Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Wabah Pandemi COVID-19 di awal tahun 2020 telah membebani tenaga kesehatan, diantaranya petugas surveilans yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan surveilans penyakit secara rutin. Menurut Pelaporan Tahunan International Health Regulation State Party Annual Reporting (IHR SPAR) temuan di 182 negara, banyak negara tidak siap untuk menghadapi pandemi selanjutnya.

Perlu kesiapan yang diukur dengan lima aspek: (i) pencegahan, (ii) deteksi, (iii) respon, (iv) ketersediaan fasilitas pendukung, dan (v) kesiapan operasional. Satu faktor krusial yang digunakan untuk menilai kesiapan suatu wilayah/negara dalam menghadapi pandemi adalah tersedianya data dan informasi kesehatan yang memadai. Data tersebut sangat penting untuk penyediaan layanan kesehatan dan pengambilan keputusan pemerintah selama krisis. Pentingnya transparansi data kesehatan sebelum dan selama pandemi meningkatkan kesiapan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengembangkan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan untuk mengendalikan wabah.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hardhantyo M, dkk 2022 yakni mendeskripsikan kualitas pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) untuk surveilans penyakit menular yang berpotensi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan mengukur beban kualitas pelaporan surveilans penyakit sebelum dan selama epidemi COVID-19 di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah mix methode. Sebanyak 38 informan dari Dinas Kesehatan Daerah mengikuti Focus Group Discussion (FGD) dan In-Depth Interview (IDI) yang dilakukan bersama dengan informan dari Kementerian Kesehatan. FGD dan IDI dilakukan dengan menggunakan komunikasi video online. Kemudian data kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR dari 34 provinsi dikumpulkan dari aplikasi. Data kualitatif data dianalisis secara tematis dan data kuantitatif dianalisis secara deskriptif.

Dalam penelitian ini ditemukan adanya kesenjangan dalam melaksanakan surveilans penyakit yang berpotensi KLB pada SKDR, yaitu pada aspek sumber daya manusia dan infrastruktur daerah yang tidak terdistribusi secara merata. Dari data pelaporan nasional 2017–2019 menunjukkan tren yang meningkat pada kelengkapan (55%, 64%, dan 75%) dan ketepatan laporan (55%, 64%, dan 75%). Namun, pada tahun 2020 kualitas pelaporan turun menjadi 53% dan 34% seiring dengan adanya Pandemi COVID-19. Dapat disimpulkan bahwa kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR kemungkinan besar terkait dengan ketidakmerataan infrastruktur regional dan Epidemi COVID-19. Disarankan untuk meningkatkan kapasitas laporan dengan aplikasi SKDR otomatis pada sistem di rumah sakit dan laboratorium.

Baca selengkapnya: https://www.mdpi.com/1660-4601/19/5/2728/htm

 

 

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit1. Saat ini, tuntutan pengelolaan program K3 di Rumah Sakit (K3RS) semakin tinggi karena pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat sekitar Rumah Sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar.

K3 merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, fasilitas kesehatan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh Institusi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu penting bagi setiap RS menyelenggarakan K3RS yang bertujuan agar terselenggaranya K3 di Rumah Sakit secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan sehingga setiap Rumah Sakit wajib menyelenggarakan K3RS, meliputi membentuk dan mengembangkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Rumah Sakit dan menerapkan standar K3RS.

Diketahui bahwa Rumah Sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan teknologi, namun keberadaan Rumah Sakit juga memiliki dampak negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila Rumah Sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu, dalam impelementasinya RS perlu membuat kebijakan tertulis dari pimpinan Rumah Sakit, menyediakan organisasi K3RS, melakukan sosialisasi K3RS pada seluruh jajaran Rumah Sakit, membudayakan perilaku K3RS, Meningkatkan SDM yang profesional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di Rumah Sakit; dan Meningkatkan Sistem Informasi K3RS.

Penerapan K3RS ini tidak hanya dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) bagi institusi, melainkan dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan di masa yang akan datang, dan pemerintah telah hadir memberikan arahan melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No. 66 tahun 2016 yang menetapkan standar penerapan K3 untuk Rumah Sakit untuk dapat di implementasikan di masing-masing RS, serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1087/Menkes/SK/Viii/2010 Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit.

