Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

Oleh Agrivani A. Soleman /18/433425/PKU/17338 / KMPK

Pada bulan mei 2018 ayah dari teman saya dilarikan ke salah satu rumah sakit yang berada di Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara karena pingsan. Hal ini terjadi karena ayahnya sudah jarang makan dan terlalu banyak meminum minuman beralkohol. Ketika teman saya sampai di rumah sakit ayahnya sudah dilayani di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) tapi kondisi ayah teman saya masih lemas dan dalam keadaan tidak berdaya. Setelah satu jam dokter baru memberikan obat kepada ayah teman saya. Pada saat obat yang diberikan dokter diminum oleh ayah teman saya obat tersebut langsung bereaksi, akan tetapi reaksi dari obat tersebut justru membuat ayah teman saya kejang-kejang dan muntah darah sehingga membuat ayah teman saya tidak sadarkan diri. Ketika teman saya melaporkan hal tersebut kepada dokter jaga di ruang IGD mereka hanya mengatakan tunggu saja reaksi yang terjadi kepada ayahnya adalah wajar dan tidak berakibat apa-apa. Akhirnya karena merasa tidak puas paman dan kakek dari teman saya yang akhirnya bertanya pada dokter tersebut. Paman dan kakek dari teman saya ini langsung menanyakan kepada dokter kenapa pasien tidak langsung ditangani padahal sudah kejang-kejang dan muntah darah, dokter dan perawat yang ada di ruangan itupun bingung.

Teman saya menduga dokter yang ditempatkan di IGD tersebut adalah dokter magang yang belum berpengalaman sehingga tidak dapat memberikan pelayanan/tindakan yang cepat kepada ayahnya. Kalaupun benar mereka adalah dokter magang dan masih bingung untuk melakukan tindakan kepada pasien kenapa mereka tidak menghubungi dokter resident yang bertanggung jawab, malah mereka hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa. Setelah keluarga dari teman saya marah-marah barulah ada seorang perawat yang memeriksa ayah teman saya. Ketika diperiksa oleh perawat tersebut perawatnya hanya berkata bahwa tidak terjadi apa-apa kepada ayahnya. Keluarga dari teman saya waktu itu sudah sangat kesal dan marah kepada petugas kesehatan yang jaga di IGD waktu itu karena mereka tidak cepat tanggap dalam menangani keadaan darurat. Jika terjadi sesuatu dan mengakibatkan pasien mengalami keadaan yang tidak terduga, kritis, dan dapat menyebabkan kematian pasti urusannya akan langsung dibawah keranah hukum. Pasien dan keluarga pasti sangat dirugikan, rumah sakitpun akan rugi dan akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Instalasi Gawat Darurat merupakan suatu unit pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit yang bertujuan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat agar dapat menyelamatkan nyawa pasien dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pasien.1 Pada Peraturan menteri nomor 47 tahun 2018 tentang pelayanan kegawatdaruratan pasal 1 huruf a juga dijelaskan bahwa pelayanan kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan.2 Dari pengalaman diatas dapat dilihat bahwa pelayanan di ruang IGD rumah sakit tersebut tidaklah cepat tanggap dan dapat menyebabkan hal yang buruk terjadi kepada pasien sehingga tujuan utama dari IGD sendiri tidak dapat tercapai dan tidak dapat memberikan kepuasan pada pasien ketika menerima perawatan. Kepuasan pasien adalah satu indikator mutu pelayanan kesehatan yang sangat penting, jika pasien tidak puas dengan pelayanan yang diterima berarti rumah sakit tersebut belum memberikan kualitas mutu pelayanan yang baik.

