Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta/FKKMK UGM bekerjasama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKMMK UGM dalam melakukan penelitian untuk menilai kepuasan pasien terhadap pelayanan di poliklinik mata. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal internasional dengan judul “Patients’ Satisfaction with Ophtalmology Clinic Services in a Public Teaching Hospital”.

Instrumen yang digunakan adalah Patient Satisfaction Questionnaire-18 (PSQ-18). Instrumen ini sudah diterjemahkan oleh penerjemah resmi tersertifikasi dan dikoreksi kembali oleh para peneliti dan disetujui oleh dokter spesialis mata konsultan selaku Kepala KSM Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr.Sardjito. Survei ini juga sudah mendapat izin untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Marshall dan Hays yang telah mengembangkan PSQ-18 pada tahun 1994.

PSQ-18 berisikan delapan belas pertanyaan yang terdiri dari tujuh skala pertanyaan yaitu kepuasan pasien secara umum (2 pertanyaan), kualitas teknis pelayanan (4 pertanyaan), sikap interpersonal (2 pertanyaan), komunikasi (2 pertanyaan), aspek finansial (2 pertanyaan), waktu yang dihabiskan untuk pemeriksaan dengan dokter (2 pertanyaan), serta akses dan kenyamanan (4 pertanyaan). Jawaban menggunakan Likert Scale dengan range skor 1 sampai dengan 5 yaitu skor 1 untuk jawaban sangat setuju dan skor 5 untuk jawaban sangat tidak setuju. Skor yang didapatkan dari 7 kategori tersebut dirata-ratakan ke dalam skala baru yang disebut dengan "Kepuasan pasien secara keseluruhan" untuk memungkinkan analisis mencakup semua skala.

Skor 4-5 diklasifikasikan sebagai skor kepuasan tertinggi (Top Satisfaction Score/TSS) dan digambarkan sebagai pasien yang puas. Kemudian, peluang mencapai TSS pada “kepuasan pasien secara keseluruhan” dan skor kepuasan pada setiap skala PSQ-18 dianalisis menggunakan analisis regresi logistik biner berdasarkan karakteristik demografi, karakteristik pasien dan layanan kesehatan (usia, jenis kelamin, etnis, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan , pendapatan bulanan keluarga, asuransi kesehatan, ketajaman penglihatan, penyakit penyerta, poliklinik subspesialis, dokter jaga, waktu tunggu pengukuran tekanan darah, waktu tunggu pemeriksaan, waktu pemeriksaan, dan total waktu yang dihabiskan di poliklinik). Waktu tunggu pengukuran tekanan darah, waktu tunggu pemeriksaan, waktu pemeriksaan, dan total waktu yang dihabiskan di poliklinik dianalisis lebih lanjut menggunakan uji median sampel independen berdasarkan poliklinik subspesialisnya.

PSQ-18 adalah instrumen yang kuat untuk menilai kepuasan pasien dan dapat diaplikasikan untuk berbagai disiplin atau poliklinik di fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam studi ini penilaian realibilitas internal PSQ-18 menggunakan Cronbach’s Alpha dan didapatkan koefisien Cronbach’s alpha secara keseluruhan sebesar 0,689 yang masuk dalam klasifikasi adekuat.

Hasil dari analisis terhadap skor PSQ-18, nilai kepuasan pasien tertinggi didapatkan untuk kategori pertanyaan tentang sikap dokter atau interpersonal manner dan yang paling rendah adalah skor untuk kategori pertanyaan akses dan kenyamanan. Hasil penelitian selengkapnya dapat dibaca pada https://www.dovepress.com/patients-satisfaction-with-ophthalmology-clinic-services-in-a-public-t-peer-reviewed-fulltext-article-PPA 

Instrumen PSQ-18 versi asli dan terjemahan serta petunjuk penggunaan instrumen ini dapat diunduh pada https://www.dovepress.com/get_supplementary_file.php?f=347394.docx 

Penulis: dr. Novika Handayani (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FKKMK UGM)

 

Hari Tuberkulosis Sedunia diperingati pada 24 Maret setiap tahunnya. Peringatan tersebut menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan epidemi global Tuberkulosis (TB). Hari TB Sedunia juga diperingati sebagai salah satu upaya untuk mengeliminasi penyakit yang menyerang paru-paru. Tahun ini, peringatan TB mengambil tema 'Invest to End TB, Save Lives'. menyampaikan kebutuhan mendesak untuk menginvestasikan sumber daya dalam meningkatkan perjuangan melawan TB dan mencapai komitmen global untuk mengakhiri TB yang dibuat oleh para pemimpin global. Terutama dalam konteks pandemi COVID-19 yang telah menurunkan upaya End TB, serta memastikan akses yang adil dalam pencegahan dan pelayanan yang sejalan dengan upaya WHO untuk mencapai Cakupan Kesehatan Universal.

