Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Oleh : Salihati Hanifa /18/433559/PKU/17472-SIMKES

Pengalaman waktu tunggu di pelayanan kesehatan khususnya di instalasi farmasi rawat jalan di rumah sakit saya alami ketika saya sedang mengantar nenek saya untuk melakukan control rutin di poli jantung di salah satu rumah sakit swasta di Kabupaten Jember pada Desember 2017. Pada saat itu, jadwal control rutin nenek saya maju dari jadwal yang seharusnya, karena pada saat itu bertepatan mendekati libur natal. Nenek saya merupakan salah satu peserta BPJS, sehingga ketika akan melakukan control rutin harus meminta surat pengantar rujukan di FKTP terlebih dahulu. Pada siang harinya saya mengurus terlebih dahulu surat pengantar rujukan yang nanti akan dibawa untuk control.

Pada pukul 18.00, saya dan nenek saya sudah tiba di rumah sakit dan selanjutnya melakukan pendaftaran dibagian administrasi. Saya memberikan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran kepada petugas dan saya lalu menunggu di ruang tunggu hingga petugas memanggil. System antrian masih menggunakan system manual dimana petugas memanggil satu persatu nama pasien yang ada di kartu berobat pasien. Saya dan nenek saya menunggu 15 menit untuk selanjutnya dipanggil petugas guna melakukan adaministrasi. Setelah melakukan administrasi, selanjutnya kami menuju ke poli jantung. Di poli jantung, terdapat dua petugas, yang satu bertugas untuk melakukan tensi pada pasien dan yang satu bertugas untuk memanggil pasien. Sembari menunggu dipanggil, nenek saya diukur tensi terlebih dahulu. Total waktu tunggu hingga kami dipanggil untuk masuk ke ruang praktik dokter adalah sekitar 1 jam karena pada saat itu pasien yang mengantri pada dokter yang sama cukup banyak ditambah lagi mendekati libur natal. Saat giliran nenek saya dipanggil waktu sudah menunjukkan pukul 20.15. Sesampainya di ruang praktik dokter, kami disambut oleh 1 perawat dan dokter yang bersangkutan. Dokter melakukan pemeriksaan kepada nenek saya hingga membuat resep yang selanjutnya akan kami tebus dibagian farmasi sekitar 15 menit.

Sekitar pukul 20.30, kami menuju ke instalasi farmasi untuk menyerahkan resep obat yang telah dibuat oleh dokter kepada petugas instalasi farmasi. Saya melihat, hanya ada 3 petugas yang melayani pengambilan obat sedangkan antrian di instalasi farmasi cukup banyak. Saya dan nenek saya menunggu untuk dipanggil instalasi farmasi cukup lama yakni sekitar 3 jam. Saya pikir, karena mendekati libur natal sehingga jumlah pasien meningkat, ternyata kata nenek saya hal ini sudah biasa ketika akan menebus obat. Hal ini tidak dipengaruhi karena mendekati hari libur atau tidak. Saya melihat banyak pasien seperti nenek saya yang harus menunggu obat begitu lama. Kebetulan saya ke rumah sakit bersama kedua orang tua saya juga sehingga agar nenek saya tidak capai menunggu obat akhirnya nenek saya diantar pulang terlebih dahulu oleh ayah saya. Saya dan ibu saya melanjutkan hingga obat milik nenek saya dipanggil. Akhirnya pada pukul 23.30 saya dan ibu saya selesai menebus obat milik nenek saya. Total waktu tunggu yang saya alami di instalasi farmasi di rumah sakit X adalah 3 jam. Hal ini bukan waktu yang sebentar untuk menunggu di instalasi farmasi, terlebih lagi banyak pasien seperti nenek saya yang harus menunggu. Selain itu, tempat tinggal dari pasien tidak hanya di Jember saja tetapi ada juga yang berasal dari luar Jember. Pada saat penyerahan obat, petugas harus memberikan informasi terkait obat yang diterima oleh pasien. Belum lagi petugas harus menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan pasien maupun keluarga terkait obat yang diterima sehingga hal ini juga dapat menunggu waktu tunggu pasien menerima obat.

