disampaikan oleh dr. Achmad Yurianto selaku Ketua Dewas. Dalam sambutannya pria yang akrab disapa Yuri ini menyampaikan bahwa berbagai pihak harus bekerja sama untuk membangun budaya anti fraud. Upaya membangun budaya ini dapat dilakukan dengan edukasi yang luas dan berkelanjutan. Yuri juga menyampaikan bahwa kita semua punya peran penting untuk pengendalian fraud. “Walaupun kita hanya butiran pasir di tepi pantai, yang penting kita hadir sebagai solusi,” ungkapnya mengakhiri sambutan.

Sambutan terakhir disampaikan oleh Andreasta Meliala, Dr. dr. DPH., MKes, MAS selaku Kepala PKMK FK-KMK UGM. Dalam sambutannya, Andre menyatakan rasa syukur dan terima kasih kepada Dewas BPJS Kesehatan yang telah memilih PKMK sebagai mitra diskusi dalam upaya pengendalian fraud program JKN di Indonesia. Sambutan terakhir ini sekaligus membuka acara diskusi.

Diskusi dipandu oleh Indra Yana sebagai moderator. Diskusi diawali dengan paparan materi oleh Hanevi Djasri. Pada sesi pertama ini, Hanevi memperkenalkan kiprah PKMK FKKMK UGM untuk berkontribusi dalam pengembangan sistem anti fraud JKN di Indonesia. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD menginisiasi kegiatan anti fraud JKN pada 2014. Kemudian pada 2015-2016, dengan melibatkan Hanevi Djasri dan Puti Aulia Rahma, mulai melakukan edukasi dan sosialisasi anti fraud kepada BPJS Kesehatan di tingkat pusat dan cabang. Tim ini juga terlibat dalam penyusunan PMK No. 36/2016 termasuk revisi menjadi PMK No. 16/2019. Lebih lanjut tim PKMK juga mengembangkan dan mendampingi proses deteksi potensi fraud serta mengembangkan Community of Practice (CoP) Anti Fraud Layanan Kesehatan pada 2016.

Sesi selanjutnya Hanevi memaparkan bahwa saat ini dalam penyelenggaraan program JKN, aspek mutu masih belum menjadi perhatian. Hal ini mengkhawatirkan mengingat program JKN ini direncanakan mencakup seluruh penduduk Indonesia. Bila peserta yang dicakup ini mendapatkan pelayanan kesehatan yang buruk, maka akan program JKN ini menjadi tidak berdampak optimal untuk peningkatan kesehatan masyarakat. Lebih lanjut Hanevi memaparkan bahwa salah satu faktor yang terlibat dalam buruknya mutu pelayanan kesehatan adalah fraud. Fraud merupakan perbuatan yang mengandung unsur: (a) kesengajaan, (b) mencurangi pihak lain, dan (c) menyebabkan pihak lain menderita kerugian.

Di USA, fraud menyebabkan kerugian finansial sebesar 3-10% total dana kesehatan yang dikelola. Fraud juga berdampak pada mutu dan keselamatan pasien. Transparency International (2019) melaporkan adanya resistensi antibiotik, rujukan yang tidak diperlukan, serta SC di luar indikasi akibat fraud. National Health Anti-Fraud Association (2016) menemukan kasus kateterisasi jantung yang tidak perlu pada 750 pasien yang mengakibatkan 2 pasien meninggal dunia.

Penelitian Joan H. Krause (2006) fraud menyebabkan tingginya angka perawatan saluran akar (PSA) pada gigi yang secara medis lebih tepat dicabut, karena klaim PSA lebih tinggi dari pencabutan. Di Indonesia, menurut data yang dilansir BPJS Kesehatan, diduga terdapat potensi fraud dalam pelayanan Sectio Caesarea (SC), operasi katarak, dan fisioterapi. Dugaan ini kemudian ditindaklanjuti dengan audit nasional Kementerian Kesehatan.

Sesi selanjutnya diisi oleh Puti Aulia Rahma yang menyampaikan gambaran pelaksanaan program JKN. Sejak 2014, PKMK mengkampanyekan program JKN untuk berjalan dalam sebuah siklus yang dimulai dari membangun kesadaran – sistem pelaporan dan respon – deteksi – investigasi – pemberian sanksi – kembali ke membangun kesadaran.

