Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Malaria adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang berdampak buruk pada kesehatan dan mata pencaharian orang-orang di seluruh dunia. Pada tahun 2020, diperkirakan ada 241 juta kasus baru malaria dan 627.000 kematian terkait malaria di 85 negara. Lebih dari dua pertiga kematian terjadi pada usia anak-anak di bawah 5 tahun yang tinggal di Wilayah Afrika. Pada peringatan Hari Malaria Sedunia 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema "Memanfaatkan Inovasi Untuk Mengurangi Beban Penyakit Malaria dan Menyelamatkan Nyawa". Peringatan ini dibuat untuk menyerukan pentingnya pendekatan, pengendalian, diagnostik, serta distribusi obat yang baik untuk melawan malaria di seluruh dunia.

Tema yang diusung juga memuat pesan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia untuk tetap memberikan komitmen kuat guna mewujudkan Indonesia bebas malaria tahun 2030. Kita ketahui malaria masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, utamanya di kawasan timur Indonesia. Sampai dengan tahun 2021, sebanyak 347 dari 514 kabupaten/kota atau 68% sudah dinyatakan mencapai eliminasi. Dalam rangka mencapai target Indonesia Bebas Malaria tahun 2030, maka dibuat regionalisasi target eliminasi. Terdapat 5 regional yaitu regional pertama terdiri dari provinsi di Jawa dan Bali; regional kedua terdiri dari provinsi di Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat; regional ketiga terdiri dari provinsi di Kalimantan dan Maluku Utara, regional keempat terdiri dari provinsi Maluku dan Nusa Tenggara Timur; dan regional kelima terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat (Kemenkes RI).

Terkait dengan penerapan pendekatan inovatif, WHO memberikan apresiasi kepada Negara Sudan yang merupakan negara pertama di Wilayah Mediterania Timur yang menerapkan pendekatan inovatif untuk pengendalian malaria, mereka telah mengadopsi pendekatan “High Burden to High Impact” (HBHI), pendekatan ini dilakukan untuk mempercepat kemajuan melawan malaria. Melalui HBHI, dapat menjangkau populasi yang paling berisiko terkena malaria, dengan paket intervensi yang disesuaikan dengan data lokal yang ada. Penerapan HBHI juga tergantung pada komitmen politik yang kuat untuk memprioritaskan pemberantasan malaria.

Baca selengkapnya pada link berikut: https://www.who.int/news/item/25-04-2022-who-congratulates-sudan-on-adopting-the-high-burden-to-high-impact-approach 

 

Kebutuhan dan harapan pasien harus dapat diketahui oleh lembaga penyedia layanan maupun orang yang menjadi pelaku layanan. Organisasi pelayanan perlu mengembangkan mekanisme untuk mengenal kebutuhan dan harapan pasien, baik melalui surveilan, diskusi kelompok terarah, seminar, maupun kegiatan sosial dan informasi dalam upaya menangkap aspirasi pasien. Masukan tentang kebutuhan dan harapan pasien tersebut ditindaklanjuti dalam bentuk pengembangan rancang bangun sistem, dan proses pelayanan yang memungkinkan dokter dan staf memberikan perawatan yang lebih efektif.

Tanggapan pelayanan terhadap kinerja pelayanan yang diterima, baik puas atau tidak puas perlu juga di ukur, di evaluasi, dan ditindaklanjuti. Data mengenai kepuasan pasien dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain survei kepuasan pasien. Ukuran-ukuran kepuasan pasien dapat meliputi 5 faktor, yaitu kenyamanan untuk melakukan akses, luaran pelayanan, lingkungan, perilaku karyawan, dan prosedur pelayanan. Tidak dianjurkan untuk melakukan dalam skala besar, tetapi survailans dalam skala kecil dan berkesinambungan.