Berdasarkan pengalaman saya di atas terkait waktu tunggu yang lama di instalasi farmasi rumah sakit X, waktu tunggu pelayanan obat merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien sehingga rumah sakit harus dapat mengontrol waktu pelayanan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian pada tahun 2013 yang menunjukkan bahwa kepuasan pasien terhadap waktu tunggu pelayanan obat di Instalasi Farmasi Rawat Jalan (IFRJ) Rumah Sakit X sebesar 57,7%, menurun dari tahun sebelumnya yakni sebesar 85% (Fitriah, Ika and Wiyanto, 2016). Menurut Permenkes No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, standar waktu tunggu pelayanan obat dibagi menjadi dua, yaitu obat jadi dengan standar waktu maksimal 30 menit dan obat racikan dengan standar waktu maksimal 60 menit. Berdasarkan pengalaman saya di atas, waktu tunggu yang saya alami di instalasi farmasi jauh melebihi standar yang telah ditentukan di Permenkes No. 58 Tahun 2014 sehingga pihak rumah sakit X perlu melakukan perbaikan agar waktu tunggu pasien di instalasi farmasi semakin pendek. Menurut (Suryana, 2018), layanan farmasi merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang dapat menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu.

Kepuasan pasien terhadap layanan farmasi dipengaruhi oleh kecepatan pelayanan, sikap petugas, konseling obat dan lokasi (Khudair and Raza, 2013). Lamanya waktu tunggu pelayanan obat di instalasi farmasi dapat disebabkan oleh beberapa factor antara lain adalah komponen delay. Komponen delay dapat disebabkan karena petugas mengerjakan kegiatan lain atau mengerjakan resep sebelumnya. Selain itu terbatasnya jumlah SDM di instalasi farmasi dan banyaknya jumlah resep obat racikan dapat juga menyebabkan lamanya waktu tunggu di instalasi farmasi (Fitriah, Ika and Wiyanto, 2016). Hal ini terlihat pada saat saya menunggu obat nenek saya, petugas yang seharusnya berada di bagian administrasi farmasi juga ikut membantu menyiapkan obat pasien sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan resep obat dibagian administrasi farmasi. Sehingga perlu adanya solusi untuk mengatasi lamanya waktu tunggu pasien di instalasi farmasi di Rumah Sakit X Kabupaten Jember guna meningkatkan kepuasan pasien.

Referensi

  1. Fitriah, N., Ika, N. and Wiyanto, S. (2016) ‘Penyebab dan Solusi Lama Waktu Tunggu Pelayanan Obat di Instalasi Farmasi Rawat Jalan Rumah Sakit’, Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29(3), pp. 245–251.
  2. Khudair, I. and Raza, A. A. (2013) ‘Measuring Patients Satisfaction with Pharmaceutical Services at a Public Hospital in Qatar’, International Journal of Health Care Quality Assurance, 26(5), pp. 398–419.
  3. Suryana, D. (2018) ‘Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya’, Jurnal Administrasi Rumah Sakit, 4(2), pp. 14–25.