Penanggulangan TB merupakan segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitative untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat TB, dan mengurangi dampak negative yang ditimbulkan akibat TB. Penanggulangan TB tidak hanya dapat dilakukan oleh sektor kesehatan saja, melainkan dibutuhkan keterlibatan lintas sektor diantaranya pemangku kepentingan yang berasal dari orang perseorangan, masyarakat, institusi pendidikan, organisasi profesi atau ilmiah, asosiasi, dunia usaha, media massa, lembaga swadaya masyarakat, dan mitra pembangunan yang berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan Penanggulangan TB.

Hingga saat ini TB masih menjadi salah satu pembunuh penyakit menular paling mematikan di dunia. Setiap hari, lebih dari 4.100 orang meninggal karena TB dan hampir 28.000 orang jatuh sakit karena penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan ini. Upaya global untuk memerangi TB telah menyelamatkan sekitar 66 juta jiwa sejak tahun 2000. Namun, pandemi COVID-19 telah menurunkan kemajuan yang dicapai selama bertahun-tahun dalam upaya untuk mengakhiri TB. Untuk pertama kalinya pada lebih dari satu dekade, kematian akibat TB meningkat pada tahun 2020. (WHO, 2022).

Diharapkan lebih banyak investasi yang dilakukan untuk menyelamatkan jutaan nyawa lagi, mempercepat berakhirnya epidemi TB. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia, melalui Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Strategi Nasional Penanggulangan TBC 2020-2024 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis telah mengatur salah satu upaya untuk menanggulangi TB yakni dengan melakukan upaya promosi kesehatan, hal ini dapat menjadi salah satu investasi untuk mengakhiri TB. Upaya promosi ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan perubahan perilaku masyarakat mengenai TB. Upaya promosi tersebut dilakukan secara berkesinambungan melalui kegiatan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial dengan jangkauan yang luas.

Untuk memperluas pemanfaatan layanan pencegahan dan pengobatan TB yang bermutu, upaya promosi kesehatan kepada masyarakat dilakukan melalui: a) penyebarluasan informasi yang benar mengenai TB ke masyarakat secara masif melalui saluran komunikasi publik. Implementasinya dapat dilakukan melalui kampanye nasional pencegahan dan pengendalian TBC; b) penyelenggaraan upaya perubahan perilaku masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan TB, yang dapat dilakukan dengan menyusun kebijakan dan strategi kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; c) pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan influencer media sosial untuk menyebarkan materi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai TB, hal ini dapat dilakukan dengan menyusun pedoman dan materi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai TB; dan d) penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai layanan TB yang sesuai standar, hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan laman informasi online yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat mengenai Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyediakan layanan TB sesuai standar.

Disarikan Oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

 

Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKKMK UGM/RSUP DR.Sardjito dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM berkolaborasi melakukan penelitian untuk menilai kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diterima saat berobat di poliklinik mata rumah sakit pendidikan milik pemerintah tingkat tersier yaitu RSUP Dr.Sardjito.

Penilaian terhadap kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan sangat berguna dalam meningkatkan mutu dari layanan kesehatan dan menentukan bagaimana kepatuhan pasien terhadap treatment dan pada akhirnya dapat menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien. Kepuasan pasien sudah banyak diteliti di Indonesia dalam berbagai setting, tetapi masih sangat jarang untuk penilaian terhadap pelayanan di poliklinik mata.

Studi ini bersifat cross-sectional dan melibatkan 269 partisipan yang terdiri dari 138 pasien laki-laki dan 131 pasien perempuan dengan rerata usia partisipan 52 tahun. Penelitian dilakukan pada periode Juli sampai dengan September 2019. Survei kepada pasien menggunakan instrumen Patient Satisfaction Questionnaire-18 (PSQ-18). Orang tua atau pendamping pasien dengan usia dibawah 18 tahun membantu untuk melengkapi consent form serta kuesionernya.

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang sebelumnya sudah pernah berobat di poliklinik mata RSUP Dr.Sardjito. Pengisian kuesioner yang dipandu oleh dokter yang sudah terlatih ini dilakukan setelah pasien diukur tekanan darahnya oleh perawat dan sembari pasien menunggu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Kuesioner PSQ-18 ini memiliki total 18 pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan terkait kepuasan pasien secara umum, kualitas teknis pelayanan, interpersonal manner, komunikasi, aspek finansial, waktu yang dihabiskan untuk pemeriksaan dengan dokter, serta akses dan kenyamanan. Pasien juga diberikan formulir untuk mencatat waktu tunggu pemeriksaan tekanan darah, waktu tunggu pemeriksaan, waktu periksa dan formulir untuk memberikan respon positif dan negatif terhadap pelayanan yang diberikan.