Rumah sakit dalam pengalaman diatas harus melakukan perbaikan kualitas mutu pelayanan dalam hal ini adalah penanganan yang cepat, segera dan tepat di IGD karena pasien yang masuk dalam IGD sangat membutuhkan pelayanan darurat dimana harus segera ditangani tidak bisa menunggu karena taruhannya adalah nyawa dan bisa juga terjadi kecacatan bila tidak ditangani segera. Kualitas mutu pelayanan dapat ditentukan oleh dua hal, yaitu: expected service dan perceived service. Expected service dan perceived service ditentukan oleh dimention of service quality yang terdiri dari sepuluh dimensi, yaitu: (1) Tangibles, (2) Reability, (3) Responsiveness, (4) Competence, (5) Courtesy, (6) Credibility, (7) Feel secure, (8) Acces, (9) communication, (10) Understanding the costumer.

Prioritas dimensi kualitas pelayanan pada pengalaman diatas dapat difokuskan pada kualitas pelayanan Reability (kehandalan) dan Responsiveness (ketanggapan). Reability (kehandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan akurasi yang tinggi. Responsiveness (ketanggapan) yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan pelanggan menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi negatif dalam kualitas pelayanan.4 Salah satu proses perbaikan mutu dapat dilakukan dengan strategi (Quality Assurance). Quality Assurance berasal dari kata to assure yang artinya meyakinkan orang, mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau menjaga, dapat diartikan juga menjamin mutu atau memastikan mutu. Pada pelayanan keperawatan Quality Assurance adalah kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada proses pelayanan agar mutu pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar.3 Dengan demikian ketika rumah sakit dalam pengalaman ini dapat memperbaiki kualitas mutu pelayanan maka pasien yang masuk dalam ruang IGD akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik, tujuan utama dari IGD akan dapat tercapai, dan kepuasan pasien akan terpenuhi.

Referensi

  1. Kristiani Yeni, Sutriningsih Ani AV. M. Hubungan Waiting Time Dengan Kepuasan Pasien Prioritas 3 Di Instalasi Gawat Darurat RS Waluya Sawahan Malang. 2015;3(1):33-38.
  2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan. 2018.
  3. Sujono I. Mutu Pelayanan Instalasi Gawat Darurat RSU BLUD DR. H. Soemarno Sosroatmojo Tanjung Selor Tahun 2015. 2015.
  4. Meinurisa D. Kualitas Pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Di Rumah Sakit Umum Tipe D (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Pesawaran). 2017.

 

Oleh : Sri Harini , SIMKES, NIM.18/433566/PKU/17479

Saya mendapatkan pengalaman tentang waktu tunggu pasien rawat jalan pada saat mengantar saudara saya melakukan pemeriksaan ke poli jantung RS X di Yogyakarta dengan membawa rujukan dari RSUD Pacitan tanggal 16 Oktober 2018. Karena sudah mendapat info tentang alur pendaftaran pasien baru dari RS X tersebut melalui RSUD Pacitan, kami mengambil nomor antrian pada pukul 05.00 WIB dan mendapat nomor antrian 01. Mungkin bagi kami yang kebetulan sudah mendapat info tentang jam mulai pengambilan nomor hal ini memudahkan akan memudahkan alur pelayanan, tetapi mungkin bagi pasien yang belum mengetahui maka mereka akan datang diatas jam 05.00 dan kemungkinan akan mendapat nomer antrian banyak. Komunikasi dan informasi yang jelas dari pihak rumah sakit kepada masyarakat atau stakeholder menjadi faktor yang sangat menentukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam memberikan pelayanan informasi kepada stakeholder maka humas harus melakukan berbagai macam kegiatan sebagai strategi untuk mencapai tujuan dari rumah sakit agar mendapat citra yang baik dari masyarakat. (Wahyanto, 2012)