Agung Puja Kesuma – KMPK 18/433426/PKU/17339

Pengalaman menjadi pasien / keluarga pasien terakhir kali kami dapatkan ketika istri saya hamil anak kedua. Pada kehamilan kedua ini pemeriksaan kami lakukan di dua kota berbeda karena di trimester awal kami masih tinggal di Kota B kemudian mulai trimester kedua keluarga kami pindah ke Yogyakarta. Di kota B pemeriksaan kami lakukan di klinik ibu anak H, kami memilih dokter yang berpraktik di sore hari yaitu mulai jam 17.00-20.00 WIB. Antrian di klinik ini menggunakan metode datang langsung mengambil antrian dan melalui telepon. Ketika mengambil antrian atau telepon, petugas memberitahukan perkiraan jam kedatangan kami sesuai nomor antrian. Saya 2 kali mengantar istri saya ke klinik tersebut mendapatkan nomor antrian 10, kami disarankan datang jam 18.30, kami datang pada pukul 18.20 dan kami hanya menunggu sekitar 20 menit kami dipanggil masuk ke ruang periksa. Di dalam ruang periksa kami dilayani oleh seorang dokter ahli kandungan dan didampingi perawat. Dokter melakukan pemeriksaan USG dan memberikan penjelasan dan konsultasi seputar kehamilan istri saya. Kami bertanya tentang konsumsi makanan selama kehamilan dan pemeriksaan kesehatan dan laboratorium apa saja selama kehamilan. Dokter memberikan pejelasan makanan apa saja boleh dimakan asal bernutrisi dan tidak berlebihan serta menganjurkan kami untuk melakukan pemeriksaan darah ke Puskesmas karena Puskesmas memiliki pemeriksaan darah wajib bagi ibu hamil. Penjelasan dokter yang baik memberikan kepuasan tersendiri bagi kami, pasien akan merasa puas apabila mendapatkan penjelasan terhadap keluhan kesehatan yang dialaminya (David et al., 2017). Setelah selesai pemeriksaan oleh dokter, kami diberikan vitamin yang harus kami ambil di apotek yang berada di bagian depan Klinik. Di apotek kami tidak perlu menunggu karena langsung dilayani oleh petugas apotek.

Pengalaman serupa juga saya dapatkan ketika kami pindah ke Yogyakarta, kami memilih salah satu RSIA terakreditasi paripurna di bagian timur Yogyakarta. Rumah sakit tersebut menggunakan beberapa metode untuk mengambil antrian dokter yaitu datang langsung mengambil antrian, via telepon dan melalui aplikasi whatapp mesenger (WA). Saya mencontohkan ketika mendaftar melalui WA, petugas akan memberikan balasan, dalam balasan tersebut menyebutkan jam praktek dokter dan nomor antrian serta estimasi kedatangan pasien supaya tidak lama menunggu di RS. Di RS ini kami memilih seorang dokter spesialis kandungan perempuan yang memiliki pasien banyak. Jumlah pasien untuk dokter yang kami pilih dibatasi hanya 30 orang. Pelayanan mendaftar melalui WA dapat dilakukan seminggu sebelum pemeriksaan, dan pada pagi hari saat hari H pasien akan diingatkan melalui SMS bahwa hari ini telah terdaftar untuk pemeriksaan. Karena dokter yang kami pilih pasiennya banyak jadi kami memilih untuk mendaftar jauh-jauh hari supaya dapat pelayanan okter tersebut. Ada pengalaman ketika dokter terlambat atau ada perubahan jam praktek, RS memberitahukan pasien melalui pesan singkat. Selain pembertahuan seperti diatas, RS melakukan inovasi berupa dilakukan pengaturan / penjadwalan kedatangan pasien sesuai antrian dengan mempertimbangkan keterlambatan dokter sehingga pasien tidak menunggu terlalu lama (Sari and Asih, 2017). Kepuasan pasien angat dipengaruhi oleh waktu tunggu dan kecepatan pelayanan yang diberikan oleh seluruh proses yang ada di RS mulai dari proses pendaftaran samapi dengan proses pembayaran, semakin lama waktu tunggu kepuasan pasien akan semakin turun (Torry et al., 2016).

Istri saya melahirkan di rumah sakit tersebut pada pertengahan Desembar 2018, kami datang ke UGD pada pukul 5.00 WIB, karena Ketuban Pecah Dini, tim UGD responsif dari sisi tindakan medis dan untuk proses administrasi juga mudah dan cepat. Karena kondisi Ibu cukup bagus, Dokter memindahkan ke rawat inap untuk observasi, pada saat observasi dokter/perawat/bidan cukup jelas memberikan keterangan dan penjelasan pada inform concern untuk tindakan medis yang akan dilakukan dan memberikan opsi kepada kami untuk bertanya dan menerima penjelasan pilihan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Setelah bayi lahir dan harus mendapatkan perawatan diinkubator petugas ruang bayi menjelaskan tentang kondisi bayi dan apabila dirawat lebih intensif petugas juga menjelaskan tatacara pengurusan asuransi bayi. Dari penjelasan yang diberikan oleh petugas RS kami merasa lega dan memiliki merasa petugas memiliki empati kepa pasien. Petugas yang memiliki karakter cepat tanggap terhadap keluhan pasien, memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti serta memiliki empati dan rasa tanggungjawab terhadap pasien dapat memberikan kepuasan dan loyalitas pasien terhadap sebuah layanan kesehatan(Sembor et al., 2015). Puji syukur hanya semalam di inkubator pada pagi hari hari bayi sudah rawat gabung dengan Ibunya.