Perlunya implemetasi K3RS karena kita menyadari bahwa terdapat bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit yakni disebabkan oleh faktor biologi (virus, bakteri, jamur, parasit); faktor kimia (antiseptik, reagent, gas anestesi); faktor ergonomi (lingkungan kerja,cara kerja, dan posisi kerja yang salah); faktor fisik (suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi); faktor psikososial (kerja bergilir, beban kerja, hubungan sesama pekerja/atasan) yang dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja2. Secara global, menurut WHO dan ILO bahwa penyakit dan cedera yang terkait pekerjaan bertanggung jawab atas 1,9 juta kematian pada tahun 2016. Menurut Estimasi bersama antara WHO/ILO bahwa beban penyakit dan cedera terkait pekerjaan, selama tahun 2000-2016 dalam laporan pemantauan global menyatakan sebagian besar kematian terkait pekerjaan disebabkan oleh penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Penyakit tidak menular menyumbang 81 persen dari kematian. Penyebab kematian terbesar adalah penyakit paru obstruktif kronik (450.000 kematian); stroke (400.000 kematian) dan penyakit jantung iskemik (350.000 kematian). Cedera kerja menyebabkan 19 persen kematian (360.000 kematian).

Studi ini mempertimbangkan 19 faktor risiko pekerjaan, termasuk paparan jam kerja yang panjang dan paparan tempat kerja terhadap polusi udara, asmagen, karsinogen, faktor risiko ergonomis, dan kebisingan. Risiko utama adalah paparan jam kerja yang panjang terkait sekitar 750.000 kematian. Paparan polusi udara di tempat kerja (partikel, gas, dan asap) bertanggung jawab atas 450.000 kematian. Laporan ini sekaligus sebagai panggilan/alarm untuk menghadirkan negara dan bisnis untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja dengan menghormati komitmen mereka untuk menyediakan cakupan universal layanan kesehatan dan keselamatan kerja.

Agar dapat memahami K3RS secara komprehensif maka manajemen rumah sakit diharapkan dapat memahami pentingnya pelaksanaan K3RS di Rumah Sakit, memahami penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (SMK3RS), memahami Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang telah ditetapkan, memahami standar sumber daya manusia K3RS, memahami pentingnya pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan K3RS yang terintegrasi dengan sistem informasi manajemen Rumah Sakit, serta mampu mempersiapkan RS memenuhi standar Akreditasi RS mengenai penyelenggaraan K3RS sesuai dengan standar akreditasi yang telah ditetapkan.

Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 66 tahun 2016 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit.
  2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:1087/Menkes/SK/Viii/2010 Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Di Rumah Sakit.
  3. WHO. (2021). Diakses dari: https://www.who.int/news/item/16-09-2021-who-ilo-almost-2-million-people-die-from-work-related-causes-each-year

 

 

Dalam upaya menjaga program kesehatan dan gizi ibu dan anak di Indonesia selama pandemi COVID-19, telah dilakukan sebuah kegiatan yang merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI dengan Universitas Gadjah Mada, beserta 20 Universitas mitra lainnya di seluruh Indonesia dengan menerapkan sistem online untuk mengevaluasi dampak pandemi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) terhadap pelayanan kesehatan esensial dan gizi ibu dan anak di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan oleh Helmyati S., dkk 2022 yang mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi elektronik untuk membantu Dinas Kesehatan Kabupaten dalam membuat penilaian cepat tentang dampak COVID-19 pada program kesehatan dan gizi ibu dan anak di wilayah mereka, dan dalam mengembangkan respons kebijakan dan program. Penelitian implementasi ini dilaksanakan pada bulan September hingga Desember 2020 di 304 Kecamatan. Strategi tersebut terdiri dari bantuan teknis untuk Dinas Kesehatan oleh 21 Universitas mitra dan mengembangkan dashboard online untuk analisis dan pelaporan situasi yang cepat.