Siklus ini diambil dari rekomendasi European Comission tahun 2013. Saat ini di Indonesia, belum semua komponen dalam siklus program maupun prinsip pengendalian fraud terlaksana dengan optimal, misalnya: (a) membangun kesadaran. Saat ini upaya membangun kesadaran untuk pengendalian fraud belum massif dilakukan. Kalaupun sudah dilakukan, namun belum berkala; (b) sistem pelaporan. Saat ini sudah dibuka saluran pengaduan terkait pelayanan JKN (termasuk fraud), bernama aplikasi SIAP. Namun, hingga saat ini data respon pengaduan belum dapat ditemukan; (c) deteksi & investigasi. Saat ini kegiatan investigasi baru dilakukan pada kasus-kasus yang menjadi sorotan; (d) sanksi. Informasi detil mengenai sanksi berupa denda dan tindak pidana baru didapat terkait dengan pelaku fraud yang berasal dari Aparat Sipil Negara (ASN). Pelaku fraud non ASN, misalnya dari fasilitas kesehatan swasta ada yang pernah diberikan sanksi berupa denda dan pemutusan kerja sama, namun belum diketahui secara pasti besaran denda dan untuk skema fraud apa?; dan (e) tim anti fraud. Saat ini berbagai entitas yang terlibat dalam program JKN sudah membentuk tim anti fraud. Namun, tim ini belum mampu menjalankan tugas-tugas sesuai siklus program maupun prinsip pengendalian fraud.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, pada sesi penutup Hanevi menyampaikan enam rekomendasi kebijakan: (a) memperbanyak intensitas, jenis, dan cakupan sosialisasi dan edukuasi dan sosialisasi pencegahan fraud dalam pelayanan kesehatan; (b) mengembangkan sistem pengolahan data (data klaim INA CBG, data P-Care, data aplikasi SIAP, dan data aduan dari asosiasi fasyankes) yang dapat diakses oleh publik untuk mengetahui besarnya potensi dan dampak dari fraud layanan kesehatan; (c) meningkatkan pemanfaatan informasi hasil analisa data terkait potensi fraud dan upaya pencegahan fraud sebagai sumber pembelajaran dan pengambilan keputusan; (d) membuat kerangka kajian dan penelitian terkait kebijakan dan manajemen pengendalian fraud layanan kesehatan; (e) meningkatkan ikatan kemitraan antara BPJS Kesehatan dan Provider dalam penerapan good corporate governane dan good clinical governance; dan (d) membuat kebijakan untuk lebih banyak melibatkan komunitas-komunitas yang bergerak dalam bidang anti fraud layanan kesehatan.

 

 

 

Berbagai upaya akan dilakukan oleh organisasi untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan, antara lain dengan penerapan sistem manajemen mutu yang efektif. Setiap organisasi tentu saja memiliki acuan tersendiri untuk menyusun sistem manajemen mutu yang akan diterapkan dalam pelaksanaan proses organisasi sehari-hari. Suatu organisasi akan dapat memahami secara menyeluruh sistem pelayanan yang diberikan jika mampu menggambarkan setiap komponen yang dapat mendukung berjalannya proses yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan, harapan dan nilai-nilai pelanggan.

Pemahan ini tentu saja akan dimulai dari memahami apa yang dimaksud dengan “Sistem”. Sistem adalah sekelompok komponen dan elemen yang digabungkan dan saling berhubungan dan menjadi satu untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu tujuan. Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, seperti halnya di rumah sakit suatu sistem yang berjalan mulai dari pelayanan diagnosa dan tindakan untuk pasien, medical record, apotek, gudang farmasi, penagihan, database personalia, penggajian karyawan, proses akuntansi sampai dengan pengendalian oleh manajemen.

Manajemen adalah seni melaksanakan dan mengatur, secara bahasa kata manajemen berasal dari kata kerja “to manage” yang berarti mengurus, mengatur, mengemudikan, mengendalikan, menangani, mengelola, menyelenggarakan, menjalankan, melaksanakan dan memimpin. Menurut (Therry, 2006) dalam buku Principles of Management bahwa Manajemen adalah sebuah proses yang membedakan atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dengan memanfaatkan baik ilmu maupun seni demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan mutu adalah atribut dari suatu produk atau layanan. Perspektif orang yang mengevaluasi produk atau layanan memengaruhi penilaian atributnya.