Secara umum saya puas dengan pelayanan yang kami peroleh di Klinik Kota B dan RSIA di Yogyakarta. Kepuasan pelanggan merupakan aspek yang perlu diperhatikan oleh pemberi layanan karena berhubungan dengan kualitas layanan. Pelanggan yang merasa puas menunjukkan kualitas layanan yang baik telah diberikan oleh penyedia layanan. Dari pelayanan kesehatan yang saya datangi, saya dapat belajar mengenai pentingnya waktu tunggu bagi pasien dan kepuasan kami selaku pasien. Apabila pasien puas dengan layanan yang diberikan maka pasien memiliki kecenderungan untuk menggunakan kembali layanan kesehatan tersebut. Proses pendaftaran yang mudah, waktu tunggu yang tidak lama, sampai dengan proses pembayaran yang mudah memiliki hubungan terhadap loyalitas pasien terhadap instansi layanan kesehatan(Sembor et al., 2015).

Referensi:

  • David, D., Hariyanti, T. and Widayanti Lestari, E. (2017), “Hubungan Keterlambatan Kedatangan Dokter terhadap Kepuasan Pasien di Instalasi Rawat Jalan”, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28 No. 1, pp. 31–35.
  • Sari, D.P. and Asih, A.M.S. (2017), “Simulasi Antrian Untuk Appointment Scheduling Pada Sistem Pelayanankesehatan (Studi Kasus Poliklinik Penyakit Dalam)”, Jurnal Teknosains, Vol. 5 No. 1, p. 49.
  • Sembor, P.E.N., Posangi, J. and Kaunang, W.P.J. (2015), “Hubungan Antara Persepsi Pasien Umum Tentang Bauran Pemasaran Jasa Dengan Loyalitas Pasien Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Siloam Manado”, Tumou Tou, Vol. 1 No. 1, available at: http://ejournalhealth.com/index.php/t2/article/view/134
  • Torry, Koeswo, M. and Sujianto, D. (2016), “Faktor yang Mempengaruhi Waktu Tunggu Pelayanan Kesehatan kaitannya dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Klinik penyakit dalam RSUD Dr . Iskak Tulungagung Factors Influencing Service Waiting Times in Relation to Internist Clinic Outpatient â€TM s Satisfaction”, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 29 No. 3, pp. 252–257.

oleh Rita Novita /18/433545/PKU/17458

Setiap individu tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menjadi pasien, menjadi pasien artinya sakit atau menderita sakit, namun setiap individu tidak dapat menolak jika suatu penyakit terjadi pada dirinya. Pengalaman menjadi seorang pasien pernah saya alami, kenyataannya saya tidak pernah menyangka dan siap untuk menjadi pasien, kondisi tersebut suka tidak suka harus saya terima.

Dimulai dengan keluhan saya sering mengalami demam atau suhu tubuh meningkat setiap saya dalam kondisi lelah, keadaan tersebut tidak terlalu saya perhatikan karena saya pikir kondisi demam itu merupakan hal biasa apalagi saya dalam kondisi lelah, maklum orang kesehatan jadi kalau sakit agak bergaya hal tersebut biasa. Suatu hari setelah jangka waktu 1 bulan yang lalu saya mengalami demam kembali saya diserang demam tinggi di sertai nyeri perut bagian kanan bawah, keadaan ini membuat saya sangat tidak nyaman saya hanya minum obat yang memang selalu saya sediakan dirumah yaitu paracetamol, setelah 3 jam suhu tubuh memang mulai turun namun nyeri perut bagian kanan bawah belum berkurang, saya masih positif thinking ini hanya sakit biasa dan saya coba bawa istirahat dan tidur. Pada pukul delapan malam nyeri perut saya semakin menjadi dan saya mulai tidak tahan dengan rasa nyeri itu disertai suhu tubuh saya juga meningkat, saya memberitahukan suami kalau saya tidak tahan dengan nyeri yang ada di bagian perut kanan bawah serta tidak bisa tiduran telentang karena akan terasa tambah nyeri.