Penilaian terhadap kenyamanan dapat dikembangkan dalam beberapa pertanyaan meliputi kemudahan untuk menghubungi, ketersediaan informasi yang dibutuhkan, ketersediaan waktu dan tempat dibutuhkannya pelayanan, serta lokasi yang mudah dijangkau. Luaran pelayanan meliputi manfaat pelayanan, reliabilitas, jenis-jenis pelayanan yang ditawarkan, ketepatan waktu, dan tarif pelayanan. Lingkungan pelayanan meliputi ketersediaan sarana komunikasi umum, lingkungan yang menarik dan sejuk, dan kejelasan serta ketersediaan tanda petunjuk arah. Penilaian terhadap karyawan meliputi kepedulian karyawan terhadap kebutuhan pasien, kompetensi karyawan. Kesediaan karyawan untuk melayani, serta keramahan dan sikap menghargai pasien. Penilaian terhadap prosedur meliputi prosedur pelayanan yang nyaman dan mudah, kecepatan dan lama pelaksanaan prosedur, prosedur yang tanggap terhadap individual, dan informasi tentang perkembangan proses pelayanan.

Pengukuran yang dilakukan, baik untuk mengenal kebutuhan dan harapan pasien, kepuasan pasien maupun saran dan komplain yang diajukan harus dianalisis. Hasil analisis disampaikan kepada berbagai unit kerja yang terkait untuk kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan perbaikan yang nyata. Unit kerja diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang diangkat oleh pasien yang tidak puas dengan cara yang tepat karena penilaian yang ada dapat memberikan informasi yang mengarah pada perbaikan dalam pemberian layanan, bila kebutuhan dan harapan pasien ditangani dengan benar dengan sistem yang baik maka dapat meningkatkan reputasi organisasi dan memperkuat kepercayaan pasien.

Upaya perbaikan dan tindak lanjut dari pengalaman pasien dapat dimulai dengan mengikuti siklus PDCA, meliputi perencanaan (Plan), dikerjakan (do), cermati hasilnya (check) dan amalkan untuk seterusnya (action). Terlebih dahulu menetapkan apa yang menjadi sasaran perbaikan sebelum dilakukannya perubahan (setting aims), dilanjutkan dengan cara untuk mengetahui bahwa perubahan yang dilakukan akan menghasilkan perbaikan (measurements). Setelah menetapkan sasaran perbaikan dan menetapkan pengukuran atas perubahan, barulah ditetapkan dan direncanakan kegiatan-kegiatan perbaikan pada apa saja yang perlu dilakukan dalam bentuk siklus PDCA.

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:

  • Koentjoro, T. (2007). Regulasi kesehatan di Indonesia.
  • Spath, P. (2009). Introduction to healthcare quality management (Vol. 2). Chicago: Health Administration Press.

 

Akreditasi adalah pengakuan terhadap mutu pelayanan rumah sakit setelah dilakukan penilaian bahwa rumah sakit telah memenuhi standar akreditasi yang disetujui oleh Pemerintah. Dalam upaya meningkatkan cakupan akreditasi rumah sakit, Pemerintah mendorong terbentuknya lembaga-lembaga independen penyelenggara akreditasi serta transformasi sistem akreditasi rumah sakit. Sejalan dengan terbentuknya lembaga-lembaga independen penyelenggara akreditasi maka perlu ditetapkan standar akreditasi rumah sakit yang akan dipergunakan oleh seluruh lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit dalam melaksanakan penilaian akreditasi.

Proses penyusunan standar akreditasi rumah sakit diawali dengan pembentukan tim yang melakukan sandingan dan benchmarking standar akreditasi dengan menggunakan referensi Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1.1 dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Joint Commission International Standards for Hospital edisi 7, regulasi perumahsakitan serta panduan prinsip-prinsip standar akreditasi edisi 5 yang dikeluarkan oleh The International Society for Quality in Health Care (ISQua). Selanjutnya dilakukan pembahasan dengan melibatkan perwakilan dari lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, rumah sakit dan akademisi.