Selanjutnya pada pukul 08.00 setelah pintu layanan dibuka kami dipanggil untuk melakukan registrasi pasien baru dengan ,mengumpulkan berkas rujukan dari RSUD pacitan. Registrasi membutuhkan waktu sekitar 30 menit, kemudian kami dipanggil untuk menuju lantai 3 ke poli jantung. Karena poli jantung menerima layanan pemeriksaan pasien bpjs sekitar pukul 09.00, kami menunggu antrian untuk diperiksa sekitar 30 menit. Tepat pukul 09.00 saat layanan poli dibuka saudara saya dipanggil sebagai pasien pertama untuk diperiksa di poli jantung. Sebelum pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter spesialis jantung pasien diperiksa tekanan darah oleh perawat poli. Lama waktu yang digunakan untuk pemeriksaan tensi sampai dengan dokter mulai memeriksa sekitar 15 menit. Dokter mulai memeriksa pasien sekitar pukul 09.15, sedang lama waktu yang digunakan dokter untuk memeriksa pasien sekitar 1 jam sehingga pemeriksaan dokter berakhir pukul 10.15 wib. Pada akhir pemeriksaan dokter memberi rekomendasikan pasien untuk melakukan echo. Saya bertanya kepada dokter apakah pendaftaran echo bisa dilakukan secara langsung dari poli jantung? Dokter menjawab sementara ini pendaftaran echo masih harus dilakukan secara langsung oleh pasien ke bagian echo dengan sitem manual karena SIMRS belum terintegrasi antara poli jantung dengan tempat rujukan internal (echo, treadmild dll). Karena lokasi echo terpisah dengan poli jantung, kami harus berjalan agak jauh sekitar 20 menit. Selanjutnya kami mendaftar kebagian echo dan mendapat jadwal untuk melakukan echo seminggu setelah pemeriksaan pertama yaitu tanggal 23 Oktober 2018. Proses pendaftaran sampai dengan pemberian jadwal sekitar 15 menit, sehingga secara keseluruhan pemeriksaan hari pertama berakhir pada pukul 10.50 WIB.

Pengalaman yang saya rasakan menunggu di poli jantung, sebagai keluarga pasien, kami sangat puas dan nyaman karena rumah sakit memberikan pelayanan dengan segera dengan alur yang jelas. Salah satu motivasi penting yang mempengaruhi konsumen untuk mau membeli suatu produk baik barang maupun layanan adalah waktu yang singkat dan kenyamanan dalam mendapatkannya, bukan semata-mata kualitas produk itu sendiri. (Dewanto, 2014).

Seminggu setelah pemeriksaan pertama, sesuai dengan jadwal dari bagian echo kami datang kembali pada tanggal 23 Oktober 2018 tepat pukul 08.00. Pada pemeriksaan kali ini kami mendapatkan pengalaman yang berbeda dari sebelumnya dimana kami tidak diberitahu kami mendapat antrian keberapa sehingga kami menunggu panggilan dengan waktu yang tidak pasti. Selama waktu tunggu tersebut terlihat kegelisahan dari pasien maupun kami yang mengantarkan karena tidak adanya kejelasan waktu periksa dan baru ukul 11.00 saudara saya mendapat panggilan. Waktu tunggu pasien merupakan salah satu komponen yang potensial menyebabkan ketidakpuasan. Lama waktu tunggu pasien mencerminkan bagaimana RS mengelola komponen pelayanan yang disesuaikan dengan situasi dan harapan pasien. (Bustani, Rattu, & Saerang, 2015)

Secara keseluruhan dari sisi pelayanan, dokter dan perawat menangani pasien dengan sangat baik, ramah dan profesional, selain memeriksa pasien dengan SOP medis, dokter juga memeriksa pasien dengan komunikasi dua arah yang membuat pasien menjadi nyaman. Hal ini sesuai dengan penelitian supartiningsih yaitu mutu pelayanan yang baik tidak hanya diukur dari kemewahan fasilitas, kelengkapan teknologi dan penampilan fisik akan tetapi dari sikap dan perilaku karyawan harus mencerminkan profesionalisme dan mempunyai komitmen tinggi. (Putri, Veronica Juniarti, Firdaus Firdaus, 2017)