Melihat keadaan seperti itu suami saya menyarankan untuk dibawa ke Rumah Sakit tapi saya masih agak ragu dan berharap rasa sakit ini dapat hilang tanpa harus dibawa ke Rumah Sakit, namun suami saya agak memaksa hingga akhirnya saya ikuti saja perintah suami untuk dibawa ke Rumah Sakit.

Sampailah di Rumah Sakit yang jaraknya hanya sepuluh menit dari rumah kami. Karena saya karyawan rumah sakit tentu saja semua teman-teman yang ada di Rumah Sakit sangat kenal dengan saya, sehingga tindakan yang dilakukan oleh teman-teman cepat dan tanggap, dokter jaga langsung mengkonsulkan dengan dokter spesialis tentang keluhan yang saya derita, sejenak terpikir jika saya bukan orang kesehatan akankah teman-teman saya akan melakukan tindakan yang menurut saya sangat tanggap seperti ini???. Setelah dokter jaga melaporkan kondisi saya yang kenyataannya saya dicurigai menderita penyakit usus buntu atau Appendicitis setelah dilakukan pemeriksaan lengkap dan dilaporkan, akhirnya saya disarankan untuk rawat inap di Rumah Sakit untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut tentang sakit saya pada esok hari oleh dokter spesialis bedah. Mendapat kenyatan saya harus rawat inap kembali perasaan khawatir muncul, sepertinya parah sekali kalau saya harus menginap, ternyata pada posisi menjadi orang sakit memang tidak menyenangkan. Status saya sebagai orang kesehatan kembali menguntungkan dengan sedikit negosiasi dengan dokter jaga dan keadaan saya agak lumayan karena telah diberikan suntikan penghilang nyeri sudah mulai dapat mengurangi rasa nyeri dan demam yang saya derita, akhirnya saya di ijinkan pulang dengan catatan esok hari harus konsul dengan dokter spesialis bedah untuk pemeriksaan lebih lanjut dan saya menyetujui.

Esok hari kondisi saya mulai membaik namun rasa tidak nyaman masih terasa di bagian perut kanan bawah saya masih terasa, saya menemui dokter spesialis bedah dengan membawa hasil laboratorium dan menceritakan kembali kondisi saya kemarin, kemudian dokter melakukan pemeriksaan fisik pada saya serta melakukan pemeriksaan USG dan benar bahwa appendic saya mengalami pembengkakkan dan dianjurkan untuk dilakukan operasi, sejujurnya saya takut mendengar kata operasi padahal saya tahu bahwa operasi Appendictomi merupakan operasi kecil dan seperti pengalaman saya yang bekerja di Rumah Sakit jika sudah dilakukan operasi jarang terjadi komplikasi yang lebih lanjut kecuali jika terjadi appendicitis perforasi, namun tetap saja rasa takut menghantui saya.

Keesokan harinya jadwal operasi sudah ditetapkan dengan berbagai prosedur yang sudah saya jalankan, tibalah hari operasi kalau bisa pulang ingin rasanya saya membatalkan operasi tersebut, muncul dalam pikiran saya bagaimana kalau terjadi apa-apa, kalau anasthesinya bermasalah saya bagaimana, kalau saya mati di meja operasi bagaimana, seribu satu pertanyaan datang dikepala saya, lalu saya didorong ke kamar operasi yang sebelumnya saya sudah dipasang infus sebagai prosedur tetap kembali muncul dalam pikiran nanti kalau abis operasi terjadi infeksi bagaimana, ternyata orang kesehatan dan bukan kesehatan tetap saja gugup kalau mau dilakukan operasi. Dokter dan teman-teman dikamar operasi mungkin tahu kecemasan saya, mereka tetap mensuport dan menenangkan saya bahwa prosedur opersainya tidak lama dan saya diberitahukan apa saja yang akan dilakukan kemudian, penjelasan dokter serta tim tersebut cukup membuat tekanan darah saya tidak naik karena cemas selanjutnya saya sudah tidak sadar dengan apa yang dilakukan oleh dokter dan tim karena saya sudah dalam keadaan tidak sadar.