Peneliti dilakukan dengan mengumpulkan data kualitatif tentang kelayakan dan kepatuhan terhadap intervensi, serta data kuantitatif dari database kesehatan rutin untuk menganalisis dampak COVID-19 pada indikator kesehatan dan gizi ibu dan anak. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan sebagian besar Kabupaten, layanan kesehatan dan gizi utamanya ibu dan anak terkena dampak sedang atau parah oleh pandemi, khususnya layanan pemantauan pertumbuhan anak dan perawatan antenatal. Kepatuhan terhadap protokol intervensi bervariasi di seluruh Kabupaten, sistem ini merupakan pendekatan yang layak untuk ditingkatkan ke wilayah lain dan program kesehatan. Disimpulkan bahwa sistem monitoring dan evaluasi elektronik dapat diterapkan dan dilengkapi dengan beberapa modifikasi untuk mengakomodasi Dinas Kesehatan Kabupaten dan Universitas, serta terdapat potensi untuk meningkatkan intervensi ini dengan perencanaan dan pelatihan implementasi yang lebih baik.

Baca lebih lanjut di link berikut https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35125539/ 

 

Penulis: Dr. Hanevi Djasri, dr, MARS, FISQua & Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH

Standar

Mutu pelayanan kesehatan sering kali berbeda-beda. Salah satunya penyebabnya karena adanya variasi proses sehingga diperlukan standarisasi pelayanan. Menurut peraturan pemerintah nomor 102 tahun 2000 tentang standarisasi nasional menyebutkan , standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

Standar adalah rentang variasi yang dapat diterima dari suatu norma (Donabedian). Katz dan Green mengungkapkan bahwa standar adalah pernyataan tertulis tentang harapan yang spesifik. Standar menurut oxford dictionary adalah tingkat keprimaan dan digunakan sebagai perbandingan.

Indikator Mutu

1. Konsep Indikator Mutu

Indikator mutu merupakan ukuran berbasis bukti menggunakan data untuk mengukur kinerja. Definisi indikator mutu muncul dari berbagai sumber. Indikator mutu menurut AHRQ: standardized, evidence-based measures of health care quality that can be used with readily avalaible hospitak inpatient administrative data to measure and track clinical perfomance and outcomes. Indikator mutu menurut Campbel (2008): Indicators are explicitly defined and measurableitems which act as building blocks in theassessment of care. Indikator mutu menurut medical dictionary: Any measure of the process, performance, or outcome of health care delivery. In general, quality indicators are chosen because they correlate with greater patient safety and decreased mortality. In caring for patients with pneumonia, for example, the percentage of patients who have blood cultures drawn and antibiotics administered in the first hours of their arrival at a hospital was previously considered a marker of the quality of care that they receive.

Indikator mutu menurut Pencheon (2008) merupakan ukuran dari hasil yang diberikan oleh tenaga profesional berdasarkan bukti ilmiah ataupun consensus dalam rangka menilai kualitas pelayanan kesehatan sehingga akan dihasilkan perubahan pelayanan jika pelayanan yang didapatkan tidak sesuai dengan bukti ilmiah. Inidikator mutu menurut Mainz (2003) indikator sebagai tindakan, sebagai ukuran kuantitatif, dan sebagai alat ukur. Indikator sebagai tindakan berarti indikator dapat menilai proses atau hasil perawatan kesehatan tertentu. Indikator sebagai ukuran berarti indikator akan mengahasilkan kuantitatif yang bisa digunakan untuk memantau dan mengevaluasi kualitas pada fungsi tata kelola, manajemen, klinis, dan dukungan yang mempengaruhi hasil pasien. Indikator sebagai alat ukur yang digunakan sebagai panduan untuk memantau, mengevaluasi, dan meningkatkan kualitas perawatan pasien, layanan dukungan klinis, dan fungsi organisasi yang mempengaruhi hasil pasien.

Mainz (2003) menyebutkan bahwa indikator bertujuan untuk mengukur kinerja, membandingkan kinerja dengan target, akuntabilitas, akreditasi, menentukan prioritas layanan, mengetahui mutu layanan. Pencheon (2008) mengidentifikasi tiga kegunaan indikator, yaitu untuk mempelajari kerja sistem dan bagaimana cara memperbaikinya, mengetahui apakah sistem bekerja sesuai target, dan akuntabilitas.

2. Jenis-jenis indikator

Jenis indikator bervariasi, dapat diklasifikasikan menjadi indikator klinis, indikator aspek kesehatan, indikator perawatan kesehatan, indikator mutu, indikator kinerja. Jenis indikator dalam standar akreditasi rumah sakit yang telah disusun oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) terdiri dari indikator area klinis, area manajemen, dan area keselamatan pasien. Donabedian membagi indikator menjadi 3 yaitu indikator struktur atau input, proses, dan outcome (Donabedian. 2005).
Struktur: sumber daya yang ada, misal jumlah perawat yang memiliki STR.