Sedangkan pengertian mutu sudah banyak di bahas, termasuk pengertian mutu menurut Kementerian Kesehatan RI adalah kinerja yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien (pelanggan) sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Beberapa pengertian mutu dari beberapa ahli yakni, menurut Crosby mutu merupakan kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Menurut Zimmerman Mutu adalah memenuhi bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan melalui perbaikan seluruh proses secara berkelanjutan. Membicarakan mutu perlu dilakukan standardisasi agar pelayanan diberikan bermutu, yakni standar yang disampaikan oleh Donabedian meliputi: input (fasilitas, staf, peralatan, perlengkapan); proses (kepatuhan terhadap protocol dan standar asuhan keperwatan) serta hasil (kesembuhan, angka pasien hidup, komplikasi maupun hasil yang buruk).

Dapat disimpulkan bahwa sistem manajemen mutu adalah suatu komponen yang saling berhubungan yang menggunakan kebijakan yang sudah ditetapkan untuk memenuhi tujuan organisasi serta difokuskan pada kebutuhan pelanggan, lingkungan, efisiensi energi dan sejenisnya (Brent, 1989). Terdapat beberapa prinsip manajemen mutu menurut ISO 9001, 2015 yang perlu diketahui yakni Fokus kepada pelanggan, kepemimpinan, keterlibatan orang, pendekatan proses, peningkatan, pengambilan keputusan berbasis bukti, dan manajemen hubungan.

Implementasi dari sistem manajemen mutu adalah suatu keputusan strategis bagi suatu organisasi yang dapat membantu organisasi untuk meningkatkan kinerjanya secara keseluruhan dan menyediakan dasar yang kuat untuk inisiatif pembangunan berkelanjutan. Manfaat potensial suatu organisasi yang mengimplementasikan sistem manajemen mutu adalah suatu organisasi akan memiliki kemampuan untuk menyediakan produk dan jasa secara konsisten yang memenuhi kebutuhan pelanggan dan persyaratan hukum serta peraturan yang berlaku, dapat memfasilitasi peluang untuk meningkatkan kepuasan pelanggan, dapat menangani risiko dan peluang yang terkait dengan konteks dan tujuannya serta memiliki kemampuan untuk menunjukkan kesesuaian terhadap persyaratan sistem manajemen mutu yang ditentukan.

Berikut ini berbagai sistem manajemen Mutu

a. TQM

Total Management System atau disingkat dengan TQM adalah suatu sistem manajemen mutu yang berfokus pada Pelanggan dengan melibatkan semua level karyawan dalam melakukan peningkatan atau perbaikan yang berkesinambungan (secara terus-menerus) dan bagaimana sebuah organisasi memenuhi pelanggan. TQM menggunakan strategi, data dan komunikasi yang efektif untuk meng-integrasikan kedisplinan kualitas ke dalam budaya dan kegiatan-kegiatan perusahaan. Dalam pelaksanaan TQM semua anggota organisasi atau karyawan perusahaan harus berpartisipasi aktif dalam melakukan peningkatan proses, produk, layanan serta budaya dimana mereka bekerja sehingga menghasilkan kualitas terbaik dalam produk dan layanan yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan kepuasan pelanggan (Lesley & Malcome, 1992)

b. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000

Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 mengarahkan bagaimana organisasi menerapkan praktek-praktek manajemen mutu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar. Membahas mengenai proses pencapaian suatu tingkat mutu tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa lembaga yang akan mengadopsi sistem tersebut perlu menetapkan spesifikasi/persyaratan/karakteristik mutu produk dan prosesnya. Suatu organisasi harus memastikan penetapan proses, bagaimana proses tersebut saling berinteraksi, sumber daya apa yang diperlukan untuk menyajikan produk dan bagaimana prosesnya diukur serta ditingkatkan. Jika hal-hal tersebut telah ditetapkan, maka diperlukan penetapan suatu sistem pengendalian dokumentasi bersama pedoman mutu dan pengendalian terhadap catatannya. Sistem manajemen mutu ISO 9000 adalah sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/ atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.

c. Malcom Baldrige National Quality Award

Malcolm Baldrige digunakan untuk mengukur keunggulan kinerja. Kriteria yang digunakan dikenal juga sebagai 7 area/pilar Malcolm Baldrige. Dan jika diamati, tujuh kriteria ini memang sangat berperan dalam menentukan maju mundurnya sebuah organisasi (baik organisasi bisnis maupun organisasi publik). 7 area tersebut diantaranya kepemimpinan, strategi, pengukuraan analisis, manajemen, tenaga kerja, operasi dan hasil: Beberapa konsep kunci yang mendasari kriteria malcome baldrige national quality award (Lesley & Malcome, 1992), diantaranya:

  1. Mutu ditentukan oleh pelanggan
  2. Kepemimpinan senior dari bisnis dibutuhkan untuk menciptakan nilai mutu yang jelas dan memasukkan mutu ke dalam cara perusahaan beroperasi.
  3. Keistimewaan mutu yang diambil dari sistem dan proses yang dirancang dan ditetapkan dengan baik.
  4. Perbaikan secara terus menerus harus merupakan bagian manajemen sistem dan proses
  5. Perusahaan perlu mengembangkan sasaran-sasaran, demikian juga rencana berdasarkan strategu dan kegiatan untuk mencapai kepemimpinan mutu
  6. Memperpendek waktu untuk menanggapi semua kegiatan dn proses perusahaan perlu menjadi bagian dari upaya perbaikan mutu.
  7. Kegiatan dan keputusan perusahaan perlu dilandasi fakta dan data
  8. Semua pegawai harus dilatih dan dikembangkan sesuai dengan keahlian mereka dan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan mutu.
  9. Rancangan mutu dan pencegahan kesalahan harus menjadi unsur penting dalam sistem mutu.

d. European Fondation Quality Management (EFQM)

Model Keunggulan EFQM adalah alat praktis dalam membantu organisasi mengukur di mana suatu keunggulan serta membantu memahami kesenjangan; dan menstimulasi solusi. Model EFQM merupakan kerangka kerja non-preskriptif yang diakui ada banyak pendekatan untuk mencapai keunggulan berkelanjutan. Dalam pendekatan ini ada beberapa konsep dasar yang menopang model EFQM diantaranya:

  1. Orientasi Hasil - Keunggulan adalah mencapai hasil yang mengesankan semua pemangku kepentingan organisasi.
  2. Fokus Pelanggan - Keunggulan menciptakan nilai pelanggan yang berkelanjutan.
  3. Kepemimpinan & Keteguhan Tujuan - Keunggulan adalah kepemimpinan visioner dan inspirasional, ditambah dengan tujuan.
  4. Manajemen Proses & Fakta - Keunggulan adalah mengelola organisasi melalui serangkaian sistem, proses, dan fakta yang saling terkait.
  5. Pengembangan & Keterlibatan Orang - Keunggulan adalah memaksimalkan kontribusi karyawan melalui pengembangan dan keterlibatan mereka.
  6. Pembelajaran Berkelanjutan, Inovasi & Peningkatan - Keunggulan menantang status quo dan melakukan perubahan dengan menggunakan pembelajaran untuk menciptakan inovasi dan peluang peningkatan.
  7. Pengembangan Kemitraan - Keunggulan mengembangkan dan memelihara kemitraan yang dapat menambah nilai.
  8. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Keunggulan melebihi kerangka peraturan minimum di mana organisasi beroperasi dan berusaha untuk memahami dan menanggapi harapan para pemangku kepentingan mereka di masyarakat

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Referensi:

  1. Donabedian, A, 2003. An Introduction to Quality Assurance in Health Care. Oxford, Oxford University Press.
  2. European Foundation for Quality Management (EFQM) https://www.base-uk.org/knowledge/european-foundation-quality-management-efqm (diakses 21 januari 2022)
  3. James MD, Brent, 1989. Quality Management for Health Care Delivery, Catalog No 169501 ISBN 0-87258-537-9 Copyright by The Hospital Research and Educational Trust of the American Hospital Association
  4. Kementerian Kesehatan RI, 2015. Permenkes NO 45 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktek mandiri dokter gigi. Jakarta: Kementerian Kesehatan
  5. Lesley & Malcome, 1992. Implementing Total Quality Management, pitman publishing, London.
  6. Standar Internasional ISO 9001, 2015. Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan, ISO 9001:2015 – For Training Only, Cognoscenti Consulting Group

 

 

Konsep mutu pelayanan kesehatan telah lama dipelajari. Meskipun mutu sulit diukur, membicarakan mutu bukanlah suatu hal yang abstrak, kerangka konsep mutu sudah banyak digunakan dalam literatur yang dikembangkan oleh ahli mutu pelayanan, salah satunya oleh Avedis Donabedian mengembangkan suatu kerangka evaluasi mutu pelayanan, yang terdiri dari struktur, proses dan outcome (Donabedian, 2003). Struktur adalah kondisi yang harus dipenuhi sebagai prasyarat untuk menyediakan pelayanan. Proses merupakan berbagai aktivitas dan prosedur yang dilakukan dalam memberikan pelayanan kesehatan, sedangkan outcome menunjukkan hasil dari suatu upaya, baik di tingkat individu ataupun populasi. Struktur yang memadai diperlukan untuk melakukan proses pelayanan yang ideal, agar menghasilkan outcome yang optimal.

Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa mutu adalah kinerja yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Dalam Permenkes No. 44 Tahun 2016 tentang Pedoman Manajemen Puskesmas juga dijelaskan bahwa upaya kesehatan bermutu merupakan upaya yang memberikan rasa puas sebagai pernyataan subjektif pelanggan, dan menghasilkan outcome sebagai bukti objektif dari mutu layanan yang diterima pelanggan.

Definisi mutu pelayanan kesehatan yang berkembang secara global cukup beragam. Salah satu yang dikenal secara luas adalah definisi dari Institute of Medicine (IOM) dan WHO. Definisi mutu oleh IOM dikembangkan pada tahun 1990 dan diterima secara luas. Mutu pelayanan menurut IOM adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada individu dan populasi yang meningkatkan kemungkinan akan outcome kesehatan yang diinginkan dan konsisten dengan pengetahuan di profesi kesehatan (The degree to which health services for individuals and populations increase the likelihood of desired health outcomes and are consistent with current professional knowledge) (Chassin dan Galvin, 1998).

Selain itu, Institute of Medicine juga menjabarkan enam dimensi umum terkait mutu yakni pelayanan yang bermutu harus aman, efektif, berpusat pada pasien, tepat waktu, efisien, dan adil. Ini juga merupakan seperangkat dimensi atau atribut yang telah diadopsi dan diadaptasi di negara-negara di luar Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mendefinisikan konsep dasar mutu adalah pelayanan yang diberikan harus efektif, efisien, dapat diakses, diterima, berpusat pada pasien, adil, dan aman. Secara signifikan, definisi ini memperkenalkan dimensi “dapat diakses” sebagai tujuan yang lebih luas dari sekedar “tepat waktu”. Selama beberapa dekade terakhir Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah memilih untuk menyoroti tiga dimensi mutu yakni efektivitas, keamanan, dan berpusat pada pasien. Konseptualisasi yang lebih ringkas ini juga mempengaruhi pemikiran negara dalam beberapa hal.

Pada tahun 2018, WHO memperkenalkan Framework on Integrated People-centred Health yang telah menggambarkan bahwa pelayanan yang bermutu tinggi dilihat dari Tujuh dimensi mutu pelayanan kesehatan adalah, diantaranya; 1) Aman, yakni pelayanan yang dapat menghindari bahaya bagi orang-orang yang menjadi sasaran dari pelayanan yang diberikan, 2) Efektif dalam menyediakan pelayanan kesehatan berbasis bukti kepada mereka yang membutuhkannya, 3) Berpusat pada orang yakni memberikan perawatan yang menanggapi preferensi, kebutuhan, dan nilai individu. 4) Tepat waktu yakni mengurangi waktu tunggu dan terkadang terdapat penundaan yang merugikan bagi mereka yang menerima dan mereka yang memberi pelayanan. 5) Efisien yakni memaksimalkan manfaat dari sumber daya yang tersedia dan menghindari pemborosan. 6) Adil yakni memberikan pelayanan yang tidak bervariasi dari sisi mutu dikarenakan usia, jenis kelamin, jenis kelamin, ras, etnis, lokasi geografis, agama, status sosial ekonomi, bahasa atau afiliasi politik, atau pelayanan yang diberikan sama, dan 7) Terintegrasi yakni dalam memberikan pelayanan yang terkoordinasi di seluruh tingkatan dan penyedia dan membuat layanan kesehatan tersebut tersedia disepanjang perjalanan hidup pasien.
Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Referensi:

  1. Donabedian, A, (2003). An Introduction to Quality Assurance in Health Care. Oxford, Oxford University Press.
  2. Permenkes No. 69 Tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien
  3. Plsek, P. (2001). Institute of Medicine. Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the 21st Century. Washington, DC National Academies Pr.
  4. Chassin, M. R., & Galvin, R. W. (1998). The urgent need to improve health care quality: Institute of Medicine National Roundtable on Health Care Quality. Jama, 280(11), 1000-1005.
  5. World Health Organization. (2018). Handbook for national quality policy and strategy: a practical approach for developing policy and strategy to improve quality of care.