Dari pengalaman yang kami sampaikan diatas ada beberapa rekomendasi yang bisa kami berikan kepada pihak rumah sakit dalam rangka perbaikan kualitas mutu layanan yaitu rumah sakit perlu mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang terintegrasi. Hal ini merupakan solusi bagi pasien yang mendapat rujukan internal misal dari poli jantung ke bagian echo sehingga pasien tidak perlu mendaftar ke bagian tersebut dengan memakan waktu yang lama karena lokasi yang jauh. Apabila dokter telah menggunakan elektronik medical record dan terintegrasi dengan bagian lain maka poli jantung bisa mendaftarkan pasien secara langsung ke bagian echo secara elektronik. Institusi rumah sakit selalu mendapat tekanan untuk dapat memperbaiki pelayanan medis, mengurangi kesalahan medis, penyediakan akses informasi yang tepat waktu, dan pada saat yang sama harus bisa memonitor aktifitas pelayanan serta mengendalikan biaya operasional. Untuk dapat memenuhi tuntutan ini, rumah sakit harus memiliki sistem informasi manajemen (SIM) terintegrasi yang bisa sharing informasi real-time, tepat dan akurat. (Harsono, 2015).

Rekomendasi kedua rumah sakit perlu pembenahan pada sistem antrian (bagian echo). Rumah sakit perlu memberikan infromasi yang jelas kepada pasien pada saat medaftar mengenai nomor antrian keberapa dengan estimasi waktu sebaiknya pasien datang pada pukul berapa. Pelanggan menganggap bahwa menunggu dalam antrian untuk mendapatkan produk merupakan sesuatu yang mahal, membuat stress dan frustasi. Menunggu untuk suatu layanan dapat berpengaruh negatif terhadap kualitas layanan dan produk itu sendiri. (Dewanto, 2014)

Referensi :

  1. Bustani, N. M., Rattu, A. J., & Saerang, J. S. M. (2015). ANALISIS LAMA WAKTU TUNGGU PELAYANAN PASIEN RAWAT PROPINSI SULAWESI UTARA, 3.
  2. Dewanto, A. (2014). Pengaruh Waktu Tunggu terhadap Wait Satisfaction Pasien di Instalasi Rawat Jalan RSAL dr . Ramelan, 12.
  3. Harsono, A. (2015). Analisis Implementasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (SIM-RSUD) Terintegrasi Di Provinsi Kalimantan Barat, 11–22.
  4. Putri, Veronica Juniarti, Firdaus Firdaus, and A. A. A. (2017). Hubungan Waktu Tungu Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien BPJS di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Islam Ahmad Yani Surabaya, 3(4), 387–393.
  5. Wahyanto, S. (2012). Pelaksanaan Fungsi Humas RSUD Kota Semarang dalam membentuk citra di kalangan pasien dan masyarakat sekitar . Surakarta, 1–46.

Oleh: Sri Budi Utami. KMPK/NIM. 18/433565/PKU/17478

Pengalaman ketika mengantar anak berobat di dua Rumah Sakit Swasta di Provinsi DIY, saya mengantarkan anak yang sakit demam sudah tiga hari,sudah berobat ke Puskesmas tetapi demam tidak turun-turun,kemudian saya bawa ke RS A, ternyata dokter anak di Rumah Sakit A praktek sore hari,sehingga pagi hari jam 0.7.00 WIB saya hanya mendaftarkan untuk mendapat pelayanan di sore hari sekitar jam 19.00 karena ternyata nomor antrian sudah ke 30, pada malam harinya sesuai dengan jam perkiraan yang disampaiakan petugas pendaftaran saya datang ke Rumah Sakit A, dan menunggu dokter yang sedang memeriksa pasien,menurut saya ruang tunggu pasien sangat tidak nyaman karena poli-poli penuh sesak dengan pasien baik poli untuk pasien dewasa, ruang tunggu obat semua hampir berdekatan dan ramai sekali, cukup lama menunggu lebih dari 30 menit dari perkiraan waktu yang disampaikan, kemudian setelah diperiksa oleh dokter, dokter menyatakan minum obat dulu jika sampai tiga hari tidak ada perubahan kembali ke Rumah Sakit untuk periksa laboratorium (waktu konsultasi dengan dokter sangat minim karena pasien banyak), di Rumah Sakit A belum menerapkan resep elektronik, prosedur pengambilan obat lembar resep diserahkan ke bagian apotek kemudian menunggu dipanggil untuk ferifikasi biaya cukup lama lebih dari satu jam, setelah itu ke bagian kasir (bagi pasien umum) melakukan pembayaran dan menyerahkan kembali bukti bayar ke apotek dan menunggu penyiapan obat yang sangat antri karena banyaknya pasien dari semua poli, lebih dari dua jam,bahkan ada pengalaman pasien yang sudah sering ke Rumah Sakit tersebut bisa sampai jam 24.00 malam.