Proses: yang dilakukan dalam menerima dan memberikan perawatan. Digunakan untuk menilai dan meningkatkan mutu layanan klinis, misal proporsi pasien yang diobati sesuai pandukan praktik klinis atau clinical pathaways.
Outcome: mengukur efek perawatan terhadap status kesehatan pasien, misal hasil tekanan angka kematian ibu di fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Penyusunan, Pengukuran, Analisa dan Penyusunan Rencana Tindak Lanjut

a. Penyusunan

A performance assessment framework for hospitals the WHO regional office for Europe PATH project oleh J. Veillard (2005) dan Wollersheim et.al., 2007 menyebutkan bahwa proses penyusunan indikator dilakukan melalui 3 tahap yaitu: 1) memilih calon indikator; 2) menetapkan calon indikator; 3) mengukur (uji coba) indikator dan menetapkan indikator berdasarkan hasil uji coba.

  1. Pemilihan calon indikator
    Pemilihan calon indikator dilakukan dengan beberapa metode, yaitu teknik delphi, consensus, literature, metode sistematis dan non sistematis.
    1. Teknik Delphi
      Teknik Delphi adalah proses mengumpulkan informasi menggunakan kuisioner ataupun diskusi kelompok (focus group discussion). Teknik Delphi dapat dilakukan dengan cara berikut ini: 1) identifikasi isu; 2) menyusun kuisioner dan menentukan kelompok ahli yang akan mengisi kuisioner. Kelompok ahli dikelompokkan berdasarkan lingkup ilmu. Misalnya perawat, dokter, dan pasien; 3) mengirim kuisioner ke peserta melalui surat ataupun memanfaatkan internet; 4) menganalisa hasil jawaban kuisioner yang telah dikirimkan oleh peserta; 5) mengirimkan hasil analisa ke peserta; 6) meminta peserta menetapkan skala prioritas; 7) melakukan hal yang sama sampai pembuat keputusan menemukan solusi dari sebuah isu yang akan diselesaikan; dan 8) jika telah ditemukan solusi, maka dianjurkan untuk ada pertemuan secara fisik (Rym Boulkedid et.al.,2011).
    2. Consensus
      Penyusunan indikator berdasarkan bukti ilmiah jarang ditemukan sehingga diperlukan metode lain untuk mengembangkan indikator seperti consensus. Metode consensus dapat dilakukan dengan teknik Delphi ataupun RAND. Teknik ini menggabungkan pendapat ahli, bukti ilmiah dan pedoman klinis.
    3. Literature
      Pencarian literatur untuk mencari indikator atau berdasarkan evidence-based guideline menggunakan pendekatan translational research. Menurut Khoury MJ (2010) dikutip dalam Bhisma Murti bahwa Research phase dimulai dengan, T1 berupa menciptakan atau mengembangkan metode baru melalui riset, T2 berupa riset untuk mengevaluasi manfaat metode baru, T3 berupa implementasi, dan T4 berupa evaluasi intervensi.
    4. Metode sistematis dan metode non sistematis
      Indikator dapat dikembangkan secara sistematis dan non sistematis. Metode non sistematis merupakan metode yang tidak memerlukan bukti ilmiah sedangkan metode sistematis merupakan metode yang memerlukan bukti ilmiah. Selain itu, metode pengembangan indikator dapat dilakukan melalui metode kombinasi, yakni campuran metode sistematis, pendapat ahli dan bukti ilmiah. (Campbell et.al.,2016)
  2. Penetapan calon indikator
    Kriteria-kriteria dalam menetapkan calon indikator. Menurut Wollershiem (2007), ada 4 kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya: relevansi/hubungan (Relevancy), valid/kebenaran (Validity), keandalan (Reliability), kemungkinan (feasibility).
    1. Relevansi: aspek yang penting dari dimensi mutu layanan kesehatan. Misal, aspek efektif, efisien dan keselamatan.
    2. Validity: memiliki hubungan yang kuat dengan mutu pelayanan kesehatan saat ini dan dapat dilakukan berdasarkan bukti ilmiah terbaik serta berdasarkan pada pengalaman.
    3. Reliability: variasi yang timbul antar dan inter observer rendah, sumber data tersedia dan dapat dipercaya, dan metode statistik yang digunakan dapat dipercaya.
    4. Feasibility: data tersedia dengan mudah, dapat digunakan untuk meningkatkan mutu, sadar terhadap adanya perbaikan, dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, dan dapat diterapkan kepada penggguna atau orang yang terlibat.
  3. Uji coba (mengukur) indikator
    Pengumpulan data untuk uji coba ada dua cara yaitu retrospektif dan prospektif. Pengumpulan data retrospektif sering tidak lengkap dan menimbulkan interpretasi subjektif sehingga dalam membuat keputusan dapat mengurangi reliabilitas. Sedangkan penggunaan data prospektif dapat mengurangi kerancuan interpretasi sehingga cara pengumpulan data ini adalah yang terbaik, namun seringkali dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan karena berbagai kendala (Wollersheim et.al., 2007). Uji coba indikator digunakan untuk menilai relevansi/hubungan (Relevancy), valid/kebenaran (Validity), keandalan (Reliability), kemungkinan (feasibility).