Pada saat saya membuka mata saya sudah diruang perawatan ternyata operasi sudah lama selesai sekitar empat sampai lima jam yang lalu, bersyukur yang saya khawatirkan tidak terjadi dan saya masih hidup. Pagi selanjutnya setelah saya dilakukan tindakan operasi saya diijinkan pulang dan berita tersebut sangat membuat saya lega, pengalaman menjadi pasien memang tidak menyenangkan namun menjadi pasien adalah kondisi yang tidak bisa dihindarkan, meyakinkan pasien bahwa tindakan yang akan dilakukan adalah prosedur yang aman sangatlah penting dan membuktikan bahwa yang telah dilakukan memang aman adalah kondisi yang seharusnya memang menjadi budaya bagi suatu layanan rumah sakit, mampu membuktikan bahwa mutu dan keselamatan pasien adalah prioritas utama. Timeliness yang saya rasakan pada saat menjadi pasien cukup memuaskan karena semua prosedur yang dilaksanakan oleh tim kamar operasi dan tim perawatan cukup efisien dan dalam waktu 2 kali 24 jam dari saya mengalami keluhan sampailah saya sudah diperbolehkan pulang pasca operasi Appendictomie, saya juga tidak tahu apakah karena saya orang kesehatan atau ada faktor lain, semoga pelayanan seperti ini diberikan pada seluruh pasien tanpa memandang status nya seperti apa.

Pengalaman saya periksa kehamilan di rumah sakit swasta, dengan jarak sekitar 23 Km dari rumah kami. Banyak rumah sakit yang jaraknya lebih dekat bahkan dalam radius 2 km ada rumah sakit dan puskesmas yang dapat kami akses. Alasanya memilih rumah sakit adalah dokter spesialis kandungan yang sudah menangani kedua anak kami sebelumnya. Kontrol kehamilan saat itu, umur kehamilan 36 mgg dengan taksiran berat janin 3000 gr. Badan terasa berat dan nafas yang memendek, BAK pun terasa setiap jam. Mendaftar untuk periksa bisa dilakukan melalui telepon tapi urutan pemanggilan sesuai urutan kedatangan. Jadwal praktek dokter pukul 19.00-21.00, sehingga kami datang sampai rumah sakit pukul 19.00, berharap tidak menunggu lama.

Proses awal pemeriksaan dilakukan anamnesa dan triase oleh bidan. Setelah menunggu 2 jam, pukul 21.00 ada informasi bahwa dokternya harus operasi cito di Rumah sakit yang berbeda. Dengan wajah kecewa beberapa pasien bertanya-tanya berapa lama operasi . Berhubung rumah kami jauh, kamipun menunggu sampai dokternya kembali, sebagian ada yang memutuskan pulang. Setelah 1 jam menunggu kami menjadi gelisah, belum ada tanda-tanda dokternya datang kembali. Beberapa keluarga pasien mulai bergiliran bertanya kepada bidan, namun bidan tidak dapat memberikan informasi yang jelas dan pasti, mereka menjawab “ tunggu saja ya pak”. Mendengar jawaban seperti itu rasanya kami ingin pulang saja. Dengan perut besar dan waktu semakin malam, kedua anak kami yang ikut mengantar sudah tertidur, membuat suami saya ikut menanyakan kapan dokternya datang, dan mendapatkan jawaban yang sama.

Menunjukkan pukul 22.30 dokter terlihat dengan wajah tersenyum, seolah berempati dengan para ibu hamil menunggu. Sebelum masuk ruangan dokter itu menyampaikan “ maaf anda menunggu lebih lama, mari kita lanjutkan antrian berikutnya” kata-kata dokter seperti menenangkan para ibu yang berbadan besar, rasa lega mengganti gelisah yang saya rasakan. Setelah bidan memanggil satu persatu ,pukul 00.30 akhirnya nama saya di panggil “ ibu Titi Supriati silahkan masuk” mendengar suara yang memanggil langsung anak-anak kami terbangun, saya masuk ruang pemeriksaan dokter . Pemeriksaan dilakukan seperti biasa, menanyakan kondisi dan keluhan saya, mengajak anak-anak saya melihat gambaran USG adik bayi. Dokter menyampaikan kondisi saya dan rencana persalinan kepada suami “kondisi ibu sekarang baik, janinnya juga baik”. Diakhir pemeriksaan dokter kandungan menanyakan “ada pertanyaan? Bapak ibu sudah paham bila ada tanda-tanda persalinan, apa yang dilakukan?” pertanyaan dan penjelasan dokter seolah menunggu berjam-jam terlupakan.