Setelah tiga hari kondisi anak belum ada perubahan sesuai dengan pesan dokter untuk kembali ke Rumah Sakit tersebut, tetapi saya berfikir untuk mencoba mencari Rumah Sakit lain, kemudian saya mencari kontak Rumah Sakit B, pendaftaran cukup lewat whatsapp dan bagian pendaftaran menawarkan ada beberapa dokter spesialis anak untuk memilih, dan jam pemeriksaan, sesuai jam yang dijanjikan datang ke Rumah Sakit B, prosedur pendaftaran dan waktu tunggu untuk diperiksa dokter tidak lama, kemudian pada saat periksa dokter waktu anamnesa dan konsultasi cukup sehingga diagnosa lebih akurat, kemudian Rumah Sakit B sudah menerapkan sistem informasi yang cukup baik termasuk resep elektronik,sehingga ketika selesai pemeriksaan cukup dengan barcode di lembar pendaftaran kita klik di Apotek, secara otomatis akan dipanggil dibagian ke kasir (bagi pasien umum) kemudian ambil obat, waktu tunggu dikasir dan obat tidak lama, ruang tunggu yang cukup luas pasien dewasa dan anak terpisah termasuk loket farmasi tidak hanya satu di Rumah Sakit B, sehingga pasien anak lebih nyaman.

Dari pengalaman di dua Rumah Sakit yang berbeda di kota yang sama,sangat terlihat variasi pelayanan,dimana di Rumah Sakit B sudah menerapkan prosedur pelayanan kepada pasien dengan memanfaatkan tehnologi,sehingga tidak terjadi penumpukan pasien yang akan menyebabkan waktu tunggu lebih lama,disamping itu juga dengan membuka layanan dokter spesialis yang sama dalam satu hari dengan beberapa dokter baik dengan jam bersamaan maupun jam yang berbeda sepanjang buka rawat jalan dari pagi sampai sore memungkinkan pasien untuk memilih dokter sesuai jam yang diinginkan dan mengurangi waktu tunggu, dengan menerapkan resep elektronik dan memanfaatkan tehnologi bisa mempersingkat waktu tunggu obat dan kasir.

Pelayanan di dua Rumah Sakit tersebut diatas mempengaruhi kepuasan pasien. Menurut hasil penelitian beberapa hal yang dapat mempengaruhi ketidak puasan pasien antara lain pendaftaran yang lambat,waktu tunggu yang lama, ruangan kurang luas,ruang tunggu kurang,jarak antara poli satu dengan yang lain terlalu berdekatan dan yang menjadi hambatan yaitu SIM RS (Firdaus and Dewi,2015).Ruang poli di Rumah Sakit A berdekatan, sistem informasi Rumah Sakit A juga belum baik dan masih menggunakan resep manual.

Waktu tunggu di Rumah Sakit sering menjadi sumber keluhan pasien dan merupakan gambaran citra sebuah Rumah Sakit, karena dari gambaran lamanya waktu tunggu di sebuah Rumah Sakit artinya apakah Rumah Sakit dapat mengelola lomponen yang menjadi harapan pasien.Penyebab lamanya waktu tunggu dipengaruhi beberapa hal antara lain adalah layanan melebihi kemampuan kapasitas atau fasilitas layanan (Dewi et all,2015)