b. Pengukuran

Pengukuran indikator dilakukan untuk mengetahui cara kerja sistem (understanding) dan bagaimana cara meningkatkannya (improved), monitoring kinerja sistem (performance system), dan tranparansi (accountability) (Pencheon. 2008).
Pengukuran indikator dilakukan untuk: 1) mengukur dan membandingkan kinerja terhadap target yang ditetapkan (benchmarking); 2) mendukung proses akuntabilitas, regulasi dan akreditasi; 3) menetapkan prioritas layanan atau sistem; 4) mendukung inisiatif peningkatan kualitas, dan untuk mendukung pilihan pasien penyedia layanan; dan 5) performance assessment and quality improvement.

Bagaimana cara melakukan pengukuran indikator?

Sebelum melakukan pengukuran indikator, hal yang harus dilakukan yaitu menyusun profil atau kamus indiktaor. Kamus indikator berisi: judul indikator, definisi operasional, tujuan pengukuran indikator, rasionalsasi indikator, cakupan data, metode pengumpulan data, frekuensi pengumpulan data, frekuensi analisa data, sumber data, penanggung jawab, dan publikasi. Item-item yang dituliskan dalam kamus indikator tidak hanya sebatas pada yang diatas, namun bisa ditambahkan sesuai dengan kebutuhan pengguna, semakin detail item-item yang ada dalam kamus inidkator maka akan semakin mempermudah sumber daya manusia melakukan pengukuran, analisa, dan penyusunan rencana tindak lanjut indikator mutu.

Tabel 1. Profil/kamus indikator

Judul  
Defisini operasional  

Dimensi mutu

*Pilih salah satu dari 6 dimensi mutu WHO yaitu efisiensi, efektivitas, aksesibilitas, keselamatan, fokus kepada pasien, dan kesinambungan

 
Tujuan  
Rasionalisasi  
Numerator  
Denominator  
Formula pengukuran  

Metode pengumpulan data

*Secara retrospective/ sensus harian/ concurent

 

Cakupan data

Menggunakan seluruh data yang tersedia atau menggunakan sample

 

Frekuensi pengumpulan data

*Harian/ Mingguan/ Bulanan/ Lainnya

 

Frekuensi analisa data

*Mingguan/ Bulanan/ Triwulan/ Smester/ Tahunan

 

Metode analisa data

*Interpretasi data dengan cara: bandingkan dengan trend, bandingkan dengan RS lain, bandingkan dengan standar, bandingkan dengan praktik terbaik

 
Sumber data  
Penanggung jawab  

Publikasi data

*Secara internal/ eksternal

 

c. Analisa

Tahapan yang dilakukan setelah mengukur indikator yaitu analisa hasil pengukuran indikator. Hal ini dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu statistik dan non statistik. Statistik menggunakan histogram, bar, run chart, dan lainnya sedangkan non statistik menggunakan diagram tulang ikan/Ishikawa dan 5 why’s.

