Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

ihqnkuntjoroIHQN-MANADO Sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) telah diterapkan diIndonesia sejak tahun 2014, dengan tujuan untuk memastikan bahwa seluruh penduduk Indonesia dapat memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu tanpa beban finansial. JKN berkaitan erat dengan INA-CBG'S yang merupakan kependekan dari Indonesia Case Base Group's yang pada Jaminan Kesehatan Nasional menjadi dasar untuk perhitungan pembayaran perawatan pasien di rumah sakit berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Dalam pembayaran menggunakan INA-CBG'S, baik RS maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Releated Group).

Pada tahun 2006, WHO telah mengeluarkan framework untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan. Framework tersebut terdiri dari 6 dimensi mutu, yaitu akses, efisiensi, efektivitas, akseptabilitas, keadilan, dan keselamatan. Di Indonesia sendiri baru dua dimensi yang digunakan dalam penilaian mutu pelayanan kesehatan yaitu akses dan efisien dan hal ini tentunya belum bisa mewakili secara keseluruhan proses atau ukuran-ukuran mutu untuk menilai proses itu tumbuh dengan baik di sebuah institusi pelayanan publik yang namanya rumah sakit. Pada dasarnya bukanlah hal yang sulit untuk menerapkan 6 dimensi yang dianjurkan oleh WHO, apalagi dengan sumber data yang kita miliki dalam INA-CBG'S. Dalam sistem INA-CBG'S terdapat 21 data variabel yang berarti kita memiliki data yang sangat kaya hanya saja pemanfaatan terhadap data yang masih sangat kurang.

Dalam Forum Mutu IHQN XII, dr. Kuntjoro Adi Purjanto M.Kes mengatakan bahwa data yang kita miliki dapat digunakan untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan yang mencangkup 6 dimensi, hanya saja kita perlu menentukan indikator-indikator yang disepakati untuk setiap dimensi terlebih dahulu sehingga penilaian yang dilakukan akan objektif. Data dapat bersifat sebagai informasi dan juga indikator penilaian, sehingga dari data tersebutlah dapat dibuat indikator penilaian sesuai dengan dimensi.

Sebagai contoh, dimensi efektivitas angka kesembuhan untuk penyakit-penyakit tertentu, sehingga kita dapat membandingkan jumlah pasien pada diagnosa/tindakan tertentu berdasarkan status keluar RS sehingga contoh indikator yang dapat kita peroleh dari data adalah perbandingan antara jumlah pasien dengan stroke haemoragik yang pulang dengan yang meninggal dunia. Hal tersebut dapat diterapkan pada 5 dimensi yang lain juga.

Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI) sementara menyusun indikator-indikator, ukuran-ukuran dan ciri-ciri rumah sakit yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia dan diharapkan hal tersebut dapat segera terwujud. Hal ini disampaikan langsung oleh dr. Kuntjoro Adi Purjanto M.Kes yang merupakan ketua Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia. PERSI juga akan melakukan kerja sama dengan KKI dengan harapan hal tersebut dapat mengurangi bahkan menghilangan kegiatan-kegiatan ilegal yang sering dilakukan oleh oknum dokter tertentu dengan pemilik rumah sakit maupun manager rumah sakit. Kerja sama ini juga diharapakan dapat mencegah hal-hal serupa dan tentunya perubahan perilaku dari para oknum yang tidak bertanggung jawab.

Diharapkan ke depannya dengan menggunakan data klaim INA-CBG'S maka RS akan memperoleh manfaat dalam bentuk ketersediaan data yang lengkap serta kecepatan dalam mengelolah data dan menghasilkan rencana perbaikan. Saat ini belum ada indikator baku yang menggunakan data klaim INA-CBG'S untuk itu diharapkan tindak lanjut dari para regulator baik Kementrian Kesehatan, BPJS, PERSI, dan organisasi profesi lainnya untuk dapat melihat potensi manfaat yang ada dari data klaim INA-CBG'S untuk dapat menghasilkan kesepakatan bersama mengenai berbagai jenis indikator yang dapat mewakili setiap dimensi mutu.

Reporter : Fine Claudia Ponga

 

ihqnfirmanIHQN-Manado. Firman SKM, MPH memperkenalkan sebuah konsep yang sebelumnya digunakan oleh industri manufactur untuk digunakan di industri kesehatan. Konsep ini telah lama diadopsi oleh negara-negara Amerika dan Eropa, dikenal dengan konsep "lean hospital".

Lean hospital merupakan konsep yang bisa diterapkan di semua level organisasi. Lean sebagai seperangkat alat untuk merampingkan proses sehingga bisa meningkatkan pendapatan, mengurangi biaya dan meningkatkan kepuasan. Lean hospital diadopsi dari perusahaan Toyota yang ada di Jepang.

Implementasi lean telah banyak dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia. lokasi lean di RS telah dilakukan di rawat jalan (rajal) Obsgyn, Farmasi, Laboratorium, SDM, Klinik Bedah, Ruang Operasi, RS Anak, Rajal Onkologi, Emergency dan lainnya. Implementasi banyak dilakukan karena banyaknya manfaat lean,mulai dari menurunkan rata-rata waktu tunggu, menurunkan waktu antrian, menurunkan total biaya diagnostik, meningkatkan efisiensi aliran proses laboratorium, meningkatkan efisiensi ruang operasi, meningkatkaan jumlah total pasien tanpa I.V, menurunkan rata-rata waktu tunggu pasien infus kemoterapi.