Menunggu di panggil dokter pun merupakan hal yang biasa terjadi. Pengukuran kualitas pelayanan di Rumah sakit dan kepuasan pasien dinilai berdasarkan perspektif pasien. Yang sering menjadi keluhan pasien adalah waktu tunggu pelayanan sehingga dalam meningkatkan kualitas dan kepuasan pasien sebagai indikatornya adalah dengan mengurangi waktu tunggu (Rönnerstrand & Oskarson, 2018).

Kualitas Antenatal care bersifat subjektif tergantung dokter SpOG, yang menangani meskipun pelayanan rumah sakit secara umum dengan kualitas yang rendah namun pasien tetap memilihnya, dan pelayanan dokter sebagai standar kepuasan pasien. Secara keseluruhan Kualitas layanan dapat dilihat dari aspek keselamatan pasien, efektifitas, waktu janji temu, efisien dan kesetaraan. Waktu janji ketemu penting untuk dikelola supaya ibu hamil yang berisiko tinggi mempunyai waktu janji temu yang pendek(Ortiz Barrios & Felizzola Jiménez, 2016).

Pada pemeriksaan awal dilakukan assessment oleh bidan yaitu melakukan anamnesa mengenai riwayat penyakit keluarga dan riwayat penyakit dahulu serta dilakukan pemeriksaan Tekanan darah, berat badan dan keluhan yang dialami, rangakaian assessment ini sebagai triase. Triase dilakukan bidan melalui pendekatan personal yang bertujuan mengurangi perasaan sungkan untuk bertanya. Perhatian yang diberikan bidan melalui triase membuat kami merasa puas karena mendapatkan keterangan tentang kondisi saat ini dan mengantisipasi kondisi kegawat daruratan kehamilan(Evans et al., 2015). Setelah triase, dilanjutkan pemeriksaan dokter.

Penyampaian informasi keterlambatan dokter sebagai salah satu aspek komunikasi terhadap pasien namun memiliki dampak terhadap operasional rumah sakit(Dong et al., 2018). Kejelasan informasi menjadi salah satu indicator kepuasan pasien dari prespektif pasien. Meskipun kejelasan informasi mengakibatkan beberapa dari pasien memutuskan untuk pindah ke rumah sakit yang lain, dan menyatakan tidak puas. Tetapi pasien yang bersedia menunggu menyatakan puas karena ada informasi tentang kepastian waktu tunggu.

Referensi

  • Dong, J., Yom-Tov, E. & Yom-Tov, G.B. 2018. The Impact of Delay Announcements on Hospital Network Coordination and Waiting Times. Management Science, (July): 0–26.
  • Evans, M.K., Watts, N. & Gratton, R. 2015. Women’s Satisfaction With Obstetric Triage Services. JOGNN - Journal of Obstetric, Gynecologic, and Neonatal Nursing, 44(6): 693–700. http://dx.doi.org/10.1111/1552-6909.12759.
  • Ortiz Barrios, M.A. & Felizzola Jiménez, H. 2016. Use of Six Sigma Methodology to Reduce Appointment Lead-Time in Obstetrics Outpatient Department. Journal of Medical Systems, 40(10): 220. http://link.springer.com/10.1007/s10916-016-0577-3 22 May 2019.
  • Rönnerstrand, B. & Oskarson, M. 2018. Standing in Line When Queues Are on the Decline: Services Satisfaction Following the Swedish Health Care Waiting Time Guarantee. Policy Studies Journal. http://doi.wiley.com/10.1111/psj.12277 22 May 2019.