4feb

Gambar 1. Diagram Tulang Ikan

4feb1

Gambar 2. Lima Why’s

 

d. Penyusunan Rencana Tindak Lanjut

Penyusunan rencana tindak menggunakan Nolan model. Nolan model merupakan suatu model yang digunakan untuk upaya perbaikan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari perencanaan (plan), dikerjakan (do), cermati hasilnya (check), dan amalkan untuk seterusnya (action), yang dikenal dengan siklus PDCA.

Sebelum dilakukan perubahan, harus ada kejelasan sasaran yang akan diperbaiki, dilanjutkan dengan cara untuk mengetahui bahwa perubahan yang dilakukan akan menghasilkan perbaikan. Setelah menetapkan sasaran perbaikan dan menetapkan pengukuran atas perubahan, tetapkan dan rencanakan kegiatan-kegiatan perbaikan pada apa saja yang perlu dilakukan dalam bentuk silkus PDCA.

4feb2

Gambar 3. Perbaikan sistem Mikro Pelayanan dengan Model Nolan

Tim yang melakukan Nolan model diharapkan terdiri dari penanggung jawab proses/sistem (system leader), karyawan yang paham secara teknis terhadap proses pelayanan (technical expertise), dan pelaksana yang sehari-hari mengerjakan proses pelayanan (day-to-day leader). Tim tersebut akan melakukan analisis permasalahan yang ada dalam sistem mikro, menetapkan sasaran, menetapkan pengukuran, dan mengikuti keseluruhan langsung serta proses perbaikan. Rencana perbaikan (POA) harus ditulis secara sistematis (misalnya ditulis dalam Format Tindak Lanjut).

Tabel 2. Penyusunan Rencana Tindak Lanjut

No Kegiatan Tujuan Indikator Keberhasilan Penanggung Jawab Waktu Pelaksanaan Biaya
             

e. Contoh indikator

Indikator yang telah disusun oleh berbagai organisasi sangat banyak, misal indikator yang telah disusun oleh WHO, AHRQ, kementrian kesehatan, kendali mutu dan kendali biaya tingkat nasional, KARS, maupun indikator lokal yang telah disusun oleh rumah sakit maupun puskesmas.

1 Kepatuhan identifikasi pasien 7 Kepatuhan penggunaan formularium nasional (FORNAS)
2 Emergency respon time < 5 menit 8 Kepatuhan cuci tangan
3 Waktu tunggu rawat jalan 9 Kepatuhan upaya pencegahan resiko cedera akibat pasien jatuh
4 Penundaan operasi elektif 10 Kepatuhan terhadap clinical pathway
5 Ketepatan jam visite dokter spesialis 11 Kepuasan pasien dan keluarga
6 Waktu lapor hasil tes kritis laboratorium 12 Kecepatan respon terhadap komplain

Referensi

  • Aboriginal Health & Medical Research Council. 2013. A literature Review About Indicators and Their Uses. Sydney, Australia. Aboriginal Health & Medical Research Council.
  • Bhisma Murti Cit Khoury MJ, Gwinn M, Loannidis JPA. 2010. The Emergence of Translational Epidemiology. America: American Journal of Epidemiology
  • Campbell, J Braspenning, A Hutchinson, M Marshall. 2016. Research Methods Used in Developing and Applying Quality Indicators in Primary Care
  • Donabedian, A. 2005. Evaluating The Quality of Medical Care. 1966. Biography Classical Article Historical Article. Milbank Q.
  • Koentjoro, Tjahjono. 2007. Regulasi Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
  • Pencheon, D. (2008). The Good Indicators Guide: Understanding how to use and choose indicators:NHS Institute for Innovation and Improvement, Association of Public Health Observatories.
  • Rym Boulkedid et.,al. 2011.Using and Reporting the Delphi Method for Selecting Healthcare Quality Indicators A Systematic Review.
  • The Victorian Government Department of Human Services. 2008. A Guide to Using Data for Health Care Quality Improvement. Melbourne, Victoria: The Victorian Government Department of Human Services
  • Wollersheim, H., Hermens, R., Hulscher, M., Braspenning, J., Ouwens, M., Schouten, J., Grol, R. (2007). Clinical indicators: development and applications. Netherlands Journal of Medicine, 65(1),15-22.
  • https://www.qualityindicators.ahrq.gov/Default.aspx
  • https://medical-dictionary.thefreedictionary.com/quality+indicator
  • https://www.ahrq.gov/talkingquality/measures/six-domains.html.