Oleh Yuni Kurniasari/KP-MAK
Pengalaman tentang waktu tunggu pelayanan di Rumah Sakit saya alami sendiri sebagai pasien. Sekitar pertengahan bulan Desember 2017 saya mendapatkan rujukan dari dokter gigi di puskesmas karena masalah gigi bungsu yang harus dicabut. Saya dirujuk ke salah satu Rumah Sakit Pemerintah di Kota Klaten. Pagi harinya saya melakukan pendaftaran pukul 08.00 dan kebetulan pasien BPJS sangat banyak, hingga pukul 10.00 baru selesai dan diminta menuju poli bedah mulut. Ternyata dokternya baru mulai praktik pada pukul 11.00 sehingga saya harus menunggu. Waktu sudah mnunjukkan pukul 11.00 namun dokternya belum dating juga. Saya mencoba menanyakan kepada perawat, dan ternyata memang jadwal dokternya mundur menjadi pukul 13.00 karena masih ada operasi. Hal ini sangat mengecewakan karena meskipun perawat sudah mengetahui perubahan jadwal dokter, namun tidak memberitahukannya kepada pasien yang sudah menunggu lama.
Setelah pukul 13.00 akhirnya dokter datang ke poli dengan banyak pasien yang sudah menunggu. Setelah berbincang dengan pasien lain ternyata mereka mendaftar sejak pukul 6 pagi dan memberikan nomor pendaftaran ke poli kemudian mereka pulang dan kembali lagi saat dokter mulai praktik. Karena baru pengalaman pertama saya di RS ini saya mendaftar sudah agak siang sekitar pukul 08.00 alhasil saya mendapat antrian terakhir. Setelah menunggu berjam-jam hingga pukul 16.00 (jadi sekitar 5 jam) baru giliran saya. Saya bertemu dengan dokternya, menyampaikan keluhan saya dan menunjukkan foto ronsen. Kemudian dokternya menyarankan untuk dilakukan operasi pencabutan gigi bungsu (odontektomi) untuk 4 gigi sekaligus dengan general anestesi. Namun operasi tidak bisa langsung dilakukan, karena banyaknya antrian. Saya dijadwalkan untuk operasi tanggal 18 Januari 2018 dan harus datang sehari sebelumnya untuk pendaftaran rawat inap. Perawat memberitahu saya, jika pada tanggal itu ternyata tidak ada bed yang kosong kemungkinan bisa ditunda lagi. Setelah pukul 17.00 baru selesai, dengan waktu tunggu yang sangat lama dan masih ditambah menunggu satu bulan lagi untuk mendapatkan tindakan. Karena tidak sakit, jadi saya tidak masalah jika harus menunggu selama satu bulan, lalu bagaiman jika pasien lain yang merasakan sakit namun masih harus menunggu lama untuk mendapatkan tindakan.
Jika dilihat dari mutu pelayanan kesehatan, lamanya waktu tunggu pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan suatu hal penting yang mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan. Waktu tunggu yang panjang sangat berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Solusi yang dapat diambil untuk mengurangi waktu tunggu di pelayanan kesehatan adalah dengan membuat kebijakan tertulis dalam bentuk SOP (Standar Operating Perocedure) terkait standar pelayanan terhadap waktu tunggu pasien di rawat jalan yang diberlakukan, sehingga adanya pedoman dan sasaran bagi petugas dalam melaksanakan pelayanan. Jika standar sudah ditetapkan dapat meningkatkan kedisiplinan petugas sehingga terciptanya kerjasama dan meningkatkan kesadaran satu sama lain dan untuk lebih saling memperhatikan akan pentingnya akan waktu pelayanan di rawat jalan yang diberikan kepada pasiennya (Laeliyah and Subekti, 2017). Selain itu, strategi untuk mengurangi waktu pelayanan adalah dengan membuat system perjanjian antara pasien dan dokter dan program supervisi atau pengawasan dokter. Supervisi dokter yang efektif dapat terkait waktu tunggu dapat meningkatkan kepedulian dan kinerja pemberi layanan kesehatan sehingga pelayanan menjadi efisien dan efektif yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan dan loyalitas pasien terhadap Rumah Sakit (Torry dkk., 2016)
Referensi:
- Laeliyah, N. and Subekti, H. (2017) ‘Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan dengan Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan di Rawat Jalan RSUD Kabupaten Indramayu’, Jkesvo(Jurnal Kesehatan Vokasional), 1(2), pp. 102–112.
- Torry, Koeswo, M. and Sujianto (2016) ‘Faktor yang Mempengaruhi Waktu Tunggu Pelayanan Kesehatan kaitannya dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Klinik penyakit dalam RSUD Dr . Iskak Tulungagung’, Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29(3), pp. 252–257.