Salah satu area dengan waktu tunggu yang sangat lama di Rumah Sakit A adalah pelayanan obat/pengambilan resep,area pelayanan resep di Rumah Sakit penting terkait waktu tunggu. Salah satu penelitian menunjukkan hasil ada korelasi antara waktu tunggu pelayanan resep dengan kepuasan pasien,semakin lama waktu tunggu pelayanan resep akan menurunkan kepuasan pasien dan semakin cepat waktu tunggu pelayanan resep akan meningkatkan kepuasan pasien (Nurjanah et all,2016).Lamanya waktu tunggu pelayanan resep dipengaruhi beberapa hal antara lain adalah kurangnya SDM dan komunikasi efektif (Fitriah et all,2016).salah satu upaya untuk mengatasi masalah komunikasi efektif dalam peresepan obat yaitu dengan menggunakan peresepan elektronik,peresepan elektronik juga memudahkan petugas dalam memberikan pelayanan kepada pasien sehingga waktu tunggu obat tidak terlalu lama (Diana and Saputra,2015).Dari identifikasi waste yang berhubungan dengan waktu tunggu pelayanan resep adalah kurangnya efektifitas dan efisiensi, untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan menambah loket penerimaan resep,mengoptimalkan sistem informasi dan peresepan elektronik (Syahrani et all,2019).

Dari pengalaman di dua Rumah Sakit, masih perlu perbaikan pelayanan di Rumah Sakit A antara lain ruang tunggu pasien poli tidak berdekatan, pelayanan resep dengan membuka penambahan loket pelayanan resep maupun dengan peresepan elektronik dan juga sistem pendaftaran pasien.Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa dengan membuat sistem antrian dengan mennggunakan tehnologi seperti smartphone maupun sms gateway dengan menggunakan notifikasi remainder dapat mengurangi waktu (Azis et all,2015)

Referensi

  • Azis S.B., Riza T.A. and Rohmatulloh (2015), “Perancangan dan Implementasi Aplikasi Sistem Antrian Untuk Pasien Pada Dokter Umum Berbasis Android dan SMS Gateway”, Jurnal Elektro dan telekomunikasi Terapan 2 (1)
  • Dewi A.U (2015). “Hubungan Waktu Tunggu Pendaftaran Dengan Kepuasan Pasien Di Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Jalan (TPPRJ) RSUD Sukoharjo”Universitas Muhamadiyah Surakarta
  • Syahrani F.,Rinawati D.I. and Pujotomo D (2019).” Penerapan Lean Healthcare Untuk Mereduksi Waktu Tunggu Pelayanan Resep Obat Jadi Pada Depo Farmasi Merpati RSUP DR. Kariadi Semarang”. Industrial enginering Journal 7 (4)
  • Nurjanah I,Maramis F.R. and Engkeng S (2016). “Hubungan Antara Waktu Tunggu Pelayanan Resep Dengan Kepuasan Pasien Di Apotek Pelengkap Kimia Farma BLU.Dr. R.D. Kandau Manado”, Jurnal Ilmiah Farmasi - UNSRAT Vol 5 No 1
  • Fitriah N, Ika F.N and Wiyanto S (20160. “Penyebab dan Solusi Lama Waktu Tunggu Pelayanan Obat di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit”, Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 29, Suplemen No 3, pp 245-251
  • Firdaus F.F and Dewi A (2015). “Evaluasi Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Jalan Peserta BPJS Di RSUD Panembahan Senopati Bantul”, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

 

Oleh : Raihan /18/433534/PKU/17447/ Minat SIMKES

Pertengahan bulan Maret tahun 2019, teman saya membawa saudaranya untuk berobat ke Rumah Sakit tipe C di Kabupaten X. Pada saat tiba dirumah sakit sekitar jam 8.40, kawan tersebut antri diloket dengan pasien lainnya untuk melakukan pendaftaran. Proses pendaftaran memakan waktu cukup lama karena loket pendaftaran hanya ada tiga, 1 Loket untuk pasien umum dan 2 Loket untuk pasien BPJS dengan jumlah pasien yang mengantri cukup banyak. Hal ini tentunya membuat pasien dan keluarga pasien tidak nyaman ditambah lagi dengan ruang tunggu yang tidak nyaman dan panas. Kurang lebih sekitar jam 10 baru dipanggil dan kemudian mengantri ke poli yang dituju, saat mendapat giliran pemeriksaan oleh dokter, kondisi pasien sudah sangat lemas dan dokter menyarankan untuk dilakukan rawat inap.