Selanjutnya hasil diskusi tersebut dibahas lebih lanjut oleh panelis penyusunan standar akreditasi rumah sakit dengan mendapat masukan secara tertulis dari lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit. Penyusunan standar akreditasi rumah sakit mempertimbangkan penyederhanaan standar akreditasi agar lebih mudah dipahami dan dapat dilaksanakan oleh rumah sakit. Sehingga tersusun yang akan menjadi acuan untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit, sebagai acuan bagi lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit dan rumah sakit dalam penyelenggaraan akreditasi rumah sakit, serta menjadi acuan bagi Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan evaluasi mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.

Standar akreditasi terbaru sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/1128/2022 Tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit dapat dibaca pada link berikut

klik disini

 

 

 

 

Membangun suatu budaya keselamatan pasien yang baik merupakan langkah pertama menuju keselamatan pasien. Salah satu cara untuk menilai budaya keselamatan pasien adalah menggunakan kuesioner, seperti kuesioner Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC). Namun sayangnya kuesioner ini masih disusun dalam bahasa Inggris, sehingga masih membatasi penggunaannya di Indonesia. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tambajong, MGK., dkk. yang berjudul adaptasi linguistik kuesioner hospital survey on patient safety culture ke versi indonesia mencoba mendapatkan kuesioner HSOPSC versi Bahasa Indonesia yang valid dan reliabel, sehingga dapat digunakan dalam menilai gambaran budaya keselamatan pasien di berbagai rumah sakit.

Untuk mendapatkan kuesioner yang valid dan reliabel peneliti menggunakan mixed method sequential exploratory design, diawali dengan penelitian kualitatif dan diikuti dengan penelitian kuantitatif untuk menguji validitas dan reliabilitas kuesioner. Subjek penelitian adalah tujuh tenaga kesehatan (dokter, perawat, tenaga kesehatan lain) pada fase kualitatif dan 123 kuesioner yang sudah diisi pada fase kuantitatif. Sampel pada fase kualitatif dipilih secara purposive, dan sampel pada tahap kuantitatif diambil secara acak bertingkat (stratified random sampling). Kemudian dilakukan wawancara mendalam terhadap tenaga kesehatan mengenai persepsi, dan pemahaman budaya keselamatan pasien di rumah sakit. Analisis kualitatif dilakukan dengan koding, menggunakan bantuan perangkat lunak atlas.ti. Selanjutnya, dilakukan adaptasi linguistik kuesioner HSOPSC dari versi bahasa Inggris menjadi versi bahasa Indonesia. Dilakukan uji reliabilitas berupa uji konsistensi internal dan uji validitas isi, serta validitas konstruk atas kuesioner yang dihasilkan.

Hasil yang didapatkan bahwa pada hasil wawancara tidak didapatkan tema baru terkait persepsi dan pemahaman tentang budaya keselamatan pasien yang berbeda dengan dimensi yang diukur dalam kuesioner HSOPSC versi bahasa Inggris, sehingga tidak dilakukan penambahan item. Uji validitas isi, uji validitas konstruk, dan uji reliabilitas internal menunjukkan bahwa kuesioner hasil adaptasi linguistik ini bersifat valid dan reliabel. Terdapat satu item yang tidak memenuhi uji validitas konstruk dan reliabilitas, sehingga dikeluarkan dari model. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kuesioner HSOPSC versi bahasa Indonesia hasil adaptasi linguistik bersifat valid dan reliabel pada uji psikometri dan layak digunakan dalam menilai budaya keselamatan pasien. Baca lebih lanjut pada link berikut:

klik disini

Sumber: Tambajong, M. G., Utarini, A., & Pramono, D. (2022). Adaptasi Linguistik Kuesioner Hospital Survey on Patient Safety Culture ke Versi Indonesia. The Journal of Hospital Accreditation, 4(1), 17-27.