Namun, konsep lean juga mempunyai tantangan:

"No Time": Berikan waktu bagi sumber daya dan staf frontline
"Not Japanese": Temukan "Lean" special untuk konteks RS/PKM dan budaya kita.
"Not relevant": Hubungkan lean dengan prioritas dan masalah besar khususnya dalam safety and quality
"Not our job": Buat itu sebagai tanggung jawab dasar bagi manajer frontline
"Flavour of the month": Siapkan diri karena hasilnya jika panjang - tetap fokus, ulet dan optimis

Dalam paparan Firman, disebutkan bahwa faktor-faktor untuk menyukseskan implementasi lean, mulai dari transformasi budaya, jangan hanya fokus pada tools-nya saja tapi harus dipahami sebagai suatu sistem yang terintegrasi dalam budaya organisasi, jangan hanya fokus menghilangkan waste (Process) tapi juga perlu adopsi 3P yang lain yaitu Philosophy, People and Partners dan problem solving. Firman berharap rumah sakit maupun puskemas dapat menerapkan konsep lean dengan optimis dan ulet.

Reporter: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH

 

 

ihqnhdIHQN-MANADO. Besaran kapitasi ditentukan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. Namun, kondisi saat ini biaya kapitasi yang telah diterapkan di primary care dirasa belum cukup oleh sebagian klinisi maupun fasilitas kesehatan.

Ketua IHQN dr. Hanevi Djasri MARS pada paparannya tentang kapitasi dan cost of care di pelayanan primer di acara forum mutu IHQN ke-12 mengatakan "Perlu pemahaman yang baik tentang cost of care dan kapitasi". Primary care harus melakukan analisa untuk mendapat jawaban apakah biaya kapitasi yang diterima dari BPJS Kesehatan kurang atau lebih.

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menilai kecukupan kapitasi, primary care dapat melakukan analisa melalui perhitungan cost of care, dilakukan dengan cara menghitung biaya riil yang telah dihabiskan untuk sekali memberikan pelayanan kepada pasien.

Sebuah hasil penelitian menunjukkan biaya yang dikeluarkan sekali kunjungan ke Puskesmas sebesar Rp. 152.000,00 per orang. Ini membuktikan bahwa biaya kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke Puskesmas mengalami surplus. Namun, riil cost yang dikeluarkan oleh masing-masing primary care berbeda-beda, mulai dari Puskesmas, klinik dan dokter praktek pribadi.
Akhir paparan, kepala divisi manajemen mutu PKMK FK UGM mengusulkan adanya penyusun mekanisme mengukur efektivitas pelayanan kesehatan terkait dengan penilaian akreditasi puskesmas, penilaian puseksmas berprestasi, supervisi, penggunaan program P-Care.

Reporter: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH

 

 

ihqnbayu

IHQN – MANADO. Fraud merupakan ancaman pengelolaan biaya dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Fraud dapat dilakukan oleh kelompok peserta, penyedia layanan kesehatan, serta penyelenggara jaminan kesehatan. Para pelaku ini mencurangi sistem layanan kesehatan yang berlaku untuk mengambil keuntungan pribadi. Dampaknya, dana kesehatan tidak optimal tersalurkan untuk membiayai kesehatan masyarakat Indonesia.

Situasi ini mendorong BPJS Kesehatan melakukan upaya kendali mutu dan kembali biaya. "Saat ini BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya pelayanan kesehatan Peserta JKN Tahun 2015 sebesar 57 T. Ini namanya besar pasak dari pada tiang, karena yang dikumpulkan hanya 52,4 T," tutur Dr. dr. Bayu Wahyudi, Sp.OG, MPH, MHKes, MM, dalam acara Forum Mutu XII di Manado (21/9/2016).

Upaya kendali mutu dan kendali biaya ini dapat dilakukan dengan meminimalisir limbah kualitas, mengurangi low productivity dengan lean manajemen, melakukan cost benefit analysis untuk pelayanan yang membutuhkan sumber daya tinggi, penggunaan teknologi yang bermutu, serta peningkatan kualitas lingkungan RS. "Meminimalisir limbah kualitas dan cost benefit analysis dapat memberi efisiensi biaya sebesar 20 – 40%," tutur Direktur Hukum, Komunikasi Publik, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan ini.

Untuk mencegah fraud, BPJS Kesehatan membentuk Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya atau disingkat TKMKB. TKMKB merupakan lembaga independen yang salah satu fungsinya untuk mengendalikan potensi fraud dalam JKN. "TKMKB dibentuk oleh BPJS Kesehatan agar BPJS tidak terlalu intervensi dan subjektif. Berdasar rekomendasi TKMKB dan DPM (Dewan Pertimbangan Medis - red) ada potensi biaya yang dapat di efisiensi sebesar 43,8 M," ungkap Bayu. Kegiatan pencegahan fraud ini juga melibatkan banyak pihak mulai asosiasi faskes, organisasi profesi, termasuk NGO.

Bayu menjelaskan bahwa pencegahan fraud tidak bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak. "Kita tidak mengkriminalisasi pemberi pelayanan kesehatan tapi berupaya mewujudkan pelayanan publik yang transparan, dan akuntabel." Untuk menghindari fraud ditingkat pemberi pelayanan kesehatan, Bayu berpesan bahwa semua pelayanan harusnya berfokus pada pasien dulu baru yang lain mengiringi. "Perlu RS membuat sebuah regulasi dalam hal ini PERSI yang menetapkan bahwa pelayanan di RS harus dengan CP sehingga diikuti oleh seluruh RS," ungkapnya menutup sesi diskusi.

Reporter: Puti Aulia Rahma, drg., MPH