Kemudian pasien dibawa ke ruang rawat inap Rumah Sakit dengan fasilitas yang diberikan Rumah Sakit yang menurut kawan saya belum maksimal, Mulai dari pendingin ruangan yangg tidak berfungsi dengan baik, kamar mandi yang airnya kotor dan pintunya rusak tentu membuat pasien dan keluarga menjadi sangat tidak nyaman. Pelayanan kesehatan yang bermutu menjadi kebutuhan dasar bagi setiap orang, Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus berupaya untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan mutu agar dapat memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat (Hidayat, 2009).

Selama beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Kabupaten X, pelayanan yang diberikan tidak memuaskan, makanan yang diberikan untuk pasien menunya juga sama dari pagi sampai sore selama beberapa hari berturut-turut. Belum lagi jika ada keluhan dari pasien, misalnya selang infus macet, pasien merasa demam dan menggigil, tapi perawat yang menjaga malah menyuruh kepada siswa magang untuk mengecek tanpa adanya pengawasan dan pembinaan dari perawat senior. Dokter yang menangani pasien juga tidak memberikan penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien dengan baik. Saat pasien mengatakan keluhan, pihak keluarga merasa dokter terkesan tidak terlalu memperdulikan, dokter hanya bilang “itu karna efek dari obat yang diminum”. Selama berada di Rumah Sakit pasien tidak ada nafsu makan sama sekali, bahkan untuk minum pun pasien merasa sangat mual. Akhirnya keluarga yang merasa pasien semakin lemah dan tidak menunjukkan perubahan meminta dirujuk ke Rumah Sakit Provinsi.

Di Rumah Sakit Provinsi, pelayanan yang diberikan sangat memuaskan, setelah beberapa hari dirawat kondisi pasien semakin membaik, pasien sudah mulai mau makan, dokter dan perawat sangat ramah terhadap pasien maupun kepada keluarga pasien. Saat melakukan visit dokter menjelaskan dengan baik akan kondisi pasien. Ahli gizi setiap hari masuk ke ruangan pasien untuk menanyakan menu makan yang diinginkan, dan boleh di ganti jika pasien sudah mulai merasa bosan. Semuanya terasa lebih baik setelah pasien di rujuk ke Rumah Sakit Provinsi. Untuk mendapatkan keberhasilan dalam pelayanan dan keselamatan bagi pasien, diperlukan tenaga medis yang terampil, sarana prasarana yang mendukung dan dilakukan monitoring serta evaluasi secara berkala (Gulo, Adventy Riang Bevy, Saragih, 2018).

Selama seminggu pasien dirawat, kondisinya sudah kelihatan bugar dan pasien sudah diperboleh pulang dengan tetap melakukan kontrol ke Rumah Sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Metner pada tahun 1970, mengatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan yang dipandang penting bagi pasien yaitu; (1). Efisiensi pelayanan kesehatan; (2). Perhatian dokter/tenaga kesehatan, dan (3). Kenyamanan yang dirasakan pasien. Kesembuhan yang didapat oleh pasien bukan hanya semata-mata dari obat yang dikonsumsi, akan tetapi segi pelayanan kesehatan yang lainnya seperti sikap ramah tamah dan rasa empathy tenaga kesehatan yang diberikan kepada pasien.

REFERENSI

  • Gulo, Adventy Riang Bevy, Saragih, M. (2018) ‘HUBUNGAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA RUANG DENGAN PENERAPAN PATIENT SAFETY DI RSUD. Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN’, 1(2).
  • Hidayat, A. A. A. (2009) Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.