Hasil dari analisis terhadap skor PSQ-18, nilai kepuasan pasien tertinggi didapatkan untuk kategori pertanyaan tentang sikap dokter atau interpersonal manner dan yang paling rendah adalah skor untuk kategori pertanyaan akses dan kenyamanan. Interpersonal manner juga merupakan nilai tertinggi yang didapat dalam sebuah studi lain terkait pelayanan klinik mata dan juga pada setting lainnya. Nilai yang rendah dari akses dan kenyamanan dalam studi ini dipengaruhi oleh waktu tunggu yang lama.

Di sisi lain, partisipan dalam studi ini memilih untuk waktu pemeriksaan yang lebih singkat. Sedangkan di studi lain didapatkan bahwa semakin lama waktu yang dihabiskan dengan dokter berkaitan dengan meningkatnya kepuasan pasien. Hal ini dapat disebabkan oleh waktu tunggu yang lama sampai dengan pasien diperiksa sehingga mereka ingin pemeriksaan lebih cepat. Selain itu mereka juga perlu mengunjungi departemen atau poliklinik lain di hari yang sama. Eksplorasi lebih jauh diperlukan untuk ke depannya untuk menjawab mengapa partisipan lebih memilih waktu pemeriksaan yang lebih singkat.

Waktu tunggu juga merupakan jawaban terbanyak dalam respon negatif yang diisi oleh partisipan. Sedangkan pelayanan secara keseluruhan dan keramahan staf menjadi yang paling banyak disebut dalam respon positif. Selain itu, didapatkan penilaian yang lebih rendah terkait akses dan kenyamanan yang diberikan oleh dokter residen, yaitu dokter yang sedang mengambil pendidikan spesialis ilmu kesehatan mata. Keterampilan teknis dan keterampilan komunikasi dari dokter residen sebaiknya diperbaiki untuk mengatasi keluhan ini. Didapatkan hasil kepuasan pasien yang lebih tinggi terhadap pelayanan di poliklinik retina karena dokter spesialis mata subspesialis retina dapat hadir dan memeriksa pasien secara langsung. Dalam hal ini sesuai dengan kondisi poliklinik retina yang memiliki dokter mata subspesialis retina yang selalu ada dan bekerja tiap hari secara full-time di waktu periode studi ini berjalan.

Kelemahan dalam studi ini adalah survei diberikan sebelum pasien menjalani pemeriksaan pada hari tersebut, walaupun mereka adalah pasien yang dipilih karena sebelumnya sudah pernah berkunjung ke poliklinik mata. Hal ini disebabkan karena banyak pasien yang menolak untuk berpartisipasi dalam survei saat mereka sudah selesai periksa. Kondisi recall bias ini dapat mempengaruhi hasil survei. Hasil dari studi lain menunjukkan bahwa survei kepuasaan yang dilakukan setelah 2 minggu dan 3 bulan menghasilkan kepuasan yang lebih baik dibandingkan dengan survei yang dilakukan dengan segera setelah kunjungan pasien.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah waktu tunggu dan waktu pemeriksaan sebaiknya dipersingkat, dokter spesialis sebaiknya selalu dapat hadir memeriksa pasien dan keterampilan teknis serta komunikasi dokter residen perlu ditingkatkan lagi. Selain itu, perlu adanya pembiayaan alternatif bagi pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan karena akan mempengaruhi kepuasan pasien.

Publikasi paper ini dengan judul Patients’ Satisfaction with Ophthalmology Clinic Services in a Public Teaching Hospital dapat diakses melalui link ini https://www.dovepress.com/patients-satisfaction-with-ophthalmology-clinic-services-in-a-public-t-peer-reviewed-fulltext-article-PPA

Penulis: dr. Novika Handayani (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FKKMK UGM)

 

Kesalahan medis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan mengancam keselamatan pasien. Kesalahan medis dapat terjadi melalui tindakan; omission yakni tidak melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan (misalnya mis-diagnosis, terlambat bertindak, tidak melakukan pertolongan), dan commision yaitu melakukan sesuatu yang harusnya tidak dilakukan (misalnya tindakan keliru, obat salah, tindakan/ prosedur yang salah).

Error yang terjadi juga dapat disebabkan oleh human error, meliputi Resiko Lapse dan slips. Slips merupakan error sebagai akibat kurang, atau tak mengambil tindakan/ lalai dalam melakukan tindakan, misalnya lupa melakukan upaya medik, sedangkan Lapses error yang terkait dengan kegagalan memori lupa/ tidak ingat, misalnya keliru memutar knob pada suatu alat medik.

Dalam sebuah penelitian yang dikemukakan oleh (Brenan. Et al, 1991) menyatakan bahwa sebagian besar cedera pada pasien dari manajemen medis dikarenakan oleh cedera dari hasil perawatan di bawah standar. Risiko juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang bisa terjadi atau akan terjadi, misalnya pada hasil laboratorium bahwa hasil yang didapatkan tidak bisa sempurna 100% karena masih ada kemungkinan hasil tersebut bisa akurat maupun tidak akurat.

Terkadang kita hanya terjebak dengan mengenali risiko yang bersifat fisik saja, sedangkan masih ada error lainnya yang dapat mencakup masalah dalam praktek, prosedur, dan sistem. Di bawah ini lingkup manajemen risiko dalam pelayanan kesehatan (Kemkes RI, 2018):

  1. Risiko yang terkait dengan pelayanan pasien atau kegiatan pelayanan kesehatan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh pasien atau sasaran kegiatan UKM, atau masyarakat akibat pelayanan yang disediakan oleh FKTP, misalnya: risiko yang dialami pasien ketika terjadi kesalahan pemberian obat.
  2. Risiko yang terkait dengan petugas klinis yang memberikan pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh petugas klinis ketika memberikan pelayanan, misalnya perawat tertusuk jarum suntik sehabis melakukan penyuntikan.
  3. Risiko yang terkait dengan petugas non klinis yang memberikan pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami petugas non klinis, seperti petugas laundry, petugas kebersihan, petugas sanitasi, petugas lapangan ketika melaksanakan kegiatan pelayanan.
  4. Risiko yang terkait dengan sarana tempat pelayanan: adalah risiko yang mungkin dialami oleh petugas, pasien, sasaran kegiatan pelayanan, masyarakat, maupun lingkungan akibat fasilitas pelayanan.
  5. Risiko finansial: adalah risiko kerugian finansial yang mungkin dialami oleh FKTP akibat pelayanan yang disediakan.
  6. Risiko lain diluar 5 (lima) risiko di atas: adalah risiko-risiko lain yang tidak termasuk pada lingkup risiko a. sampai dengan e., misalnya kecelakaan ambulans, kecelakaan kendaraan dinas yang digunakan.

Selain hal di atas, kita dapat mengenali tipe error berdasarkan 4 tipe error menurut (Linda T. Et al, 2000) meliputi:

  1. Diagnostik
    • Kesalahan atau keterlambatan dalam diagnosis
    • Gagal menggunakan tes yang ditunjukkan
    • Penggunaan tes atau terapi yang ketinggalan zaman
    • Kegagalan dalam bertindak berdasarkan hasil pemantauan atau pengujian
  2. Pengobatan
    • Kesalahan dalam kinerja operasi, prosedur, atau pengujian
    • Kesalahan dalam mengelola perawatan
    • Kesalahan dalam dosis atau metode penggunaan obat
    • Keterlambatan dalam perawatan atau dalam menanggapi tes abnormal
    • Perawatan yang tidak pantas (tidak diindikasikan)
  3. Pencegahan
    • Gagal memberikan pengobatan profilaksis
    • Pemantauan atau tindak lanjut pengobatan yang tidak memadai
  4. Lain
    • Kegagalan komunikasi
    • Kegagalan peralatan
    • Kegagalan sistem lainnya

Meskipun demikian, terdapat beberapa situasi/ kondisi yang memudahkan terjadi medical error yakni Tekanan waktu, Lingkungan kerja yang tidak menentu, Beban kerja yang tinggi, Menghadapi situasi, alat, kasus yang belum pernah sebelumnya, Kesibukan yang tinggi sehingga kurang istirahat, Tuntutan kecepatan dalam menangani kasus setiap saat, Petunjuk yang meragukan/tidak tepat, Terlalu percaya diri, Komunikasi yang tidak memadai, Lingkungan kerja dengan stress tinggi.

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, MPH (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  • Brenan. Et al, 1991. Incidence of Adverse Events and Negligence in Hospitalized Patients — Results of the Harvard Medical Practice Study I; 324:370-376 DOI: 10.1056/NEJM199102073240604.
  • Leape. Et al, 1991. The Nature of Adverse Events in Hospitalized Patients — Results of the Harvard Medical Practice Study I; 324:377-384.DOI: 10.1056/NEJM199102073240605.
  • Linda T. Et al, 2000. Institute medicine “to error is human” building safer health system, Committee on Quality of Health Care in America, Institute of Medicine.
  • Kementerian Kesehatan RI, 2018. Pedoman Keselamatan Pasien dan Manajemen Resiko FKTP, Jakarta: Kementerian Kesehatan.